Saturday, June 11, 2016

Beraroma Dendam Pilkada

Dugaan Korupsi Baitul Mal Aceh Barat
Beraroma Dendam Pilkada
Perkara rasuah yang melibatkan bekas Kepala Baitul Mal Aceh Barat, Tengku Munirwan, menggelinding juga ke meja hijau. Dia mesti mempertanggungjawabkan dugaan korupsi penyelewengan dana zakat fakir miskin Rp 567 juta lebih. Benarkah hanya Munirwan?

Irwan Saputra

Tengku Munirwan hanya tertunduk pasrah di samping dua pengacaranya, Akhyar Saputra dan Zulpan. Sesekali, ia menelungkup di atas meja, lalu bangun dan mengusap mukanya dengan kedua telapak tangan.
Mengenakan kemeja lengan panjang dipadu peci sewarna, Kamis, pekan lalu, dia dihadirkan ke persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh. Pria ini didakwa melakukan penyelewengan dana zakat fakir miskin Rp 567 juta lebih. Dana senif fakir miskin yang seharusnya diberikan tunai, dibelanjakannya dalam bentuk barang.
Di depan majelis hakim, wajah Munirwan terlihat tegang saat menyimak kesaksian yang diberikan Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Barat, Tengku Abdul Rani. Di depan pengadilan yang dipimpin  Nurmiati (ketua), Zulfan Efendi dan Supriadi (anggota), Abdul Rani mengatakan, pengalihan dari bantuan tunai ke bentuk barang tidak pernah disepakati dalam musyawarah antara tim pengawas dan Baitul Mal Aceh Barat.
"Apalagi membahas jenis barang yang akan disalurkan dari kebijakan penaglihan tersebut," katanya. Karena menurutnya, tim pengawas hanya diajak untuk membahas persentase dan pembagian senif zakat kepada masyarakat fakir dan miskin.
Abdul Rani bukan satu-satunya saksi yang diperiksa hari itu. Selain dia, ada Kepala Kantor Departemen Agama Aceh Barat,Tengku M. Aris Idris, yang bersaksi sebagai anggota dewan pengawas Baitul Mal Aceh Barat. M Aris menjelaskan, mereka tidak mengetahui berapa jumlah total uang yang akan disalurkan Baitul Mal dari zakat yang terkumpul untuk para fakir miskin. Hal itu disebabkan, karena pihaknya tidak pernah diajak untuk membahas mengenai jumlah total anggaran.
Pihaknya hanya diajak bermusyawarah setelah dana zakat terkumpul. Dewan pengawas yang saat itu dipimpin Asisten II, Almarhum Hasan Abdullah, diundang ke Baitul Mal untuk memusyawarahkan terkait persentase penerima dan pembagian senif zakat. “Kami tidak pernah bermusyawarah tentang jenis bantuan tapi hanya rapat tentang pembagian senif,” jelas M Arif. 
Sebagai dewan pengawas, lanjutnya, tugas mereka adalah mengawasi Baitul Mal terkait persentase dan senif zakat. Hasil dari itu kemudian disampaikan pada bupati. Namun, terkait adanya penyelewengan, keduanya tidak sempat melaporkan kepada bupati. Karena, mereka baru mengetahui jika pengalihan itu terindikasi korupsi setelah polisi meminta keterangan untuk kelengkapan Berita Acara Perkara (BAP) di Polres Aceh Barat. Begitupun, pihaknya tidak sampai mengawas pada tahap mekanisme, karena mekanisme sepenuhnya diserahkan kepada Baitul Mal.
Namun, kesaksian dua orang tersebut tidak diterima begitu saja oleh Munirwan. Saat diminta tanggapannya oleh hakim, ia merasa keberatan dengan keterangan Abdul Rani dan M Aris Idris terkait data penerima zakat, dan jenis barang yang akan disalurkan.
Menurutnya, tidak benar jika ia tidak diberikan data penerima zakat. Malah ia diberikan data itu oleh tim pengawas. Begitupun juga dengan kesaksian Abdul Rani yang mengaku bahwa dalam musyawarah tidak pernah dibahas tentang jenis barang. “Justru itu dibahas dalam musyawarah,” jelas Munirwan.
Pun demikian, Abdul Rani dan Aris Abdullah, tetap bersikukuh pada kesaksiannya, bahwa tidak ada diberikan data penerima zakat dan pembahasan tentang jenis barang. “Setahu kami tidak ada, kami tetap pada kesaksian semula,” ujar keduanya.
Seusai mendengar kesaksian, di luar persidangan Kuasa Hukum Munirwan, Akhyar menjelaskan bahwa kasus ini diduga erat kaitannya dengan dendam pilkada lalu, yakni perseteruan antara Ramli MS dan T Alaidinsyah atau yang akrab disapa Haji Tito, Bupati Aceh Barat saat ini.
Buktinya, kata dia, pengalihan itu dilakukan Munirwan di penghujung masa kepemimpinan Ramli MS dan tidak ada masalah. Namun, seusai pilkada barang tersebut belum dibagikan, Haji Tito yang tampil sebagai pemenang pemilu meminta Inspektorat mengauditnya, karena dianggap bermasalah.
"Setelah diaudit menjadi temuan, kemudian Inspektorat memberitahu dan meminta saran kepada bupati, namun dalam disposisi bupati. Kepala Baitul Mal Munirwan diminta untuk mengembalikan uang yang telah dibelanjakan dalam bentuk barang tersebut. Apalagi, terdakwa diketahui Bupati Tito, adalah tim pemenganannya Bupati Ramli MS," jelasnya.
Pengakuan Akhyar, setali tiga uang dengan Abdul Rani yang ditemui media ini usai memberi kesaksian di persidangan. Terlepas dari dalil hukum terhadap penyelewengan yang dilakukan oleh Munirwan, Kepada MODUS ACEH, Ketua MPU Aceh Barat ini tak membantah jika isu yang berhembus saat ini di daerahnya terhadap kasus ini ditenggarai dendam politik.
Dugaan itu muncul lantaran Munirwan adalah ketua tim pemenangan Ramli MS. “Setelah pilkada kan sudah terpilih Bupati Tito, sementara barang belum dibagikan. Ditambah lagi beliau adalah ketua tim pemenangan Bupati Ramli. Bupati tahu uang telah dibelikan barang, maka bupati minta uang itu dikembalikan, maka dianggaplah temuan oleh polisi,” ujar Abdul Rani.
Menurutnya, jaksa sempat mengatakan jikapun uang itu dialihkan dari bentuk tunai ke bentuk barang, sebenarnya tidak ada masalah asalkan cukup, dan masyarakat menerima barang tersebut. Namun, karena terlambat dibagikan hingga bergantinya masa kepemimpinan, maka bergantilah kebijakan. “Bupati minta uang dikembalikan, kan tidak mungkin lagi,” ujarnya.
Abdul Rani menegaskan, sebagai tim pengawas yang diangkat karena jabatan Ketua MPU, tidak ada hasil musyawarah yang merekomendasikan untuk mengalihkan dari tunai menjadi barang, hal tersebut hanya kebijakan Baitul Mal saja, karena inisiatif ini tidak pernah disepakati dalam rapat dengan tim pengawas.
“Saat kami dipanggil, tugas kami hanya membahas penentuan senif dan penentuan persentase itu saja. Karena ini tugas pengawas. Jadi, pengalihan dari uang ke barang itu tidak ada dalam rapat tim pengawas,” Jelas Rani.
***
Ihwal kasus ini hingga menggelinding ke meja hijau, bermula dari pengelolaan dana zakat. Pada 2012 lalu, Baitul Mal Aceh Barat memiliki program penyaluran dana zakat senif (penerima) fakir miskin. Totalnya mencapai lima miliar rupiah dan diberikan dalam bentuk tunai per orang Rp 750 ribu.
Entah apa yang menjadi dasarnya, Munirwan membelanjakan sebagian dari dana tersebut dalam bentuk barang, masing-masing kawat duri seberat 10 kilogram sebanyak 1950 gulung, boks fiber 100 unit, alat penetas telur otomatis 6 unit, 2 hand spray (alat semprot), pompa 650 unit, cangkul 660 unit dan jaring 100 meter sebanyak 100 unit. Totalnya Rp 567,6 juta.
Pengalihan dana tunai ke bentuk barang ini rupanya tercium oleh Inspektorat Daerah Aceh Barat. Audit langsung dilakukan sebelum barang sempat disalurkan. Hasilnya, kebijakan Munirwan ditengarai menabrak sederet regulasi, di antaranya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), Qanun Aceh serta Peraturan Bupati Nomor 511 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengelolaan Zakat. Celakanya, kebijakan itu juga berpotensi merugikan keuangan negara.
Keganjilan ini akhirnya masuk juga ke telinga para wakil rakyat. Dari parlemen, mereka lantas membentuk panitia khusus dan mendesak aparat hukum untuk mengusutnya. Gayung bersambut. Polisi juga sudah mencium adanya praktik tak elok tersebut.
"Hasilnya kami mendapat cukup bukti bahwa kasus ini memang terindikasi korupsi," kata Hardy, Kasat Reskrim Aceh Barat, pada media ini beberapa waktu lalu. Total, penyidik sudah memeriksa sebanyak 16 saksi, termasuk saksi ahli dari Dinas Keuangan Aceh (DKA) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh.
Itu sebabnya, dia ditetapkan sebagai tersangka tunggal dalam kasus ini. Apalagi, potensi kerugian negaranya relatif besar. Itu belum lagi indikasi terjadinya mark up (penggelembungan dana) dalam pembelian barang. Tak heran, Kepala Baitul Mal di era Bupati Ramli MS ini dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara.***



