Pemukulan,
Perkelahian dan Tuduhan Pengeroyokan
AKBP Goenawan Dwiyanto |
Pasca
insiden antara AKP Marzuki dengan keluarga Mahdi Usman, jajaran Polda Aceh
membantah telah terjadi pemukulan, sebaliknya perkelahian bahkan pengeroyokan.
Kepala Desa setempat menilai keluarga Mahdi Usman tak taat aturan desa, sebab
tak melapor ke aparat desa, tapi langsung ke Polda Aceh dan meminta media pers memberitakannya.
Gawat!
Fanny
Tasfia Mahdi (25) mengaku sakit hati jika mengingat kasus pemukulan yang
menimpa ayah dan adik-adiknya. Apalagi kejadian nahas tersebut terjadi pada bulan
suci Ramadhan, sehingga kesucian bulan yang penuh rahmah, maghfirah dan itqun
minannar ini ternodai karena perbuatan murka angkara yang tak terkendali.
Akibatnya, meski Fanny dan
keluarganya tinggal bersebelahan dengan Marzuki, dia mengaku dendam jika
mengingat perilaku keluarga Marzuki terhadap keluarganya. “Bayangkan, seorang
perwira bersikap demikian. Di mana letak wibawa seorang polisi,” kritik Fanny.
Ia menjelaskan, antara keluarganya dengan
keluarga Marzuki memang bersikap dingin selama ini, meski diakuinya ia pernah
mencoba membangun komunikasi dengan Marzuki. Misal, bertanya tentang kenakalan
remaja. “Pak, kalau orang-orang pakai knalpot olong itu pidana nggak? Oh, itu pelanggaran,” cerita Fanny,
menirukan saat ia menanyakan kepada Marzuki beberapa waktu lalu.
Namun, sikap dingin itu dipicu oleh
batas tanah yang hingga saat ini tak mampu diselesaikan oleh kedua belah pihak,
termasuk oleh aparat desa setempat. Informasi yang diperoleh media ini, bangunan
rumah keluarga Mahdi Usman nyelonong 20 sentimeter ke tanah Marzuki. Termasuk ikut
nyelonong 20 sentimenter pada tanah Khairuddin, tanah milik tetangga sebelah kirinya.
“Jikapun gara-gara batas tanah, tak mestiknya harus terjadi pemukulan seperti
ini,” jelas Fanny.
Tersebab batas tanah, ditambah lagi
dengan adanya salah paham Marzuki terhadap Yadainal, sehingga berujung pada
pemukulan. Itulah ihwal terjadinya konflik antara dua keluarga yang bersangketa
tersebut.
Yang menarik, Kabid Humas Polda
Aceh, AKBP Gunawan Dwiyanto, membantah jika kejadian nahas tersebut adalah
pemukulan atau penganiayaan. Sebaliknya, AKBP Gunawan membangun “alibi” baru
bahwa yang terjadi adalah perkelahian. Bahkan, kata Gunawan, AKP Marzuki nyaris
dikeroyok oleh keluarga Mahdi Usman. “Jadi, itu bukan pemukulan, tapi
perkelahian,” ujar Gunawan saat ditemui media ini di ruang kerjanya, Kamis
pekan lalu.
Gunawan mengakui, yang diduga
memukul itu adalah AKP Marzuki, polisi yang bertugas di Direktorat Narkoba Polda
Aceh. Namun, ia mengatakan kasus tersebut tidak ada kaitannya dengan instansi Kepolisian,
melainkan masalah pribadi yang telah lama terjadi antara keluarga Mahdi Usman
dengan AKP Marzuki, terkait permasalahan batas tanah.
“Karena
kalau masalah pribadi, tanggung jawab hukumnya juga pribadi. Jangan bawa-bawa
institusi. Kebetulan AKP Marzuki bertugas di Polda Aceh. Tapi, tanggungjawabnya
tetap personal,” tegas AKBP Gunawan.
Menurut
Gunawan, Marzuki dikepung dan dikeroyok oleh tujuh orang anggota keluarga Mahdi
Usman. “Informasi ini setelah kami kroscek secara seimbang,” ungkap Gunawan. Namun,
ia mengaku tidak bermaksud melakukan pembelaan, melainkan memberi informasi
yang sebenarnya. Meskipun demikian, pembelaan apa pun yang dilakukan Marzuki,
sebagai polisi yang bertugas pelindung, pelayan dan pengayom masyarakat,
perbuatan seperti itu tidak dibenarkan.
Hingga
saat ini, laporan tersebut sedang ditangani Kanit Reskrim dan Propam Polda Aceh
untuk dilakukan proses penegakan hukum. “Sekarang, tahap pemeriksaan saksi-saksi.
Nanti unsur apa yang terbukti, penyidik kami yang akan menentukan pasal hukum
yang dilanggar Marzuki,” jelas Gunawan.
