Monday, June 27, 2016

Wagub Aceh, Muzakir Manaf : Allah yang Tahu dan Rakyat Berhak Menilai


 Allah yang Tahu dan Rakyat yang Menilai

      
Mualem
 Empat tahun sudah mendampingi Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah, diakui Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem berjalan tanpa koordinasi yang baik. 
Banyak keputusan dan kebijakan yang tidak melibatkan dirinya sebagai Wakil Gubernur Aceh. Kondisi ini semakin membuat pembangunan Aceh relatif tanpa arah dan berjalan atas selera pribadi, keluarga maupun kelompok. Padahal, harapan rakyat Aceh begitu besar terhadap pasangan Zaini-Muzakir (ZIKIR) ini. “Awalnya, saya punya feeling akan mempunyai kendala dalam bekerjasama dengan dr. Zaini. Tetapi, saya berpikir saat itu harus mengambil sikap dan menerima permintaan petinggi dan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) demi kepentingan perjuangan pasca perdamaian Aceh,” begitu ungkap Mualem.
“Karena niat suci membangun Aceh pasca konflik dan tsunami itulah, saya kemudian bersedia mendampingi Zaini Abdullah pada Pilkada 2012. Padahal, kalau saya mau dan berambisi untuk memegang kekuasaan, sudah terjadi sejak Pilkada 2006 silam, bukan Irwandi Yusuf. Semua rakyat Aceh tahu bahwa kemenangan ZIKIR saat itu ada pada kekuatan komando Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh (PA) di bawah perintah saya bukan dr. Zaini,” lanjut Mualem.
Tapi, harapan rakyat Aceh, mantan kombatan GAM maupun korban tsunami terkait adanya perbaikan pembangunan dan kesejahteraan saat ini, ternyata tidak ada tanda-tanda ke arah lebih baik. Itu sebabnya, setelah beristikharah, bertanya dan meminta restu para ulama maupun berkonsultasi dengan berbagai elemen rakyat Aceh di Medan, Jakarta bahkan luar negeri, akhirnya saya bismillah untuk maju sebagai calon Gubernur Aceh bersama TA Khalid.
Nah, apa saja pendapatnya tentang empat tahun kepemimpinan Abu Doto menakhodai Aceh dan posisinya sebagai orang nomor dua? Berikut penuturan Muzakir Manaf, didampingi staf khususnya Wen Rimba Raya pada wartawan MODUS ACEH, Muhammad Saleh, Jumat pekan lalu di Banda Aceh.***

Sebagai manusia baharu, sudah sepantasnya saya minta maaf jika empat tahun kepemimpinan bersama Gubernur dr. Zain Abdullah belum mampu memberikan yang terbaik, sesuai harapan rakyat Aceh. Kenapa saya minta maaf? Hanya Allah SWT yang tahu dan rakyat Aceh berhak untuk menilainya.
Tapi, secara pribadi, bukan berarti tak ada niat saya untuk melakukan yang terbaik bagi rakyat Aceh, mantan kombatan GAM maupun korban tsunami. Saya benar-benar bisa merasakan dan memahami suasana batin yang terjadi di Aceh saat ini. Sebab, sebelum damai (MoU Helsinki, 15 Agustus 2005), saya dan kawan-kawan selama belasan tahun berjuang di Aceh, bukan luar negeri. Dan, Alhamdulillah, saya masih diberi umur panjang oleh Allah SWT. Ini berarti, ada tanggung jawab yang harus saya pikul, terutama masa depan anak yatim serta janda-janda syuhada korban konflik, pejuang Aceh Merdeka yang telah syahid dalam perjuangan.
Saya bersama ribuan pejuang GAM, setiap hari bertemu dengan rakyat, terutama di gampong-gampong. Dari sorot mata mereka, dapat saya tangkap, ada keinginan dan kerinduan untuk melangkah, menuju kehidupan yang lebih baik. Ini sesuai dengan potensi dan kekayaan alam Aceh yang kita punya. Tapi nyatanya, harapan itu belum seindah dengan kenyataan yang terjadi saat ini. Bahkan, di luar dugaan saya, beberapa orang yang dianggap petinggi malah melupakan perjuangan serta rela meninggalkan tanggung jawab perjuangan demi nafsu kekuasaan.
