Monday, March 9, 2015

Rosnida “Ternoda” Karena Berita


Mahasiswa UIN Ar-Raniry saat kuliah di GPIB
Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, merestui ada pelajaran gender. Lalu, Rosnida Sari bernisiatif membuat perbandingan pengetahuan mahasiswa dengan pendeta GPIB. Mengapa harus di gereja?

Irwan Saputra

DUA bulan lalu, sekitar 20 mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam Universitas Islam  Negeri (UIN) Ar-Raniry berkumpul di Geraja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB), Jalan Pocut Baren, Kampung Mulia, Banda Aceh. Hari itu, Senin, 13 November 2014 silam.
Di gereja itu, mereka menyerap pengetahuan soal persamaan hak perempuan yang diatur dalam agama Kristen Protestan. Dinobat sebagai pemateri siang itu, tentu tokoh yang berpengetahuan dibidang agama dimaksud, pendeta GPIB Domidoyo Ratupenu.
Pendeta asal Nusa Tenggara Timur (NTT) ini menerangkan hak gender yang diatur dalam agamanya. Domidoyo Ratupenu memberi kuliah selama satu jam. Transfer pengetahuan di luar agama Islam dalam pemahaman gender dengan 20 mahasiswa di luar kampus siang itu, didampingi dosen pengasuh mata kuliah gender, Rosnida Sari.
“Kami ke sana hanya untuk mengetahui persepsi gender dari sudut pandang agama lain,” ujar beberapa mahasiswa Rosnida Sari, Selasa pekan lalu. Karena alasan lain, mereka minta indentitas mereka tak dipublikasi.
Awalnya, mahasiswa ini berencana menyerap pengetahuan gender dari agama Hindu, tapi karena tidak ada jawaban dari permintaan ini dari pemangku agama Hindu di Banda Aceh, maka beralih pada GPIB.
“Awalnya kami mau mengetahui dari sudut pandang agama Hindu, karena tidak ada jawaban, kami memilih pergi ke gereja GPIB,” kata mahasiswa tadi, menceritakan.
Itu sebabnya, para mahasiwa tak menyalahkan dosennya itu. Sebab, tujuan hanya semata-mata untuk memperkaya pengetahuan dari sudut pandang agama. Selain itu mereka juga mengaku telah banyak paham kedudukan perempuan dalam agama Islam.
“Kami telah banyak mengetahui kedudukan perempuan dalam agama Islam, kan tidak salah kami mengetahui dari sudut pandang agama lain, tentu mesti kami dengar langsung dari tokoh agama lain,” kata mahasiswa tadi, menerangkan panjang lebar ikhwal mereka bertemu pendeta GPIB, Domidoyo Ratupenu.
Rosnida Sari
Saat ditanya bagaimana pemahaman gender dalam agama Kristen Protestan yang diajarkan pendeta Domidoyo, mahasiswa ini menjelaskan, dalam alkitab, perempuan di nomor duakan dari laki-laki, akan tetapi ia sendiri mengaku bingung, disatu sisi mereka percaya alkitab, disisi lain tidak menurutinya.
Yang saya pahami, mereka protestan berpandangan kedudukan perempuan dengan laki-laki sama saja, inikan berbeda dengan yang diajarkan dalam alkitab mereka,” jelasnya.
Sedangkan dalam Islam ia menambahkan, kedudukan perempuan dan laki-laki telah diatur dalam Al-Quran dan kedudukannya pun sama di mata Tuhan, hanya takwa yang membedakannya.Kalau dalam Islam kan perempuan dimuliakan dan peranannya pun sesuai dengan aturan yang ada, jadi tidak bisa semena-mena”. Dia menyebutkan contoh seperti dalam rumah tangga yang jadi pemimpinnya adalah laki-laki. Dan tidak boleh perempuan.
Mahasiswa lain yang juga ikut dalam studi gender di gereja GPIB mengaku, materi yang dijelaskan pendeta Domidoyo Ratupenu, tidak ada unsur permurtadan. Mereka di gereja itu hanya mendengar soal pemahaman gender dalam agama Kristen Protestan.
“Kami hanya mendengar pendeta menerangkan tentang kedudukan perempuan dalam alkitab, kalau ada antara kami yang tidak paham kami bertanya, lagi pula Ibu Sari juga ada di sana bersama kami,” jelasnya.
Karena itu, belasan mahasiswa tadi mengaku, kecaman seperti yang diberitakan media pers berlebihan. Tapi mahasiswa itu takut membantahnya karena bisa dianggap negatif oleh masyarakat, karena tidak paham persoalan dan materi yang kami pelajari dari Pendeta GPIB Domidoyo Ratupenu.