Akhir Penantian Panjang


Akhir Penantian Panjang


Setelah lama menjadi polemik di tubuh internal Partai Aceh, Ketua KPA dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Aceh, Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem, akhirnya menjatuhkan pilihan pada Ketua DPD Gerindra Aceh TA Khalid sebagai calon Wakil Gubernur Aceh, mendampingi dirinya pada Pilkada 2017 mendatang.  Alasannya sederhana, TA Khalid dinilai mudah diajak berkomunikasi dan bisa disuruh ke mana saja. Mualem mengklaim, TA Khalid telah didukung partai politik nasional (Koalisi Aceh Bermartabat) kecuali Partai Golkar, Hanura, PDIP dan NasDem. Berikut laporan Irwan Saputra untuk liputan Politik pekan ini.
***
Gerimis yang mengguyur Kota Banda Aceh sejak Rabu sore akhirnya reda. Bersahabatnya alam malam itu membuat kader dan pimpinan Partai Aceh (PA) dari seluruh Aceh, ramai mendatangi Kantor DPP Partai Aceh, Jalan Soekarno-Hatta, Batoh, Banda Aceh.
Kehadiran mereka bukan tanpa sebab. Maklum, malam itu ada putusan penting yang akan disampaikan Mualem terkait figur calon Wakil Gubernur Aceh, mendampingi dirinya pada Pilkada 2017 mendatang. “Tinggal menunggu Mualem saja. Setelah itu, dimulai dan tidak terlalu lama,” ucap seorang petinggi PA pada media ini malam itu.
Memang, sesuai jadwal pertemuan (rapat) akan dilaksanakan pukul 20.00 WIB. Namun, sempat molor satu jam. Persis pukul 21.00 WIB, Mualem tiba dan langsung menuju ruang rapat. “Mohon maaf kawan-kawan wartawan. Ini rapat tertutup. Nanti Mualem akan menggelar temu pers,” kata seorang petugas di kantor itu.
Sementara itu, sejumlah kader, simpatisan serta pimpinan Komite Peralihan Aceh/Partai Aceh  (KPA/PA) dari daerah rela dan sabar menunggu kedatangan Mualem. Salah satunya Abdurrahman Ubit, Ketua KPA/PA Abdya. Bersama tiga rekannya, Abdurrahman memilih untuk menikmati secangkir kopi. Sesekali, dia tampak sibuk memainkan telepon genggam sambil mengepul asap rokok sigaret yang ia hisap ke udara.
Tak banyak yang mereka dibicarakan. “Keadaan malam ini sudah disterilkan, jadi potensi ribut kecil. Abu Razak juga tidak ada di sini,” duga salah seorang wartawan online yang memang sudah lebih awal datang. Maklum sajalah, semula sempat beredar kabar bahwa rapat tertutup malam itu akan diwarnai keributan. Ini terkait keputusan Mualem untuk memilih TA Khalid sebagai wakilnya.
Sumber media ini mengungkapkan, semula rapat tertutup tadi rencananya akan dilaksanakan Rabu pagi dan pada siang hari yang sama akan dilakukan temu pers. Namun, karena masih muncul beberapa perbedaan pendapat, rapat tertutup itu pun akhirnya digeser pada malam hari.
***
            Tak lama kemudian, satu unit kendaraan Alphard hitam memasuki pekarangan Kantor DPP PA Aceh. Dari dalam mobil, muncul Muzakir Manaf dengan setelan jas partai dipadu celana jeans cokelat. Malam itu, Mualem didampingi Win Rimba Raya, salah satu orang kepercayaannya.
            Tanpa komando, berduyun kader Partai Aceh meninggalkan warung kopi dan menyusul Mualem, mengikuti rapat tertutup di lantai dua. Hanya sekitar sepuluh menit kemudian, petugas tadi mempersilakan awak media untuk naik ke lantai tiga. Di sana, Mualem bersama petinggi KPA dan PA se-Aceh telah menunggu.  
“Pada malam ini, tanggal 1 Juni 2016, saya nyatakan wakil saya adalah Saudara Ir. TA Khalid. Maka, dengan berkat kudrat Ilahi semoga diberikan kemenangan oleh Allah,” ujar Mualem yang disambut tepuk tangan dan takbir para kader partai. Sementara, ada beberapa lainnya yang hanya diam dengan raut wajah datar. 
Keputusan Mualem menggandeng TA Khalid sebagai calon Wakil Gubernur Aceh tentu bukan informasi baru. Sebelumnya, sinyalemen tersebut memang nyaris beredar. Bahkan, sempat menuai tarik ulur alias pro dan kontra di kalangan internal PA. Alasannya, partai lokal ini memiliki syarat yang lebih dari cukup untuk mengusung kader sendiri.
Sebaliknya, figur TA Khalid juga bukan sosok asing bagi pimpinan dan para mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ketua DPD Partai Gerindra Aceh ini telah lama membina hubungan “mesra” dengan Mualem. Apalagi, posisi Mualem sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Aceh.
Tak hanya itu, saat Pilkada 2012 silam dan Pileg 2014, peran TA Khalid dinilai cukup signifikan dalam memenangkan pasangan dr. Zaini Abdullah-Muzakir Manaf (ZIKIR). Termasuk melobi dukungan politik serta pendanaan dari Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Pada pileg lalu, TA Khalid juga ikhlas serta rela melakukan kampanye, mendukung calon anggota DPR Aceh dan DPRK dari PA. “Untuk kursi DPR Aceh dan DPRK, mari kita dukung dan menangkan PA,” begitu teriak TA Khalid pada beberapa tempat saat kampanye Pileg 2014.
Mualem menegaskan, alasan dirinya memilih TA Khalid bukan tanpa pertimbangan. Sebaliknya, melalui proses cukup panjang, termasuk setelah mempertimbangkan sisi baik dan buruk. Mualem menilai, figur TA Khalid adalah sosok yang boleh diajak berbincang, boleh disuruh ke mana pun dan siap berdiskusi apa pun. Nah, karena faktor itulah ia memilih Khalid sebagai wakilnya dalam pencalonan Gubernur Aceh untuk periode 2017-2022 mendatang. “Ini adalah bukti kolaborasi antara partai lokal dengan partai nasional, untuk kemajuan Aceh yang lebih baik,” sebut pria yang masih aktif sebagai Wakil Gubernur Aceh itu.
Namun, Mualem tetap sadar dan mengakui, sebelum keputusan malam itu diambil, dia kerap digoyang secara internal. Sebab, ada pihak yang menginginkan Mualem memilih wakil dari internal PA, sementara Mualem telah berikrar untuk menggandeng wakilnya dari partai politik nasional.
“Untuk kebersamaan membangun Aceh, saya melibatkan Koalisi Aceh Bermartabat untuk bersama-sama membangun Aceh ke depan yang lebih bermartabat, bersatu dan lebih maju,” tambah Mualem.
            Mualem juga menjelaskan, di internal PA, tidak ada permasalahan lagi terkait dirinya menggandeng TA Khalid. Alasannya, karena internal PA telah komit dengan keputusan tersebut. Termasuk dengan pimpinan parnas di Aceh.
“Sampai hari ini, semuanya sudah komit kecuali Golkar. Mungkin mereka akan mengusung calon sendiri, sementara PKB sudah mendukung kita. Partai Hanura dan PDIP belum jelas karena mereka tidak memiliki kursi di parlemen,” jelas Mualem.
            Disinggung apakah hanya TA Khalid sebagai calon wakil dari parnas, Mualem menjawabnya secara diplomatis. Andai dia dibolehkan memilih wakil beberapa orang, PA pasti akan mengusung beberapa orang wakil. Namun, ada pemandangan ganjil malam itu karena beberapa tokoh KPA/PA yang memiliki pengaruh tidak hadir. Sebut saja Kamaruddin Abu Bakar alias Abu Razak, Mukhlis Basyah, Jufri Hasanuddin dan Ketua Tim pemenangan Mualem, Darwis Djeunieb.
“Kenapa Abu Razak tidak hadir?” tanya awak media. Mualem menjelaskan, dirinya telah memerintahkan Abu Razak sebagai Ketua Harian KONI Aceh untuk membawa atlet ke Jakarta, sementara Darwis Djeunieb harus menyelesaikan kasus internal PA di Batee Iliek. Begitu juga dengan Mukhlis Basyah atau akrab disapa Adun Mukhlis. Kata  Mualem, Adun Mukhlis sedang dalam perjalanan dari Jantho menuju Banda Aceh. “Mereka semua mendukung keputusan ini,” tegas Mualem.
Sementara itu, salah satu orang kepercayaan Mualem, Win Rimba Raya, membantah adanya dugaan bahwa ada parnas lain yang tidak mendukung dipilihnya TA Khalid. “Itu tidak benar,” tegas Win. Menurutnya, persoalan parnas tidak ada masalah lagi. Artinya komit dengan keputusan Mualem demi kepentingan Aceh yang lebih baik dan besar, terutama pimpinan parnas yang telah menunjukkan komitmen dalam Koalisi Aceh Bermartabat (KAB). Win juga memastikan bahwa pimpinan parnas di Pusat (Jakarta) juga sudah bertemu dengan Mualem. “Kecuali kalau mereka ingkar. Tapi, hingga saat ini, mereka tetap komit dengan Mualem,” sebut Win.
Nah, tanpa sadar, jarum jam sudah bergerak ke pukul 23.00 WIB. Begitupun, sejumlah kader dan simpatisan serta beberapa pimpinan KPA/PA dari kabupaten/kota se-Aceh, masih saja bertahan di Kantor DPP PA, kawasan Batoh, Kota Banda Aceh. Bahkan, usai menyampaikan keputusannya, Mualem menyempatkan diri menikmati jus segar di warung kopi, samping Kantor DPP PA. Sementara, sejumlah kader dan simpatisan PA, menggunakan kesempatan tersebut untuk mengambil foto Mualem. Sesekali, Mualem tampak berbisik pada kadernya, sambil menenggak lepas minuman yang ada di depannya.
Malam semakin larut, udara dingin mulai menyelimuti tubuh. Bersamaan dengan itu, Mualem pamitan untuk kembali ke Pendopo, kawasan Blang Padang, Banda Aceh. Searah mata memandang, mobil Alphard yang ditumpangi Mualem melaju di tengah kegelapan malam yang menyertai hiruk pikuk Kota Madani, Banda Aceh.
Saat itu juga, satu per satu para kader dan simpatisan KPA/PA meninggalkan Kantor DPP PA dengan rona wajah beragam. Ada juga yang terkesan pasrah dan lelah. Tapi, ada juga yang tampak sumringah, sebab penantian panjang mereka terjawab sudah.***



