Wednesday, May 13, 2015

Selamat Bergabung Irwan

Salam Redaksi-05

Selamat Bergabung Irwan

“Sebaik-baik manusia, adalah mereka yang bermanfaat bagi manusia lainnya”. Falsafah inilah yang dianut laki-laki kelahiran, 1 Januari 1991 di Desa Blang Panyang, Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya).
Namanya Irwan Saputra. Dia mengaku lahir dari keluarga kurang mampu. Namun, putra sulung pasangan Asmadi dan Anisah ini, mematok target sukses dalam hidup. Tujuannya, untuk bisa memberi contoh terbaik bagi adik-adiknya. Alhasil, untuk bisa kuliah layaknya remaja lain seusianya, anak pertama dari empat bersaudara ini menamatkan kuliah di Fakultas Syari`ah, Jurusan Hukum Pidana Islam, Universitas Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh dengan bekerja sebagai tukang loper koran.
Dan, bulan Agustus 2014, impiannya menjadi sarjana pertama dalam keluarga besarnya terwujud sudah. Alhamdulillah!
Menjadi tukang loper koran, digelutinya sejak 2011 silam, ketika ia masih semester empat hingga April 2015. Itu dia lakukan, setiap hari dari pukul 05.00 WIB hingga  07.00 WIB pagi. Dengan tekun, dia temui para langganannya di kawasan Lamgugop, Sektor Timur Darusalam Banda Aceh sampai Kajhu, Aceh Besar.
Bila usai melaksanakan tugasnya sebagai loper koran, Irwan mengabdikan dirinya sebagai pengajar TPA di Mushalla Al-Muhajirin Rukoh, Banda Aceh, yang merupakan tempat dia tinggal selama ini.
Semasa masih kuliah, dia mengajar les privat mengaji bagi anak-anak yang membutuhkan jasanya. Meskipun waktunya sangat ketat, bukan berarti ia tidak aktif dalam organisasi kampus. Irwan memilih Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Banda Aceh untuk mengasah bakat kepemimpinannya. Dia sempat menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Syari`ah UIN Ar-Raniry.
Belum habis masa jabatan sebagai Wakil BEM, dia ditunjuk menjadi Sekretaris Umum Komisariat HMI Fakultas Syari`ah, merangkap Direktur LAPMI (Lembaga Pers Mahasiswa Islam) HMI Cabang Banda Aceh.
Dia mengaku, tidak pernah membayangkan jadi wartawan. Selain tidak ada darah jurnalis yang mengalir dalam dirinya, dia pun tidak punya kawan dekat yang berprofesi sebagai kuli tinta. Irwan justeru memiliki hobi membaca dan ingin menjadi guru besar di bidang hukum. Itulah  cita-citanya sejak kecil. Tapi lingkungan menyadarkannya.
Seiring waktu bergulir, pekerjaan sebagai loper koran merubah mimpinya. Itu karena berbagai tregedi kemanusian, ketidakadilan, kesenjangan sosial dan himpitan ekonomi masyarakat Aceh, yang diakibatan permainan pejabat korup. Lalu, muncul niat di hatinya untuk menyuarakan kebenaran dengan idealisme yang murni serta keberpihakan kepada masyarakat.
Karena itu, ketika Tabloid Berita Mingguan MODUS ACEH membuka peluang untuk jadi wartawan, Irwan melamarnya pada  akhir 2014 silam. Hasilnya, dia diterima dan diwajibkan untuk mengikuti masa orientasi atau magang selama tiga bulan.
Berkat ketekunan serta kegigihan maupun keseriusannya, Irwan Saputra dinyatakan lulus sebagai wartawan media ini. Sejalan dengan itu, statusnya pun berubah, dari wartawan magang menjadi reporter. Begitupun, Irwan Saputra masih harus menekuni dan mengikuti proses tahap dua, sebagai syarat untuk menjadi wartawan.
Selain Irwan Saputra, ada tiga rekan yang seangkatan dengannya. Mereka adalah, Khairul Anwar, Saidi Hasan dan Rusman. Khairul dan Saidi Hasan dinyatakan masih harus mengikuti perpanjangan masa pelatihan, sementara Rusman, dinyatakan gagal untuk melangkah ke tahap lanjutan. Ini diputuskan, setelah adanya evaluasi berdasarkan kinerja serta produktivitas dalam bekerja dan liputan.
Selamat Irwan, jalan masih panjang dan terbuka lebar untuk mengasah komitmen dan idealismemu dalam dunia jurnalis.***