Setali tiga uang, pendeta Domidoyo Ratupenu menambahkan, apa yang dibagi dengan mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam, UIN Ar-Raniry siang itu, hanya soal kedudukan perempuan dalam alkitab tidak ada materi yang mengarah pada kristenisasi.
Dia menerangkan, dalam alkitab milik agamanya perempuan memang lebih rendah kedudukannya ketimbang laki-laki, akan tetapi sebagai penganut Kristen Protestan ia berpandangan, ajaran tersebut harus dilihat secara konteks zaman, karena alkitab ditulis di Israel yang sangat kental budaya patriarki. “Sekarangkan perempuan boleh menjadi pendeta, jadi faktor budaya sangat berpengaruh dalam menafsirkan alkitab” jelasnya.
Domidoyo Ratupenu melanjutkan, pertemuan itu dilakukan atas permintaan Rosnida Sari pada Senin pagi, 13 November 2014. Karena merasa siap, Domidoyo menyanggupinya. Begitupun kata Domidoyo, mata kuliah yang dipaparkan tak menyimpang. Kata Domidoyo hanya sebatas menerangkan kedudukan perempuan dalam alkitab.
Itu sebabnya, Domidoyo mengaku kaget bila ada klaim pertemuan itu ada misi kristenisasi. “Saya hanya memaparkan kedudukan perempuan dalam al-kitab, tidak lebih dari itu, jika dikatakan ada kristenisasi, perlu diketahui saya orang yang anti kristenisasi”. Ditanyakan bagaimana maksudnya anti kristenisasi, ia menjelaskan bahwa tugas gereja sekarang tidak lagi untuk mengajak orang agar memeluk agama kristen, tetapi bagaimana caranya membangun peradaban yang baik, tidak hanya sesama orang kristen tetapi juga dengan orang diluar kristen. “Maka kedudukan orang kristen dan bukan kristen setara dalam membangun peradaban” jelasnya.
Salah seorang dosen Fakultas Dakwah UIN Ar-Raniry yang tak mau namanya disebutkan menambahkan, apa yang dilakukan juniornya-Rosnida Sari, itu hanya sebatas mendekatkan materi pada objek kajian studi bidang gender yang diasuhnya.
Secara akademik kata dosen tadi, tidak ada aturan yang dilanggar. Namun, dosen itu dapat memahami apa yang telah dilakukan civitas akademika Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam UIN Ar-Raniry. “Ini sangat dilematis, bila dekan tak bertindak dianggap tidak bertanggungjawab, bila membela Rosnida, takut dikecam masyarakat,” katanya, Senin pekan lalu.
Lanjutnya lagi, beragam tanggapan muncul di media massa lebih mengarah pada perasaan emosional ke-Acehan yang  fanatik. Tapi, apa yang diberitakan selama ini kata dosen tadi tak berimbang. Namun, secara etika katanya memang kurang etis karena itu terjadi di Aceh.
“Semua ini hanya karena perasaan emosi masyarakat saja, dan juga akibat pemberitaan yang tidak berimbang, secara akademik tidak ada yang dilanggar, apa salah belajar ke gereja toh kita hanya ingin mengetahui semata, tentulah kita harus mendengar dari mereka,” ujarnya.
Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Syahrizal Abbas berpendapat, Rosnida Sari tidak salah dan tak ada yang dilanggar. “Dalam kontek keilmuan, seperti ini lazim terjadi, menuntut ilmu tidak ada batasannya,” katanya, Rabu pekan lalu.
Namun, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh mengaku tetap prihatin dengan kondisi yang ada. Seharusnya, lanjut Syahrizal, Rosnida Sari dalam menambah pengetahuan mahasiswa tentang gender, tidak melakukan pertemuan dalam gereja.  “Saya prihatin kenapa tidak digunakan tempat yang lain, karena belajar ilmu Keislaman sangat terikat dengan nilai dan kultur setempat, hal ini mungkin bisa dilakukan tempat lain,” ujarnya.
Syahrizal berharap, masyarakat Aceh tetap santun karena Islam tidak mengajarkan sikap caci-maki. Ia pun meminta agar semua pihak dapat menerima perbedaan pendapat.

