Sunday, June 26, 2016

Pemukulan, Perkelahian dan Tuduhan Pengeroyokan


Pemukulan, Perkelahian dan Tuduhan  Pengeroyokan

AKBP Goenawan Dwiyanto

 
Pasca insiden antara AKP Marzuki dengan keluarga Mahdi Usman, jajaran Polda Aceh membantah telah terjadi pemukulan, sebaliknya perkelahian bahkan pengeroyokan. Kepala Desa setempat menilai keluarga Mahdi Usman tak taat aturan desa, sebab tak melapor ke aparat desa, tapi langsung ke Polda Aceh dan meminta media pers memberitakannya. Gawat!
           
Fanny Tasfia Mahdi (25) mengaku sakit hati jika mengingat kasus pemukulan yang menimpa ayah dan adik-adiknya. Apalagi kejadian nahas tersebut terjadi pada bulan suci Ramadhan, sehingga kesucian bulan yang penuh rahmah, maghfirah dan itqun minannar ini ternodai karena perbuatan murka angkara yang tak terkendali.
            Akibatnya, meski Fanny dan keluarganya tinggal bersebelahan dengan Marzuki, dia mengaku dendam jika mengingat perilaku keluarga Marzuki terhadap keluarganya. “Bayangkan, seorang perwira bersikap demikian. Di mana letak wibawa seorang polisi,” kritik Fanny.
            Ia menjelaskan, antara keluarganya dengan keluarga Marzuki memang bersikap dingin selama ini, meski diakuinya ia pernah mencoba membangun komunikasi dengan Marzuki. Misal, bertanya tentang kenakalan remaja. “Pak, kalau orang-orang pakai knalpot olong itu pidana nggak? Oh, itu pelanggaran,” cerita Fanny, menirukan saat ia menanyakan kepada Marzuki beberapa waktu lalu.
            Namun, sikap dingin itu dipicu oleh batas tanah yang hingga saat ini tak mampu diselesaikan oleh kedua belah pihak, termasuk oleh aparat desa setempat. Informasi yang diperoleh media ini, bangunan rumah keluarga Mahdi Usman nyelonong 20 sentimeter ke tanah Marzuki. Termasuk ikut nyelonong 20 sentimenter pada tanah Khairuddin, tanah milik tetangga sebelah kirinya. “Jikapun gara-gara batas tanah, tak mestiknya harus terjadi pemukulan seperti ini,” jelas Fanny.
            Tersebab batas tanah, ditambah lagi dengan adanya salah paham Marzuki terhadap Yadainal, sehingga berujung pada pemukulan. Itulah ihwal terjadinya konflik antara dua keluarga yang bersangketa tersebut.
            Yang menarik, Kabid Humas Polda Aceh, AKBP Gunawan Dwiyanto, membantah jika kejadian nahas tersebut adalah pemukulan atau penganiayaan. Sebaliknya, AKBP Gunawan membangun “alibi” baru bahwa yang terjadi adalah perkelahian. Bahkan, kata Gunawan, AKP Marzuki nyaris dikeroyok oleh keluarga Mahdi Usman. “Jadi, itu bukan pemukulan, tapi perkelahian,” ujar Gunawan saat ditemui media ini di ruang kerjanya, Kamis pekan lalu.
            Gunawan mengakui, yang diduga memukul itu adalah AKP Marzuki, polisi yang bertugas di Direktorat Narkoba Polda Aceh. Namun, ia mengatakan kasus tersebut tidak ada kaitannya dengan instansi Kepolisian, melainkan masalah pribadi yang telah lama terjadi antara keluarga Mahdi Usman dengan AKP Marzuki, terkait permasalahan batas tanah.
“Karena kalau masalah pribadi, tanggung jawab hukumnya juga pribadi. Jangan bawa-bawa institusi. Kebetulan AKP Marzuki bertugas di Polda Aceh. Tapi, tanggungjawabnya tetap personal,” tegas AKBP Gunawan.
Menurut Gunawan, Marzuki dikepung dan dikeroyok oleh tujuh orang anggota keluarga Mahdi Usman. “Informasi ini setelah kami kroscek secara seimbang,” ungkap Gunawan. Namun, ia mengaku tidak bermaksud melakukan pembelaan, melainkan memberi informasi yang sebenarnya. Meskipun demikian, pembelaan apa pun yang dilakukan Marzuki, sebagai polisi yang bertugas pelindung, pelayan dan pengayom masyarakat, perbuatan seperti itu tidak dibenarkan.
Hingga saat ini, laporan tersebut sedang ditangani Kanit Reskrim dan Propam Polda Aceh untuk dilakukan proses penegakan hukum. “Sekarang, tahap pemeriksaan saksi-saksi. Nanti unsur apa yang terbukti, penyidik kami yang akan menentukan pasal hukum yang dilanggar Marzuki,” jelas Gunawan.