Photo: disesuaikan



Dana Ditarik, Pengadaan tak Tuntas


Sidang Pengadaan Buku UTU
Dana Ditarik, Pengadaan tak Tuntas

Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh, menggelar sidang perdana dugaan korupsi proyek pengadaan buku perpustakaan Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh. Mantan Kepala Dinas Pendidikan setempat, T. Usman Basyah dijerat merugikan negara Rp 385 juta.  

Irwan Saputra
         
          Kamis pagi, sekira pukul 09.00 WIB, 7 Mei lalu, cuaca Kota Banda Aceh panas menyengat. Diantara lalu lalang arus kenderaan di lintasan Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah, tampak satu unit bus warna hijau tua, nomor polisi 7081 AA. Bus itu melaju dengan kecepatan sedang, menuju Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh.
Persis di teras depan ruang sidang, bus tahanan milik Kejaksaan Negeri (Kejari) Banda Aceh tersebut berhenti. Seketika, petugas membuka pintu mobil dan dari dalam keluar Teuku Usman Basyah SH (57) beserta terdakwa lainnya.
Teuku Usman Basyah adalah terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan buku perpustakaan di UTU, saat rezim Bupati Ramli SE berkuasa tahun 2009 silam. Hari itu dia dijemput dari Rumah Tahanan (Rutan) Kajhu Aceh Besar. Inilah sidang perdana yang diikuti Usman bersama sejumlah rekannya.
Saat memasuki ruang sidang, Usman mengenakan stelan kemeja putih bermotif kotak-kotak, dipadu celana hitam. Dia tertunduk ketika berpas-pasan muka dengan awak media. Tangan mantan staf ahli Bupati Aceh Barat itu pun diborgol.
          Hari itu, pria paruh baya yang akrab disapa Ampon Usman ini tidak sendiri, tapi bersama terdakwa lain. Sebut saja Direktur CV. Kurnia Cipta Rezeki H. Ariefkar RZ (rekanan pada proyek) pengadaan buku referensi perpusatakaan Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh, dan tujuh terdakwa lainnya (panitia pemeriksa barang) yaitu, Said Mardha Abbas ST (42), Munzir S.Pd (50), Samsul Gani (29), Oka Farizal (34) , Remi Gustina SS (34), Faisal ST (33) dan Ardiansyah (42).
          Nah, persis pukul 10:30 WIB, sidang dimulai. Saat itu, ruang Sidang Utama Pengadilan Tipikor ramai dikunjungi keluarga dan kerabat terdakwa. Maklum, agenda hari itu masih pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). “Saya adiknya terdakwa Oka Farizal,” jelas Fadil (25) saat bincang-bincang dengan media ini pagi itu.
          Sidang dipimpin Ainal Mardhiah,SH.MH (hakim ketua) dan Muhifuddin, S.H.,M.H serta Hamidi Jamil, SH (anggota). Hari itu, JPU membaca tiga berkas dakwaan. Dimulai terhadap Direktur CV Kurnia Cipta Karya, H. Ariefizar RZ selaku rekanan dalam proyek tersebut dalam berkas dakwaan Nomor 16/Pid.Sus-TPK/2015/PN Bna.
          Mengenakan kemeja putih lengan panjang, dengan padanan peci warna serupa, dipadu celana hitam. Ariefizar RZ yang hadir tanpa didampingi penasehat hukum ini, tampak diam dan tertunduk saat JPU membacakan dakwaan. Sesekali ia menoleh ke arah Jaksa Penuntut Umum (JPU) terdiri dari, Nurdiningsih, SH, T. Panca Adhyaputra, SH. MH. dan Mukhsin, SH.
          Bahkan saat majelis hakim bertanya, apakah terdakwa menerima dakwaan yang dibacakan JPU. Ariefizar hanya mengangguk dan mengiyakan. “ “Ya, saya terima Pak Hakim,katanya singkat.
          Usai pembacaan dakwaan Ariefizar RZ, JPU dari Kejari Meulaboh, melanjutkan pembacaan dakwaan terhadap tujuh tersangka lainnya, yang digabung dalam satu berkas dakwaan bernomor 17/Pid.Sus-TPK/2015/PN Bna.