Sementara itu, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam UIN Ar-Raniry Dr. A Rani Usman, M.Si mengaku semua berkas sudah diserahkan ke Rektor UIN Ar-Raniry. “Ini tidak ada masalah apa-apa, hanya media yang membesar-besarkannya, kata mantan calon Rektor UIN, Dr. A Rani Usman, di Fakultas Dakwah, Senin pekan lalu.***

Sunber: Tabloid Modus Aceh

Gurihnya Pendapatan ‘Dukun’ Skripsi


Ilustrasi
Bisnis jasa pembuatan karya tulis ilmiah berkedok konsultan, kian menjamur di Tanah Rencong. Pasarnya tak hanya menyasar mahasiswa S1, tapi juga S2 dan S3. Omsetnya hingga ratusan juta per tahun. Luar biasa!

Irwan Saputra

SURYA (samaran), bukanlah manajer di perusahaan multinasional. Dia tidak pula tercatat sebagai anak konglemerat. Tapi soal pendapatan, Surya tak kalah dari para jutawan. Lewat profesi informal yang digelutinya selama ini, dia berhasil meraup omset hingga ratusan juga per tahun. 
Bayangkan, hanya dalam waktu tak lebih dari dua tahun, dia berhasil membeli satu unit mobil Honda Jazz senilai Rp 230 juta lebih. “Saya sedang mengincar Honda CBR seharga Rp 125 juta. Saat ini baru terkumpul Rp 83 juta,” kata Surya bangga, saat bincang-bincang dengan MODUS ACEH, di kawasan Darussalam Banda Aceh, awal pekan lalu.
Ya, banyak cara untuk menghasilkan rupiah. Dari yang benar-benar legal, sampai dengan cara-cara yang salah atau setidaknya menyerempet ranah etika akademis. Salah satunya, sebagai pembuat karya tulis ilmiah (skripsi, tesis dan disertasi) para calon sarjana.
Nah, profesi itulah yang kini berhasil merubah kehidupan Surya. Dia, misalnya, tak merasa berat meminang seorang wanita dengan mahar 25 mayam emas pada 2013 lalu. Uang “hangus” ditambah biaya partisipasi resepsi yang disyaratkan keluarga mempelai wanita, juga dijabaninya. “Semua terpenuhi dari penghasilan menyusun karya tulis para mahasiswa,” ungkap dia.
Profesi ini sudah dilakoni Surya sejak beberapa tahun terakhir dan diawali dari sekedar membantu teman. Kini, sudah tak terhitung berapa skripsi mahasiswa yang dibuatnya. Untuk gelombang wisuda pada Februari 2015 ini saja, sedikitnya 28 mahasiswa dari berbagai fakultas di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan UIN Ar-Raniry Banda Aceh, menggunakan jasanya untuk membuat skripsi. Tentu, tak hanya mahasiswa S1, tapi juga S2 dan S3. “Untuk tesis, ada tiga orang yang saya buat semester ini,” akunya.
Menurut Surya, para mahasiswa masih begitu lemah menyusun skripsi secara mandiri. “Seperti milik salah satu mahasiswa S2. Hancur sekali. Terpaksa saya rombak dari BAB I sampai selesai,” kata Surya yang juga mahasiswa S2 ini. Fenomena inilah yang menjadi peluang “basah” bagi Surya. Dari awalnya membantu teman, dia akhirnya menjadikan ini sebagai bisnis.
Untuk satu skripsi mahasiswa UIN Ar-Raniry, dia mematok Rp 2,5 juta. Khusus untuk bahasa Inggris dan Arab, tarif yang dikenakan Rp 3 juta. Sedangkan untuk skripsi kalangan mahasiswa Unsyiah, dia memberi harga Rp 4 juta untuk semua jurusan.
Beda halnya dengan skripsi, harga satu tesis (karya tulis mahasiswa S2) jauh lebih tinggi. “Saya patok Rp 10 juta. Tahun ini ada tiga, mereka mahasiswa Unsyiah, jurusan Fisika, Ekonomi, dan Hukum,” ungkap dia.
Bagi Surya, membuat karya tulis tersebut tidaklah sulit. Hanya dalam waktu tiga pekan, dia bisa menyelesaikan orderan itu. “Saya kerja ngebut. Dominan kerjanya malam, dan itu memang ekpress,” katanya.
Saat ini, kata Surya, dia mampu menangani skripsi semua jurusan yang ada di Unsyiah dan UIN Ar-Raniry. “Baru-baru ini anak Informatika juga sudah ambil. Mahasiswa dari Semarang juga ada yang buat pada saya dan itu saya kirim melalui email,” kata Surya buka kartu. Dengan kemampuannya itu, tak heran, oleh kalangan akademisi, orang yang berprofesi seperti Surya dikenal dengan julukan “Dukun Skripsi”.
Kalangan mahasiswa di Darussalam memang umumnya mengetahui profesi Surya. Tapi Surya tetap memasarkan bisnisnya itu untuk menjaring lebih banyak ”pasien”. Itu dilakukannya dengan melakukan promosi lewat internet. “Saya iklankan di blog dengan menyertakan nomor yang bisa dihubungi,” katanya.
Kepada calon pasien yang menghubungi, kata Surya, dia tidak pernah lupa menanyakan jadwal sidang dan wisuda agar bisa dia sesuaikan. “Saya kejar target, setahun minimal 30 karya tulis ilmiah. Tapi dengan mengedepankan prinsip: pasien puas dan saya enak. Tidak akan saya lalaikan,” katanya.
