Monday, September 16, 2013

Aceh dan Politik Simbolisasi Agama





Aceh dan Politik Simbolisasi Agama

Pergolakan Aceh hingga sekarang belum berakhir. Upaya simbolisasi Islam dalam birokrasi ke Acehan sepertinya tidak berjalan mulus. Penolakan demi penolakan terus saja terjadi di berbagai tempat di wilayah Aceh saat ini, terutama wilayah ALA (Aceh Loser Antara) dan ABAS (Aceh Barat Selatan) yang menolak kebijakan pemerintah Provinsi terkait pengesahan Bendera dan lembaga Wali Nanggroe dengan menuntut pemisahan diri dari provinsi Aceh karna menganggap tidak merepresentasikan kemajemukan masayarakat Aceh secara keseluruhan. Bendera Aceh yang dianggap mirip partai PA (partai Aceh) dan bendera pemberontak ternyata tidak mendapat tempat di hati sebagian kalangan masyarakat Aceh. Disamping itu lembaga Wali Nanggroe yang diharapkan sebagai pemersatu masyarakat Aceh juga dianggap sebagai produk politik untuk kepentingan kolegtif kelompok tertentu yang menyalahi tradisi raja-raja yang pernah ada dalam cacatan sejarah di Aceh. Penolakan tidak hanya oleh pegiat ALA dan ABAS, akan tetapi pemerintah pusat juga masih mempertanyakan subtansi bendera Aceh yang mirip bendera GAM yang notabenenya adalah separatis dan bertententangan dengan amanat konstitusi Negara Republik Indonesia dan butiran UUPA itu sendiri.
Setelah melalui dinamika yang cukup panjang bahkan sempat beberapa kali terjadi cooling down dan memakan waktu yang cukup lama terakhir, formalisasi bendera Aceh lewat Qanun No.3 Tahun 2013 dan Lembaga Wali Nanggro (LWN) lewat Qanun No 2 Tahun 2012 pun dinyatakan sah oleh pemerintah Aceh secara sepihak setelah menunggu 60 hari masa pengesahan qanun tanpa respon oleh pemerintah pusat(serambi 14/9/13).
Bulan Bintang dalam bendera Aceh difilosofikan sebagai lambang keislaman masyarakat Aceh, yang artinya bendera aceh adalah simbol keislaman masyarakat, dan dikuti dengan perubahan lambang Pancacita ke Burak Singa yang dianggap sebagai kendaraan nabi Muhammad saat Isra` Mi`raj ke Siratul Muntaha dari masjidil Haram ke masjidil Aqsa. Perubahan demi perubahan dilakukan sebagai upaya menuju perbedaan dari daerah lain dan NKRI yang dianggap terlalu terbuka terhadap budaya Barat yang tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat Aceh yang kental dengan budaya ketimuran. Hal ini positif jika di tafsirkan dalam konteks UU 44 Tahun 1999 tentang ke istimewaan Aceh, namun disisi lain menimbulkan pergesekan-pergesekan yang tidak dapat di hindari dari masyarakat Aceh itu sendiri yang merasa terdikatomi oleh kebijakan pengesahan bendera bulan bintang dan Lembaga Wali Nanggroe.
Keberadaan ALA dan ABAS yang belakanagan semakin gencar menyuarakan pemisahan dari provinsi Aceh tidak penulis sorot dari optik aktor utama dan kepentingan siapa di balik pergerakan tersebut. Akan tetapi menarik dibicarakan upaya Simbolisasai Islam yang ternyata tidak menjadi sihir yang ampuh untuk merangkul seluruh masyarakat aceh yang notabenenya bergama islam.
Penting dipertanyakan, apakah masyarakat Aceh yang semakin hari semakin cerdas hingga tidak mau tertipu oleh simbolisasi agama? Ataukah anggapan masyarakat Aceh yang religius tidak relevan lagi untuk saat ini?
Bercermin kebelakang, secara sosiologis historis Aceh adalah provinsi dengan masyarakat penganut islam taat di Indonesia. Hingga tidak heran bila Aceh lebih dikenal sebagai bumi serambi mekah. Keberadaan Islam di Aceh tercatat telah berjaya sejak kesultanan Ali Mughayatsyah (1513-1528 M) yang kemudian di teruskan oleh raja-raja lain hingga kerajaan Aceh Darussalam di bawah kesultanan Iskandar Muda(1607-1636 M) yang tercatat sebagai puncak kejayaan Aceh di bawah payung keIslaman saat itu. Belakangan setelah Aceh bergabung dibawah payung NKRI, dengan pengesahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh yang merupakan hasil dari perundingan MoU antara pihak RI dan GAM di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 merupakan formalisasi secara de jure terhadap kekhususan pemerintahan Aceh secara otonom.
