Mahasiswa UIN Ar-Raniry saat kuliah di GPIB |
Irwan Saputra
DUA bulan lalu, sekitar
20 mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry berkumpul di Geraja
Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB), Jalan Pocut Baren, Kampung Mulia,
Banda Aceh. Hari itu, Senin, 13 November 2014 silam.
Di gereja itu, mereka
menyerap pengetahuan soal persamaan hak perempuan yang diatur dalam agama
Kristen Protestan. Dinobat sebagai pemateri siang itu, tentu tokoh yang berpengetahuan
dibidang agama dimaksud, pendeta GPIB Domidoyo Ratupenu.
Pendeta asal Nusa
Tenggara Timur (NTT) ini menerangkan hak gender yang diatur dalam agamanya.
Domidoyo Ratupenu memberi kuliah selama satu jam. Transfer pengetahuan di luar
agama Islam dalam pemahaman gender dengan 20 mahasiswa di luar kampus siang
itu, didampingi dosen pengasuh mata kuliah gender, Rosnida Sari.
“Kami ke sana hanya untuk
mengetahui persepsi gender dari sudut pandang agama lain,” ujar beberapa
mahasiswa Rosnida Sari, Selasa pekan lalu. Karena alasan lain, mereka minta
indentitas mereka tak dipublikasi.
Awalnya, mahasiswa ini
berencana menyerap pengetahuan gender dari agama Hindu, tapi karena tidak ada
jawaban dari permintaan ini dari pemangku agama Hindu di Banda Aceh, maka beralih
pada GPIB.
“Awalnya kami mau mengetahui dari sudut pandang agama Hindu, karena tidak ada jawaban, kami memilih pergi
ke gereja GPIB,” kata mahasiswa
tadi, menceritakan.
Itu sebabnya, para mahasiwa
tak menyalahkan dosennya itu. Sebab, tujuan hanya semata-mata untuk memperkaya
pengetahuan dari sudut pandang agama. Selain itu mereka juga mengaku telah
banyak paham kedudukan perempuan dalam agama Islam.
“Kami telah banyak
mengetahui kedudukan perempuan dalam agama Islam, kan tidak salah kami
mengetahui dari sudut pandang agama lain, tentu mesti kami dengar langsung dari
tokoh agama lain,” kata mahasiswa tadi, menerangkan panjang lebar ikhwal mereka
bertemu pendeta GPIB, Domidoyo Ratupenu.
Saat ditanya bagaimana pemahaman gender dalam
agama Kristen Protestan yang diajarkan pendeta Domidoyo, mahasiswa ini
menjelaskan, dalam alkitab, perempuan di nomor duakan dari laki-laki, akan
tetapi ia sendiri mengaku bingung, disatu sisi mereka percaya alkitab, disisi
lain tidak menurutinya.
Rosnida Sari |
“Yang saya pahami, mereka protestan berpandangan kedudukan perempuan dengan
laki-laki sama saja, inikan berbeda dengan yang diajarkan dalam alkitab mereka,” jelasnya.
Sedangkan dalam Islam ia menambahkan, kedudukan
perempuan dan laki-laki telah diatur dalam Al-Quran dan kedudukannya pun sama di mata Tuhan, hanya
takwa yang membedakannya. “Kalau dalam Islam kan perempuan dimuliakan dan peranannya pun sesuai dengan
aturan yang ada, jadi tidak bisa semena-mena”. Dia menyebutkan contoh seperti dalam rumah tangga yang jadi pemimpinnya
adalah laki-laki. Dan tidak boleh perempuan.
Mahasiswa lain yang juga
ikut dalam studi gender di gereja GPIB mengaku, materi yang dijelaskan pendeta
Domidoyo Ratupenu, tidak ada unsur permurtadan. Mereka di gereja itu hanya
mendengar soal pemahaman gender dalam agama Kristen Protestan.
“Kami hanya mendengar pendeta menerangkan tentang kedudukan perempuan
dalam alkitab, kalau ada antara kami
yang tidak paham kami bertanya, lagi pula Ibu Sari juga ada di sana bersama kami,” jelasnya.
Karena itu, belasan mahasiswa
tadi mengaku, kecaman seperti yang diberitakan media pers berlebihan. Tapi
mahasiswa itu takut membantahnya karena bisa dianggap negatif oleh masyarakat,
karena tidak paham persoalan dan materi yang kami pelajari dari Pendeta GPIB
Domidoyo Ratupenu.
Setali tiga uang, pendeta
Domidoyo Ratupenu menambahkan, apa yang dibagi dengan mahasiswa jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam, UIN
Ar-Raniry siang itu, hanya soal kedudukan perempuan dalam alkitab tidak ada materi
yang mengarah pada kristenisasi.