Menurut Surya, sebelum menulis, dia pelajari dulu materi awal yang diserahkan kliennya. “Kemudian baru cari bahan. Yang penting daftar isinya sudah sinkron, kalau ada yang belum sinkron saya sinkronkan,” katanya. Yang lebih menguntungkan Surya, dia sudah mengenal semua karekter penguji, khususnya dari kalangan dosen di UIN Ar-Raniry. Inilah yang memudahkan kliennya saat saat menjalani sidang.
Dalam menjalankan profesinya ini, Surya bukannya tak pernah menghadapi tantangan. Dia bahkan pernah disidang para dosen Fakultas Syariah UIN Ar-Raniry Banda Aceh, karena ketahuan membuat skripsi mahasiswa di sana. “Kamu buat skripsi orang, membodohi orang,” kata Surya meniru dosen yang mencecarnya.   “Ndak Pak. Mahasiswanya yang minta buat, bagaimana coba? Ketimbang meninggal dunia lantaran beratnya tekanan skripsi. Saya jawab begitu,” kata Surya, enteng.
Para dosen tak berhenti begitu saja. Mereka bahkan mengancam akan merekomendasikan untuk mencabut ijazah Surya.  Tapi Surya melawan. Menurut Surya, ancaman itu jelas tak relevan karena memang tidak ada aturan yang bisa mencabut ijazah pembuat skripsi mahasiswa. Bahkan, kata dia, banyak doktor dan profesor yang ikut membuat karya tulis mahasiswanya.
“Doktor lain yang buat skripsi orang, menciplak skripsi orang, itu bukan plagiat namanya? Bapak, dekan lagi, mungkin bapak buat buku itu, belum tentu hasil karya bapak. Isi buku bapak ambil di internet. Artikel-artikel lain bapak ambil juga dari internet. Itu saya sampaikan kepada dekan saat saya ditanya. Dan, dosen itu kemudian diam,” cerita Surya.
Bagi Surya, apa yang dilakukannya justru membantu citra UIN Ar-Raniry Banda Aceh di mata publik menjadi positif. Menurut dia, ketika mahasiswa banyak yang tidak lulus, lantas di publikasi oleh media, tentu lembaga yang akan menanggung malu.
“Bapak mau pilih yang mana, diberitakan di koran banyak mahasiswa UIN yang tidak lulus, meninggal atau sakit jiwa atau mereka membuat skripsi pada orang lain,”  tanya Surya kepada dosen yang memprotes bisnisnya itu. Alhasil, para dosen pun melunak. “Ya sudah, kali ini kami maafkan kamu. Boleh kamu buat, asalkan jangan transaksi di kampus,” kata Surya, mengulang saran sang dosen tadi.
Menurut Surya, beratnya tekanan skripsi memang sering kali membuat depresi mahasiswa tingkat akhir. Tak jarang, kata Surya, ada yang berujung pada gangguan jiwa.
Surya mengisahkan,  salah seorang rekan seangkatannya sampai gila lantaran depresi berat akibat skripsi yang terus ditolak. Prilakunya berubah drastis, seperti, berbicara sendiri sampai banting-banting barang yang ada di dekatnya. “Dia sempat masuk rumah sakit jiwa, meski saat ini sudah dibawa pulang ke kampung,” cerita Surya.
Kata Surya, mahasiswa tersebut takut pada salah seorang dosen, tak usahlah disebut namanya, di tempat dia menimba ilmu. Dosen itu, kata dia, terlalu berat memberikan pertanyaan dan kerap mempersulitnya. “Karena mentalnya tidak kuat, dia jadi down,” kenang  Surya. Menurut Surya, dia telah menyampaikan apa yang dialami rekan seangkatannya itu pada dosen dimaksud. 
”Dosen itu mengelak. Kenapa saya yang disalahkan?” kata Surya meniru ucapan dosen itu. Tapi mulai saat itu, dosen “killer” ini perlahan berubah dan sedikit melunak serta mulai sedikit melonggarkan urusan tugas akhir para mahasiswanya.
Sejurus dengan itu, para “dukun” skripsi ini juga kian bertambah. Salah seorang penjajak jasa pembuatan skripsi lainnya yang ditemui MODUS ACEH pekan lalu mengatakan, peluang bermain di bisnis ini memang cukup menjanjikan. “Sambil menambah wawasan dan bisnis. Dari pada ndak ada kegiatan,” katanya.
Dari perspektif bisnis, menjalankan usaha ini boleh dikatakan tak ada salahnya. Namun, dari sisi akademis, khususnya bagi kalangan mahasiswa, ini jelas persoalan. Itu sebabnya, tak sedikit yang menyayangkan keberadaan para “dukun” skripsi ini. “Saya sangat prihatin, sebagai dosen yang pernah membimbing, sudah sangat sering saya temukan mahasiswa yang buat skripsinya pada orang lain,” kata EMK Alidar, akademisi UIN Ar-Raniry Banda Aceh pada MODUS ACEH pekan lalu.
Menurut Alidar, maraknya mahasiswa menjalankan praktik “pelacuran” akademis ini bukan hanya membuat malu para dosen pembimbing, tapi juga institusi pendidikan. “Lembaga ini juga dilecehkan,” kata dia. Menurut Alidar, dunia akdemik adalah dunia idealisme. Tapi dengan suburnya praktik seperti itu, maka tidak ada lagi yang idealis dan dapat dipercaya.