Jauh sebelum itu Aceh juga telah di istimewakan melalui UU Nomor 44 Tahun 1999 yang merupakan turunan dari UUD 1945 pasal (18b) ayat 2 tentang pengakuan pusat terhadap kekususan suatu daerah. Maka lempanglah jalan menuju perwujudan cita-cita untuk Aceh baru, akan tetapi kecerian ini hanya sebatas utopia, layar yang diberikan untuk mengarungi samudra demi masa depan Aceh yang baru koyak di terjang badai penolakan dari masyarakat Aceh itu sendiri, yang menganggap Bendera dan lembaga Wali Nanggroe (LWN) diskriminatif dan sarat kepentingan.
            Simbolisasi agama pada bendera, dan burak pada lambang Aceh, sepertinya tidak selamanya dianggap sebagai suatu yang harus di patuhi dan dituruti lagi. Meskipun ada upaya pengkultusan dan membuat sebagian masyarakat fanatik terhadap simbolisasi agama, namun perlu digaris bawahi tidak ada keharusan menuruti simbolisasi agama yang merupakan produk politik apalagi ditenggai berbau kepentingan. Lambannya pemerintah Aceh dalam mewujudkan visi dan misi politiknya saat kampanye meningkatkan intensitas perasaan kecewa dan pesimis masyarakat Aceh terhadap keberpihakan pemerintah pada masyarakat. Disamping itu pemerintah juga terkesan terjebak dalam perangkap mengejar kepentingan kelompok dan abai terhadap kesejahteraan rakyat.
Simbolisasi adalah upaya pengkultusan secara tidak langsung oleh pemerintahan dengan cara merekontruksi pemikiran masyarakat untuh patuh pada simbol agama dan berupaya menutup masyarakat berfikir rasional terhadap perkembangan politik yang penuh dengan lembah kecurangan. Untuk menghindari hal demikian masyarakat harus cerdas menganalisa keadaan dan jangan lagi terjebak pada kesalahan yang sama. Munawarliza selaku mantan juru runding GAM, secara keras mengkritisi terkait sejumlah pos anggaran dalam APBA yang diusulkan DPRA Aceh ditolak disahkan Mendagri. Karna menurutnya sarat dengan kepentingan sekelompok orang bukan untuk rakyat Aceh (Serambi 0/9/2013). Oleh karena Islamisasi simbol adalah cara klasik yang bertujuan untuk kepentingan kelompok. Hal ini pernah di praktekkan sebelum orde baru dimana Masyumi dan NU  menguasai perpolitikan saat itu. Maka seiring bergulirnya waktu masyarakat semakin cerdas dan ini bias dibuktikan sekarang,  partai-partai yang berideologi Islam tidak menjadi pilihan bagi masyarakat islam itu sendiri. Karna upaya islam politik tidak lagi relevan di parktekkan untuk zaman sekarang, desakralisasi agama dari simbol kepentingan adalah sebuah keharusan agar terwujudnya politik yang sehat dan jauh dari pengkultusan dan kefanatikan yang memperburuk citra perpolitikan umat Islam itu sendiri. Disamping itu fakta empiris juga merekam bahwa politik tak terpengaruhi lagi oleh agama atau tokoh agama yang bergeming dalam partai tersebut. Kemenangan Jokowi atas Gumawan Fauzi dan kekalahan Kofifah atas  Soekarwo cukup memberi kita pelajaran terhadap keterbukaan dan penyucian agama dari partai yang belum tentu suci sesuci agama.
Irwan Saputra, Mahasiswa Hukum Pidana Islam, di Fakultas Syari`ah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Email: Irwanasmanisa91@gmail.com

Sekularisasi Dalam Pemikiran Nurchalis Majid

Sekularisasi Dalam Pemikiran Nurchalis Madjid 
Nurchalish Madjid akrab dikenal dengan sapaan Cak Nur. ia dianggap sebagai pemikir Islam yang beraliran modernis, atau neo modernis yang memperkenalkan istilah sekularisasi yang menurutnya berbeda dengan sekularisme.[1]
Nurchalis sebagai pemikir dengan gagasan pembaruannya dan ide sekularis yang mengusung dan mengedepankan kebebasan berpikir untuk menghindari umat muslim agar terhindar dari kejumudan dan dekadensi pemikiran yang sangat terpaku pada kitab kuning dan para pemuka agama.
Makalah ini mencoba menerawang sekularisasi dalam pemikiran Nurchalish Madjid yang hingga saat ini masih diperdebatkan.
