Sempat diperebutkan pedagang.
Pasar Aceh di Banda Aceh, Ibukota Provinsi Aceh yang dibangun dengan kucuran
dana Rp. 116,2 miliar, kini bernasib kurang baik. Ibarat pepetah, hidup segan,
mati pun tak mau. Padahal, dana tahap awal pembangunan pusat perekonomian ini, merupakan
bantuan dari Pemerintah Jepang. Selanjutnya, mendapat pinjaman dana dari Bank
Dunia.
Searah mata memandang, tatapan
ironis terus memberi berbagai fakta miris. Misal, tingginya harga sewa serta
sepinya pembeli membuat banyak kios tutup. Akibatnya, tak sedikit para pedagang
yang gulur tikar. Berharap tuah Pasar Aceh, kini pengelolaan yang dilakukan
Pemko Banda Aceh jadi sorotan. Reporter MODUS
ACEH Irwan
Saputra menulisnya untuk Sudut Kutaradja pekan ini.
***
BERDIRI megah, gedung tiga lantai
berasitektur tinggi dengan ornamen Islami itu terletak di pusat Kota Banda
Aceh, Ibukota Provinsi Aceh. Lokasinya tak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman nan
mewah. Tempat ibadah yang memberi sejuta kisah dan inspirasi, terutama tentang
sejarah perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda.
Hari
itu, Senin, 13 April 2015, searah jarum jam bergerak ke pukul 15.00 WIB. Banda
Aceh, kota bertajuk: Bandar Wisata Islami ini diselimut hawa panas. Terik
matahari, membakar kulit hingga kepala. Begitupun, aktivitas pedagang di Pasar
Aceh tetap berdenyut, walau tak semeriah Pasar Tanah Abang di Jakarta.
Diantara
kerumunan pedagang tradisional dan kaki lima itulah, saya menelusuri lorong
demi lorong hingga akhirnya bertepi di Pasar Aceh. Titik akhir penelusuran,
sengaja saya hentikan di pusat pasar yang diresmikan Menteri Perdagangan RI,
Gita Wirjawan pada awal Juli 2013 lalu.
Kini,
Pasar Aceh tak hanya sebagai ikon Kota Banda Aceh. Tapi, menyimpan juga sebait
kisah pilu saat bencana dahsyat tsunami yang melanda Bumi Serambi Mekkah, 26
Desember 2004 silam. Banda Aceh dan beberapa kota lain di Aceh, luluh lantak
dihantam bencana tersebut.
Tak
mau terlalu lama berduka, Walikota Banda Aceh (alm) Mawardi Nurdin ketika itu
menyingsingkan lengan baju, membangun komunikasi dengan berbagai pihak. Baik di
Jakarta maupun dunia Internasional. Maklum, saat itu pembangunan Aceh paska
tsunami ditangani Badan Rehabiltitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias.
Hasilnya, Rp 71,9 miliar berhasil ditarik Mawardi dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (ABPN). Sisanya, Rp 42 miliar pinjaman dari Bank Dunia (World
Bank). Sementara, dana awal Rp 2,3 miliar berasal dari APBK Kota Banda Aceh.
Dan, berhasil mengumpulkan seluruhnya Rp 116,2 miliar.
“Sebagai
Ketua DPD Partai Demokrat Aceh, Mawardi memang cerdas melakukan komunikasi dengan
Jakarta. Apalagi saat itu, Indonesia dipimpinan Pak SBY dari Partai Demokrat,”
kenang Ir. Zubir Sahim, salah seorang sohib dekat Mawardi.
***
Pasar
Aceh tentu bukan satu-satunya pusat perbelanjaan di Kota Banda Aceh. Warga kota
ini memiliki beberapa pasar alternatif untuk berbelanja dan menghabiskan
rupiahnya. Misal, Hermes Mall di Beurawe dan Suzuya Mall di Setui. Yang beda
hanya soal pelayanan dan jenis barang dagang. Pasal Aceh lebih dinominasi
pedagang kecil dan tradisional, sementara Hermes Mall dan Suzuya lebih
bernuansa metropolis.
Lantai satu Pasar Aceh memiliki 117
pintu kios yang dilengkapi satu unit los ikan dan satu unit los daging. Lantai
dua diperuntukkan untuk pakaian dan aksesoris lainnya yang berjumlah 217 kios.
Tak hanya itu, ada satu unit restoran dan satu unit minimarket. Sementara di
lantai tiga, peruntukannya sama seperti lantai dua, ada 135 kios yang
dilengkapi satu unit restoran, dua puluh sembilan unit food count dan satu unit
game zone hingga total seluruhnya 469 kios.