          Pembacaan dakwaan terhadap Said Mardha Abbas, Munzir, Samsul Gani, Remi Gustina, dan Ardiansyah. Mereka  didampingi penasihat hukumnya Zul Azmi Abdullah, SH. Seperti Ariefizar, mereka tidak menolak dakwaan yang dibacakan JPU. Namun, berbeda dengan dengan Oka Farizal dan Faisal. Meskipun didakwa dalam satu berkas sama, Oka dan Faisal melalui pengacaranya Ramli Husen,SH. menolak dakwaan Jaksa.
Penasihat hukum mereka, Ramli mengajukan eksepsi (keberatan) kepada majelis hakim, dengan alasan kliennya tidak dapat didakwa dengan dakwaan korupsi karena tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Barat.
          Menurut dia, jika merujuk pada Perpres Nomor 70 Tahun 2012, panitia pemeriksa dan penerimaan barang harus dari pegawai negeri sipil. Ramli menambahkan, Keppres Nomor 80 Tahun 2003, tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah, sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 95 Tahun 2007, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak Tanggal 1 Januari 2011.
          Atas eksepsi tersebut, Ramli meminta hakim memberikan putusan sela untuk kliennya. “Kami mohon majelis hakim memberikan putusan sela atas eksepsi yang kami sampaikan” pintanya.
          Karena alasan itu pula, Ainul Mardhiah dan hakim anggota mengagendakan Jum`at mendatang, dibacakan putusan sela terhadap terdakwa Oka Farizal dan terdakwa Faisal. “Jum`at depan kita agendakan putusan sela, karena Kamis libur,” jawab Ainal dihadapan persidangan.
          Tanpa menunggu lama, sidang sesi ketiga pembacaan dakwaan terhadap mantan Kepala Dinas Pendidikan Meulaboh, T. Usman Basyah selaku pengguna anggaran pada tahun 2009  itu pun kemudian dilanjutkan.
          Seperti Ariefizar RZ. Ampon Usman juga tidak ditemani penasihat hukum. Dalam dakwaan Nomor 18/Pid.Sus-TPK/2015/Pn Bna, yang dibacakan JPU Nurdiningsih, SH. Kesembilan terdakwa diduga telah bersekongkol untuk mengeruk uang negara Rp 1 miliar pada proyek pengadaan buku di UTU, yang bersumber dari dana Otsus, APBA Tahun 2009.
          Menurut JPU, tahun anggaran 2009, Pemerintah Aceh menganggarkan dana Rp 1 miliar, yang bersumber dari dana Otsus. Tujuannya, untuk pengadaan referensi buku di perpustakaan Kampus UTU, yang dilelang oleh Dinas Pendidikan Aceh Barat.
          Pelelangan tersebut dimenangkan CV. Kurnia Cipta Karya, yang dikomandoi terdakwa Ariefizar RZ dengan nilai kontrak Rp 975 juta. Sesuai spesifikasi dan volume dalam kontrak, rekanan wajib menyelesaikan masa kerja selama 46 hari. Terhitung sejak tanggal 2 November 2009 sampai tanggal 17 Desember 2009.
          “Atau selambat-lambatnya tanggal 17 Desember 2009, harus diserah terimakan 100 persen.” Ungkap Jaksa Ningsih, dalam berkas dakwaan para tersangka. Namun, hingga sampai berakhir masa kontrak 17 Desember 2009, CV Kurnia Cipta Karya tidak dapat merampungkan pekerjaannnya 100 persen. “Rekanan hanya dapat merealisasikan 57.10 persen saja,” papar JPU.
          Dari sanalah tercium adanya indikasi bahwa para terdakwa sebagai panitia pemeriksa barang pengadaan buku, bersekongkol dengan rekanan. Sebab, kepada Dinas Pendidikan Aceh Barat saat itu mereka mengaku pekerjaan telah rampung 100 persen. Meski sebenarnya hanya rampung 57.10 persen.
Tak hanya itu, Kepala Dinas Pendidikan Aceh Barat ketika itu Usman Basyah, tidak melakukan pengecekan ke lapangan, tapi langsung mengeluarkan surat perintah untuk membayar 100 persen anggaran pada rekanan sesuai kontrak.
          Belakangan, tindakan para terdakwa tersebut berbuntut hukum, karena dinilai telah merugikan negara Rp 385 juta, dari nilai kontrak Rp 975 juta. Terdakwa masing-masing dijerat dengan dakwaan pasal 2 dan 3 Undang-Undang Korupsi, No. 31 Tahun 1999 Junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor, Junto Pasal 18, Junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. ***