Salah satu cara untuk menekan praktik ini, kata Alidar, dengan memberikan sanksi, khususnya bagi pebisnis jasa pembuatan skripsi. Alidar menyebutnya: Dukun Skripsi! Misal, kata Alidar, dengan mencabut ijazah para dukun skripsi, jika memang dia alumni mahasiswa di sana. “Saya pernah mendapat (dukun skripsi). Dia malah alumni UIN Ar-Raniry dan, mampu membuat skripsi untuk semua jurusan,” ungkap Alidar. Begitu mudahkah? Entahlah.***

Sumber : Tabloid Modus Aceh

Dari Magister Sampai Doktor


Ilustrasi
Diam-diam, tak sedikit S2 dan S3 yang juga menggunakan jasa pihak ketiga untuk memuluskan langkah mendapat gelar Master dan Doktor. Penelusuran media ini, bahkan menyerempet nama sejumlah akademisi dari UIN Ar-Raniry dan Unsyiah Banda Aceh.

SUATU hari pada 2014 lalu. Sejumlah dosen salah satu fakultas, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, menggelar siding khusus. Surya (samaran), salah seorang mahasiswa, dihadirkan kehadapan sidang itu. Tapi bukan lantaran dia sedang menyelesaikan tugas akhir. Sebaliknya, para dosen menilai bisnis yang dijalankan Surya berbenturan dengan aturan akademik. Ya, Surya memang berprofesi sebagai salah satu pembuat skripsi mahasiswa. “Kamu buat skripsi orang, mau membodohi orang,” kata Surya meniru ucapan para dosen yang menyidangnya kala itu.
Jelas saja Surya membantah. Pemuda ini membela diri. Kepada para dosen, dia menjelaskan bisnisnya itu “halal”. Apalagi, menurut Surya, para mahasiswa lah yang memintanya untuk membantu. Menurut Surya, bisnisnya itu sekaligus menyelamatkan citra salah satu universitas di Darussalam tersebut. “Bapak pilih yang mana? Diberitakan di koran karena banyak mahasiswa UIN tidak lulus, banyak yang sakit jiwa bahkan meninggal dunia, atau membiarkan kami membantu mereka menyelesaikan skripsinya. Saya katakan begitu pada mereka,” ungkap Surya kepada media ini, Selasa pekan lalu.
Diam-diam, sejumlah dosen terkesan dengan kemampuan Surya. Apalagi dia memang sudah dikenal memiliki kemampuan dalam menulis karya tulis ilmiah. Bukan hanya untuk level skripsi, tapi juga tesis dan disertasi. “Salah seorang memanggil saya usai sidang itu. Dia minta dibuat disertasinya,” aku Surya.
Pria yang mengaku berhasil meraup ratusan juga rupiah per tahun dari bisnis jasa pembuatan karya tulis ilmiah ini mengangguk setuju. Dosen itu, tak usahlah disebut namanya, lantas menyerahkan sebuah surat penelitian. Sisanya, diolah oleh Surya, termasuk semua data dan materi disertasi.
Untuk jasanya itu, Surya menarik biaya Rp 50 juta. Dia mengaku menyelesaikan disertasi itu dalam waktu tiga bulan. “Sudah selesai saya buat. Filenya ada disini,” kata Surya sambil menunjukkan satu flashdisk. Untuk UIN Ar-Raniry, Surya memiliki dua klien untuk program doktoral. Keduanya adalah dosen di salah satu fakultas di sana. Satu dosen lainnya, Surya mematok Rp 35 juta untuk satu disertasi yang dia tulis.
Sedangkan untuk tesis, saat ini Surya mengerjakan tiga karya tulis ilmiah milik mahasiswa Fakultas Hukum, Fisika dan Ekonomi Unsyiah. Untuk tesis ini, dia memungut biaya senilai Rp 10 juta.
Eksistensi Surya di bidang penulisan karya ilmiah memang tak hanya diketahui mahasiswa, tapi juga kalangan dosen. Inilah yang membuat sejumlah kalangan gerah karena bisnisnya itu dianggap membawa pembodohan bagi mahasiswa. Bahkan, ijazahya sempat teracam dicabut. Tapi Surya berhasil membela diri. Alhasil, ijazahnya tidak jadi dicabut. Dia hanya diperingati untuk tidak melakukan transaksi di kampus.
Surya memang bukan satu-satunya yang berprofesi sebagai pembuat karya tulis ilmiah.  Profesi yang dikalangan akademisi dikenal dengan “dukun” skripsi ini juga kabarnya dilakoni kalangan akademisi itu sendiri. Tak sedikit karya tulis mahasiwa S2 dan S3 justru dikerjakan oleh oknum dosen yang bergentayangan di dunia akademik.  Baik di Unsyiah, UIN Ar-Raniry serta sejumlah perguruan tinggi swasta lainnya yang ada di Banda Aceh serta beberapa kota lain di Aceh.
Seorang sumber MODUS ACEH di salah satu Program Magister di Unsyiah mengaku ikut membuat tesis mahasiswa S2. Umumnya, kata dia, tesis tersebut milik mahasiswa yang tak sempat mengerjakan sendiri karena alasan padatnya aktivitas. “Kebanyakan dari kalangan legislatif dan birokrat,” ungkap dia.

Sumber media ini yang lain juga mengatakan, banyak pihak yang kini merambah bisnis tersebut. Di Banda Aceh saja, katanya, lebih dari 20 akademisi yang diketahui berprofesi sebagai dukun skripsi. Faktanya, dari hasil penelusuran media ini memang menunjukkan sahihnya apa yang dikakatan sumber tadi memang benar-benar adanya. Bisnis ini memang begitu menggiurkan.***