Pupus Sudah Harapan Abu Razak

Setelah melalui jalan terjal dan berliku. Muzakir Manaf akhirnya menjatuhkan pilihan pada TA Khalid sebagai calon Wakil Gubernur Aceh, mendampinggi dirinya pada Pilkada 2017 mendatang. Harapan Abu Razak pupus sudah!


Pendopo Wakil Gubernur Aceh di kawasan Blang Padang, Kota Banda Aceh adalah saksi bisu dari perjalanan panjang, penentuan figur calon Wakil Gubernur Aceh, mendampinggi Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem sebagai calon Gubernur Aceh Periode 2017-2022, pada Pilkada 2017 mendatang.
Betapa tidak, kediaman orang nomor dua Aceh ini, kerap digunakan sebagai tempat pertemuan para pimpinan partai politik nasional (parnas) dan partai politik lokal (parlok) di Aceh.
Agendanya mudah ditebak, mereka membicarakan lahirnya satu koalisi parnas-parlok untuk mengusung Ketua KPA/PA yang juga Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf sebagai orang nomor satu Aceh. Hasilnya, tahun lalu lahirnya Koalisi Aceh Bermartabat.
Nah, sejak itulah berbagai pertemuan penting dan strategis digelar. Itu sebabnya, sejumlah pimpinan partai di Aceh tak lagi sungkan untuk melangkah ke Blang Padang. Sebut saja, Ketua DPD Gerindra Aceh, TA Khalid. Ketua DPD Hanura Aceh, Syafruddin Budiman, Ketua DPW PPP Aceh (saat itu) Mohd Faisal Amin, Ketua DPW PAN Aceh, Anwar Ahmad, Ketua Partai Damai Aceh (PDA) Muhibbussabri, Sekretaris Umum PKB Aceh, T Amrizal, Ketua PKPI Aceh Indra Azmi, Ketua dan Sekretaris Umum DPD I Partai Golkar Aceh (saat itu Yusuf Ishak dan Muntasir Hamid). Ada lagi, DPW PKS, Khairul Amalserta utusan Partai Demokrat Aceh. Minus utusan Partai NasDem.
Kehadapan politisi yang hadir dalam beberapa pertemuan, Mualem meminta setiap partai politik nasional yang ada di Aceh untuk mengajukan satu nama sebagai bakal calon wakilnya. “Namun, jangan berkecil hati bagi yang tidak terpilih menjadi wakil saya,” tegas Mualem saat itu dan pada beberapa kesempatan.
Gayung bersambut, permintaan Mualem tak mendapat protes atau bantahan dari para pimpinan parnas saat itu. Makanya, Mualem berkesimpulan, pimpinan parnas di Aceh setuju dan sepakat dengan keputusannya.
Begitupun, secara legal, Mualem tak mau kehilangan kereta. Kesepakatan tadi dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan No: 048/KPTS-DPA-PA/XI/2015. Surat itu di tandatangani sendiri oleh Muzakir Manaf dan Sekretaris Jenderal Partai Aceh, Mukhlis Basyah. “Yang tidak terpilih menjadi wakil akan diberikan posisi lain sesudah menang pemilu, “ janji Mualem.
Rencana Mualem ini memang sudah digadang-gadangkan jauh hari dan disambut gembira sejumlah politisi di Aceh. Beberapa ketua partai nasional (parnas) bahkan langsung membuat penjajakan. Namun, meski disambut gembira oleh tokoh parnas, penolakan justru sempat muncul dari kalangan internal PA. Mereka menginginkan agar Mualem menggandeng wakil dari internal Partai Aceh. Nama yang sempat disebut-sebut adalah Kamaruddin Abu Bakar alias Abu Razak.  Namun, Mualem sudah kadung berjanji dan berikrar akan memilih wakilnya dari partai nasional.
Memang, selain Abu Razak, Mualem sempat menyebut beberapa nama yang akan mendampingginya. Misal, Anwar Ahmad, Ketua DPW PAN Aceh. Muncul juga nama Ketua DPD Partai Demokrat Aceh Nova Iriansyah. Bahkan, nama Bupati Bireuen Ruslan M. Daud. Terakhir, Mualem sempat mewacanakan calon pendamping dirinya dari kalangan ulama dayah.
Pernyataan itu disampaikan Mualem, beberapa saat setelah adanya aksi demontrasi dari santri dan ulama dayah (Huda) di Banda Aceh, terkait protes terhadap pendukung aliran Wahabi di Aceh. Tak hanya itu, dalam berbagai kunjungannya ke daerah, Mualem bertemu dengan sejumlah ulama dayah dan kembali mengeluarkan keinginannya itu.
Begitupun, semua janji dan penantian panjang tersebut, akhirnya terjawab sudah, Rabu malam pekan lalu. Mualem menjatuhkan pilihan pada TA Khalid, Ketua DPD Gerindra Aceh. Alasanya sangat sederhana. TA Khalid adalah figur yang mudah diajak bicara serta manut dengan berbagai perintah Mualem. Sementara TA Khalid pun telah berkomitmen untuk mempertaruhkan nyawa (hidup-mati) untuk kemenangan Mualem. Jadi, klop sudah.
 “Sikap Gerindra tidak perlu diragukan lagi, Insya Allah akan kerja mati-matian, hidup mati untuk menangkan Mualem. Keputusan Gerindra tidak cuma di Aceh, tetapi juga di DPP dan telah memerintahkan kami untuk bekerja hidup mati buat Mualem,” tegas TA Khalid suatu hari.
Entah itu sebabnya. Mualem pun tak mau ingkar janji. Komitmennya untuk didampinggi TA Khalid, diam-diam terus disuarakan. Namun, keinginan ini tentu saja tak semulus membalik telapak tangan. Upaya dan usaha untuk mengusur TA Khalid dari Mualem terus gencar dilakukan oleh pihak yang tidak sepakat.
Klimaknya, 10 April 2016 lalu, musyarawah ban sigom Aceh yang diselenggarakan di empat tempat terpisah, yaitu Hotel Grand Naggroe, Grand Aceh, Grand Lambhuk dan The Pade, berakhir ricuh. Padahal, acara tersebut diwacanakan untuk menentukan calon pendamping Mualem. Namun, beberapa petinggi PA masih tidak sependapat dengan Mualem, mengusung calon dari partai nasional.
Diduga, usaha penjegalan itu dilakukan oleh para loyalis Abu Razak seperti Jufri Hasanuddin. Bupati Aceh Barat Daya (Abdya) ini menginginkan Abu Razak menjadi pendamping Mualem. Kalaupun tidak, tetap dari kader internal Partai Aceh. Caranya dengan mengajak peserta forum yang hadir di Hotel Grand Aceh hari itu, menimbang kembali siapa calon yang layak untuk mendampinggi Mulem.
Mengetahui gelagat tidak baik, para loyalis Mualem menghentikan keinginan itu dan  kemudian berakhir ricuh. Hasilnya, Mualem gagal mengumumkan calon wakilnya. “Mualem sudah menunjukkan TA Khalid, cuma belum bisa dipublikasi,” ungkap sumber media ini yang juga petinggi Partai Aceh beberapa waktu lalu.
Jufri Hasanuddin mengaku, ia lebih setuju bila pendamping Mualem adalah kader Partai Aceh bukan kader dari luar partai. “Saya hanya menginginkan yang menjadi pendamping Mualem adalah internal PA, bukan kader di luar partai,” ungkap Jufri pada media ini beberapa waktu lalu.
Namun, upaya Abu Razak bersama Jufri Hasanuddin Cs, kandas, setelah Rabu malam lalu, Mualem mendeklarasikan TA Khalid sebagai wakilnya dan meminta para kader serta petinggi KPA/PA untuk bersatu, memenangkan duet yang rencananya akan dideklarasikan dengan singkatan MAULID. “Kita akan deklarasikan usai lebaran nantinya, namun istilah Maulid itu belum final ya,” jelas Mualem.
Malam itu, Mualem juga mengklaim bahwa pilihannya untuk memilih wakil dari pimpinan partai politik nasional mendapat dukungan dari semua parnas. “Alhamdulillah, semua parnas sudah mendukung kita, kecuali Golkar, Hanura dan PDI,” sambung Mualem.
Namun, klaim Mulem tersebut dibantah beberapapa ketua partai politik nasional. Ketua DPW NasDem Aceh Zaini Jalil mengungkapkan, pilihan Mualem itu tidak mewakili parnas. Sebab NasDem hingga saat ini belum memberikan dukungan kepada kandidat manapun, karena belum keluar hasil survei yang dilakukan partainya.
“Selama ini, NasDem hanya membangun komunikasi dengan semua pihak termasuk dengan Mualem, agar adanya pemahamam bersama tentang strategi membangun Aceh secara bersama-sama, ujarnya.
Sementara DPW PAN Aceh Anwar Ahmad tidak mau bicara banyak. Menurut dia keinginan Mualem memilih TA Khalid adalah haknya prerogatif Mualem dan tidak seorang pun dapat mengintervensi. Apalagi Partai Aceh mempunyai kursi yang cukup di parlemen. Karena itu dia memberikan kewenangan sepenuhnya pada Mualem. “Saya pikir itu kewenangan beliau dan kita tidak berhak untuk  mencampurinya,” simpul Anwar.
Yang menarik Partai Demokrat Aceh. Setelah sempat menyatakan diri sebagai penyokong utama lahirnya Koalisi Aceh Bermartabat (KAB), partai ini rupanya  berencana memilih dan mengusung calon sendiri pada Pilkada 2017 mendatang. Sinyal itu disampaikan Ketua Penjaringan Calon Kepala Daerah dari Patia Demokrat Aceh , Yunus Ilyas.  Menurutnya, tidak ada lagi yang harus ditunggu sebab waktu terus berjalan dan sosialisasi bakal calon gubernur dan wakil gubernur  kepada masyarakat dan calon pemilih butuh waktu.
“Karena itu, sebaiknya Partai Demokrat Aceh mengusung calon Gubernur dan Wakil Gubernur dalam Pilkada Aceh 2017,” ujarnya.
Yunus mengungkapkan, survei bakal calon gubernur dari Partai Demokrat Aceh, dilakukan Jaringan Survei Indonesia (JSI) dan itu sudah selesai. Hanya saja, hasilnya baru akan diumumkan setelah Ketua Partai Demokrat Aceh, Ir. Nova Iriansyah bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Jakarta, Senin, 6 Juni 2016.
Nah, lepas dari semua kasak kusuk tadi, yang pasti harapan Abu Razak untuk duduk di kursi calon Wakil Gubernur Aceh, mendampinggi Mualem pada Pilkada 2017 mendatang pupus sudah.***