Nurchalish Madjid adalah nama yang didapatkan oleh Nurchalish sendiri saat berusia 6 (enam) tahun, setelah sebelumnya bernama Abdul Malik. Perubahan namanya dilatarbelakangi oleh kondisi badannya yang sering sakit-sakitan dan dianggap keberatan nama(menurut tradisi Jawa).[2]
Nurcholish lahir di Mojoanyar, Jombang tanggal 17 Maret 1939. Ayahnya bernama Abdul Madjid yang merupakan seorang santri beraliran NU dan ibunya Hj. Fathanah. latar belakang sosialnya di lingkungan pesantren dengan suasana NU-nya yang masih abangan.[3]
Semasa kecil Nuchalish bersekolah di madrasah yang dimiliki oleh orang Masyumi, yang waktu itu adalah lawan dari basis dan kancah pengaruh NU. Di perguruan tinggi Nurchalish masuk IAIN Jakarta, kemudian bergabung dalam sebuah organisasi kepemudaan yang besar, yang merepresentasikan dari sikap kepemudaan di Indonesia saat itu dan menjadi ketua umumnya selama dua periode di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Di sinilah pergeseran pemikiran Nurchalish ke arah Islam yang lebih progresif terjadi. Di HMI Nurchalis menjadi perintis dari pemikiran Sularso ketua umum HMI Yogyakarta yang sering bentrok dengan orang-orang Masyumi. Ia terkenal karena pertentangannya, yang  berbeda dalam menilai keadaan, permasalahan, dan pandangannya terhadap cita-cita bersama dengan kawannya yang lain seperti Dawam Rahadjo, Djoko Prasodjo, Djohan, Mansur Hamid, dan lainnya.[4]
 Sekuler berasal dari kata “saeculum” yang berarti dunia atau masa kini (the presentage).[5] Istilah ini populer sejak pidatonya yang ditampilkan di TIM (Taman Ismail Marzuki) untuk keperluan forum antar pemuda pada tanggal 02 Januari 1970. Pidato yang diambil dari makalah pemikirannya menimbulkan beragam reaksi atas pemilihan kata-kata yang disampaikannya, seperti sekularisasi, desakralisasi, sosialisme, idea of progress, dan lain sebagainya. Sejak media cetak memuat pidatonya secara utuh, pemikiran dan ide pembaharuan Nurcholish menjadi perbicangan. 
 Dalam setiap diskusi, Nurchalish lebih sering memakai istilah desakralisasi untuk menyerukan pada umat muslim untuk berhenti dari kebiasaannya menyucikan suatu agama, yang memang tidak suci dan berkembang bentuknya menjadi organisasi dan partai-partai. Partai Islam disamakan menjadi agama. Istilah ini juga didampingi oleh ‘sakralisasi’ untuk menggambarkan umat islam yang tengah keluar dari tauhid, juga untuk mulai bisa membedakan, apa yang seharusnya bersifat duniawi dan yang bukan, memandang modernisme bukan sebagai westernisasi, modernisasi sebagai gejala global yang tidak bisa dihindari.
Sekularisasi yang di usung Nurchalish berbeda dengan sekularisme. Tidak dimaksudkan untuk mengubah kaum muslim menjadi umat yang sekularis, tapi hanya berusaha untuk kembali men-duniawikan nilai-nilai yang sudah bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawikannya.[6] Sekularisasi tidak dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme yang merupakan sebuah paham tersendiri dengan fungsi hampir mendekati agama.[7]
Bagi Nurchalis beritjihad bisa dilakukan oleh siapapun asal ditunjang dengan ilmu, akal, sumber, dan metode yang tepat untuk menghasilkan sebuah keputusan atau pandangan dalam mengahadapi dunia modern. Selain Masyumi yang fundamental Nurchalis juga menolak muhamadiyah yang begitu modern, ia berusaha untuk berdiri di antara dua itu, mempertahankan sesuatu yang fundamental, tapi terbuka pada kemodernan, percaya pada masa depan.
Sekularisasi adalah menyerahkan segala urusan kehidupan sosial dan politik kepada seseorang yang betul-betul handal di bidangnya, tanpa terpengaruh oleh  latar belakang agama apa yang dianutnya. Maka dari itu ia juga mendukung beberapa tesis dari para pemikir Islam klasik seperti Ibn Taymiyyah bahwa Muhammad bukanlah seorang imam, tapi seorang utusan tuhan. Seperti yang dijelaskan oleh Ibn Taymiyah perbedaan antara ketaatan kepada utusan Tuhan dan ketaatan pada imam:
“jika dikatakan bahwa Nabi Muhammad ditaati karena beliau adalah seorang imam sebagai implikasi dari kerasulannya, gagasan demikian tidak berpengaruh, sebab secara sederhana kerasulan beliau saja sudah cukup memberi beliau hak untuk ditaati. Hal ini berbeda dengan imam, karena sesorang dapat menjadi imam karena pangkatnya yang letnan guna menjalankan kekuasannya. Jika tidak, ia akan sama saja dengan ilmuwan atau agamawan biasa”[8]
Maka dari itu, Nurcholish membuat disertasinya di Universitas Chicago yang berjudul Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason andRevolution in Islam, dibawah bimbingan Doktor Fazlur Rahman.