Pihaknya dalam melakukan pemeriksaan, sebut Gunawan, tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah pada Marzuki. Alasannya, “Karena kita tidak boleh men-judge bahwa seseorang itu bersalah. Jikapun mungkin adanya kesalahan, tapi harus dilihat secara komprehensif dan integral, secara menyeluruh dan saling terkait. Karena menurutnya, masalah ini bukanlah masalah yang muncul tiba-tiba melainkan merupakan masalah lama,” papar Gunawan.
Selain itu, sebut Gunawan. “Jadi, biar hukum yang membuktikan. Apalagi, masalah ini ibarat api dalam sekam. Masalah lama yang belum tuntas,” ujar Gunawan. Gunawan kembali menekankan, informasi bahwa Marzuki melakukan pemukulan tidaklah benar. Yang benar adalah Marzuki dipukul duluan dengan balok dan dikeroyok oleh keluarga Mahdi. Sementara Marzuki, seorang perwira polisi yang memiliki kemampuan bela diri yang bagus, tentu mempertahankan diri.
“Dalam berita, diinformasikan korban diserang. Logikanya, masak tujuh lawan satu. Tapi, yang benar adalah satu dikeroyok oleh korban dan saudara-saudaranya. Jadi, silahkan nanti dianalisis,” saran Gunawan.
Menurut Gunawan, apa yang disampaikan pihaknya merupakan kejadian yang sebenarnya. Jika memang ada indikasi pelanggaran hukum, pihaknya akan menyampaikan apa adanya, tanpa ada upaya membela. Ini dimaksudkan agar proses terjadi secara objektif dan terungkap semua.
“Dalam kasus ini, kami akan periksa para saksi, Marzuki dan isterinya, keluarga korban juga diperiksa, semua akan diperiksa. Visum akan menjadi alat bukti. Jadi, perlu saya tegaskan, ini akan diproses secara hukum. Karena, dalam catatan resmi polisi, Marzuki belum pernah melakukan tindak kriminal atau pelanggaran etik seperti ini. Itu murni masalah pribadi yang terkait masalah tanah,” jelas Gunawan.
Pengakuan Gunawan, setali tiga uang dengan Fachri A Madjid, kepala desa setempat. Menurut Fachri, kasus pemukulan itu dilatarbelakangai oleh kasus lama yang belum terselesaikan hingga saat ini, yaitu batas tanah. Sehingga, menjadi pemicu kedua keluarga untuk bersikap dingin satu sama lainnya.
Diakuinya, Badan Pertanahan Negara (BPN) pernah didatangkan untuk mengukur tanah yang disebutkan menjadi masalah di balik kasus tersebut. Hasilnya, setelah diukur, rumah milik Mahdi Usman nyelonong 20 sentimeter ke tanah Marzuki. Begitu juga dengan tanah Khairuddin, tetangganya sebelah kiri. “Kasus kemarin itu memang dipicu gara-gara masalah tanah,” ujar Fachri yang ditemui media ini, Kamis pekan lalu.
Terkait masalah perkelahian, ia mengungkapkan telah berusaha untuk mengajak kedua pihak agar diselesaikan di tingkat desa. Ini sesuai aturan dalam surat keputusan bersama Gubernur Aceh dan Kapolda Aceh Tahun 2010. Isinya, jika terjadi perkelahian dapat diselesaikan di tingkat desa. Nyatanya, sebut Fachri, keluarga Mahdi Usman langsung melapor ke Polda Aceh dan meminta media pers menyebarkan kejadian ini. “Padahal, sebelumnya, kedua belah pihak sudah sepakat untuk damai, tapi sudah ada di koran. Jadi, kami selaku kepala desa, terpaksa diam diri dulu,” ujar Fachri.
            Lantas, apa kata Marzuki? Pada media ini dia mengaku tak bersedia membuat klarifikasi atas berita yang beredar. Sebaliknya, dia mengaku cukup tersudut dengan berita yang ada, karena ada anggapan bahwa dia (polisi) tak tahu aturan dan dianggap ikut menjelekkan citra polisi lainnya.
“Percuma saya klarifikasi. Yang ada, kesannya saya membela diri. Biar nanti sama-sama kita melihat, apakah saya seperti yang dituduhkan,” jawab Marzuki saat dihubungi media ini melalui telepon seluler.
Dia juga mengaku, permasalahan ini ada kaitannya dengan persoalan batas tanah. Menurut Marzuki, rumah Mahdi Usman telah menyelonong tanahnya beberapa puluh sentimeter. “Seharusnya ini tidak terjadi. Apalagi, dia adalah seorang hakim,” sebut Marzuki yang mengaku belum bersedia untuk diajak bertemu.***

Adu Jotos Jelang Buka Puasa


Adu Jotos Jelang Buka Puasa

Fanny Tasfia Mahdi, Mahdi Usman dan Sabariah
Diduga karena salah paham soal batas tanah yang tak kunjung selesai, AKP Marzuki, perwira Direktorat Narkoba Kepolisian Daerah Aceh terlibat adu jotos dengan Mahdi Usman dan keluarganya. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat ini sempat babak belur dan pingsan. Kasus itu sudah ditangani Propam Polda Aceh.