Sebenarnya, tahun pertama saya mendampingi Abu Doto, suasana pemerintahan begitu nyaman dan berjalan sesuai dengan visi dan misi yang kami gagas bersama. Saya berusaha keras untuk itu, termasuk meraih kemenangan. Begitupun, memasuki tahun kedua, di antara kami mulai ada perbedaan, terutama soal program pembangunan dan pemberdayaan terhadap mantan kombatan GAM. Di satu sisi, saya diminta untuk mengawasi semua itu dengan baik. Di sisi lain, “kaki dan tangan” saya terikat, sehingga tak bisa berbuat banyak. Saya kira, rakyat Aceh paham dan mengerti mengenai posisi ini.
Bahkan, di beberapa tempat dan acara, saya sudah menjelaskan secara jelas dan terang tentang posisi dan peran saya dalam Pemerintah Aceh saat ini. Begitupun, beban dan tanggung jawab itu wajib saya pikul, sesuai amanah almarhum Tgk Hasan Muhammad Di Tiro pada saya.
"Lidah lön ka lön koh tasamböng bak gata, dan gaki lön ka lön koh dan ka lön samböng bak gaki gata, aneuk loen Muzakir. Peu ek kagulam tanggung jaweub nyoe (lidah sudah saya potong dan sambungkan pada kamu dan kaki saya sudah saya potong dan sambungkan pada anakku Muzakir. Apakah kamu sanggup menerima tanggung jawab ini)?” begitu pesan Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Tgk Hasan Di Tiro. Saya jawab, “Insya Allah, Wali. Akan lön ba semampu lön (insya Allah, Wali. Akan saya jalankan semampu saya)." Ini yang saya lakukan terus agar tetap menjaga dan mempersatukan bangsa Aceh.
Sebagai Wakil Gubernur Aceh, sesungguhnya saya tak berharap banyak. Selain ada porsi tugas dan tanggung jawab yang jelas dari Gubernur Aceh, juga koordinasi yang rutin terkait masalah pembangunan dan kebijakan tentang Aceh. Namun, memasuki tahun kedua hingga empat saat ini, hal itu tak saya dapatkan lagi, terutama dalam gonta-ganti pejabat SKPA.
Peran saya sebagai Wakil Gubernur Aceh telah teramputasi. Ini harus saya katakan dengan jelas agar rakyat Aceh, khususnya mantan kombatan GAM tahu dan paham. Sebaliknya, semua itu bukan berarti saya lari dari tanggung jawab. Tapi, memang tak bisa berbuat banyak. Semua yang berbau Mualem disikat! Sayang, jika ada pejabat yang kerjanya baik dan bagus, tapi kena mutasi juga karena hanya ada masukan atau bisikan bahwa dia (pejabat) itu dekat dengan saya.
Tapi, pada mereka, saya katakan sabar, sebab Allah SWT tidak tidur. Yang benar itu tetap benar. Kalau emas tetap emas, yang perak tetap perak. Yang berkualitas dan loyal di antara mereka, tetap saya perhatikan jika insya Allah saya terpilih pada Pilkada 2017 mendatang. Karena itu, mari rapatkan barisan bersama sama-sama untuk rakyat Aceh lebih baik.
Secara tata kelola pemerintahan, posisi wakil gubernur bukanlah ban serap. Ini yang perlu saya pertegas. Sebab, antara ban serap dengan satu kesatuan unit mobil sangat berbeda. Apa mungkin mobil bisa berjalan tanpa bensin walaupun sopirnya pembalap formula 1? Tentu tidak. Begitu juga dengan ban, apa bisa mobil melaju dengan baik dan mulus jika salah satu ban bocor? Pasti mobil tadi oleng.