Celoteh Abu Doto Sejahterakan si Miskin


Celoteh Abu Doto Sejahterakan si Miskin




Syahdan, hajatan pemilihan kepala daerah sering digunakan untuk menyampaikan visi dan misi bakal calon jika terpilih menjadi penguasa. Umumnya, mereka berkeinginan untuk mensejahterakan rakyat. Keinginan itu tampak begitu besar, tak kecuali dari bakal calon incumbent seperti dr. Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf.
Dan kini, berbagai janji manis tadi ditebarkan kembali oleh sejumlah bakal calon penguasa. Bahkan, melalui serangkaian pemberitaan di media pers bertajuk: advertorial. Tak hanya itu, pada beberapa kesempatan bertemu wartawan, mereka mengaku termotivasi untuk maju dengan janji menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Tapi, satu hal yang menggelitik adalah kondisi kemiskinan di Tanah Rencong justru tumbuh subur di era kepemimpinan kedua sosok ini.
Simaklah, angka kemiskinan di Aceh secara nyata memang cukup mencengangkan. Berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT) Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jumlahnya mencapai 2,2 juta jiwa. Celakanya, angka ini tumbuh subur jika dibanding tahun 2012 lalu yang masih bergerak di angka 1,7 juta jiwa.
Fakta ini tentu saja membuat miris. Sebab, limpahan anggaran begitu besar mengalir ke Aceh saban tahun, namun tidak linier dengan menurunnya angka kemiskinan di Bumi Serambi Mekkah. Kita juga patut heran, sesungguhnya pemerintah telah memiliki struktur, program, basis data dan anggaran yang bisa digunakan untuk mengangkat kaum papa ini dari jurang kemiskinan.
Itu sebabnya, tak salah jika ada yang beranggapan keberadaan si miskin memang dipelihara, bahkan dilestarikan oleh Pemerintah Aceh. Mereka akan berguna untuk momen-momen khusus seperti Pilkada 2017 mendatang. Para kandidat, kembali menjual kaum miskin dengan janji manis kesejahteraan.
Nah, seperti apa sesungguhnya potret kemiskinan Aceh secara riil? Wartawan MODUS Aceh, Juli Saidi dan Irwan Saputra, menulisnya untuk Laporan Utama pekan ini.***


2,2 Juta Rakyat Aceh Ternyata Masih Miskin


Penanggulangan masyarakat miskin di Aceh masih sekedar retorika dan pemanis panggung pidato. Secara persentase, Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh mencatat terjadi lonjakan angka kemiskinan di Tanah Rencong sebanyak delapan ribu jiwa untuk kurun waktu Maret 2015-September 2015. Secara nyata justru lebih mencengangkan. Data TNP2K menunjukkan jumlah riil kemiskinan di Aceh pada 2015 adalah 2,2 juta jiwa. Ironis!
***
Tak seperti lazimnya tempat tinggal, bangunan berkontruksi kulit pelepah rumbia yang dibangun belasan tahun lalu itu lebih pantas disebut kandang ternak. Bukan hanya karena kontruksi bangunannya yang kian lapuk dan reyot, tapi letak bangunan yang jauh dari kata layak dan sehat untuk dihuni. Maklum, rumah itu berlokasi di bibir sungai, lembab dan kotor.
Tapi, di rumah tak layak huni itulah seorang janda bernama Nursiah (48) menetap bersama dua orang anaknya, Yusnani (17) dan Ramadhani (14). Selama 11 tahun mereka menetap di rumah Jalan Teuku Nyak Arief, Desa Lamgugop, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Kawasan ini hanya beberapa kilometer dari pusat Kantor Pemerintahan Aceh.
Ramadhani saat ini tercatat sebagai siswa VII SLTP Negeri 15 Lampineung, Banda Aceh. Sementara, sang kakak setamat Sekolah Dasar (SD) terpaksa tidak melanjutkan pendidikan karena keterbatasan biaya. Apalagi, kondisi kesehatan Nursiah saat ini sudah jauh menurun. Matanya tak lagi jernih melihat. 
Kamis, 2 Juni 2016 lalu, media ini menyambangi kediaman Nursiah. Musim penghujan akhir-akhir ini membuat hari-hari mereka kian menyedihkan. Air menggenangi sekeliling rumah. Dan, tak jarang, luapan air sungai masuk ke dalam rumah dan menggenangi lantai yang biasa mereka gunakan untuk tidur. "Kami sering begadang jika hujan lebat, karena tidak ada lagi tempat yang tersisa untuk tidur dan berteduh dari guyuran hujan," kata Nursiah lirih.
Untuk penerangan di waktu malam, keluarga Nursiah menerima belas kasih orang sekitar yang bersedia mengaliri aliran listrik ke rumahnya secara cuma-cuma. Semula, Nursiah enggan menerima media ini bertandang dan mewawancarianya, bukan karena tidak mau dan malu dengan keadaan rumah yang begitu memprihatinkan. Tapi, yang membuat Nursiah sakit hati, karena janji-janji yang sering dilontarkan setiap orang yang mendatangi rumahnya, baik wartawan, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun pejabat teras. “Kalau saya hitung, sudah ada 13 rumah saya saat ini, jika semuanya terwujud,” ujar Nursiah dengan nada kesal.
Namun, setelah media ini menjelaskan niat mengapa memilih mendatangi rumahnya, barulah Nursiah mau bercerita keluh kesahnya. Cerita Nursiah, sebagai ibu dan kepala keluarga, setiap pagi hari ia membuat pulut (penganan dari ketan), kemudian menjualnya di samping Jalan Teuku Nyak Arief pada setiap orang yang lalu lalang agar ia bisa menghidupi kedua anaknya.  “Jika laku semua, saya dapat rezeki 20 ribu. Namun, jika tidak laku, kami memilih untuk tidak makan,” kata Nursiah.
Menurutnya, kalau mereka tidak sabar, makan satu waktu bisa tidak memiliki lagi modal untuk jualan pulut esok harinya. Begitu juga terhadap jajan anaknya yang masih sekolah. Nursiah memiliki harapan besar pada putranya Ramadhani. Dia berharap, suatu hari putranya itu bisa menjadi anak yang sukses. Karena itu, Nursiah rela banting tulang meski terkadang lelah dengan beban hidup yang harus ditanggung. "Saya ingin menunjukkan pada anak bahwa kita harus berjuang untuk hidup. Tak perlu mengemis dan meminta-minta pada orang lain," katanya.
Nursiah menjelaskan, di Aceh orang miskin tak ada nilainya di mata penguasa. Bahkan, orang-orang sepertinya seolah sengaja dipelihara untuk dijadikan objek mencari uang dan jabatan. Itu disadarinya dengan seringnya orang mendatangi rumahnya dan menebar janji akan memberikan rumah gratis dengan syarat harus memberikan fotokopi Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) serta foto rumah reyotnya. Sementara, setelah itu tidak ada hasil progres lanjutan. “Saya memang bodoh tapi saya tahu dipermainkan. Saya tahu saya diperjualbelikan. Saya sadar itu,” ungkap Nursiah dengan suara terbata-bata.
Tak sanggup menahan emosi, Nursiah akhirnya menumpahkan sakit hatinya. Sambil menangis, Nursiah mengaku tak memiliki harapan apa pun pada Pemerintah Aceh. “Semua telah hampa,” ujarnya dengan nada setengah teriak dan tangan menyapu kedua bola matanya.
Kesal Nursiah tentu punya alasan, menurutnya orang miskin di Aceh seolah sengaja dipelihara. Buktinya, sampai saat ini, ia tidak mengantongi kartu program perlindungan sosial apa pun, baik Kartu Keluarga Harapan dan Kartu Keluarga Sejahtera. Padahal, di KTP yang ia kantongi saat ini, tercatat sebagai warga Lamgugop, Banda Aceh.
“Kenapa kami selalu luput dari perhatian pemerintah? Sementara, sebulan sampai tiga kali orang mendatangi rumah saya,” kata Nursiah mengkritisi sembari dua anaknya Ramadhani dan Yusnani hanya tertunduk di sebelah ibunya, Kamis pekan lalu.
Kepada media ini, Ramadhani mengaku ingin sekali membahagiakan ibunya saat ia besar nanti. Dia sadar, sebagai anak yang terlahir dari keluarga kurang mampu, maka cita-cita yang digantungkannya pun tidak muluk-muluk. “Saya hanya ingin membahagiakan Mamak, Bang. Jadi PNS (pegawai negeri sipil) biasa saja saya sudah bersyukur. Atau jadi buruh kasar juga tidak apa-apa asal saya bisa membahagiakan Mamak,” ujarnya polos.
Potret kehidupan Nursiah tak beda jauh dari keluarga Hanafiah Abdullah (60) dan istrinya Nurasiah (50) pemegang Kartu Keluarga Harapan, Keluarga Sejahtera, Kartu Perlindungan Sosial dan Kartu Indonesia Sehat, yang beralamat di Dusun Cut Nyak Dien, Desa Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh.
Hanafiah dan Nurasiah tinggal hanya berjarak dua ratus meter dari Pendopo Gubernur Aceh. Namun, meski kehidupan keluarga Hanafiah tak separah Nursiah, namun potret kemiskinan juga terpampang jelas dari keluarga itu.
Bayangkan, barangkali sudah jarang ditemukan dalam rumah yang hanya berukuran 5x15 meter persegi, masih bisa hidup empat kepala keluarga (KK) dan sepuluh orang cucu. Karena, keempat anaknya belum memiliki kemampuan secara ekonomi, sehingga terpaksa harus berbagi kamar dan dapur yang selama ini dipakai Nurasiah bersama suaminya. “Kalau masak, kami ya antri, bukan masak bersama,” cerita Nurasiah.
Hanafiah sudah sejak enam bulan lalu berdiam di rumah itu. Sebab, ia diserang stroke dan komplikasi penyakit lainnya. Sehingga, ia tidak mampu lagi untuk menafkahi keluarganya. Sementara istrinya, hanya bisa berjualan pakaian setiap Sabtu dan Minggu di Pidie. “Terkadang Rp 20 ribu per hari tak cukup untuk biaya pulang pergi Banda Aceh-Pidie,” ujar Nurasiah.
Menurut Nurasiah, keadaan ekonominya semakin parah sejak suaminya tidak bisa lagi bekerja sebagai penarik becak barang di Banda Aceh. Sedangkan kebutuhannya, harus membiayai empat cucunya, Rahmat Risky (tamat SMP bekerja bengkel), Yuni Rahayu (putus sekolah pada kelas II SMP), Muhammad Rijal (masih sekolah kelas II SMP) dan Muhammad Riski Subja (7 tahun kelas satu SD). Keempatnya adalah anak dari putri sulungnya yang telah meninggal dunia. Sementara suami almarhumah anaknya memilih untuk menikah lagi tanpa menghiraukan anak-anaknya.
***