Irwan Saputra

Satu unit Avanza hitam perlahan memasuki Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Perwakilan Aceh, Jalan Kuta Alam, Banda Aceh. Dari mobil itu, turun sepasang suami isteri berusia paruh baya dengan senyum yang dipaksakan. Dia berusaha menyapa sejumlah wartawan yang ada di sana.
Dengan wajah bengkak dan membiru, sang suami melangkah gontai, perlahan menaiki tangga kantor itu. Sementara, isterinya menyusul di belakang dan terlihat sibuk menelpon anaknya yang sedang berada di Kanit Reskrimum Polda Aceh untuk melengkapi Berkas Acara Perkara (BAP). “Ya, tunggu di sana! Apa Bunda bilang? Jangan ke mana-mana,” ujarnya, Senin pekan lalu sambil menutup telepon selulernya. Beberapa wartawan yang sudah menunggu, satu per satu menyalami keduanya.
Pasangan suami isteri itu adalah Mahdi Usman, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, dan isterinya Sabariah, Kader Partai NasDem Aceh. Hari itu, keduanya sengaja menyambangi Kantor PWI Aceh untuk melakukan konferensi pers. Soalnya, mereka tidak menerima perlakuan semena-mena AKP Marzuki terhadap Mahdi Usman dan tiga anaknya, Fanny Tasfia Mahdi (25), Yadaina Aulia (23) dan Ruhil Fatana (16) serta adik iparnya Mulyadi, yang terjadi di Desa Lamtemen Barat, Dusun Lam Awe I, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh.
Pada sejumlah wartawan, keduanya menceritakan kronologis pemukulan yang dilakukan perwira Sub Dit III di Direktorat Narkoba, Polda Aceh ini. Katanya, pemukulan tersebut berulang kedua kali terjadi. Pertama, Minggu 12 Juni 20016 lalu, sekitar pukul 14.30 WIB. Hari itu, korban keganasan Marzuki adalah Yadainal Aulia, Mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh yang baru saja pulang dari pasar. Sebelum masuk pekarangan rumahnya, ia berhenti tepat setentang antara perbatasan rumah keluarganya dan rumah Marzuki. Yadainal bergegas merogoh saku celananya dan menelepon temannya Riski Hidayat. Keduanya telah berjanji untuk bertemu. “Di mana kamu?” tanya Yadaina menggunakan handset (alat pengeras suara). “Saya di dalam rumah,” jawab Riski yang sudah berada di dalam rumah Yadainal.
Rupanya, saat itu, Marzuki berdiri di depan pintu pagar rumahnya, tak jauh dari Yadainal. Saat Yadainal sedang asik ngobrol dengan kawannya, sekonyong-konyong Marzuki melayangkan pukulan ke wajah Yadainal. “Kurang ajar, ya. Nggak sopan kamu, ngata-ngatain saya,” cerca Marzuki murka.
Yadainal yang tak sadar kehadiran Marzuki, seketika tersungkur ke tanah bersama motornya. Darah segar muncrat dari hidungnya. Riski yang melihat kejadian itu dari dalam rumah langsung berlari ke arah Marzuki, “Pak, Pak. Kenapa pukul teman saya?!” protes Riski.
Marzuki yang sudah kadung murka tak terima dengan protes Riski. Ia pun mengejar Riski. Beruntung, remaja itu berhasil menyelamatkan diri. Di saat Marzuki meninggalkan Yadainal yang telah tersungkur ke tanah, perlahan Yadainal bangun dengan kepala pusing dan menghampiri Marzuki yang tengah diamuk murka. “Pak, kenapa memukul saya bulan-bulan puasa? Saya tadi  sedang menelepon teman saya,” tanya Yadainal dengan raut wajah meringis kesakitan. Sementara, tangannya memegang hidungnya yang terjadi pendarahan.
Sontak, ekpresi wajah Marzuki berubah, “Hah.” Perlahan dia melangkah menuju rumahnya tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Rupanya, Marzuki salah menduga. Sementara, Yadainal mendirikan kembali motornya yang jatuh bersamaan dengan dirinya dibantu oleh Riski yang sempat lari karena dikejar oleh Marzuki.