Ini artinya, harus ada kesatuan gerak dan tindak dari pengendara mobil tadi. Berbeda dengan ban serap, dia baru kita butuhkan jika ban benar-benar tidak bisa kita gunakan lagi dan posisi itu ada pada pejabat atau kepala SKPA. Ini bermakna, posisinya hanya untuk emergensi saja. Jika tak baik bekerja, maka bisa diganti dalam hitungan bulan. Sementara, saya naik satu paket bersama Zaini Abdullah dan tak mungkin diganti di tengah jalan seperti kepala SKPA.
Nah, memahami situasi dan kondisi inilah, saya kemudian berpikir dan merenung dengan seksama, apakah membiarkan suasana ini terus terjadi atau saya harus mengambil-alih kepemimpinan pada Pilkada 2017 mendatang. Saya beristikharah, bertanya pada ulama, kaum terpelajar, mantan kombatan GAM serta elemen rakyat Aceh lainnya di Jakarta bahkan luar negeri. Hasilnya, Allah SWT memberikan ketetapan hati untuk saya maju sebagai calon Gubernur Aceh pada Pilkada 2017 mendatang. Lalu, muncul dukungan dari berbagai elemen masyarakat, terutama di gampong-gampong yang menginginkan perubahaan dan kemajuan.
Pertanyaannya kemudian adalah semudah itukah? Tentu saja tidak! Aceh tak bisa kita bangun sendiri atau bersama keluarga maupun kelompok. Aceh baru bisa kita bangun jika ada saling mendukung dan bahu-membahu. Karena itulah, sejak awal saya berpikir dan mewujudkan adanya koalisi bersama antara Partai Aceh (parlok) dengan partai nasional (parnas). Sebab, saya sadar, tanpa kerja sama yang baik ini, sulit rasanya membangun Aceh yang sejahtera.
Tapi, lagi-lagi, keinginan itu tak hanya mendapat tantangan dan hambatan dari luar PA, tapi juga dari beberapa orang di internal PA. Namun, saya tetap sadar dan haqqul yaqin, suatu niat dan perbuatan yang baik, pasti banyak tantangan. Dan, saya tidak akan mundur atau surut satu langkah pun ketika keputusan sudah saya ambil.
Keinginan saya menggandeng partai nasional, bukan semata-mata ingin meraih kemenangan dan berkuasa. Sebab, insya Allah dengan posisi PA saat ini di parlemen Aceh dan kabupaten serta kota. Termasuk kepala daerah, bupati dan wali kota, saya yakin bisa naik tanpa adanya koalisi dengan parnas. Tapi, saya berpikir untuk masa depan pembangunan Aceh yang lebih baik. Alangkah indahnya jika Aceh kita bangun atas fondasi bersama: parlok dan parnas. Sekali lagi saya tegaskan bahwa jabatan gubernur bukan segalanya dalam kehidupan saya, tapi demi kepentingan Aceh, saya siap mengorbankan darah maupun nyawa.
Jadi, berjuang untuk memenangkan pilkada di tahun politik 2017 adalah pertarungan penting bagi seluruh jajaran KPA/PA, elemen pendukung serta seluruh rakyat Aceh, namun yang penting menjaga perdamaian menuju Aceh sejahtera dan bermartabat.
Partai itu kan hanya simbol dan instrumen politik saja. Yang nyata adalah tubuh dan diri kita, tempat kita dilahirkan, dibesarkan atau juga dikuburkan di Aceh, tanoh endatu yang kita cintai ini. Karena itu, marilah sama-sama kita bangun negeri ini.
Itu tugas saya, sehingga ketika saatnya ada yang tidak lagi sepakat dengan koalisi yang sama-sama kita gagas dan bangun dulu. Saya akan katakan pada kawan-kawan di KPA/PA bahwa kami sudah mengajak saudara-saudara dari parnas untuk bersama-sama dan berpikir bagi kemajuan Aceh dan jika ada yang tidak bersedia. Itu berarti tak ikhlas berbuat untuk Aceh. Karena itu, saya serahkan kepada rakyat Aceh untuk menilainya dan bersikap.***


  • Sunber : Tabloid MODUS ACEH


Ekonom UKM Unsyiah, Dr. Iskandarsyah Madjid: Saya Mau Bilang Baik Tidak Mungkin


Saya Mau Bilang Baik Tidak Mungkin

Dr. Iskandarsyah Madjid
Dr. Iskandarsyah Madjid, SE, MM mafhum betul kondisi nyata investasi di Aceh selama empat tahun terakhir. Itu sebabnya, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) ini mengaku tidak mungkin pertumbuhan investasi di Aceh berjalan baik. Karena itu, walau Pemerintah Aceh mengatakan ada penambahan investasi, semua itu tak lebih hanya pada penambahan modal. Tapi, jika dilihat dari investasi padat karya, masih belum bergerak. Buktinya, angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi.
