Saturday, March 28, 2015

Realisasi E-KTP Minim, Jaringan Dituding



Ilustrasi
Disdukcapil Abdya hanya mampu mencetak lima lembar e-KTP dalam sehari. Jaringan lelet di siang hari dijadikan alasan. Ogah lembur malam hari.

Irwan Saputra

Sebagai Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, M. Nasir G boleh dikatakan lihai berkelit. Minimnya realisasi E-KTP di Abdya, dinilainya lantaran rendahnya kapasitas jaringan yang tersedia. Ketersediaan bandwithd internet, katanya, sangat kecil sehingga menyulitkan proses up load data hasil perekaman.
Menurut Nasir, mereka menggunakan jaringan Indosat sesuai intruksi pusat. Jika di Aceh Selatan mendapat bandwithd 1 Megabyte (MB) per second untuk dua saluran, katanya, Abdya hanya 1 MB untuk 16 saluran. Jadi sangat kecil, ini rata-rata pagi kami hanya bisa cetak lima lembar, kalau malam bisa kami cetak seratus lembar, kata Nasir, Senin pekan lalu.
Tapi karena alasan tak ada anggaran untuk lembur, maka pihaknya tak berkerja malam hari. Imbasnya, baru sekitar 60 persen warga Abdya yang telah mengantongi KTP elektronik saat ini. Selebihnya masih memakai KTP lama atau bahkan tidak lagi memiliki KTP, karena kadaluarsa.
Kata Nasir, kecilnya kouta internet tidak hanya dialami Abdya. Tapi juga  Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat, dan Singkil.  M. Nasir sendiri tidak mengetahui kenapa jaringan di sana lelet. Dari delapan kecamatan, katanya, hanya satu diantaranya yakni Kecamatan Blang Pidie, yang memiliki jaringan cukup baik. “Saya tidak tahu kenapa Kecamatan Blang Pidie bagus jaringan internetnya, mungkin karena pusat kota dan dekat dengan kantor kita. Untuk warga Blang Pidie, kami bisa mencetak dalam sehari. Tapi untuk kecamatan lain bisa sampai berbulan-bulan,” katanya.