Dua rumah tangga tadi hanyalah contoh kecil dari ratusan ribu atau bahkan jutaan rumah tangga miskin di Aceh. Berdasarkan pemutakhiran Basis Data Terpadu (BDT) 2015 yang dilakukan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), sebanyak 530,772 rumah tangga miskin yang ada di Tanah Rencong dengan jumlah individu mencapai 2,2 juta jiwa lebih. Sementara, jumlah penduduk di Aceh sekitar 4,9 juta jiwa pada 2015. 
TNP2K adalah lembaga yang dibentuk pemerintah untuk melakukan percepatan penanggulangan kemiskinan yang diketuai Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Di Aceh, tim ini dikenal dengan sebutan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) dan diketuai Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf. Dia bertanggungjawab langsung pada gubernur. TNP2K bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk melakukan pendataan terhadap warga dengan tingkat ekonomi 40 persen terendah ke bawah. Program ini dikenal dengan Program Pendataan Perlindungan Sosial (PPLS) dan sudah dilakukan sejak 2005, 2008, 2011 dan pemutakhiran terakhir pada 2015.
Total jumlah rumah tangga miskin Aceh itu dibagi dalam empat klaster atau disebut desil. Masing-masing desil satu atau kelompok masyarakat dengan tingkat kesejahteraan 10 persen terendah (rumah tangga sangat miskin) di Aceh yaitu sebanyak 101.409 rumah tangga dengan jumlah individu di dalamnya 540.295 jiwa. Desil dua atau kelompok masyarakat dengan tingkat kesejahteraan 20 persen terendah (miskin) yaitu sebanyak 126.351 rumah tangga atau 558.500 jiwa. Desil tiga atau kelompok masyarakat dengan tingkat kesejahteraan 30 persen terendah (hampir miskin) sebanyak 162.149 rumah tangga atau 626.780 jiwa. Dan desil empat atau kelompok masyarakat dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terendah (rentan miskin) sebanyak 140.863 rumah tangga atau sebanyak 474.559 jiwa.

Jumlah warga miskin ini tumbuh subur jika dibandingkan dengan kondisi pada 2012 lalu. Berdasarkan BDT 2012, jumlah rumah tangga miskin di Aceh hanya sebanyak 1,7 juta jiwa--tidak termasuk kelompok masyarakat dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terendah.
Bertambahnya jumlah masyarakat miskin di Aceh, diakui pengamat ekonomi usaha kecil menengah (UKM) Dr. Iskandarsyah Madjid SE,MM dari Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala. Salah satu penyebabnya karena banyak program Pemerintah Aceh selama ini tumpang tindih. Selain itu, program yang dilaksanakan cenderung bagi-bagi uang. “Pemerintah hanya membagi-bagikan uang,” kata pengamat ekonomi UKM dan juga tenaga ahli di Bappeda Aceh, Dr. Iskandarsyah Madjid, di Lampriet, Banda Aceh, Kamis pekan lalu. Begitu ironikah? Inilah fakta dan kondisi rakyat Aceh dibawah kepemimpinan dr. Zaini Abdullah.***

 

 Kabid Statistik Sosial BPS Aceh, Abdul Hakim
Rakyat Miskin Aceh Meningkat

Peningkatan masyarakat miskin di Aceh terjadi di kawasan pedesaan. Itu diakui Kepala Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Abdul Hakim. Kepada media ini, Abdul Hakim mengaku jumlah angka kemiskinan di Aceh memang meningkat. Seperti apa penjelasan BPS Aceh? Berikut penuturannya pada Irwan Saputra dari MODUS ACEH, di Kantor BPS Aceh, Jalan Tengku Daud Beureueh, Banda Aceh Rabu pekan lalu.