Sebagai bukti empat tahun Pemerintah Aceh di bawah kendali dr. H. Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, persoalan infrastruktur masih menjadi persoalan mendasar di Aceh untuk mendatangkan investor. Misal, kesiapan Aceh menyiapkan energi listrik pada usaha investasi. Nah, seperti apa pengakuan akademisi Unsyiah yang juga aktif sebagai pengusaha ini? Berikut wawancara Juli Saidi dari MODUS ACEH dengan Dr. Iskandarsyah Madjid, SE, MM di Lampriet, Banda Aceh, Selasa, 21 Juni 2016 lalu.

Dilantik 25 Juni 2012 sampai 25 Juni 2016, genap empat tahun Zaini Abdullah menjabat Gubernur Aceh. Pendapat Anda tentang investasi di Aceh?
Kalau bicara investasi, yang paling mendasar sebenarnya infrastruktur investasi. Faktanya, menurut saya, sampai hari ini belum terlaksana dengan baik. Jadi, bagaimana mau menghadirkan investor dari dalam dan luar negeri kalau infrastruktur tidak siap.
Infrastruktur seperti apa yang Anda maksud?
Contoh paling gampang, listrik. Sampai hari ini belum tuntas. Padahal, sumber energi listrik cukup banyak di Aceh. Namun, tetap saja terjadi pemadaman hampir saban hari. Bagi investor, jika listrik tak cukup tentu menjadi biaya tinggi.
Berarti menjadi persoalan mendasar?
Ya, karena sampai hari ini belum dibenahi. Sebaliknya, memang pemerintah telah menetapkan kawasan industri di Aceh seperti Lampulo, Banda Aceh dan Krueng Raya, Aceh Besar. Tapi, sampai saat ini belum ready untuk investor. Dan, ini bukan masalah kecil atau sepele. Dan, persoalan infrastruktur untuk operasional lainnya seperti air bersih. Investasi akan masuk jika iklimnya nyaman. Misal, adanya kemudahan-kemudahan dalam perizinan dan kesiapaan orang-orang di dalamnya. Menurut saya, Aceh saat ini masih terlalu dini dikatakan siap.
Ini sama artinya bahwa empat tahun kepemimpinan Zaini Abdullah, banyak persoalan investasi di Aceh belum siap atau tak jalan?
Ya, banyak hal yang tidak mendukung investasi secara keseluruhan. Pemerintah Aceh harus tahu bahwa saat seseorang berinvestasi, tentu memerlukan biaya tinggi untuk melengkapi infrastruktur tersebut. Jika persoalan mendasar ini belum siap, tak mungkin mereka mau masuk ke Aceh.
Apa dampaknya jika infrastruktur tidak pernah terselesaikan oleh Pemerintah Aceh?
Otomatis orang akan enggan berinvestasi. Karena masalah itu akan membuat biaya tinggi bagi investor. Jadi, infrastruktur harus diselesaikan dulu, sehingga saya yakin investor akan datang, karena hitungan-hitungannya profit.
Anda menyebut investasi tidak bergerak di Aceh, maksudnya?
Salah satu bukti, masyarakat tidak ada pekerjaan. Artinya, dengan investasi, akan mengurangi pengangguran dan menurunkan angka kemiskinan.
Dalam penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBA) 2015, Pemerintah Aceh mengaku investasi justru tumbuh baik?