Menurut Nasir, proses perekaman data masyarakat dilakukan di kecamatan. Setelah melakukan perekaman di kantor kecamatan, datanya lantas dikirim ke pusat. Nah dari pusat ini dikirim ke kita,” paparnya. Untuk persoalan ini, Nasir berniat untuk mendatangi kantor Administrasi Kependudukan (Adminduk) di Kementrian Dalam Negeri di Jakarta. “Ini saya rencana mau ke Jakarta, mau tanya kenapa jaringan untuk Abdya kecil,” katanya.
Sebagai penyedia jasa, Indosat jelas membantah pengakuan Nasir tersebut. Rizal Fahmi, S.Kom Teknisi Bidang e-KTP Regional Aceh mengatakan, untuk urusan jaringan mereka memberikan kouta Bandwidth (disebut juga Data Transfer atau Site Traffic) yang sama untuk setiap daerah. “Intruksi dari pusat (Kementrian Dalam Negeri) yaitu 1 MB jaringan untuk kantor Dinas, 256 kbps untuk jaringan di kecamatan. “Tidak mungkin kecil, bagaimana mungkin kecil,” jelas  Rizal Fahmi pada media ini Jumat pekan lalu.
M. Nasir
Memang pihaknya tidak menampik jika jaringan terkadang bermasalah. Namun, masalah di lapangan tidak hanya karena jaringan, terkadang juga masalah di server, seperti kerusakan mesin perekam data. “Kalau di server kan bukan tanggung jawab Indosat lagi, server itu tanggung jawab adminduk,” tambah Rizal.
Masih menurut Rizal, jika benar itu karena gangguan jaringan pihaknya akan segera memperbaiki bila ada laporan. Tapi menurutnya, Kabupaten Aceh Barat Daya tidak melaporkan keluhan tentang jaringan.Pernah ada masalah, seperti di Semeulu dan Gayo Luwes tapi begitu dapat informasi kami langsung ke lapangan untuk memperbaiki jaringan. Tapi Abdya kok tidak pernah melaporkan keluhan kepada kami, lagian kami juga mengontrolnya selalu melalui monitor,” tuturnya.
”Kalau kepala Dinas Abdya tidak melapor ke Indosat, bisa juga melapor ke Adminduk di Jakarta, toh mereka nanti juga akan melapor pada kita untuk diperbaiki.
Rizal menambahkan, jaringan yang disediakan untuk e-KTP sebetulnya berbeda dengan jaringan seluler, yang hanya menggunakan pemancar radio. Khusus untuk jaringan e-KTP pihaknya memakai sistem VSAT (Very Small Aperture Terminal), jadi langsung terhubung ke satelit, sehingga jaringannya jarang terganggu. “Jaringan seluler Indosat memang sulit di daerah, karena tidak menggunakan VSAT, beda dengan jaringan yang kita sediakan untuk pembuatan e-KTP. Kita pakai Vsat yang langsung menghubungkan antara jaringan satelit-ke satelit sehingga jaringannya sama seluruh indonesia,jelas Rizal.
Very Small Aperture Terminal yang merupakan stasiun penerima sinyal, dari satelit dengan antena penerima berbentuk piringan dengan diameter kurang dari tiga meter. Fungsi utama dari Vsat adalah untuk menerima dan mengirim data ke satelit. Sedangkan satelit berfungsi sebagai penerus sinyal untuk dikirimkan ke titik lainnya di atas permukaan bumi, “Jadi tidak mungkin jaringan kecil untuk Abdya,” timpalnya.
Apapun itu alasannya, masyarakat Abdya telah begitu jenuh berurusan untuk pembuatan e-KTP di daerahnya. Karena hingga saat ini masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan e-KTP seperti yang diharap. ”Kita bisa terima kalau ada kerusakan mesin, atau jaringan, tapi menjadi aneh kalau kendala itu bertahun-tahun seperti ini” kata Husein Jamali, warga Abdya pada media ini Senin pekan lalu.***


Sumber : Tabloid Modus Aceh

Nasib Miris Pasien Tanpa KTP Elektronik


Ilustrasi
Meski sudah menjadi urusan daerah, proses pembuatan E-KTP tetap tak mudah. Di Abdya, masih begitu banyak masyarakat yang belum memiliki identitas kewarga negaraan. Ini sangat menyulitkan warga yang sedang sakit.