Bagaimana kondisi kemiskinan di Aceh saat ini?Kemiskinan di Aceh meningkat. Pada September 2015 jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Aceh mencapai 859 ribu orang atau 17,11 persen. Bertambah sebanyak delapan ribu jiwa dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2015 yang jumlahnya 851 ribu orang atau 17,08 persen.
Bagaimana pemetaannya?
Selama periode Maret 2015 hingga ke September 2015, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan mengalami penurunan sebesar 0,21 persen atau dari 11,13 persen menjadi 10,92 persen. Sedangkan di daerah pedesaan mengalami peningkatan yaitu 0,12 persen atau dari 19,44 persen menjadi 19,56 persen.
Penyebabnya?
Peran komoditi makanan terhadap garis kemiskinan lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Sehingga, mengakibatkan sumbangan terhadap garis kemiskinan pada September 2015 sebesar 76,02 persen sedangkan pada Maret 2015 adalah 75,97 persen.
Apa saja komoditi makanan yang berpengaruh terhadap kemiskinan?
Komoditi makanan yang berpengaruh terhadap nilai garis kemiskinan di perkotaan relatif sama dengan pedesaan, di antaranya beras, rokok kretek filter, dan ikan seperti tongkol, tuna dan cakalang. Sedangkan untuk komoditi bukan makanan yang berpengaruh terhadap nilai garis kemiskinan adalah biaya perumahan, bensin, listrik dan pendidikan.
Bagaimana tingkat kedalaman kemiskinan?
Pada periode Maret 2015 hingga September 2015, indeks kedalaman kemiskinan (P1) mengalami kenaikan dari 3,104 menjadi 3,111. Sementera itu, indeks keparahan kemiskinan (P2) naik dari 0,832 menjadi 0,841.
Ada berapa faktor sebenarnya yang mengakibatkan kenaikan jumlah dan persentase penduduk miskin di Aceh?
Faktornya ada dua. Sejak periode September 2014 hingga September 2015, nilai tukar petani cenderung menurun dari 97,39 pada Maret 2015 menjadi 96,07 pada September 2015. Begitupun, tingkat pengangguran terbuka dari 7,73 persen pada Februari 2015 menjadi 9,92 persen hingga Agustus 2015. Itu pertama. Kedua adalah inflasi. Pada periode September 2014 sampai Maret 2015 terjadi inflasi sebesar 2,13 persen, sedangkan inflasi periode Maret 2015 hingga September 2015 meningkat menjadi 2,01 persen.
Lalu?
Selama 2013 sampai 2015, jumlah penduduk miskin di Aceh berfluktuasi (tidak tetap). Pada Maret 2013, jumlah penduduk miskin mencapai 842,42 ribu orang atau sebesar 17,60 persen, kemudian naik hingga 881,26 ribu orang atau 18,05 persen pada Maret 2014 dan mencapai angka terendah pada September 2014 yaitu sebanyak 8.376,42 ribu orang 16,98 persen tetapi pada Maret 2015 jumlah kembali meningkat menjadi 851,59 ribu orang atau sebanyak 27,08 persen dan 859 ribu orang atau sebesar 17,11 persen pada September 2015. Itu potret kemiskinan secara sampel kalau secara menyeluruh perlu waktu dan biaya. Kalau sampel itu kita ambil supaya mewakili semua kondisi.
Kalau by name by adress?
BPS hanya mendata saja. Kami tidak boleh merilis dan memberikan data individu kepada siapa pun, dilarang oleh undang-undang. Jadi, kami data karena itu adalah intruksi presiden dan bukan tupoksi BPS. BPS menyerahkan data pada TNP2K kemudian mereka akan berkoordinasi dengan kementerian terkait seperti Kemensos, atau menteri lainlah. Jadi, data itu diperoleh dari BPS, kami kumpulkan pengelolaannya baru penentuan program-programnya dari pemerintah dan kementerian-kementerian terkait.
Jadi, data itu dari BPS juga?
Iya, yang mendatanya BPS. Biasanya ada bantuan seperti raskin, datanya kita berikan. Program itu kan tergantung kemampuan pemerintah berapa yang mereka mampu. Misalnya, secara nasional, 40% penduduk menengah ke bawah tapi kemampuannya tidak sama. Ada masyarakat belum semua bisa dibantu, tergantung anggaran. Tapi, itu di TNP2K, Kementerian Sosial mereka yang mengelola data itu. Kalau evaluasi dalam bentuk makro untuk evaluasi.
Status miskin secara makro masuk dalam desil berapa?
Masyarakat yang berada dalam pembagian/desil 10 persen hingga 20 persen, kalau di atas dari itu kita tidak hitung miskin. Dari semua yang kami peroleh masyarakat miskin di Aceh memang harus dibantu, namun dengan cara yang berbeda. Karena ada masyarakat yang masih mau terima ikan dan belum bisa terima pancing. Ada juga yang tidak mau terima ikan dan mereka lebih memilih pancing, karena telah mampu memancing sendiri. Jadi, pemerintah harus memperhatikan ini. Karena jika kedua orang ini diberikan program yang sama, tidak akan merubah keadaan.***

 Kepala Bappeda/Sekretaris TKPKD Aceh, Zulkifli 
Investasi Swasta dan Industri Belum Jalan
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh, sekaligus Sekretaris Tim Koordinator Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Provinsi Aceh, Zulkifli, tahu betul kondisi angka kemiskinan di Aceh saat ini membludak. Sehingga, sejumlah pertanyaan media ini dijawab panjang lebar oleh mantan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Aceh itu. Sesekali, Kasubbid Pengembangan Kelembagaan, Kependudukan, dan Kesejahteraan Sosial/sekretariat TKPK Aceh, Hasrati, juga ikut menambahkan. Menurut Zulkifli, ada berbagai faktor yang membuat angka kemiskinan terus meroket. Berikut penjelasannya lewat wartawan MODUS Aceh, Juli Saidi. Wawancara berlangsung di ruang kerjanya, Lantai II, Gedung Bappeda Aceh, Banda Aceh, Rabu sore, 1 Juni 2016 lalu.

Secara makro dan mikro, angka kemiskinan Aceh masih tetap tinggi. Pendapat Anda?
Kalau kita mengacu pada RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), target kita untuk mengurangi angka kemiskinan di Aceh tinggi. Baik dikaitkan dengan perkembangan ekonomi dunia atau Indonesia. Karena target kita dalam RPJM 10 sampai 12 persen. Kalau kita lihat realita, tidak mungkin bisa tercapai karena sekarang 17 persen lebih. Makanya, Pemerintah Aceh mengajukan revisi qanun RPJM Aceh kepada DPRA.
Alasan lainnya?
Kondisi nasional harga barang terus naik, sehingga garis kemiskinan naik. Persentase di tahun 2014 sudah mendekati RPJM, kalau konsisten tumbuhnya 2 persen per tahun. Maka, targetnya bisa dicapai. Namun, saat itu, terjadi pergolakan ekonomi karena naiknya harga minyak. Tadinya sudah mendekati RPJM, melonjak lagi menjadi 17 persen.
Ini artinya, program penanggulangan kemiskinan Aceh tidak jalan?
Bukan pembangunan tidak berhasil, tapi ini skenario atau kondisi republik kita saat ini juga ikut berpengaruh. Jadi, bukan pembangunan tidak jalan, tapi investasi swasta di Aceh juga belum tumbuh, sehingga tidak membuka lapangan kerja signifikan. Angka pengangguran juga relatif tinggi, sehingga kemiskinan semakin meningkat. Untuk menuju 12 persen, jumlah kemiskinan Aceh big push. Perlu perencanaan, penganggaran dan semua harus mengacu pada RPJM.
Bisa Anda sebutkan salah satu program Pemerintah Aceh dalam mengurangi angka kemiskinan di Aceh?
Kita sudah buka ruas jalan yang disepakati dalam RPJM dan itu harus tuntas infrastrukturnya. Misalnya di Buloh Seuma, Aceh Selatan dan Trumon. Kalau sudah terbuka jalan, masyarakat di sana bisa membuka akses atau jarak tempuhnya semakin dekat dan bisa melakukan transaksi ekonomi lebih baik. Begitu juga pembangunan jalan lintas tengah dan beberapa kabupaten/kota lain di Aceh. Kalau jalan ini sudah terbuka semua, maka ruang ekonomi masyarakat Aceh ikut terbuka. Itu strategi kita.
Bagaimana mengeluarkan kaum miskin ini dari jurang kemiskinan?
Untuk menuju pada angka kemiskinan yang relatif cepat menurun, maka semua sektor harus mengarah ke sana. Sektor infrastruktur harus bekerja sama tidak bisa sendirian. Jadi, semua sektor harus komitmen mengacu penurunan angka kemiskinan. Misalnya, Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk. Ada balai kerja, berarti membuka kesempatan kerja. Kemudian melatih tenaga-tenaga terampil dengan tenaga skil dari yang tadinya pengangguran bisa mandiri dalam bekerja. Bagaimana membangun UKM-UKM. Misal, ada badan usaha milik desa. Kalau ini bisa berkembang dan diberdayakan, maka angka kemiskinan cepat turun.
Bagaimana belanja modal dalam struktur APBA?
Dalam struktur APBA belanja modal sedikit meningkat. Artinya belanja aparatur semakin mengecil dan belanja modal semakin meningkat dari tahun ke tahun. Tetapi, ini belum signifikan juga. Jadi, pengurangan dan angka kemiskinan dapat dilihat dari lima dimensi. Ada ekonomi, pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar dan aksesibilitas pangan.  Mungkin selama ini, kita melihat dana yang dialokasikan untuk mengatasi kemiskinan sedikit. Itu kalau hanya dilihat dari rumah tidak layak huni dan menghidupkan ekonomi masyarakat miskin. Dalam memprioritas ini, kami membedakan dan semua itu masuk dalam peningkatan ekonomi. Jadi, alokasi anggaran yang dimasukkan untuk menghidupkan berbagai tingkatan usaha. Tujuannya, untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Kalau dilihat kenapa Aceh berada pada sisi kemiskinan yang tinggi? Karena kemampuan masyarakat untuk membelanjakan uangnya. Itu dimensi ekonomi yang paling menonjol. Kalau dilihat angka partisipasi sekolah hampir 100 persen masyarakat Aceh sudah masuk pada pendidikan dasar (SD/SMP) dan usianya meningkat di atas rata-rata sembilan tahun.
Lalu, bagaimana postur anggaran dalam pengurangan angka kemiskinan Aceh?
Untuk menanggulangi kemiskinan dari sisi ekonomi lebih kurang 10 persen dari APBA dan APBK. Ini sesuai dengan kesepakatan dengan Menko PMK (dulu Menkokesra). Sedangkan Aceh sesuai surat edaran gubernur, ada 10 persen yang sudah disisipkan untuk rumah tidak layak huni, baik pembangunan maupun rehabilitasi. Jadi, cukup besar, ditambah lagi dari Dinas Sosial serta Dinas Koperasi dan UKM. Namun, kalau kita total dari berbagai dimensi ini, hampir mencapai 50 persen. Lalu, 20 persen untuk pendidikan sudah Rp 1,2 triliun. Sementara, belanja modal terus meningkat.
Bagaimana kebijakan penanggulangan kemiskinan sesuai RPJM Aceh?
Dilihat dari RPJM, kebijakannya diarahkan pada penyediaan sarana dan prasana perumahan layak huni untuk masyarakat miskin, peningkatan kesejahteraan petani melalui peningkatan pelayanan dan pemasaran hasil. Pembinaan kawasan wisata, UKM, perluasan areal pertanian dan penggunaan lahan-lahan terlantar. Jadi, dengan membuka infrastruktur, membuka peluang. Kemudian, bagaimana melindungi tenaga kerja, melatih tenaga kerja dan terakhir bagaimana meningkatkan pelayanan dasar kepada masyarakat, kesehatan, pendidikan dan air bersih.
Lantas, kenapa angka kemiskinan Aceh masih tinggi?
Pertumbuhan masyarakat Aceh 2,06 persen setiap tahun, sangat tinggi. Jadi, tidak bisa dilihat dari satu sektor saja. Kami sedang menggodok dan menggerakkan simpul ekonomi baru. Pembangunan akses jalan tadi juga untuk pemerataan penduduk. Contoh, gubernur sudah mewacanakan satu daerah satu produk. Tetapi, ketika petani tidak bisa menangani masalah, maka jadi terbengkalai.
Apakah semua kepala dan wakil kepala daerah tahu jumlah angka kemiskinan di Aceh tinggi?
Saya kira masing-masing daerah tahu dan ini sudah terintegrasi. Jadi, bagaimana mengupayakan supaya angka kemiskinan bisa menurun, tidak hanya pemerintahan provinsi, tapi juga kabupaten/kota sampai desa. Kemudian, betapa pun usaha pemerintah dalam menangani kemiskinan besar kalau warga tidak mendukung, tidak akan terjadi. Dalam agama Islam, tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Coba lihat sekarang, fisik sehat tetapi masih meminta-meminta. Jadi, semua harus berpartisipasi, sikap dan mental bukan dari finansial.
Apakah kemiskinan di Aceh selalu tinggi sengaja dipelihara sebagai janji mensejahterakan masyarakat Aceh setiap lima tahun sekali?
Saya kira semua orang tidak suka dikatakan miskin, selain di mata Allah hina juga dari manusia tidak terhormat. Kemiskinan bukan semata-mata karena pemerintah tidak sungguh-sungguh, tetapi karena faktor global dan RPJM nasional sudah direvisi karena memang siklusnya seperti itu. Aceh sudah merevisi dan sudah berubah, cuma belum diqanunkan oleh DPRA. Kalau qanun sudah lahir, maka akan mendekati target pengurangan angka kemiskinan. Penyebab kemiskinan di Aceh ada tiga: budaya, struktural--artinya karena kebijakan dari pemerintah--dan kemiskinan alamiah atau miskin bawaan.
Begitu berpengaruhkah budaya masyarakat terhadap tingginya angka kemiskinan Aceh?
Saya kira faktor budaya punya pengaruh cukup besar. Misalnya, di Kabupaten Bener Meriah, masyarakatnya petani kopi. Mereka punya aset rata-rata setiap keluarga ada dua hektar kebun kopi produktif, belum tanaman lainnya. Mereka sebenarnya sangat produktif tetapi persentase kemiskinannya berada pada posisi 1-2 termiskin. Itu pada pola belanja masyarakatnya. Mereka bukan membeli ikan, daging, dan tidak mereka gunakan pada kebutuhan 10 pokok makanan. Mereka juga tidak membangun rumah yang layak huni karena biasa tinggal di kebun. Begitu juga fasilitas pendukung. Ini yang tidak diperhatikan oleh masyarakat. Sebenarnya, dari sisi ekonomi mereka jauh lebih produktif dari pada yang tinggal di kota-kota.
Baik, apakah Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf sebagai Ketua TKPKD Aceh tahu tingginya angka kemiskinan Aceh tersebut?
Wakil Gubernur tahu dan beliau dulu pernah pimpin langsung rapat  di Bappeda Aceh.***