Meningkat dan tumbuh baik dari sisi apa? Volume atau nilai investasinya? Kalau uang berarti padat modal bukan padat karya. Sehingga, tidak bisa menjawab masalah tenaga kerja karena lebih banyak modal daripada orang-orang. Mestinya, kita mencari investasi yang padat karya. Tujuannya, menyerap tenaga kerja. Karena memang tingkat pengangguran kita meningkat.
Kemudian?
Jika disebut investasi tumbuh dengan baik berdasarkan komitmen atau MoU, mungkin bisa ratusan. Tetapi, soal implementasi memangnya sudah ada berapa? Lagi-lagi, investor enggan masuk Aceh karena memang infrastrukturnya tidak siap. MoU memang banyak, tapi yang mana sudah direalisasi? Jadi, itu yang kita lihat. Mungkin secara padat modal, besar. Terjadi kenaikan nilainya. Tapi, padat karya bagaimana? Investasi mungkin ada, cuma seperti apa yang dibutuhkan sekarang. Saat ini adalah investasi padat karya, orang bisa banyak bekerja, sehingga ada efek. Yang bekerja pun orang-orang Aceh.
Baik, begitu berpengaruhkah investasi padat karya di Aceh?
Ya, karena padat karya mengakibatkan terserapnya tenaga kerja di Aceh. Dan, otomatis akan mengurangi angka kemiskinan serta pengangguran. Pemerintah Aceh jangan hanya melirik dan mengandalkan investor padat modal atau membawa tenaga kerja dari luar Aceh, sehingga nggak ada dampak yang positif kepada daerah.
Strategi lain?
Menggunakan modal daerah. Pemerintah harus mempersiapkan infrastruktur dengan baik. Selain insentif yang diberikan kepada calon investor juga membuat mereka tertarik. Daerah lain juga memberikan insentif yang cukup baik, sehingga mereka mau datang. Tapi, kalau di awal sudah diganggu, ya nggak bisa.
Jadi, semua ini ada dana sendiri di APBA. Kita mau sudah siap, sehingga ke depan investor tinggal datang saja, mempersiapkan kantornya di Aceh, workshop di sini. Nggak perlu mikir lagi masalah listrik, air, jalan dan tenaga kerja. Semua sudah tersedia dalam kawasan industri tersebut. Jadi, memudahkan orang untuk datang.
Dalam LKPJ APBA 2015, Pemerintah Aceh mengaku sektor sawit terus bertambah. Pendapat Anda?
Lahan sawit investasi di bidang pertanian, tapi semakin terbatas dan mengandalkan lahan daerah tertentu serta sudah tidak ada lahan lagi untuk dikembangkan. Mungkin faktor yang perlu dilirik adalah pengolahannya, dari buah menjadi CPO (minyak sawit mentah). Dari CPO menjadi minyak goreng. Itu yang harus dipikirkan, sehingga Aceh tidak terikat lagi minyak goreng dari luar. Justru bisa menyuplai minyak goreng dari Aceh ke luar daerah.
Ada pendapat faktor keamanan juga menyebabkan iklim investasi di Aceh tidak tumbuh?
Keamanan nggak masalah. Waktu konflik dulu, PT Arun, PT PIM, PT KKA dan PT AAF bisa kok jalan. Kalau bagi investor menguntungkan, walau kondisi ribut, hitung-hitung biaya keributan ia tetap investasi. Tapi, masalahnya soal regulasi. Hari ini sudah oke besok lain lagi. Investor pusing. Belum lagi masalah listrik yang sebentar-bentar harus pakai genset. Jadi, biaya tinggi, sementara harga produk tidak bisa dinaikkan, tetapi biaya pengeluaran meningkat. Biaya solar dan bensin serta mesin. Sebentar-bentar listrik mati bisa merusak mesin.
Lalu?
Prinsip dasar adanya investasi ke Aceh baik pertanian, perikanan, atau pabrik semen untuk menjawab kebutuhan. Kebutuhan apa? Kebutuhan tenaga kerja dan tempat pekerjaan, berkurangnya angka kemiskinan, meningkatnya mutu pendidikan, meningkatnya pertumbuhan ekonomi.