Irwan Saputra

            Duduk di sudut lobi Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Aceh Barat Daya, Erni, sabar menanti namanya dipanggil petugas. Sesekali, ia belai kepala putranya yang terlihat rewel. Maklum, hari itu, Disdukcapil Abdya sedang dipadati pengujung dengan beragam tujuan. Suasana riuh membuat anaknya yang masih balita, gerah.
            Seperti warga lainnya, wanita 25 tahun itu datang untuk mengurus dokumen administrasi kependudukan. “KTP abang saya. Dia sedang terbaring di rumah sakit, jadi saya yang harus mengurusnya,” kata Erni saat bincang-bincang dengan MODUS ACEH, Senin pekan lalu.
            Erni memang terpaksa mengambil alih urusan pembuatan KTP saudara kandungnya tersebut. Itu sebabnya, hampir satu bulan dia mondar-mandir rumah sakit-Disdukcapil untuk sebuah identitas kependudukan.
            Tak hanya itu, Erni harus melakukan ini lantaran mereka hanya dua bersaudara. Praktis tidak ada orang lain yang bisa diharapkan. Ismail, abang kandung Erni, terbaring di rumah sakit sejak sebulan yang lalu. Yang jadi soal, tanpa KTP, mereka tak mendapat pelayanan kesehatan yang dicover pemerintah. “Ini yang sangat menyulitkan. Di tengah himpitan ekonomi, kami harus mencari biaya lagi untuk obat-obatan,” katanya lirih.
            Menurut Erni, jauh hari sebetulnya Ismail sudah mengurus pembuatan KTP tersebut. Apalagi, sejak enam bulan lalu, kata Erni, KTP Ismail memang sudah tak berlaku lagi. Sesuai anjuran pemerintah, setiap warga negara harus melakukan perekaman ulang data untuk KTP Elektronik. “Tapi proses terbitnya e-KTP itu sangat lama hingga akhirnya abang saya jatuh sakit,” kata Erni.
***
E-KTP atau KTP Elektronik adalah program prestisius pemerintah pusat. Ini sudah dicanangkan sejak 2011 melalui Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia. Pada 2014 lalu, urusan ini sudah dilimpahkan ke kabupaten/kota. Karena itu, semestinya proses pembuatan e-KTP jadi lebih mudah.
Faktanya, masih begitu banyak masyarakat yang belum memiliki KTP elektronik. Parahnya lagi, KTP yang mereka miliki saat ini sudah kadaluarsa. Untuk melakukan perpanjangan juga sangat lama.
Mantan Keuchik Blang Panyang, Kecamatan Kuala Batee, Abdya, Husen Jamali mengaku sudah jenuh dengan urusan pembuatan KTP ini. Sejak Januari 2015 lalu, dia sudah menerima aneka alasan dari dinas terkait. “Ada saja alasannya. Kesalahan mengimput data di Kantor Camat lah, minimnya bandwithd internet, hingga kerusakan mesin perekam,” katanya.
Karena penantian yang berujung jenuh ini, banyak warga akhirnya tidak mau berurusan lagi dengan petugas di Kantor Disdukcapil. Mereka pasrah menunggu meski harus menjalani hari tanpa identitas. “Mereka seperti tidak ikhlas membantu masyarakat membuat e-KTP, masak sudah lima tahun masih belum siap-siap,kata Husen Jamali, Senin pekan lalu.
Agus Munis, pemuda Gampoeng Blang Panyang memilih untuk tidak memperpanjang masa berlaku KTP non elektroniknya, karena perekaman data e-KTP di Kantor Camat Kuala Batee sudah dilakukannya sejak 2013. Sedangkan untuk menyambung masa berlaku KTP non elektronik memakan waktu beberapa hari kerja, bahkan sampai sebulan.
“Kalau saya bolak-balik ke kantor kependudukan kapan saya kerja, biar saya tunggu saja e-KTP, terserah kapan keluarnya,” katanya.