Pihaknya
dalam melakukan pemeriksaan, sebut Gunawan, tetap berpegang pada asas praduga
tak bersalah pada Marzuki. Alasannya, “Karena kita tidak boleh men-judge bahwa seseorang itu bersalah. Jikapun
mungkin adanya kesalahan, tapi harus dilihat secara komprehensif dan integral,
secara menyeluruh dan saling terkait. Karena menurutnya, masalah ini bukanlah
masalah yang muncul tiba-tiba melainkan merupakan masalah lama,” papar Gunawan.
Selain
itu, sebut Gunawan. “Jadi, biar hukum yang membuktikan. Apalagi, masalah ini ibarat
api dalam sekam. Masalah lama yang belum tuntas,” ujar Gunawan. Gunawan kembali
menekankan, informasi bahwa Marzuki melakukan pemukulan tidaklah benar. Yang benar
adalah Marzuki dipukul duluan dengan balok dan dikeroyok oleh keluarga Mahdi. Sementara
Marzuki, seorang perwira polisi yang memiliki kemampuan bela diri yang bagus,
tentu mempertahankan diri.
“Dalam
berita, diinformasikan korban diserang. Logikanya, masak tujuh lawan satu. Tapi,
yang benar adalah satu dikeroyok oleh korban dan saudara-saudaranya. Jadi,
silahkan nanti dianalisis,” saran Gunawan.
Menurut
Gunawan, apa yang disampaikan pihaknya merupakan kejadian yang sebenarnya. Jika
memang ada indikasi pelanggaran hukum, pihaknya akan menyampaikan apa adanya,
tanpa ada upaya membela. Ini dimaksudkan agar proses terjadi secara objektif
dan terungkap semua.
“Dalam
kasus ini, kami akan periksa para saksi, Marzuki dan isterinya, keluarga korban
juga diperiksa, semua akan diperiksa. Visum akan menjadi alat bukti. Jadi, perlu
saya tegaskan, ini akan diproses secara hukum. Karena, dalam catatan resmi
polisi, Marzuki belum pernah melakukan tindak kriminal atau pelanggaran etik
seperti ini. Itu murni masalah pribadi yang terkait masalah tanah,” jelas Gunawan.
Pengakuan
Gunawan, setali tiga uang dengan Fachri A Madjid, kepala desa setempat. Menurut
Fachri, kasus pemukulan itu dilatarbelakangai oleh kasus lama yang belum terselesaikan
hingga saat ini, yaitu batas tanah. Sehingga, menjadi pemicu kedua keluarga untuk
bersikap dingin satu sama lainnya.
Diakuinya,
Badan Pertanahan Negara (BPN) pernah didatangkan untuk mengukur tanah yang
disebutkan menjadi masalah di balik kasus tersebut. Hasilnya, setelah diukur,
rumah milik Mahdi Usman nyelonong 20 sentimeter ke tanah Marzuki. Begitu juga
dengan tanah Khairuddin, tetangganya sebelah kiri. “Kasus kemarin itu memang
dipicu gara-gara masalah tanah,” ujar Fachri yang ditemui media ini, Kamis
pekan lalu.
Terkait
masalah perkelahian, ia mengungkapkan telah berusaha untuk mengajak kedua pihak
agar diselesaikan di tingkat desa. Ini sesuai aturan dalam surat keputusan
bersama Gubernur Aceh dan Kapolda Aceh Tahun 2010. Isinya, jika terjadi perkelahian
dapat diselesaikan di tingkat desa. Nyatanya, sebut Fachri, keluarga Mahdi
Usman langsung melapor ke Polda Aceh dan meminta media pers menyebarkan kejadian
ini. “Padahal, sebelumnya, kedua belah pihak sudah sepakat untuk damai, tapi
sudah ada di koran. Jadi, kami selaku kepala desa, terpaksa diam diri dulu,”
ujar Fachri.
Lantas, apa kata Marzuki? Pada media
ini dia mengaku tak bersedia membuat klarifikasi atas berita yang beredar.
Sebaliknya, dia mengaku cukup tersudut dengan berita yang ada, karena ada
anggapan bahwa dia (polisi) tak tahu aturan dan dianggap ikut menjelekkan citra
polisi lainnya.
“Percuma
saya klarifikasi. Yang ada, kesannya saya membela diri. Biar nanti sama-sama kita
melihat, apakah saya seperti yang dituduhkan,” jawab Marzuki saat dihubungi media
ini melalui telepon seluler.
Dia
juga mengaku, permasalahan ini ada kaitannya dengan persoalan batas tanah. Menurut
Marzuki, rumah Mahdi Usman telah menyelonong tanahnya beberapa puluh sentimeter.
“Seharusnya ini tidak terjadi. Apalagi, dia adalah seorang hakim,” sebut
Marzuki yang mengaku belum bersedia untuk diajak bertemu.***