Pakar Pendidikan, Prof. Dr. Darwis Soelaiman, MA: Secara Akademik, Itu Kejahatan



Prof. Dr. Darwis Soelaiman, MA
Dunia akademik kian mengarah pada titik nadir. Idealisme kalangan mahasiswa semakin luntur. Proses akademik untuk mendapat gelar sarjana tak lagi berjalan seusai norma. Skripsi kini tak lagi “sakral”. Itu bisa diwakilkan pada pihak ketiga hanya dengan merogoh kocek Rp 3 juta. Menjalani sidang formalitas, lantas di wisuda dan dapat gelar sarjana.
Fenomena ini jelas tak bisa dibiarkan jika tak ingin lulusan dunia pendidikan tinggi menyandang gelar dengan kemampuan abal-abal. “Universitas harus menjalankan aturan,” kata pakar pendidikan, Prof. Dr. Darwis Soelaiman, MA pada MODUS ACEH, saat ditemui di kediamannya, Kamis pekan lalu.
Para mahasiswa juga penting diberi kesadaran. Menitipkan tugas akhir pada pihak lain, tak hanya memalukan, tapi juga pembodohan, penipuan dan yang jelas merugikan diri sendiri. “Ini kejahatan akademik,” kata Prof Darwis. Tak kecuali dosen pembimbing, yang memiliki tanggung jawab dalam membina mahasiswa secara mandiri, untuk menyusun tugas akhirnya sampai selesai. “Perannya jangan hanya numpang nama saja,” kritif Prof Darwis.
Nah, apa dan bagaimana pendapat Prof Darwis Soelaiman, ihwal maraknya praktik culas para mahasiswa itu? Irwan Syahputra mewawancarai guru besar ini.
***
Muncul fakta, sejumlah mahasiswa membuat skripsi dan tesis mengunakan jasa orang lain. Pendapat Anda?
Jika benar terjadi, itu sangat disayangkan. Secara akdemik itu ilegal. Dalam dunia perguruan tinggi tidak dibenarkan. 
Mengapa?
Karena yang dinilai mahasiswanya, bukan penulisnya. Ini kalau disuruh buat pada orang lain, sedangkan yang dinilai adalah mahasiswa, inikan penipuan namanya.  Ya tidak ada bedanya dengan plagiat. Dalam dunia akademik, plagiat, mencontek, juga termasuk menyuruh buat karya tulis pada orang lain, lantas mengaku itu karya orisinil miliknya. Ini kejahatan akademis!
Bagaimana aturan yang berlaku bagi mahasiswa yang ketahuan menjalankan praktik culas ini?
Mungkin ada (aturan) di universitas. Itu seharusnya  telah dibuat dalam aturan akdemik. Tapi saya yakin itu ada diatur dalam aturan akademik. Kalau merujuk pada peraturan akademik, itu bisa dikatakan kejahatan. Itu penipuan.
Tapi untuk itu, mahasiswa membayar?
Ya, memang ada karya tulis yang dibolehkan membayar jasa pihak ketiga, seperti biografi. Misal, saya tidak ada waktu untuk menulis biografi. Maka saya minta orang lain, kemudian dia tulis, sumbernya dari saya juga, ini boleh dan tidak apa-apa. Hasilnya nanti masyarakat yang menilai. Buku dipublikasi dengan nama penulisnya juga tercantum di sana.
Contoh Presiden Soekarno dulu. Biographinya dibuat oleh Sidi Adam. Soekarno cerita pada Sidi Adam, lantas dirangkumnya dalam tulisan. Tapi untuk skripsi, tesis dan disertasi, ini tidak sama. Bukan masyarakat yang memberi penilaian, tapi akademik. Jadi, tak semuanya bisa dibeli dengan uang.  Tapi faktanya memang ini sudah dari dulu ini terjadi, bahkan doktor ada yang sudah dicabut disertasinya gara-gara ketahuan. Ini soal etika. Ilmu itu ada etikanya.
Apakah ada hubungan dengan dosen pembimbing yang tidak maksimal?
Saya rasa ada kaitannya. Jangan-jangan pembimbing hanya tumpang nama saja. Buktinya, kenapa dia dengan mudah meneken dan mengakui.
Sejauh apa tanggung jawab dosen pembimbing terhadap mahasiswa yang sedang menyusun tugas akhir?
Tanggung jawab dia sampai selesai. Seperti membantu mahasiswa untuk menyelesaikan skripsi dalam bidang ilmu pengetahun. Disamping, mahasiswa ini yang harus lebih aktif.
Bagaimana Anda menilai mahasiswa lulus dengan skripsi bantuan dari orang lain?
Itu tidak legal. Kalau kualitas mereka, saya tidak tahu. Meski dia pandai, tapi ketika buat karya ilmiah pada orang lain, itu melanggar hukum. Saya yakin, dia akan kelabakan dihadapan penguji nanti. Karena dia tak menguasai materi.
Jika terbukti menggunakan jasa pihak lain, kira-kira apa sanksinya?
Menurut peraturan akademik, kalau perlu dipecat. Tapi harus ada bukti, karena mereka juga tidak mau mengaku kalau itu bukan dia yang buat. Malulah dia, kalau dia yang diuji tapi orang lain yang buat. Jadi, universitas harus menerapkan aturan akademik,  yang tidak mengikuti aturan, harus dihukum. Dunia akdemis, beda dengan budaya pasar, bisnis. Tidak bisa orang yang jadi doktor, tapi desertasinya dibuat oleh orang lain. Tidak bisa!
Kalau plagiat harus di adili, dan harus dicabut ijazahnya. Sama halnya dengan buat skripsi pada orang lain. Hal semacam ini tak ada bedanya dengan plagiat. Kita ambil pendapat orang lain kemudian kita katakan pendapat kita. Skripsi ini begitu juga, orang lain yang buat, kita katakan ini kita yang buat, malah lebih bahaya dari plagiat. Kalau plagiat mungkin hanya beberapa paragraf, tapi ini semunya jiplak. Ini kejahatan dan harus dihukum.
Bagi dunia pendidikan, apa dampak dari fenomena ini?
Kalau ini sudah membudaya, rusak dunia pendidikan. Dan ini kejahatan. Kalau begini model dunia pendidikan kita, siapa lagi yang bisa percaya?***

Sumber: Tabloid Modus Aceh


Memilih Biro Jasa di Kampus Darussalam


Ilustrasi
Untuk berbagai alasan, tak sedikit mahasiwa memilih jalur pintas menggunakan jasa pembuatan skripsi. Lantas mengklaim karya ilmiah itu adalah orisinil. Terjadi pembohongan intelektual.