Ihwal ruwetnya pengurusan KTP di Disdukcapil Abdya juga diakui Sulaiman, warga Kecamatan Kuala Batee. Kenyataan itu bahkan sempat membuat Sulaiman naik pitam. Alhasil dia pernah membentak petugas pembuatan KTP di Disdukcapil, karena untuk memperpanjang masa beralaku KTPnya dia diminta untuk menunggu selama dua minggu. “Tidak mau saya tunggu,” ujarnya.
Rupanya cara-cara kasar terkadang dibutuhkan untuk merangsang etos kerja aparatur di sana. Hasilnya cukup positif. Satu jam menunggu KTPnya bisa dibawa pulang,” katanya.
            Camat Kuala Batee, Khairuman saat ditemui media ini di kantornya mengakui bahwa warga Kuala Batee banyak yang mengeluh karena belum mendapatkan e-KTP. Ia menjelaskan, ini dikarenakan kesalahan ketika menginput data, sehingga data e-KTP yang sudah dicetak di pusat, terpaksa dikembalikan karena banyak yang salah.
            “Kalau dulukan kita berhubungan dengan pusat, tapi sekarang sudah bisa cetak di daerah, jadi kalau sudah perekaman data di kantor camat bisa langsung cetak sehari siap di kantor Disdukcapil, dengan membawa persyaratan seperti surat rekomendasi telah melakukan perekaman data dari kita, fotocopy KK (kartu keluarga) dan fotocopy slip pembayaran pajak bumi,” ujarnya, Senin pekan lalu.
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) M. Nasir G Yang dikonfirmasi media ini membantah jika banyak masyarakat Abdya yang mengeluh. Dia balik menilai, justru masyarakat yang tidak mau berhubungan dengan pihaknya atau masyarakat yang tidak tahu prosedurnya.
”Sekarangkan sudah mudah, usai perekaman di kantor camat tinggal kita print saja, kalau belum melakukan perekaman, maka harus melakukan perekaman dulu mungkin akan memakan waktu 14 hari karena datanya kita kirim ke Jakarta untuk diinput,” katanya, Selasa pekan lalu.
Tapi Nasir juga beralasan jika pihaknya memiliki kendala. Ketersediaan bandwithd internet, katanya, sangat kecil sehingga menyulitkan proses up load data. Menurut Nasir, mereka menggunakan jaringan Indosat sesuai intruksi pusat. Jika di Aceh Selatan mendapat bandwithd 1 Megabyte (MB) per second untuk dua saluran, Abdya hanya 1 MB untuk 16 saluran.
Jadi sangat kecil, ini rata-rata pagi kami hanya bisa cetak lima lembar, kalau malam bisa kami cetak seratus lembar, katanya. Tapi karena alasan tak ada anggaran untuk lembur, maka pihaknya tak berkerja malam hari.
Nasir menambahkan, diantara sembilan kecamatan di Kabupaten Abdya hanya Kecamatan Blang Pidie yang jaringannya cukup bagus. Ia mengaku kalau untuk kecamatan lain harus menunggu hingga empat belas hari, namun khusus Kecamatan Blang Pidie bisa siap sehari. “Saya juga tidak tahu kenapa Kecamatan Blang Pidie bisa siap sehari, saya juga mau tanya ke pusat kenapa demikian,” tutupnya.
Namun, pengakuan Nasir dibantah Camat Kecamatan Blang Pidie Adnan, SH. Kepada media ini  dia mengaku warga di kecamatannya masih mengeluh karena e-KTP tak kunjung selesai. “Tidak, masyarakat saya masih banyak yang belum mendapatkan e-KTP buktinya mereka masih mengeluh pada saya karena belum siap e-KTPnya,” katanya pada media ini Selasa pekan lalu.
Pengakuan terkait kecilnya kuota jaringan seperti yang diakui Kepala Disdukcapil Abdya M. Nasir G, SH juga dibantah pihak Indosat (Baca: Realisasai e-KTP Minim, Jaringan Dituding). Teknisi e-KTP Regional Aceh, Rizal Fahmi, S.Kom, yang ditemui media ini mengaku semua kabupaten/kota di Aceh bandwidthnya sama, yaitu 1 MB untuk Disdukcapil, 256 Kilobyte untuk kecamatan. “Itu intruksi dari pusat,” ujar Rizal yang ditemani Afwan, Fahrurrazi, S,Kom, Jum`at Pekan lalu.***