Dia menerangkan, dalam alkitab milik agamanya perempuan memang lebih
rendah kedudukannya ketimbang laki-laki, akan tetapi sebagai penganut Kristen
Protestan ia berpandangan, ajaran tersebut harus dilihat secara konteks zaman,
karena alkitab ditulis di Israel yang sangat kental budaya patriarki. “Sekarangkan
perempuan boleh menjadi pendeta, jadi faktor budaya sangat berpengaruh dalam
menafsirkan alkitab” jelasnya.
Domidoyo Ratupenu
melanjutkan, pertemuan itu dilakukan atas permintaan Rosnida Sari pada Senin
pagi, 13 November 2014. Karena merasa siap, Domidoyo menyanggupinya. Begitupun
kata Domidoyo, mata kuliah yang dipaparkan tak menyimpang. Kata Domidoyo hanya
sebatas menerangkan kedudukan perempuan dalam alkitab.
Itu sebabnya, Domidoyo
mengaku kaget bila ada klaim pertemuan itu ada misi kristenisasi. “Saya hanya memaparkan kedudukan perempuan dalam al-kitab, tidak lebih
dari itu, jika dikatakan ada kristenisasi, perlu diketahui saya orang yang anti
kristenisasi”. Ditanyakan bagaimana maksudnya anti kristenisasi, ia
menjelaskan bahwa tugas gereja sekarang tidak lagi untuk mengajak orang agar
memeluk agama kristen, tetapi bagaimana caranya membangun peradaban yang baik,
tidak hanya sesama orang kristen tetapi juga dengan orang diluar kristen. “Maka kedudukan orang
kristen dan bukan kristen setara dalam membangun peradaban” jelasnya.
Salah seorang dosen Fakultas Dakwah UIN Ar-Raniry
yang tak mau namanya disebutkan menambahkan, apa yang dilakukan
juniornya-Rosnida Sari, itu hanya sebatas mendekatkan materi pada objek kajian
studi bidang gender yang diasuhnya.
Secara akademik kata
dosen tadi, tidak ada aturan yang dilanggar. Namun, dosen itu dapat memahami
apa yang telah dilakukan civitas akademika Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam
UIN Ar-Raniry. “Ini sangat dilematis, bila dekan tak bertindak dianggap tidak
bertanggungjawab, bila membela Rosnida, takut dikecam masyarakat,” katanya,
Senin pekan lalu.
Lanjutnya lagi, beragam
tanggapan muncul di media massa lebih mengarah pada perasaan emosional ke-Acehan
yang fanatik. Tapi, apa yang diberitakan
selama ini kata dosen tadi tak berimbang. Namun, secara etika katanya memang
kurang etis karena itu terjadi di Aceh.
“Semua ini hanya karena perasaan emosi masyarakat saja, dan juga akibat
pemberitaan yang tidak berimbang, secara akademik tidak ada yang dilanggar, apa
salah belajar ke gereja toh kita hanya ingin mengetahui semata, tentulah kita
harus mendengar dari mereka,”
ujarnya.
Kepala Dinas Syariat
Islam Aceh Syahrizal Abbas berpendapat, Rosnida Sari tidak salah dan tak ada
yang dilanggar. “Dalam kontek keilmuan, seperti ini lazim
terjadi, menuntut ilmu tidak ada batasannya,” katanya, Rabu pekan lalu.
Namun, dosen Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh mengaku tetap prihatin dengan
kondisi yang ada. Seharusnya, lanjut Syahrizal, Rosnida Sari dalam menambah
pengetahuan mahasiswa tentang gender, tidak melakukan pertemuan dalam
gereja. “Saya prihatin kenapa tidak digunakan tempat yang lain, karena belajar
ilmu Keislaman sangat terikat dengan nilai dan kultur setempat, hal ini mungkin bisa
dilakukan tempat lain,” ujarnya.
Syahrizal berharap,
masyarakat Aceh tetap santun karena Islam tidak mengajarkan sikap caci-maki. Ia
pun meminta agar semua pihak dapat menerima perbedaan pendapat.
Sementara itu, Dekan
Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam UIN Ar-Raniry Dr. A Rani Usman, M.Si
mengaku semua berkas sudah diserahkan ke Rektor UIN Ar-Raniry. “Ini tidak ada masalah apa-apa, hanya media yang membesar-besarkannya,” kata mantan calon Rektor UIN, Dr. A Rani
Usman, di Fakultas Dakwah, Senin pekan lalu.***
Sunber: Tabloid Modus Aceh
Sunber: Tabloid Modus Aceh