Irwan Saputra

PEMUDA itu merogoh kantongnya, dan mengeluarkan sebungkus rokok. Dia ambil sebatang, dan menyulutnya dengan korek api. Dihirupnya dalam-dalam, lantas menyembulkan banyak asap ke udara. Segelas kopi yang teronggok di depannya, langsung diseruput.  “Ayo Bang, apa yang bisa saya bantu?” tanya pemuda itu memulai percakapan.
Hari itu, Senin, 9 Januari 2015 di sebuah kafe, kawasan Darussalam, Banda Aceh. Pemuda itu, sebut saja Roni (samaran), terlihat cukup percaya diri. Tanpa sungkan, apa lagi menyesal, dia mengisahkan proses pembuatan tugas akhirnya. “Iya Bang, saya buat (skripsi) pada orang lain,” katanya.
Roni adalah seorang mahasiswa semester akhir di salah satu fakultas, di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh. Untuk tujuan menimba ilmu, dia datang ke Banda Aceh dari Kabupaten Aceh Selatan, empat tahun lalu. Orang tuanya di kampung, rutin mengirim Roni uang untuk biaya pendidikan. “Tapi kalau tahun ini tidak wisuda, ayah tak kirim lagi,” katanya. “Karena saya tak sunggup membuat karya ilmiah, maka saya percayakan pada orang lain”.
Roni sadar dan mengaku dirinya bodoh. Tapi bukan berarti dia tak memiliki hasrat untuk cepat wisuda, apalagi memang sudah mendapat ultimatum dari sang ayah. “Saya cari informasi dari teman-teman. Dan memang sudah rahasia umum bahwa dekat kampus ada jasa pembuatan skripsi,” katanya.
Roni merogoh koceknya Rp 2,5 juta untuk pembuatan skripsi itu. Dia juga tak sungkan memberi bonus, jika orderannya itu selesai cepat waktu. “Ya setidaknya Rp 200 ribu lah,” ungkap dia. Roni sebetulnya mafhum, keputusan yang diambilnya adalah salah. Dia juga bisa dicerca dosen pembimbing bila diketahui tak membuat skripsi secara mandiri.  “Makanya saya tidak pernah mau bilang kalau skripsi saya orang lain yang buat. Selain malu, bisa dianulir nanti,” katanya.
Roni bukanlah satu-satunya mahasiswa yang menggunakan jasa pihak lain untuk urusan pembuatan skripsi. Melati (samaran), juga mahasiswa UIN Ar-Raniry, mengaku melakukan hal serupa. Untuk alasan yang sangat sederhana: laptop rusak, Melati menyerahkan tanggung jawabnya itu pada orang lain. Padahal, Melati sudah memulai menyusun BAB I, II dan III. “Maklum Bang laptop second hand. Karena kejar sidang bulan ini, maka akhirnya saya cari orang lain,” katanya.
Untuk urusan pembuatan skripsi itu, kata Melati, dia merogoh kocek Rp 1 juta. “Awalnya diminta Rp 2 juta. Saya katakan: ‘Itukan cuma sedikit lagi. Mahal banget. Saya cuma punya Rp 1 juta. Kalau Anda mau saya serahkan pada Anda.’ Akhirnya dia mau,” cerita Melati.
Beda dengan Roni, Melati tak merasa harus malu bila skripsi hasil buatan orang lain tersebut dia klaim sebagai karya orisinilnya. “Untuk apa malu, toh hampir 50 persen mahasiswa bikin skripsi pada orang lain,” katanya.
***
SUDAH sangat kurang apresiasi tinggi pada seorang mahasiswi. Begitu jarang mahasiswa berani berdebat secara ilmiah saat menghadapi lima dosen pengujinya. Dia tak lagi mempertahankan karya ilimiahnya dengan penuh semangat, tanpa “ketakutan” sedikit pun yang tergambar di wajahnya.
“Mereka kebanyakan langsung keluar ketika usai sidang,” kata EMK Alidar, akademisi UIN, yang juga salah seorang pembimbing skripsi mahasiswa pada MODUS ACEH, pekan lalu.  Alhasil, sidang tugas akhir terkesan hanya sebuah formalitas, jauh dari atmosfir akademik. Wajah mahasiswa penuh ketegangan, ketakutan, dihantui rasa non akademis dan bersalah.
Potret ini sangat kontras bila skripsi tersebut murni buatan seorang mahasiswa akhir. “Saya sangat prihatin, sebagai dosen yang pernah membimbing, sudah sangat sering saya temukan mahasiswa yang buat skripsi pada orang lain,” ungkap Alidar.
Menurut Alidar, maraknya mahasiswa menjalankan praktik “pelacuran” akademis ini bukan hanya membuat malu para dosen pembimbing, tapi juga institusi pendidikan. “Lembaga juga dilecehkan,” kata dia. Menurut Alidar, dunia akdemik adalah dunia idealisme. Tapi dengan suburnya praktik seperti itu, maka tidak ada lagi yang idealis dan dapat dipercaya.
Salah satu cara untuk menekan praktik ini, kata Alidar, dengan memberikan sanksi, khususnya bagi pebisnis jasa pembuatan skripsi. Alidar menyebutnya: Dukun Skripsi! “Saya pernah mendapat (dukun skripsi). Dia malah alumni UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Dia mampu membuat skripsi semua jurusan,” katanya.
Dalam sebulan, katanya, sang dukun mampu merampungkan tiga judul skripsi mahasiswa. “Kalikan saja kalau Rp 2 juta per skripsi. Besar gaji dia dari dosen,” katanya.
Itu sebabnya, kata Alidar, perlu kesadaran semua pihak, terutama mahasiswa dan dosen pembimbing. Menurut Alidar, sejumlah dosen pembimbing memang terkesan tak peduli masalah ini. Padahal, katanya, mereka tahu persis jika skripsi si mahasiswa itu dibuat orang lain. “Masak bisa selesai satu bulan. Itukan tak logis jika merujuk pada proses yang ada,” katanya. Menurut dia, seharusnya, mahasiswa wajib melalui proses tersebut hingga memakan waktu beberapa bulan.
Penasehat Rektor Unsyiah Prof. Dr. Darwis Soelaiman, MA mengatakan, secara akdemik skripsi hasil buatan orang lain adalah ilegal. “Dalam dunia perguruan tinggi tidak dibenarkan. Kenapa tidak dibenarkan? Karena itu sifatnya penipuan,”  katanya.
Logikanya, kata Prof Darwis, ini juga tak fair. Sebab, skripsi dibuatkan pihak lain, sedangkan yang dinilai adalah mahasiswa. “Ini penipuan, ya tidak ada bedanya dengan plagiat. Dalam dunia akademik, melakukan plagiat, mencontek,  termasuk menyuruh buat karya tulis pada orang lain, lantas mengaku itu adalah karya orisinilnya, sama dengan kejahatan,” jelasnya.
Prof Darwis menilai, maraknya praktik pembuatan skripsi pada pihak lain ada kaitannya dengan tak maksimalnya fungsi dosen pembimbing. “Apakah pembimbing hanya numpang nama saja? Mengapa dia dengan mudah meneken dan mengakui. Inikan aneh,” kata dia. Seharusnya, kata dia, dosen pembimbing tahu persis ihwal skripsi mahasiswanya. Sebab, pembimbing juga punya tanggung jawab dalam mengarahkan mahasiswa menyusun tugas akhirnya secara mandiri hingga selesai.***