Begitupun,
kondisi tak elok sangat kontras terlihat di sana. Bayangkan, hingga saat ini
ada 261 kios yang masih kosong alias tidak berpenghuni dan nyaris sepi dari
pembeli. Bahkan, pedagang justeru lebih memilih untuk berjualan di lapak bagian
depan dan di pinggiran jalan menuju Pasar Aceh. Akibatnya, lahan yang
diperuntukkan bagi parkir sepeda motor menjadi kecil dan sempit. Dan, usut
punya usat, ternyata kondisi tadi disebabkan salah satunya, karena tingginya
harga sewa.
“Saat
peresmian lalu semua penuh terisi,” kata Yusmadi (?), salah seorang pedagang
pada media ini, Selasa pekan lalu. Yus begitu dia akrab disapa menambahkan, sejak
dua tahun lalu dia berjualan di pasar tersebut, tapi merrugi. Maklum, harga
sewa kios ukuran 2 x 3 dipatok Rp 11
Juta per tahun, sementara, dalam sehari dia hanya mampu menjual satu pakaian.
Itu pun terkadang tidak laku. “Kalau saya keluar dan tidak lagi berjualan, saya
tidak punya pekerjaan lain,” kata ayah dua
anak ini.
Kondisi
serupa juga diakui Lia (?). Perempuan pedagang pakaian wanita ini mengaku sudah
berjualan di Pasar Aceh, sebelum pasar itu dibangun kembali. Namun, karena ada
aturan yang mengharuskan dirinya mendaftar ulang, untuk mendapatkan kios dan
berjualan berdasarkan gang (sesuai undian), maka dia mengikuti semua aturan
yang ada, termasuk membayar sewa Rp 11 juta per tahun dan beralih dengan
menjual tas.
“Padahal
saya tidak menegerti berdagang tas, karena dulu ketika pilih kios harus tarik undian
dan kami harus berjualan berdasarkan gang yang telah ditentukan, saya mau
bagaiamana lagi. Jualan tas ya tidak boleh jual baju,” ceritanya Lia pada media
ini, Selasa pekan lalu.
Itu
sebabnya, bersama suami yang juga pedagang di sana, Lia mengaku tidak begitu
memikirkan kerugian yang mereka alami. Sebab, kebutuhan rumah tangga sudah
ditanggung suaminya yang berjualan pakaian di toko milik pribadi. Hanya saja
dia merasa kasihan kepada pedagang lainnya yang berdagang untuk menghidupkan
anak-istri di rumah.
“Kalau
untuk saya pribadi tidak masalah, tapi kasihan juga pedagang lain yang sukar
lagu jualan di sini,” kata Lia sambil menunjukkan ke arah Yus yang berjualan
untuk menghidupkan anak dan isterinya.
Setali
tiga uang, Ani seorang pedagang lain mengakui bahwa dia dibesarkan dalam
keluarga pedagang. Karena itu, dia sedikit mengerti soal seluk beluk berdagang
tentang aturan yang diberlakukan Pemerintah Kota Banda Aceh. Misal, menata pasar dan memperlakukan para pedagang
dengan layak. Nah, dari Ani juga diketahui mengapa Pasar Aceh sepi pembeli.
Menurut Ani, karena faktor kurangnya promosi. Selain itu desain pasar yang
berbengkok, tidak tembus mata memandang, juga jadi penyebab lain. Disamping aturan yang ketat sehingga
pembeli sepi. Termasuk harga sewa yang mahal sehingga banyak pedagang yang memilih
untuk menutup kembali. “Alhasil ya sepi begini,” ungkap Ani pada media ini
Selasa pekan lalu.
Ani
juga mengakui, dari sejumlah pedagang di Pasar Aceh, dia merupakan salah satu
yang sudah berjualan di sana selama dua tahun atau sejak peresmian pasar tersebut.
Karena itu, dia sering berbeda pendapat dengan kebijakan yang diberlakukan Pemerintah
Kota Banda Aceh melalui pengelola pasar. Misal, ada pengkhususan gang (lokasi kios) bagi pedagang
tertentu serta harga sewa yang dianggap mahal. Menurut perempuan kelahiran Kota
Banda Aceh ini, kebijakan yang diberlakukan Pemko Banda Aceh tidak berpihak
pada pedagang kecil. “Padahal apa salahnya untuk memajukan digratiskan dulu pada
tahap awal, atau dimurahkan harga sewa,” saran Ani.
Tak
tanggung-tanggung, saat bulan puasa lalu, diakui Ani dia terpaksa harus
membatalkan puasanya karena terjadi perang mulut dengan petugas pasar setempat.
“Saya katakan pada mereka, gaji kalian itu dari kami pedagang, jika banyak kali
aturan kapan laku dagangan kami,” ucapnya berkisah.