Empat Tahun Pemerintahan ZIKIR---kecil
Turunkan Kemiskinan Masih Sebatas Janji Manis

Rencana Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan dr. H. Zaini Abdullah-Muzakir Manaf untuk menurunkan angka kemiskinan diprediksi gagal. RPJM 2012-2017 menargetkan angka kemiskinan Aceh menjadi 10 hingga 12 persen, tapi kini masih bertahan 17,11 persen.
***
Sejauh mata memandang, ratusan hektar sawah terbentang luas. Rumput tumbuh hijau menjadi santapan sapi saban hari. Sawah masyarakat Gampong Lamsabang, Cot Yang, Cumcum, Kecamatan Kuta Baro, dan Gampong Lampuja, Limpok, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar dibiarkan tumbuh rumput. Lahan tidur di sana, bukan karena masyarakat malas bercocok tanam. Tapi, macetnya suplai air ke sawah-sawah yang membuat persawahan masyarakat dibiarkan telantar begitu saja.
Maka, potensi ratusan ton padi hanya angan-angan. Kecuali musim tanam sawah tahunan-satu tahun sekali yang dikerjakan setiap bulan September pada tahun berjalan. Masyarakat di dua kecamatan itu hanya bisa menanam padi pada akhir tahun, itu karena hanya menanti air tadah hujan--lazim terjadi pada bulan September hingga November. Untuk memenuhi nutrisi padi dari siraman air, tidak begitu besar biayanya, hanya sekali-kali masyarakat di sana membantu dan menaikkan air dengan mesin pompa.
Sebaliknya, jika saluran irigasi lancar, sudah pasti masyarakat di sana bisa bersawah dua kali dalam setahun, sehingga bisa menutupi kebutuhan pokok masyarakat. Namun, karena infrastruktur yang tidak beres, tentu saja menyumbang angka kemiskinan di Kabupaten Aceh Besar.
Berdasarkan data, tahun 2015 jumlah rumah tangga miskin untuk desil satu--dengan kondisi kesejahteraan sampai 10 persen terendah di Indonesia, Aceh Besar jumlahnya 8,188 rumah tangga atau 40.580 jiwa. Potret di Aceh Besar ini, bukanlah satu-satunya kondisi seperti itu. Tentu kondisi yang sama juga ada di 22 kabupaten/kota lainnya. Total jumlah masyarakat miskin di Aceh sebanyak 2,2 juta jiwa.
“Kami hanya bisa turun sawah setahun sekali karena tidak ada air, sumber air ada tapi salurannya tidak ada,” kata Iskandar, warga Gampong Lamsabang, Jumat pekan lalu.
Tentu, kalimat indah yang diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh 2012-2017 tak sesuai aslinya. Bayangkan saja, Aceh yang bermartabat, sejahtera, berkeadilan dan mandiri berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA), sebagai wujud MoU Helsinki, hanya angan-angan pada Pengantar RPJM Aceh periode dr. Zaini Abdullah-Muzakir Manaf, 2012-2017.
Sebab, target yang direncanakan dalam RPJM Aceh 2012-2017 bahwa kemiskinan Aceh turun menjadi 10 sampai 12 persen, bisa dipastikan meleset jauh. Karena, jumlah masyarakat miskin secara individu berjumlah 2,2 juta lebih. Begitu juga secara persentase, jumlahnya 17,11 persen. Artinya, jika target menurunkan dua persen saja angka kemiskinan Aceh setiap tahun, maka di tahun 2017 masih pada persentase tinggi 15 persen lebih. Itu pun jika prediksi dua persen penurunan angkan kemiskinan Aceh setiap tahun bisa tercapai.
Tapi, alih-alih terwujud dan menjadi kenyataan, yang tetap diterima rakyat hanya janji saja. Karena itu, dibandingkan persentase angka kemiskinan tahun 2014 dengan tahun 2015, justru naik dari 16,98 menjadi 17,11 persen pada tahun 2015.
Meski tren angka kemiskinan Aceh naik, bukan berarti Pemerintah Aceh tidak punya alasan. Sekretaris Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Provinsi Aceh yang juga Kepala Bappeda, Zulkifli, mengaku, Pemerintah Aceh telah melakukan berbagai program. Salah satunya pembangunan 14 ruas jalan di Aceh. Misal, di Buloh Seuma dan Trumon, Aceh Selatan. “Bukan pembangunan kita tidak berhasil, tapi ini skenario atau kondisi republik kita saat ini,” kata Zulkifli didampingi Kasubbid Pengembangan Kelembagaan, Kependudukan, dan Kesejahteraan Sosial Bappeda/Sekretariat TKPKD Aceh, Hasrati, Rabu sore pekan lalu.
Ironis memang, gagal menurunkan angka kemiskinan era Pemerintah ZIKIR, bukan lantas menurunkan nafsu politik untuk memimpin kembali Aceh. Dua tokoh mantan GAM itu justru pecah kongsi dan sama-sama bersemangat untuk maju kembali sebagai orang nomor satu Aceh.
Syahwat politik tadi kian kencang, sehingga Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) berlomba-lomba meningkat citra sang atasan yang kadung meredup jika tidak elok disebut suram di mata masyarakat Aceh. Ini sejalan dengan realita ekonomi rakyat Aceh saat ini. Bayangkan, ada 2,2 juta orang masyarakat miskin di Bumi Serambi Mekkah.
Untuk kondisi memprihatinkan itu, Gubernur Aceh dr. H. Zaini Abdullah, pada 18 Oktober 2014 lalu pernah berujar. Dia meminta SKPA untuk tahun 2015 sampai 2017 merumuskan program pembangunan Aceh. Program yang dimaksud Abu Doto--begitu dia akrab disapa--untuk fokus pada peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat. “Pastikan seluruh rakyat Aceh dapat merasakan hasil pembangunan tanpa diskriminasi,” ujar Abu Doto yang mengaku serius maju kembali.
Begitu juga Ketua TKPKD Aceh yang juga Wakil Gubernur Muzakir Manaf. Pertengahan 2015 lalu, ia sempat berujar bahwa Pemerintah Aceh konsisten membuka akses bagi masyarakat untuk layanan dasar, terutama pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi. Muzakir Manaf juga mengaku, Pemerintah Aceh mendorong pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). “Pemerintah Aceh mendorong perbaikan iklim pertanian, mempercepat pertumbuhan sektor,” kata Mualem, panggilan akrab Muzakir Manaf.
Tapi, lagi-lagi janji itu hanya mudah terucap. Karena angka kemiskinan Aceh tetap saja tinggi dan bertambah hingga mencapai angka 458.687 jiwa (dari 1.741.447 menjadi 2.200.134 jiwa). Sementara itu, Kepala Bappeda Aceh, Zulkifli Hs, memastikan, penurunan angka kemiskinan menjadi 10 sampai 12 persen yang direncanakan dalam RPJM tidak mungkin tercapai. “Target kita dalam RPJM 10 sampai 12 persen. Kalau kita lihat realita, tidak mungkin bisa tercapai, karena sampai saat ini berada pada angka 17 persen lebih,” ujarnya, Rabu sore pekan lalu.***