Sumber: Tabloid Modus Aceh

Mengungkap ‘Bisnis Jasa’ Pembuatan Skripsi, Tesis dan Disertasi


Ilustrasi
Skripsi adalah karya ilmiah yang wajib disusun mahasiswa sebagai syarat mendapat gelar sarjana. Faktanya, ada begitu banyak mahasiswa yang tak mampu menyusun karya ilmiah mereka secara mandiri. Alhasil, jadilah ini sebagai peluang bisnis bagi penyedia jasa pembuat tugas akhir.
Berkedok jasa konsultan, pasarnya tak hanya menyasar mahasiswa strata satu (S1). Diam-diam, ada mahasiswa S2 dan S3, yang juga menggunakan jasa pihak ketiga untuk memuluskan langkahnya mendapat gelar master dan doktor.
Penelusuran MODUS ACEH, ada sejumlah nama akademisi di Universitas Syiah Kuala dan UIN Ar-Raniry Banda Aceh bergelar S1, S2 dan S3 yang pembuatan disertasinya menggunakan biro jasa tak resmi itu. Tak heran, bisnis inipun menjadi semakin menggiurkan. Para pemain di sektor ini mampu meraup keuntungan hingga ratusan juta rupiah per tahun.
Dari perspektif bisnis, menjalankan usaha ini boleh dikatakan tak ada salahnya. Sejauh punya kemampuan menyusun karya ilmiah, ada pelanggan yang mengorder, siapa saja bisa menangkap peluang tersebut. Namun, dari sisi akademis dan etika, khususnya bagi kalangan mahasiswa, ini jelas persoalan. Paling tidak, pengguna jasa alias mahasiswa, menjadi tak memahami apa isi dan tujuan dari tugas akhir yang menjadi tanggung jawabnya selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Ini juga berkorelasi langsung pada kapabilitas dan kompetensi para mahasiswa, khususnya setelah lulus dan masuk ke dalam ketatnya persaingan dunia kerja. Di sisi lain, ada potensi plagiat yang sebetulnya merugikan pihak lain.
Pakar Pengamat pendidikan Prof. Dr. Darwis Soelaiman, MA mengatakan, secara akdemik, skripsi yang dihasilkan dengan menggunakan jasa pihak lain, dianggap ilegal. “Di dunia perguruan tinggi tidak dibenarkan,” katanya pada Irwan Saputra dari media ini, saat ditemui di kediamannya, Sektor Timur, Darussalam, Banda Aceh, Kamis pekan lalu. “Kenapa tidak dibenarkan? Karena yang dinilai mahasiswanya, bukan penulisnya.”
Menurut Darwis, hal tersebut juga bagian dari penipuan. “Ya tidak ada bedanya dengan plagiat. Menyuruh orang lain membuat, lantas mengaku dia yang buat. Ini bisa disebut juga kejahatan.”
            Nah, apa sebetulnya alasan sejumlah mahasiswa sehingga rela merogoh kocek untuk membayar pembuatan skripsi pada pihak lain? Sadarkah mereka bila perbuatan itu bertentangan dengan etika, masuk dalam katagori penipuan dan merugikan diri sendiri? Bagaimana pula status sejumlah akademisi bergelar master dan doktor yang disertasinya diduga tak murni buatan sendiri, sementara mereka menduduki jabatan publik? Apa pula tanggapan para pemain di bisnis pembuatan jasa karya ilmiah ini? Dadang Heryanto dan Irwan Syahputra dari MODUS ACEH menulisnya untuk laporan Utama pekan ini. Berikut laporannya.

Sumber : Tabloid Modus Aceh