Yang
menarik, meski sama-sama berjualan satu atap di Pasar Aceh, tapi pengakuan
berbeda justeru datang dari Helda. Perempuan paruh baya ini mengaku, setiap
hari dia berhasil meraup rupiah meski dagangannya tidak banyak yang laku. “Kita
nggak rugi sewanya, karena ramai pengunjungnya. Alhamdulillah,” sebut Helda pada
media ini Rabu pekan lalu. Begitu juga dengan Anita, perempuan penjual pakaian
jadi di lantai satu ini mengaku dagangannya selalu laku dan pengunjung ramai
sejak dia menyewanya. “Kalau kami di sini ramai pengunjungnya” jelasnya pada
media ini Rabu pekan lalu.
Nah,
lepas dari berbagai pengakuan tadi, Kepala Unit Pelayanan Teknis Dinas (UPTD)
Pasar Kota Banda Aceh, Andista ST enggan berkomentar. Dia meminta media ini untuk
bertemu langsung Ketua Pengelola Pasar Aceh Teuku Yusuf. Alasan Andista,
karena setiap masalah yang ada di Pasar Aceh dibawah kendali Teuku Yusuf. “Saya
sebagai pembina semua ketua pengelola pasar, jumpai saja Pak Yusuf,” saran dia.
Kepada media ini, Teuku Yusuf menjelaskan,
berbagai upaya telah dilakukan pihaknya untuk memajukan Pasar Aceh. Bahkan, dia
kerap mencari pebisnis-pebisnis dari luar Aceh untuk mau dan masuk ke Pasar
Aceh. Dia memberi contoh, mengajak komunitas
pecinta batu alam yang tergabung GaPBA (Gabungan Pecinta Batu Alam) untuk
melakukan pentas batu beberapa waktu lalu. “Tujuannya untuk menghidupkan pasar
yang sudah mulai sepi sejak diresmikan Menteri Perdagangan 2013 lalu,” kata
Muhammad Yus, Kamis pekan lalu.
Teuku Yus juga menapik jika Pasar Aceh yang dikelolanya mulai ditinggalkan pedagang
dan pembeli. Kepada media ini, mantan Kepala Dinas Pendapatan Asli Daerah
(DPAD) Aceh Besar ini mengaku telah berupaya maksimal dengan memanggil kembali para
pedagang yang telah membayar sewa.
Begitupun, Teuku Yusuf yang dipercayakan (alm) Walikota Banda Aceh Mawardi Nurdin ini
mengaku tak patah arang untuk terus mengelola Pasar Aceh. Sebaliknya, dia tetap
optimis pasar yang dikelolanya suatu saat nanti akan maju. “Mungkin dua atau tiga
tahun ke depan, Insya Allah maju, apalagi Pemko Banda Aceh dalam waktu dekat
akan menata pedagang di samping Mesjid Baiturrahman. Bertahan sajalah, tidak
tutup sudah lumayan,” harap Teuku Yusuf.
Sebaliknya Teuku Yusuf membantah jika sewa yang diberlakukan Pemko Banda Aceh pada pedagang di Pasar Aceh terlalu mahal. Dia beralasan, sewa kios milik masyarakat
di Pasar Aceh tahap pertama saja mencapai Rp 20 juta per tahun. Sementara,
milik Pemko Banda Aceh dengan letak strategis harganya cuma Rp 17 juta dan paling rendah Rp 4 juta per
tahun. Itu pun sudah masuk biaya operasional.
Kata Teuku Yusuf, Pasar Aceh
tahap pertama yang dibangun atas tanah milik masyarakat. Lalu, Pemko Banda Aceh
sebagai pendiri bangunan dan pengelola juga mendapatkan jatah 88 kios di lantai
tiga, dan 2 kios di lantai dua, dari total jumlah kios di Pasar Aceh tahap
pertama sebanyak 319 kios. Selain itu, sebagai pengelola dan pendiri bangunan, Pemerintah
Kota Banda Aceh memberlakukan biaya operasional pada kios milik masyarakat
dengan rincian satu meter Rp 3000 ribu per hari. “Itu kita kutip untuk membayar
gaji karyawan, biaya listrik dan air”. Bahkan menurutnya, untuk menyicil utang
pembangunan Pasar Aceh Baru pada Bank Dunia, juga diambil dari uang operasional
karena pedagang di Pasar Aceh Baru masih sepi. “Karena pedagangnya merugi ya
terpaksa bayarnya cicilan,” kata Teuku Yusuf menutup pembicaraan.
Waktu terus berjalan. Sayup-sayup
terdengar suara azan dari puncak menara Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh,
petanda waktu shalat Ashar tiba. Tanpa terasa, perjalanan saya, menelusuri
Pasar Aceh Baru sudah berlalu satu jam. Saya minta izin pada TeukuYusuf untuk kembali ke kantor redaksi di Jalan Nyak Makam Banda Aceh, tentu setelah melaksanakan
shalat berjamaah di masjid yang menjadi saksi bisu tewasnya seorang penjajah
Belanda, Jenderal Kohler. Kesan yang terus muncul di pikiran saya adalah:
kasihan, pasar besar tapi sepi pembeli.***
Photo: disesuaikan