|
Anggota DPR RI, Nasir Jamil |
Pemerintah Aceh dinilai sibuk mengurus
kepentingan sehingga mengapaikan kesejahteraan rakyat. Akibatnya, muncul
berbagai tindakan ‘perlawanan’. Presiden Joko Widodo didesak untuk mengambil tindakan
tegas.
Irwan Saputra
MEMAKAI kemeja biru laut yang dipadu celana hitam,
anggota DPR RI asal Aceh, M. Nasir Djamil, sekira pukul 14.20 WIB, Rabu siang
pekan lalu, tiba di Kantor Redaksi MODUS ACEH, Jalan Nyak Makam, Banda Aceh.
Hari
itu, dia didampinggi tiga asistennya. “Kami mau bersilaturrahmi dengan
kawan-kawan di MODUS,” begitu
kata Nasir pada Direktur Usaha Agusniar Muktar, SE dan Manejer Liputan Juli
Saidi, ketika menyambut anggota Komisi III DPR RI ini.
Kehadiran
Nasir, begitu dia akrab disapa, terkait masa reses ke Aceh. Itu sebabnya, dia mengunakan kesempatan untuk berkunjung ke
redaksi media ini. “Sudah lama ingin ketemu kawan-kawan di sini, tapi baru saat
ini kamu punya waktu. Padahal, saya ingin sekali hadir saat peringatan HUT MODUS ACEH Ke-12
lalu,” ujar Nasir.
Sayang,
kedatangan M. Nasir Djamil tak didampinggi sahabat lamanya Muhammad Saleh yang
juga Pimpinan Redaksi MODUS
ACEH.
Maklum, saat itu Saleh, sapaan akrab pimpinan redaksi media ini, sedang ada urusan di Kejaksaan Negeri
(Kejari) Banda Aceh. Ini terkait proses hukum lanjutan antara dirinya dengan
Haji Bakrie Bandar Dua. “Biasa, soal pemberitaan mesum yang berakhir di
pengadilan,” jelas Saleh, singkat.
Memang,
antara Saleh dan Nasir tak asing. Keduanya sempat sama-sama menjadi wartawan di
Harian Serambi Indonesia, Banda Aceh. Nasir kemudian memilih berkarir di
politik, sementara Saleh, hijrah ke Jakarta, melanjutkan profesinya sebagai
jurnalis.
Begitupun,
kunjungan satu jam tersebut bukan tanpa makna. Sebagai politisi senior Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir terlibat diskusi dengan awak media ini. Dia banyak
menyorot kebijakan Pemerintah Aceh yang dinilai belum sepenuhnya berpihak pada
rakyat.
Kata
Nasir, tiga tahun Pemerintah Aceh dibawah kepemimpinan dr. Zaini
Abdullah-Muzakir Manaf (ZIKIR), sarat dengan berbagai kepentingan ‘kelompok’
sehingga nyaris melupakan kebijakan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat
Aceh secara kolektif. Akibatnya sebut Nasir, muncul berbagai kelompok yang
tidak puas, baik secara terbuka maupun diam-diam. Salah satunya kata Nasir
adalah, Din Minimi dan kawan-kawan. “Ini yang terbuka dan terus terang mengaku
melawan, bukan berarti yang lain diam dan tak akan melawan. Jika dibiarkan
terus, ini bisa berbahaya dan menganggu kedamaian yang sudah sepuluh tahun
terajut di Aceh,” saran Nasir.
Menurut
Nasir, persoalan Din Minimi jangan dianggap sepele. Sebaliknya, Pemerintah Aceh
harus serius menangganinya. Termasuk aparat keamanan dan penegak hukum. Sebab,
aksi kriminal yang terjadi selama ini justeru dilakukan mantan kombantan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Memang, peristiwa seperti itu juga terjadi di
daerah lain, tapi karena bekas konflik bersenjata, makanya bila terjadi di
Aceh, bobot dan persoalannya menjadi lain,” nilai Nasir.
Karena
itu, Nasir Djamil juga meminta pemerintah pusat dibawah kepemimpinan Presiden
Jokowi untuk bersikap lebih arif, adil, bijaksana dan tegas terhadap Aceh.
“Kalau sudah dijanjikan, ya harus diberikan. Kalau tidak, ya tetap tidak. Jangan
digantung-gantung. Ini bisa kontra produktif terhadap perdamaian,” ungkap
Nasir.
Tak
hanya itu, Nasir Djamil menilai, maraknya peristiwa kejahatan bersenjata di
Aceh, tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah Aceh yang belum mampu membawa
Aceh seperti yang diharapkan, sehingga menilaikan sikap frustasi dari berbagai
pihak. Ini semua diakibatkan, karena kondisi dan distribusi ekonomi yang belum merata.
“Sehingga yang kering, membuat hujan dengan cara-cara yang brutal,” kata Nasir
berfilosofi.
Nasir
menilai, kejahatan bersenjata di Aceh memang tidak sama dengan yang terjadi di
daerah lain. Karena itu, tak relevan pula jika diselesaikan semata-mata dengan pendekatan
hukum. Sebaliknya, dengan pendekatan kesejahteraan dan pembangunan. “Karena
indikatornya kesejahteraan,” sambung Nasir.
Karena
itu Nasir berharap, kejahatan yang dapat menghambat pembangunan di Aceh jangan
dibiarkan berlarut, karena akan berimbas pada sektor investasi.