Jadi, menurut Anda, belum ada kabar gembira masalah investasi di Aceh selama empat tahun ini?
Saya mau bilang baik juga nggak mungkin, karena indikatornya kemiskinan meningkat, pengangguran meningkat, iklim investasi juga tidak menarik. Kalau saya mau mengatakan baik, susah, karena indikator menunjukkan sebaliknya. Keterbatasan air bersih misalnya, juga menentukan. Kalau itu nggak siap, ndak bisa. Dan, karena pengurusan perizinan yang rumit, sehingga investor pindah ke daerah lain.
Apa yang harus dilakukan Pemerintah Aceh saat ini dengan sisa waktu satu tahun lagi?
Harus ada strategi yang bagus, semua SKPA harus ikut. Menurut saya, daerah harus ada kawasan industri, supaya terjadi pengelompokan dan juga efisien dalam mengatur. Jadi, memudahkan dalam mengelola industri. Kemudian, tinggal bagaimana pemerintah fokus, walaupun masih ada sisa satu tahun lagi, nanti dilanjutkan pemerintahan baru.***


  • Sumber : MODUS ACEH 



Ekonom Unsyiah, Dr. Amri, SE, M. Si : Unggulnya Hanya Mutasi SKPA

Ekonom Unsyiah, Dr. Amri, SE, M. Si
Unggulnya Hanya Mutasi SKPA
Doktor. Amri
Akademisi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Dr. Amri, SE, M.Si, mengaku, baik atau buruknya kinerja Pemerintah Aceh selama empat tahun, tidak sulit mengukurnya. Misal, masih tingginya angka kemiskinan di Aceh. Ini menunjukkan bahwa kinerja Pemerintah Aceh tidak baik selama kepemimpinan dr. Zani Abdulllah atau akrab disapa Abu Doto. Itu sebabnya, Dr. Amri, SE, M.Si menilai, keunggulan selama Pemerintah ZIKIR (Zani Abdulllah-Muzakir Manaf) hanya ada pada angka kemiskinan yang masih tinggi dan unggul dalam gonta-ganti Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA). Berikut wawancara Juli Saidi dari MODUS ACEH dengan Dr. Amri, SE, M.Si di Masjid Lampineung, Banda Aceh, Selasa siang, 21 Juni 2016 lalu.

Apa pendapat Anda empat tahun kepemimpinan Abu Doto?
Saya melihat ada kemajuan, tetapi tidak seperti yang diharapkan. Artinya, kalau bicara pembangunan intinya membicarakan tentang kinerja. Berbicara kinerja, menurut saya ada dua aspek.
Apa itu?
Pertama, manajemen pemerintahan. Kedua, dari aspek ekonomi. Saya melihat, kenapa kemajuan ekonomi ini tidak tercapai. Pertama, dari sudut manajemen pemerintahan, SKPA kurang kompak. Eksekutif dan legislatif juga sudah kurang akur.
Apa indikatornya?
Indikatornya adalah selalu terjadi keterlambatan pengesahan anggaran. Kedua, selalu terjadi pergantian kepala dinas (SKPA). Idealnya, kepala dinas itu diganti lima tahun sekali. Sekali naik dan sekali mundur. Artinya sekali pelantikan gubernur, sekali diganti kepala dinas. Kecuali ada persoalan yang tidak bisa dihindari dari profil dan performance kepala SKPA tadi. Saat ini, apa yang mau dikerjakan? Setahun, dua sampai tiga kali kepala SKPA diganti.
Dampaknya?
Program yang sudah dibuat, tidak bisa dikerjakan, sehingga banyak program-program yang tercantum sesuai visi misi gubernur yang ada dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) dan program tahunan, banyak yang tidak sinkron.
Kenapa tidak bisa sinkron?
Kami banyak menganalisis itu, dari aspek manajemen pemerintahan misalnya, sangat “rapuh”. Sehingga, berdampak pada program yang dikerjakan tahun ini, tahun depan nggak bisa dikerjakan lagi. Kita nggak tahu apa kondisi dan penyebabnya, apakah Baperjakat tidak bekerja dan berfungsi. Sehingga, setahun harus diganti kepala SKPA dua kali atau ada faktor lain.