Sumber: Tabloid Modus Aceh

Sunday, March 22, 2015

Bu Wali Beri Kami Solusi



Kebijakan Walikota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal menutup jalan menuju Pelabuhan Ulee Lheue, menuai beragam pendapat. Anggota DPRK setempat menyarankan agar dicari solusi yang tepat. Termasuk, mengoptimalkan penerangan jalan dan peningkatan peran Satpol PP/WH.  

Irwan Saputra

            TIGA tahun bukanlah waktu singkat untuk menanti satu keputusan. Apalagi, menyangkut hajat hidup rakyat kecil. Tapi, penantian panjang itulah yang dialami warga, tokoh pemuda dan masyarakat Gampong Ulee Lheue, Banda Aceh.
Ini terkait dengan kebijakan Walikota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal, yang menutup jalan menuju Pelabuhan Ulee Lheue sejak 2013 lalu. Padahal, para pemuda setempat berharap, Walikota Banda Aceh tak hanya lihai mengeluarkan sanksi, tapi juga harus cerdas dan bijak dalam memberi solusi.
”Dulu rencananya hanya sementara, tapi hingga saat ini belum dibuka, kami tidak tahu kenapa,” ujar Ketua Pemuda Gampoeng Ulee Lheue, Sofyan Hadi pada media ini, Rabu dua pekan lalu.
Memang, kebijakan penutupan jalan menuju kawasan wisata pantai dan pelabuhan ini bukan tanpa sebab. Walikota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal berdalih. Aturan itu diberlakukan, semata-mata untuk menghalau adanya praktik maksiat yang dilakukan warga Kota Banda Aceh, khususnya para remaja. Maklum sajalah, sebelum dinyatakan tertutup sejak pukul 18.00 WIB saban hari. Kawasan ini kabarnya, kerap dijadikan lokasi khalwat oleh para remaja, terutama pada malam hari.
Praktik tak elok ini semakin menjadi-jadi, karena diduga ikut diback-up (dukung) oleh oknum aparat tertentu. Bahkan, beberapa oknum mendirikan usaha makanan dan minuman, yang diselinggi dengan musik live, seperti karoeke. Nah, merasa gerah dengan perilaku tersebut, sejumlah kaum perempuan pun melakukan aksi demontrasi dan protes kepada Walikota Banda Aceh. Mereka meminta agar orang nomor satu Kota Banda Aceh, menutup kawasan tadi. Hasilnya, Illiza memenuhi tuntutan kaum perempuan ini.
Begitupun, penilaian yang terkesan pukul sama rata ini diprotes sejumlah pedagang kecil di sana.“Kalau hanya karena beberapa orang yang pacaran lalu kami yang jadi korban, itu tidak adil namanya,” kata Kak Nong, salah seorang pedagang jagung bakar di lokasi itu pada media ini, Rabu pekan lalu.
Wali Kota Banda Aceh, Illiza
Pengakuan serupa juga disampaikan Amri. Dia mengaku, pendapatannya turun drastis sejak penutupan jalan tersebut diberlakukan. Ayah dua anak ini menyatakan kecewa dengan kebijakan tersebut. “Jika hanya karena alasan maksiat, kenapa tidak diberikan penerangan lampu jalan serta menempatkan petugas Satpol PP/WH serta melibatkan tokoh pemuda dan masyarakat gampong. Toh, kami juga tidak akan membiarkan jika ada warga yang melanggar syariat,tegas Amri, Rabu dua pekan lalu.
Gayung rupanya bersambut. Keluhan warga tadi ditanggapi Irwansyah ST, anggota Komisi C DPRK Banda Aceh. Menurut dia, apapun kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Kota Banda Aceh, sebaiknya tidak bersifat berat sebelah. Artinya, satu pihak untung, tapi di sisi lain ada yang dirugikan. Terutama menyangkut hajat hidup dan ekonomi rakyat kecil.  “Satu sisi Syari`at Islam harus berjalan, di sisi lain pedagang kecil juga tidak boleh diabaikan. Disinilah dibutuhkan solusi dan kearifan dari pemimpin. Mari kita cari solusi bersama,” usul politisi PKS ini.