“Imbasnya
investor tidak ada yang mau datang,” ujar Nasir. Tidak hanya itu, menurut putra
Aceh kelahiran Medan, Sumatera Utara ini juga mengkritik lemahnya peran
intelijen di jajaran kepolisian di Aceh, untuk menditeksi dan mencegah potensi
timbulnya konflik baru di Aceh.
Dia
memberi contoh. Proses penyergapan Komeng alias Faisal di Limpok, Aceh Besar, Selasa
pekan lalu. Komeng merupakan komplotan Din Minimi yang hingga saat ini masih
buron.
Nasir
menyayangkan, kenapa harus mengerahkan 200 personil polisi hanya untuk
menyergap seorang Komeng. “Tentu bisa
menggunakan data intelijen, karena ini juga terkait dengan citra Gampong
Limpok,” kritik Nasir, alumni
Fakultas Dakwah,Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Ar-Raniry itu.
Karena
itulah, Nasir berpendapat, jika aksi kriminal bersenjata dianggap sebagai imbas
dari kebijakan Pemerintah Aceh yang tidak merata, kata Nasir Djamil, persoalan
bendera, juga menjadi salah satu penghambat kesejahteraan yang terjadi di Aceh.
Ini sejalan dengan memanasnya kembali isu bendera, setelah beberapa lama reda.
Padahal, sebelumnya Ketua DPP Pusat PA yang juga Wakil Gubernur Aceh H. Muzakir
Manaf dan Tuha Peut Partai Aceh yang juga Gubernur Aceh, dr. Zaini Abdullah,
sudah menyatakan tidak ada lagi masalah dengan bendera Aceh, jika pun berubah dan
tidak menyerupai bendera GAM.
Sekedar
menginggatkan, Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem pernah mengaku tidak masalah
jika pemerintah pusat mengubah sedikit komposisi Bendera Aceh, walau tidak sama
dengan Bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Saya pernah menyarankan kepada Gubernur dan DPRA
tentang perubahan sedikit Bendera Aceh,” kata
Muzakir kepada wartawan, Kamis, 20 Oktober 2011 lalu.
Pernyataan
ini diucapkan Mualem, karena pemerintah pusat tidak memberikan persetujuan
terhadap bendera yang diajukan tersebut. “Sampai kapan kita harus bertahan seperti
ini, sementara untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan infrastruktur, sesuai cita-cita
MoU Helsinki, Aceh masih butuh seluruh turunan UUPA yang belum diterbitkan
pusat,” kata Mualem waktu itu.
Gubernur
Aceh yang juga Tuha Peut Partai Aceh, dr. Zaini Abdullah pada wartawan saat coffe
morning di restoran Pendopo Gubernur, awal Februari 2015 lalu megatakan. “Rencana
perubahan bendera Aceh akan dilanjutkan dalam waktu dekat ini,” jelas Zaini.
Tapi,
belakangan Muzakir Manaf menarik kembali pernyataannya. Itu disampaikan dalam diskusi bersama Wakil
Ketua Komisi III DPR RI, yang juga Politisi Partai Gerindra, Desmon J Mahesa di
Kantor DPD Gerindra Aceh. “Kita tidak setuju adanya perubahan bendera
sebagaimana yang diminta oleh pemerintah pusat,” ucap Muzakir, Maret 2015 lalu.
Entah
itu sebabnya, Ketua Komisi I DPR Aceh Abdullah Saleh, SH malah menaikkan
bendera Bulan Bintang ke leher A. Hamid Zein, saat terjadi aksi penyerahan
bendera Aceh dari YARA kepada Komisi I di Halaman DPR Aceh, Senin pekan lalu.
Peristiwa
memalukan ini, disayangkan M. Nasir Djamil. “Seharusnya insiden ini tidak perlu
terjadi,” ungkap dia. Nasir menyarankan, seharusnya, ketika ada aspirasi
seperti itu, diterima oleh anggota dewan dan disampaikan kepada Sekretaris
Dewan (Sekwan). Sebab, komplek parleman Aceh itu berada pada tanggungjawab Sekwan.
“Termasuk urusan naik dan turun bendera,”
tegasnya.
Makanya,
Nasir Jamil meminta Presiden Jokowi untuk mengambil sikap tegas terhadap
persoalan bendera Aceh. Ini dimaksudkan, agar tidak berlarut-larut dan isu ini
dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang tidak
bertanggungjawab sebagai komoditas politik. “Ini sangat tidak sehat, makanya
kepala negara harus tegas,” sambung Nasir Djamil.
Karena
ketidaktegasan ini pula sebut Nasir Djamil, wajar jika rakyat Aceh mulai bertanya:
mana lebih penting kesejahteraan rakyat Aceh atau menaikkan bendera? “Banyak
orang bertanya begitu sekarang,” bebernya.
Menurut
Nasir Djamil, memang ada hal simbolis yang dibutuhkan rakyat Aceh. Tapi jangan
sampai hal tersebut menguras pikiran dan tenaga sehingga kesejahteraan sebagai
hal utama dan pokok, menjadi terabaikan. “Karena itu, sekali lagi, negara harus
mengambil sikap tegas soal bendera Aceh,” tutupnya.***
Sumber : Tabloid Modus Aceh