Kemudian?
Dari aspek ekonomi banyak indikatornya. Pertama, kemiskinan. Jujur, saya katakan terkejut melihat angka kemiskinan Aceh saat ini. Begitu juga angka pengangguran. Lain lagi tingkat inflasi di daerah sangat tinggi. Dan, mungkin biaya hidup yang paling tinggi di seluruh Indonesia setelah Irian Jaya adalah Aceh.
Kenapa itu bisa terjadi?
Bisa dicek. Kenapa ini terjadi? Karena tidak dikontrol dari semua mata rantai ekonomi. Contoh, harga daging saja yang paling mahal di Indonesia adalah Aceh. Padahal, ada bantuan daging tiap tahun melalui LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik). Lembaga ini melakukan pengadaan bibit sapi, mungkin satu tahun sampai Rp 40 miliar. Nah, ke mana sapi-sapi itu saat ini?
Berarti lemah sekali Pemerintah Aceh dalam mendongkrak ekonomi?
Ya, pembangunan ekonomi saya lihat rapuh. Indikatornya adalah tingkat kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data yang sudah di-publish BPS (Badan Pusat Statistik) beberapa waktu lalu sangat menyedihkan. Kenapa ini terjadi, mata rantainya panjang.
Kesalahannya di mana?
Ya, tidak sinkron bekerja antar SKPA dalam pengentasan kemiskinan. Sementara, kepala SKPA setahun dua kali diganti. Jadi, apa yang mau dikerjakan? Padahal, kepala dinas atau badan yang ada di bawah gubernur merupakan orang yang menjalankan visi dan misi gubernur. Semua visi misi itu ada di dinas dan badan. Kalau kepala dinas dan badan diganti setahun dua kali apa yang dikerjakan?
Maksud Anda?
Maksud saya begini, kita ngomong jujur sajalah. Berbicara tentang kinerja adalah data dan fakta. Kalau seperti itu manajemen yang dilakukan dalam pemerintahan, maka program-program yang ada di dinas, nggak bisa dikerjakan.
Akibatnya?
Orang akan oportunis. Kenapa muncul sifat oportunis? Karena program yang dia dibuat akan dikerjakan orang lain. Kalau ini terjadi, apa konsekuensinya? Tentu tidak nyambung.
Kenapa itu bisa terjadi pada Pemerintah Abu Doto?
Karena kepemimpinan top management di Aceh “tidak kuat”. Tidak ada strong leadership. Kita memahami semua aspek ini. Di bawah gubernur, ada sekda dan asisten-asisten. Istilahnya menko. Ada menko ekonomi yaitu asisten II. Menko kesejahteraan sosial yakni asisten III. Masing-masing ada asisten dan membawahi dinas-dinas.
Artinya, pergantian SKPA berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan tanggung jawab ada pada Abu Doto?
Ya. Gubernur boleh membuat visi dan misi yang bagus, RPJP dan membuat RPJM yang indah. Boleh membuat program pembangunan yang ideal. Tapi, sampai pada dinas, terjemahannya sudah lain lagi. Nggak sinkron atau cakap tak serupa bikin. Cakap lain, bikin lain. Kenapa bisa terjadi? Karena yang mengeksekusi semua program pemerintahan itu adalah dinas. Tapi, kalau kadis atau kepala SKPA terus berganti, bagaimana dia melaksanakan? Itu dari aspek pemerintahan. Jadi, runut. Kalau ini tidak bagus, maka untuk ekonomi juga akan merembes.
Buktinya?
Angka kemiskinan tinggi. Kalau 2,2 juta itu data riil, tentu sangat menyedihkan. Dulu, saya berprediksi tetap di 17-20 persen, tapi sudah 42 persen. Kalau jumlah penduduk Aceh 5,2 juta, yang miskin 2,2 juta, berarti 40 persen lebih. Manajemen pemerintahan berembes pada ekonomi.