Itu sebabnya kata Irwansyah, kebijakan Walikota Banda Aceh yang menutup akses jalan menuju kawasan wisata dan Pelabuhan Ulee Lheue sejak pukul 18.00 WIB, perlu didiskusikan kembali. “Ini untuk win-win solusi. Kebijakan berjalan, keinginan pedagang juga terpenuhi. Namun satu hal, warga setempat harus benar-benar menjaga kawasan ini agar tidak ternoda oleh para pelanggar syariat Islam,” ujar Irwansyah.
Irwansyah mengaku, dia belum memahami secara utuh mengenai kebijakan penutupan jalan tadi. Sebab, dia baru dipercaya rakyat sebagai anggota DPRK Banda Aceh, hasil pemilu legislatif 2014 lalu. “Kalau ditanya apakah kebijakan Walikota itu tepat, saya kira sah-sah saja. Namun, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk mencegah munculnya praktik maksiat. Karena, semua bumi Allah ini yang saya pahami berpotensi untuk melakukan pelanggaran syariat. Hanya saja, tugas kita bersama untuk mencegahnya,” kata Irwansyah.
Karena itu, salah satu solusi yang bisa dilakukan sebut Irwansyah adalah, Walikota Banda Aceh memasang lampu penerangan sepanjang jalan menuju kawasan pantai Ulee Lheue. Termasuk, menempatkan pos dan anggota Satpol PP/WH. “Tentu, ini ranahnya Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh dibawah kendali Muzakir Tuloet. Kewenangan ada di tangan dia,” usul Irwansyah.
            Terkait nasib dan keluhan pedagang kecil di sana, Irwansyah mengaku akan membicarakan masalah ini dengan kawan-kawannya di Fraksi PKS serta beberapa fraksi lainnya di DRPK Banda Aceh.
“Kami akan diskusi dan mencari solusi yang tepat, karena pantai Ulee Lheue sangat potensial untuk dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata kota. Tentu saja, ini menjadi pekerjaan rumah (PR) anggota dewan dan Pemkot Banda Aceh, ucap Irwansyah.
Itu sebabnya, Irwansyah sepakat dengan saran dan pendapat agar Walikota Kota Banda Aceh, tidak gegabah dan asal main tutup terhadap satu kawasan, tanpa memikir pihak lain yang dirugikan.Jangan ketika ada masalah langsung ambil tindakan dengan menutup. Padahal, masih bisa diupayakan solusi alternatif dengan tetap memberi ruang pada pedagang untuk bisa berjualan. Ya itu tadi, kita berikan lampu penerangan jalan sehingga tidak memberi peluang bagi orang untuk berbuat mesum,” kritik Irwansyah.
Menurut dia, Pantai Ulee Lheue sudah dikenal masyarakat sebagai kawasan wisata Kota Banda Aceh. “Jadi, kalau dibiarkan saja sayang. Sebaiknya, dikelola dengan melakukan penertiban,” ujarnya.
Irwansyah memberi contoh tentang kawasan penjualan batu akik dan giok. Sebelumnya, kawasan itu berupa rawa-rawa dan semak belukar. Namun, setelah ditata dengan baik, maka memberi manfaat bagi warga kota serta pedagang.
Irwansyah mengaku optimis langkah tersebut bisa dilakukan Walikota Banda Aceh. Asalnya, ada niat dan kemauan, apalagi sangat didukung warga dan tokoh masyarakat setempat. “Informasi yang saya terima dari Geuchik Ulee Lheue, di sana ada kelompok sadar wisata. Nah, kenapa tidak kita maksimalkan saja kelompok ini, termasuk menempatkan anggota Satpol PP/WH Kota Banda Aceh,” usul Irwansyah. Bagaimana Bu Wali? Beri mereka solusi***