Ekonom UKM Unsyiah, Dr. Iskandarsyah Madjid
Masalah Dasar Tidak Pernah Diselesaikan

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Dr. Iskandarsyah Madjid, punya argumentasi mengapa soal kemiskinan Aceh selalu tinggi. Amatannya, selama ini, pelaksanaan program Pemerintah Aceh cenderung jangka pendek. Misal, program bagi-bagi uang dan itu tidak mampu mendorong kehidupan masyarakat lebih sejahtera. Sebab, antar dinas juga tidak ada sinkronisasi dalam menjalankan anggaran setiap tahun. Apa saja penjelasan tenaga ahli Bappeda Aceh ini? Berikut penuturannya pada wartawan MODUS Aceh, Juli Saidi, Kamis, 2 Juni 2016 lalu.

Jumlah masyarakat miskin di Aceh terus naik. Pendapat Anda?
Di Aceh, masalah kemiskinan memang tidak pernah terselesaikan dengan baik. Pemerintah hanya membagi-bagikan uang. Ini cara penyelesaian jangka pendek.
Maksud Anda?
Secara jangka panjang, cara seperti itu justru menjadi masalah. Kemiskinan terus bertambah karena orang akan malas mencari uang.
Begitu burukkah dalam merealisasi program?
Susah juga saya katakan, karena yang saya temukan di lapangan lebih pada bagi-bagi uang dan peralatan, bukan secara serius membangun dengan program jangka panjang. Oke masyarakat butuh rumah, tetapi tidak cukup itu. Mereka butuh listrik dan bayar listrik. Jadi, harus secara terintegrasi.
Apa yang seharusnya dilaksanakan Pemerintah Aceh?
Sebenarnya, yang penting bagaimana membangun sektor industri dan usaha, dengan sendirinya akan membuka lapangan pekerjaan.
Bagaimana kondisi riil sektor usaha di Aceh?
Usaha pun masih banyak di sektor perdagangan, bukan produksi. Perdagangan juga menyebabkan capital flight. Artinya, uang mengalir keluar daripada berputar di Aceh. Itu salah satu faktor. Kedua, pemerintah belum mampu menjaga harga, terutama menjelang hari-hari besar, harga barang meroket.
Apakah itu yang membuat masyarakat Aceh banyak miskin?
Itu menyebabkan orang miskin bertambah, karena kemampuan belinya tambah rendah. Ketiga, permasalahan public service. Misalnya, listrik yang tidak stabil, sehingga pengusaha harus menggunakan genset, air macet dan harus beli. Harga meningkat, sedangkan harga jual tidak membaik.
Lalu?
Jadi, ini menyebabkan penambahan biaya, semua menambah biaya di sektor usaha dan membuat orang semakin terpuruk. Ini yang belum terpikirkan oleh pemerintah.
Bagaimana solusinya persoalan tersebut?
Konsisten melayani masyarakat dan menjaga harga. Karena dalam struktural pemerintah, ada dinas yang bekerja untuk itu. Jadi, tidak sekompleks yang kita bayangkan. Cuma, mau tidak? Kalau dari visi dan misi sudah bagus, aplikasinya masih tumpang tindih. Misalnya, dalam pemberdayaan masyarakat masih atas dasar kepentingan sesaat.
Ini artinya program Pemerintah Aceh selama ini tidak terprogram untuk jangka panjang?
Tidak, saya tak melihat secara jangka panjang bagaimana membangun sektor industri yang produktif. Bagaimana masyarakat memproduksi sendiri, paling tidak kebutuhannya. Memang pemerintah sudah melakukan di sektor padi dengan mendirikan pabrik besar, tetapi jadi besi tua karena tidak ditangani serius. Saat masyarakat panen, padinya dibeli oleh pengusaha dari Medan dan berasnya dijual kembali ke Aceh.
Kemudian yang kaya tetap bukan orang Aceh?
Artinya, yang banyak mendapatkan keuntungan pengusaha di Medan, capital kita terus habis dan tidak mampu mendongkrak ekonomi. Itu baru sektor kecil, misalnya di sektor pertanian, justru orang yang diuntungkan daripada kita.
Apakah Pemerintah Aceh tidak mampu atau tidak ada niat?
Pada aplikasinya masih jauh, karena antara dinas-dinas belum ada sinkronisasi dalam pengambilan kebijakan, sehingga tidak mampu mendongkrak ekonomi. Saya tidak mengatakan mereka jelek, tetapi karena tidak bersama, masing-masing mengklaim bahwa ini binaannya. Walaupun ada tumpang tindih itu-itu saja. Jadi, tidak ada pengembangan produktif.
Lantas, di mana kelemahan Pemerintahan Aceh selama empat tahun?
Mungkin yang paling fatal dari sisi koordinasi. Orang kuat jalan sendiri-sendiri. Kalau koordinasinya tidak jelas, maka muncul Asal Bapak Senang (ABS). Dari sisi dana, juga banyak, tetapi karena tidak fokus jadi habis begitu saja dan tidak ada efek. Kalau misalnya fokus tahun ini bidang X, hingga mereka mampu bersaing kemudian baru cari yang lain.
Bappeda mengaku Pemerintah Aceh sudah berbuat?
Yang dilakukan memang ada. Oke buka jalan, tetapi hulu dan hilirnya apa? Justru jalan itu memudahkan orang Medan beli padi. Makanya, kalau tidak sinergi untuk apa? Hanya sekedar jalan. Saya melihat belum ada sinergi.
Ini menunjukan Pemerintah Aceh belum optimal berbuat?
Saya yakin keinginan mereka punya, cuma tidak cukup. Itu harus dilandasi keinginan yang cukup kuat dengan koordinasi, harus mengajak semua komponen masyarakat untuk membangun bersama, tidak bisa hanya pemerintah. Membangun secara bersama, musyawarah dan mufakat. Pemerintah juga harus menjamin listrik stabil. Selama ini, harus ada rencana, harus ada plan A dan B.
Pemerintahan Aceh selalu mengaku serius menurunkan angka kemiskinan?
Mungkin tidak semua stake holder mendukung kebijakan ini. Masing-masing punya ego sendiri. Maka, dalam pelaksanaannya jadi kacau balau. Contohnya, PU (Dinas Pekerjaan Umum) bangun jalan, Telkom menggali jalan, jadi rusak lagi karena tidak ada koordinasi. Makanya, masing-masing dinas harus duduk bersama, jangan jalan sendiri. Dinas-dinas yang kecil senang-senang saja, untuk mendapatkan bu tamah (nasi tambah). Tetapi, tidak ada hasilnya.
Lalu?
Saya pikir, Pemerintah Aceh sudah membuat satker pemberantasan kemiskinan, tetapi bukan hanya yang tertulis tetapi pelaksanaannya. Hulu ke hilir sudah ada support-nya. Misal, padi, bagaimana meningkatkan jumlah satu hektarnya, kemudian bagaimana padi itu bisa diolah di Aceh dan bisa dipasarkan sendiri.
Apakah kemiskinan itu sengaja dipelihara, sehingga menjadi bahan kampanye politik?
Susah juga dibilang dipelihara karena ada payung. Misalnya, dituangkan dalam visi-misi atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh. Mungkin hanya payung saja. Contoh, ekonomi sudah ada, payung Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah ada, tetapi belum semua dipakai. Saya melihat dari sisi positifnya.
Baik, apakah bongkar pasang Kepala SKPA (Satuan Kerja Perangkat Aceh) juga mempengaruhi jumlah angka kemiskinan?
Bisa jadi, selama Pemerintah ZIKIR (Zaini Abdullah-Muzakir Manaf) sudah berapa kali ganti SKPA. Tentu, program yang pernah dijabarkan kepala dinas lama, sulit dilaksanakan kepala dinas baru. Ini soal ego masing-masing pejabat dan punya kepentingan sendiri, sehingga ditemukanlah program tumpang tindih.***