Photo: disesuaikan



Karena Kepentingan, Kesejahteraan Terabaikan



Anggota DPR RI, Nasir Jamil
Pemerintah Aceh dinilai sibuk mengurus kepentingan sehingga mengapaikan kesejahteraan rakyat. Akibatnya, muncul berbagai tindakan ‘perlawanan’. Presiden Joko Widodo didesak untuk mengambil tindakan tegas.

Irwan Saputra

MEMAKAI  kemeja biru laut yang dipadu celana hitam, anggota DPR RI asal Aceh, M. Nasir Djamil, sekira pukul 14.20 WIB, Rabu siang pekan lalu, tiba di Kantor Redaksi MODUS ACEH, Jalan Nyak Makam, Banda Aceh.
Hari itu, dia didampinggi tiga asistennya. “Kami mau bersilaturrahmi dengan kawan-kawan di MODUS,” begitu kata Nasir pada Direktur Usaha Agusniar Muktar, SE dan Manejer Liputan Juli Saidi, ketika menyambut anggota Komisi III DPR RI ini.
Kehadiran Nasir, begitu dia akrab disapa, terkait masa reses ke Aceh. Itu sebabnya,  dia mengunakan kesempatan untuk berkunjung ke redaksi media ini. “Sudah lama ingin ketemu kawan-kawan di sini, tapi baru saat ini kamu punya waktu. Padahal, saya ingin sekali hadir saat peringatan HUT MODUS ACEH Ke-12 lalu,” ujar Nasir.
Sayang, kedatangan M. Nasir Djamil tak didampinggi sahabat lamanya Muhammad Saleh yang juga Pimpinan Redaksi MODUS ACEH. Maklum, saat itu Saleh, sapaan akrab pimpinan redaksi media ini,  sedang ada urusan di Kejaksaan Negeri (Kejari) Banda Aceh. Ini terkait proses hukum lanjutan antara dirinya dengan Haji Bakrie Bandar Dua. “Biasa, soal pemberitaan mesum yang berakhir di pengadilan,” jelas Saleh, singkat.
Memang, antara Saleh dan Nasir tak asing. Keduanya sempat sama-sama menjadi wartawan di Harian Serambi Indonesia, Banda Aceh. Nasir kemudian memilih berkarir di politik, sementara Saleh, hijrah ke Jakarta, melanjutkan profesinya sebagai jurnalis.
Begitupun, kunjungan satu jam tersebut bukan tanpa makna. Sebagai politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir terlibat diskusi dengan awak media ini. Dia banyak menyorot kebijakan Pemerintah Aceh yang dinilai belum sepenuhnya berpihak pada rakyat.
Kata Nasir, tiga tahun Pemerintah Aceh dibawah kepemimpinan dr. Zaini Abdullah-Muzakir Manaf (ZIKIR), sarat dengan berbagai kepentingan ‘kelompok’ sehingga nyaris melupakan kebijakan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh secara kolektif. Akibatnya sebut Nasir, muncul berbagai kelompok yang tidak puas, baik secara terbuka maupun diam-diam. Salah satunya kata Nasir adalah, Din Minimi dan kawan-kawan. “Ini yang terbuka dan terus terang mengaku melawan, bukan berarti yang lain diam dan tak akan melawan. Jika dibiarkan terus, ini bisa berbahaya dan menganggu kedamaian yang sudah sepuluh tahun terajut di Aceh,” saran Nasir.