Nurchalish juga mendukung pemikiran Hatta. yang dalam posisinya sebagai seorang sosialis dengan lingkungan keluarga sufisme Islam kuat, melihat tidak perlunya didirikan sebuah negara dengan landasan resminya sebuah agama. Yang terpenting adalah substansinya yang harus diperjuangkan dalam kegiatan bernegara.[9]
Pada tanggal 21 Oktober 1992, gema sekulerisasi semakin dipertegas dengan pernyataannya atas penolakan terhadap negara islam dan slogan ‘islam yes, partai islam no’ yang dikemukakannya dua puluh tahun sebelum itu. Ia mengemban misi untuk menjadikan Islam kembali sebagai agama yang universal, tidak eksklusif dan terikat pada sistem kepartaian dan organisasi.
Di awal orde baru, Ia tetap menjunjung kebebasan berfikir, menolak terhadap pengkultusan partai-partai islam yang tidak visioner, cenderung takut pada masa depan, dan terkesan tidak menghargai sejarah, tidak percaya pada masa lalu islam yang pernah bangkit dari puing-puing sisa peradaban bangsa lain seperti Yunani dan Romawi.
Ide penolakan Negara Islam ini sudah muncul sehari setelah hari kemerdekaan, di saat terjadi polemik antar kalangan Nasionalis muslim dan naionalis sekuler yang tengah merumuskan ideologi dan pedoman bangsa, Pancasila, UUD 1945, atau Piagam Jakarta.       Dukungannya terhadap sekulerisasi terlihat juga pada penolakan didirikannya Departemen Agama pada September 1945. Penolakan tersebut dikarenakan bahwa dengan di dirikannya departemen ini hanya untuk menegaskan secara tersirat pada seluruh masyarakat Indonesia bahwa Islam adalah agama negara Republik ini.[10] Nurchalish menginginkan departemen ini berubah nama menjadi Departemen Keagamaan karena berarti departemen menjadi milik bersama kepunyaan agama-agama yang diakui secara resmi di Indonesia. Ia sangat menekankan adanya toleransi antar umat demi keberagaman pemikiran yang kaya dan diharapkan umat muslim bisa menjadi lebih terbuka dalam menghadapi perbedaan dan lebih bijak dalam berfikir untuk menghindari kejumudan.
Maka, sosok Nurchalish, adalah  seorang pemikir yang berani keluar dari pemikiran mainstream umat muslim lainnya. Di faktori kejumudan dan stagnansi kemajuan saat itu. Ia mengusung ide sekularisasi untuk menolak pemikiran yang eksklusif dan terikat pada sistem kepartaian dan organisasi yang disandingkan dengan agama. kegiatan keorganisasian di HMI, petualangan intelektualnya di Benua Amerika untuk menyelesaikan kuliah doktoralnya di Universitas Chicago dan menjadi doktor di bidang Ilmu Politik membuatnya dikenal sebagai pemikir pembaharu yang konsisten.***


[1]Adian Husaini, dan Nuim Hidayat.  Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya. (Jakarta: Gema Insani. 2004). Hlm. 30
[2]Ahmad Gaus. Api Islam Nurcholish Madjid: JalanHidup seorang visioner. (Jakarta: Kompas. 2010) hlm.2
[3]Abangan adalah atau kaum abangan adalah mereka yang memeluk agama Islam di  pedesaan tapi tidak sempurna dalam menjalankan perintahagamanya.
[4]Djohan Efendi dan Ismed Natsir. PergerakanPemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. (Jakarta: LP3ES. 1981) hlm 147
[5] Ibid, hlm. 82
[6]  Husaini, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya....hlm. 56.
[7] Nurcholish Madjid. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. (Bandung: Mizan Pustaka. 2008), hlm. 249.
[8] Nurcholish Madjid. Islam Agama Kemanusiaan. (Jakarta: Paramadina. 199). hlm 17.
[9]Ahmad Gaus. Api Islam Nurcholish Madjid: JalanHidup seorang visioner... hlm. 147.
[10]Ibid,..hlm. 109.