sumber: Tabloid Modus Aceh


Wednesday, March 11, 2015

Hukum Ditepis, Norma Ditegakkan


Pantai Ulee Lheue Banda Aceh
Ada syarat yang dapat dilakukan untuk menutup jalur atau jalan. Pertama, harus ada jalan alternatif dan kondisional. Kedua, untuk jalan nasional dan provinsi, harus ada izin dan  hanya untuk kepentingan umum yang bersifat nasional. Konsekuensi hukum dari pihak yang menutup jalan adalah, bertanggung jawab baik secara pidana maupun perdata.
***
    FENOMENA penutupan jalan memang banyak terjadi di Indonesia, tak kecuali Banda Aceh. Dan, itu kerap ditemui para penguna jalan serta warga kota. Padahal, untuk umum seperti jalan nasional dan jalan provinsi, dapat ditutup sebagian dengan alasan kegiatan resepsi perkawinan, acara kematian atau acara keagamaan serta kunjungan kepala negara atau Presiden RI.
Namun faktanya, hampir sebagian kebijakan penutupan jalan dilakukan sepihak. Ironisnya, para pemangku kebijakan seperti Walikota dan Bupati, bahkan tidak menyatakan pernyataan maaf atas gangguan fasilitas umum (fasum) tersebut. Misal, memasang rambu pengalihan jalur lalu lintas atau bentuk informasi lain.
Khusus untuk kawasan perkotaan seperti Banda Aceh, penutupan jalan untuk acara tertentu, mulai dirasakan warga kota sangat menggangu aktifitas pengguna jalan. Efeknya, kemacetan terjadi saat kegiatan berlangsung. Selain merugikan waktu, banyak masyarakat yang terganggu.
“Penutupan jalan memang diizinkan, namun wajib memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UU No 22/2009, tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ),” jelas Kombes Pol. Samsul Bahri, Dirlantas Polda Aceh kepada media ini pekan lalu. 
Begitupun sebut Samsul Bahri, dibolehkan oleh UU, bukan berarti tata etika dan kesalamatan di jalan raya, diabaikan begitu saja. Jika melanggar, secara pidana akan dijerat dengan Pasal 274 ayat (1) dan Pasal 279 UU LLAJ dengan ancaman satu tahun penjara.
Secara perdata dapat digugat dengan dasar hukum perbuatan melawan hukum, vide Pasal 1365 KUH Perdata. Jika penutupan jalan melawan hukum tersebut menimbulkan kecelakaan yang mengakibatkan kematian orang lain, maka dapat dikenakan pasal pidana kelalaian mengakibatkan orang lain meninggal dunia (Pasal 359 KUHP) dengan ancaman pidana lima tahun penjara.
Ketiga, penutupan jalan kota/kabupaten dan jalan desa dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional, daerah, dan/atau kepentingan pribadi. “Di sini jelas bahwa, penutupan jalan untuk kepentingan pribadi seperti resepsi pernikahan hanya mungkin diizinkan pada jalan kota/kabupaten dan jalan desa,” ulas Kombes Pol. Samsul Bahri.
Tak hanya itu, pelaksanaan pengalihan lalu lintas akibat penutupan jalan tersebut harus dinyatakan dengan rambu lalu lintas sementara. Dan, para pemangku kebijakan harus mengajukan permohonan izin penggunaan jalan diluar peruntukannya. Pemberian izin tersebut setelah pihak yang berkepentingan mengajukan permohonan terlebih dahulu pada jajaran kepolisian setempat.
Kombes Pol. Samsul Bahri
“Setelah mendapatkan izin, selanjutnya pihak kepolisian akan menempatkan personilnya di jalan yang dialihkan sementara tersebut,” jelas Kombes Pol. Samsul Bahri kepada media ini.
Entah itu sebabnya, Kepada Dinas Perhubungan  Kota Banda Aceh, Muzakir Tulot, sempat mengkritisi kebijakan Walikota Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal. Katanya, penutupan jalan di kawasan pantai menuju fasilitas negara yaitu Pelabuhan Ule Lhe, tidak dibenarkan secara hukum dan aturan. Apalagi bersifat permanen. Itu diakui mantan Camat Ule Lhe Yusnardi yang kini Kepala Satpol PP/WH Kota Banda Aceh.
“Saat Musrembang lalu di Kantor Bappeda Banda Aceh, saya ditegur Kadis Perhubungan Banda Aceh, Muzakir Tulot. Katanya, penutupan jalan negara tidak dibenarkan,” ungkap Yusnardi.