Menurut Nasir, persoalan Din Minimi jangan dianggap sepele. Sebaliknya, Pemerintah Aceh harus serius menangganinya. Termasuk aparat keamanan dan penegak hukum. Sebab, aksi kriminal yang terjadi selama ini justeru dilakukan mantan kombantan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Memang, peristiwa seperti itu juga terjadi di daerah lain, tapi karena bekas konflik bersenjata, makanya bila terjadi di Aceh, bobot dan persoalannya menjadi lain,” nilai Nasir.
Karena itu, Nasir Djamil juga meminta pemerintah pusat dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi untuk bersikap lebih arif, adil, bijaksana dan tegas terhadap Aceh. “Kalau sudah dijanjikan, ya harus diberikan. Kalau tidak, ya tetap tidak. Jangan digantung-gantung. Ini bisa kontra produktif terhadap perdamaian,” ungkap Nasir.
Tak hanya itu, Nasir Djamil menilai, maraknya peristiwa kejahatan bersenjata di Aceh, tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah Aceh yang belum mampu membawa Aceh seperti yang diharapkan, sehingga menilaikan sikap frustasi dari berbagai pihak. Ini semua diakibatkan, karena kondisi dan distribusi ekonomi yang belum merata. “Sehingga yang kering, membuat hujan dengan cara-cara yang brutal,” kata Nasir berfilosofi.
Nasir menilai, kejahatan bersenjata di Aceh memang tidak sama dengan yang terjadi di daerah lain. Karena itu, tak relevan pula jika diselesaikan semata-mata dengan pendekatan hukum. Sebaliknya, dengan pendekatan kesejahteraan dan pembangunan. “Karena indikatornya kesejahteraan,” sambung Nasir.
Karena itu Nasir berharap, kejahatan yang dapat menghambat pembangunan di Aceh jangan dibiarkan berlarut, karena akan berimbas pada sektor investasi.
“Imbasnya investor tidak ada yang mau datang,” ujar Nasir. Tidak hanya itu, menurut putra Aceh kelahiran Medan, Sumatera Utara ini juga mengkritik lemahnya peran intelijen di jajaran kepolisian di Aceh, untuk menditeksi dan mencegah potensi timbulnya konflik baru di Aceh.
Dia memberi contoh. Proses penyergapan Komeng alias Faisal di Limpok, Aceh Besar, Selasa pekan lalu. Komeng merupakan komplotan Din Minimi yang hingga saat ini masih buron.
Nasir menyayangkan, kenapa harus mengerahkan 200 personil polisi hanya untuk menyergap seorang Komeng. “Tentu bisa  menggunakan data intelijen, karena ini juga terkait dengan citra Gampong Limpok,” kritik Nasir, alumni Fakultas Dakwah,Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Ar-Raniry itu.
Karena itulah, Nasir berpendapat, jika aksi kriminal bersenjata dianggap sebagai imbas dari kebijakan Pemerintah Aceh yang tidak merata, kata Nasir Djamil, persoalan bendera, juga menjadi salah satu penghambat kesejahteraan yang terjadi di Aceh. Ini sejalan dengan memanasnya kembali isu bendera, setelah beberapa lama reda. Padahal, sebelumnya Ketua DPP Pusat PA yang juga Wakil Gubernur Aceh H. Muzakir Manaf dan Tuha Peut Partai Aceh yang juga Gubernur Aceh, dr. Zaini Abdullah, sudah menyatakan tidak ada lagi masalah dengan bendera Aceh, jika pun berubah dan tidak menyerupai bendera GAM.