Buruknya kondisi ekonomi Aceh, patutkah disalahkan SKPA semata?
Tidak bisa begitu. Top management yaitu Abu Doto tidak bisa melepaskan kesalahan pada anak buah. Kenapa bisa demikian, karena program yang dikerjakan hari ini bukan program dia, melainkan program orang lain. Itu terjadi karena gemar lakukan mutasi.
Anggaran besar bila dibandingkan sebelum Aceh damai, namun kesejahteraan masyarakat tidak pernah terselesaikan selama empat tahun?
Fakta sudah ada, masyarakat tidak sejahtera. Daya beli masyarakat di kampung rendah, kemiskinan tinggi, pengangguran tinggi. Banyak faktor terjadi. Bisa program tumpang tindih dan tidak ada koordinasi antar dinas. Kalau saya melihat, koordinasi dan sinkronisasi kurang. Masing-masing jalan sendiri-sendiri.
Kenapa?
Karena kepala dinas ada yang diganti enam bulan sekali, ada yang 11 bulan. Ini kan nggak boleh. Coba cek di seluruh Indonesia, ada nggak pergantian kepala dinas setahun dua kali? Kita nggak tahu apa ada salah Baperjakat atau ada tim bisik gubernur, sehingga dia lakukan itu.
Lalu?
Kalau saya melihat secara objektif, berdasarkan data kemiskinan, kita sudah ada output sekarang. Saya mengatakan manajemen pemerintahan rapuh. Indikatornya adalah tingkat kesejahteraan masyarakat. Indikator lainnya dalam pemerintahan, sering sekali terjadi bongkar pasang SKPA, eselon II, eselon III, eselon IV.
Begitu burukkah manajemen Abu Doto?
Nggak semuanya negatif, ada juga yang positf. Yang positif misalnya pembangunan jalan dari Takengon ke Lhokseumawe dan daerah lain. Namun, kalau melihat tingkat kemiskinan, lebih banyak negatifnya ketimbang positifnya. Itu indikator yang saya pakai.
Kenapa maju atau tidaknya Aceh, Anda melihat pada indikator tersebut?
Karena tujuan pemerintahan adalah menyejahterakan rakyat. Indikator kesejahteraan adalah tingkat kemiskinan. Kalau banyak orang miskin berarti orang tidak sejahtera. Mungkin itu orang yang tidak mampu, tidak punya daya beli. Semua aspek, tidak punya pendidikan, tidak punya perumahan, dan seterusnya.
Kenapa angka kemiskinan masih tinggi?
Menurut saya, anggaran itu tidak diarahkan ke program pengentasan kemiskinan. Sehingga, yang terjadi seperti ini. Ndak salah juga karena dibangun infrastruktur. Infrastruktur kan sifatnya jangka panjang untuk mengundang investor. Tapi, investor juga nggak ada. Investor yang ada hanya atas kertas, di gambar. Kalau di lapangan nggak ada investor.
Kenapa Anda katakan tidak ada investor?
Kalau memang ada investor kan bisa menyejahterakan orang lain. Bisa mempekerjakan orang lain. Dengan mempekerjakan orang lain, maka orang akan ada penghasilan, angka pengangguran dan kemiskinan juga akan berkurang. Ini kan tidak ada.
Lalu?
Program pembangunan tidak diarahkan untuk program pengentasan kemiskinan, untuk menyejahterakan rakyat. Menyejahterakan rakyat secara umum, oke infrastruktur. Membangun Masjid Raya, bangun jembatan kan itu tidak menyentuh langsung untuk kesejahteraan rakyat. Makanya, program pengentasan kemiskinan dan menurut hemat saya yang paling bagus adalah by name by address, apa persoalannya itu yang diselesaikan.
Menurut Anda, apa yang menjadi unggulan Aceh di bawah kepemimpinan Abu Doto?
Sejauh ini belum tampak, kecuali unggul dalam gonta-ganti SKPA. Setahun bisa dua kali bahkan lebih. Kalau bicara kesejahteraan, angka kemiskinan masih tinggi.***


  • Sumber : Tabloid Modus Aceh