Karena itulah, alasan tingginya tingkat kerawanan perbuatan maksiat, sehingga dilakukan penutupan jalan oleh Walkota Banda Aceh, dianggap bukan solusi tepat. Apalagi, penutupan jalan menuju kawasan dan Pelabuhan laut Ule Lhe pada malam hari, direncanakan bersifat tetap.
Amatan media ini, kawasan Pantai Wisata Ulee Lhee Banda Aceh memang saban hari ramai dikunjungi warga. Alasannya beragam. Ada yang ingin menikmati keindahan alam, menyantap jagung bakar serta melepas penat, setelah seharian berjibaku dengan tugas rutin.
Jika melihat keindahan alam, kawasan ini memang sangat potensial untuk menjadi sumber pemasukan bagi daerah (PAD) Kota Banda Aceh dan penduduk setempat. Terutama pedagang kecil yang berjualan di sepanjang jalan.
Tapi apa lacur, jalan negara yang menghubungkan Kota Banda Aceh dengan Sabang dan Pulau Aceh (Aceh Besar) ini, telah di palang dengan dalih penerapan Syariat Islam. Ironisnya, tidak ada pihak yang berani mempertanyakan kebijakan Walkot Banda Aceh tersebut. Alasannya, takut dituduh tidak mendukung pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah.
Koramil Kecamatan Meuraxa Lettu. ARH. Hamka Siregar kepada media ini mengaku prihatin dengan nasib pedagang kecil di kawasannya. Itu akibat penutupan jalan tadi. “Memang kita akui, para pedagang merasa kebaratan, tapi saat saya masuk ke sini, jalan tersebut sudah ditutup,” jelasnya pada media ini, Rabu pekan lalu.
Siregar menambahkan, sebagai unsur Muspika Kecamatan Meuraxa, dia bersedia kerjasama dengan Satpol PP/WH Kota Banda Aceh untuk menjaga kawasan pantai tersebut agar terbebas dari praktik maksiat.
“Jika Pemerintah Kota Banda Aceh mengajak kami untuk bersama-sama menjaga tempat wisata yang selama ini dianggap menjadi tempat praktik maksiat, mereka saya menyambutnya dengan tangan terbuka,” kata Siregar.
Pengakuan serupa juga disampaikan Kapolsek Meuraxa Iptu. Budiman. “Jika untuk kemajuan Kota Banda Aceh, ya kami akan mendukungnya. Apapun itu,” kata Budiman singkat.
Sementara itu, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (PP) dan Wilayatul Hisbah (WH) Yusnardi, S.,STP., M.Si juga mengaku. Penutupan jalan negara tersebut melanggar aturan. Meski demikian, dia memandang kebijakan yang diambil pimpinannya, Illiza Sa`aduddin Jamal sudah tepat.
Menurut dia, kebijakan itu atas pertimbangan kemaslahatan umat, karena masyarakat Ulee Lhee dan sekitarnya adalah korban tsunami, 26 Desember 2004 silam.
“Memang kalau dari sisi peraturan tidak dibenarkan,  karena hanya Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh dan Kepolisian (Dirlantas) Polda Aceh yang bisa mengatur seluruh jalan negara. Tapi,  dalam hal-hal sensitif seperti Kota Banda Aceh yang menerapkan Syariat Islam secara kaffah, maka faktor norma juga harus menjadi pertimbangan Walkot Banda Aceh, untuk mencegah dan mengurangi tingkat pelanggaran syariat,” jelas Yusnardi.
Tak hanya itu, Yusnardi juga menambahkan. “Terkadang, karena alasan norma tertentu dan khusus, bisa saja penegakkan hukum diabaikan untuk sementara. Apalagi, untuk hal-hal yang bersifat khusus seperti penegakkan Syariat Islam. Tentu ada pertimbangan lain dari  pimpinan,” ulasnya, setengah membela kebijakan Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal.
Semudah itukah? Agaknya, pimpinan dan anggota DPRK Kota Banda Aceh perlu mengkaji dan mengevaluasi kembali kebijakan ini. Sebab, jangan sampai warga kota menilai: karena kelemahan eksekutif dan legislatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka melahirkan kebijakan yang seolah-olah kreatif. Padahal, sesungguhnya kontra produktif dengan aspirasi dan keinginan rakyat.
Contohnya ya itu tadi. Kalau memang diduga rawan maksiat, kenapa di kawasan itu tidak dipasang lampu penerangan jalan. Membuat pos dan menempatkan anggota Satpol PP/WH untuk bertugas serta menjalin kerjasama dengan Polsek, Koramil serta tokoh masyarakat dan pemuda Gampong Ule Lhe. Bukan sebaliknya, hanya karena tikus, lalu lumbung padi dibakar. Ini tidak arif dan bijaksana namanya. Alamak!***

Sumber: Tabloid Modus Aceh