Sekedar menginggatkan, Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem pernah mengaku tidak masalah jika pemerintah pusat mengubah sedikit komposisi Bendera Aceh, walau tidak sama dengan Bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Saya  pernah menyarankan kepada Gubernur dan DPRA tentang perubahan sedikit Bendera Aceh,” kata Muzakir kepada wartawan, Kamis, 20 Oktober 2011 lalu.
Pernyataan ini diucapkan Mualem, karena pemerintah pusat tidak memberikan persetujuan terhadap bendera yang diajukan tersebut. “Sampai kapan kita harus bertahan seperti ini, sementara untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan infrastruktur, sesuai cita-cita MoU Helsinki, Aceh masih butuh seluruh turunan UUPA yang belum diterbitkan pusat,” kata Mualem waktu itu.
Gubernur Aceh yang juga Tuha Peut Partai Aceh, dr. Zaini Abdullah pada wartawan saat coffe morning di restoran Pendopo Gubernur, awal Februari 2015 lalu megatakan. “Rencana perubahan bendera Aceh akan dilanjutkan dalam waktu dekat ini,” jelas Zaini.
Tapi, belakangan Muzakir Manaf menarik kembali pernyataannya.  Itu disampaikan dalam diskusi bersama Wakil Ketua Komisi III DPR RI, yang juga Politisi Partai Gerindra, Desmon J Mahesa di Kantor DPD Gerindra Aceh. “Kita tidak setuju adanya perubahan bendera sebagaimana yang diminta oleh pemerintah pusat,” ucap Muzakir, Maret 2015 lalu.
Entah itu sebabnya, Ketua Komisi I DPR Aceh Abdullah Saleh, SH malah menaikkan bendera Bulan Bintang ke leher A. Hamid Zein, saat terjadi aksi penyerahan bendera Aceh dari YARA kepada Komisi I di Halaman DPR Aceh, Senin pekan lalu.
Peristiwa memalukan ini, disayangkan M. Nasir Djamil. “Seharusnya insiden ini tidak perlu terjadi,” ungkap dia. Nasir menyarankan, seharusnya, ketika ada aspirasi seperti itu, diterima oleh anggota dewan dan disampaikan kepada Sekretaris Dewan (Sekwan). Sebab, komplek parleman Aceh itu berada pada tanggungjawab Sekwan. “Termasuk urusan naik dan turun bendera,”  tegasnya. 
Makanya, Nasir Jamil meminta Presiden Jokowi untuk mengambil sikap tegas terhadap persoalan bendera Aceh. Ini dimaksudkan, agar tidak berlarut-larut dan isu ini dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab sebagai komoditas politik. “Ini sangat tidak sehat, makanya kepala negara harus tegas,” sambung Nasir Djamil.
Karena ketidaktegasan ini pula sebut Nasir Djamil, wajar jika rakyat Aceh mulai bertanya: mana lebih penting kesejahteraan rakyat Aceh atau menaikkan bendera? “Banyak orang bertanya begitu sekarang,” bebernya.
Menurut Nasir Djamil, memang ada hal simbolis yang dibutuhkan rakyat Aceh. Tapi jangan sampai hal tersebut menguras pikiran dan tenaga sehingga kesejahteraan sebagai hal utama dan pokok, menjadi terabaikan. “Karena itu, sekali lagi, negara harus mengambil sikap tegas soal bendera Aceh,” tutupnya.***

Sumber : Tabloid Modus Aceh