Atas kejadian hari itu, Yadainal tak tinggal diam, dia melaporkan pemukulan terhadap dirinya pada kepala dusun setempat, Fahril Kamal. Lalu, melapor juga pada Babinsa dan Polsek setempat hingga Kanit Reskrim Polda Aceh. Sebelumnya, dia pergi ke Rumah Sakit Bayangkara untuk berobat dan melakukan visum. Selain itu, dia juga menceritakan kejadian tersebut pada ibunya, yang mendampingi ayahnya sebagai hakim bertugas di Jakarta.
Tak terima atas kejadian itu, Mahdi Usman dan Sabariah (ayah-ibu korban) pulang ke Aceh. Tujuannya untuk menyelesaikan kasus pemukulan tersebut. Setiba di kampung, keduanya langsung menyambangi kediaman Kepada Desa, Fachri A Majid dan Kepala Dusun Fahril Kamal untuk menanyakan kasus pemukulan terhadap anaknya oleh Marzuki. “Tunggulah penyelesaian di desa saja,” ujar Sabariah meniru perkataan Fachri A Majid.
Dalam masa menunggu penyelesaian itu, Mahdi dan Sabariah mulai mencium gelagat tidak baik dari Marzuki. Meski diakui keduanya, Marzuki telah menyesali perbuatannya dan ingin perdamaian pada aparat desa setempat. Namun, Marzuki masih kerap mengganggu anak-anaknya.
Sabariah menceritakan, suatu sore setelah kejadian itu, anaknya keluar rumah untuk membeli penganan berbuka puasa. Karena rumahnya bersebelahan, maka setiap hendak keluar, mereka harus melewati rumah Marzuki.
Ho yah kah? Ho yah kah? Hรถi keunoe (Di mana ayah kamu? Di mana ayah kamu? Panggil ke sini)!” ujar Sabariah meniru cerita anaknya yang dibentak Marzuki. Begitupun, meski sehari sebelumnya Yadainal telah menjadi korban murka Marzuki, besok paginya, Marzuki masih saja membentak anak-anaknya. “Kenapa kamu nggak berani-berani keluar, kenapa?” cerita Mahdi.
“Jadi, sudah demikian, sehingga niat damai memang tidak tak terlihat dari dirinya. Karena diganggu terus, sehingga anak-anak menjadi trauma,” tambah Mahdi Usman.
Karena merasa terancam, apalagi Marzuki adalah seorang perwira polisi, Mahdi bersama Sabariah, Kamis siang itu juga melaporkan perilaku Marzuki ke Kanit Reskrim Polda Aceh, “Pak, kami kemari bukan untuk melapor lagi. Tapi, untuk mewanti-wanti karena melihat gelagat tidak baik dari Marzuki. Memang beliau telah mengatakan ingin berdamai pada aparat desa atas kasus yang menimpa Yadainal. Tapi, dia kerap membentak anak kami saat hendak keluar rumah,” cerita Sabariah.
Rupanya, dugaan Sabariah dan Mahdi benar. Jelang Maghrib dan buka puasa atau sekitar pukul 18.30 WIB, Marzuki kembali “mengamuk”. Kali ini menghajar Mahdi Usman, bersama anaknya-anaknya, Fanny Tasfia Mahdi, Yadainal Aulia, dan Ruhil Fatana (anak bungsu) serta Mulyadi--adik iparnya.
Ihwal kejadian itu bermula saat Mulyadi bermain ke rumahnya sore itu, sambil menjemput ibu dan anaknya. Ketika mau pulang, Mahdi menahan Mulyadi agar jangan pulang dulu. Mahdi minta agar Mulyadi menceritakan tentang batas rumah yang diduga telah menjadi sengketa dengan batas tanah Marzuki. Tujuannya biar cepat selesai. Mahdi ingin masalah dapat diluruskan dengan Marzuki, sehingga tidak menimbulkan fitnah. “Tolong diceritakan masalah ini dulu,” pinta Mahdi.
Mulyadi menjawab, “Oh ya, Bang. Fondasi dan rumah ini memang saya yang bangun. Abang mana tahu karena Abang di Jakarta.” Pernyataan Mulyadi rupanya terdengar oleh isteri Marzuki. Sontak ia memanggil sang suami yang sedang berada di dalam rumah. “Abang, Abang, cepat keluar! Ini dia orang yang mengaku membangun pagar rumah kita,” teriak isteri Marzuki.
Karena memang bersebelahan, Mulyadi menjawab, “Bukan. Bukan rumah kamu yang saya bangun, tapi rumah Abang saya ini.” Tiba-tiba, Marzuki menyerang Mulyadi dengan tangan kosong. Seketika, perkelahian antara keduanya tak terelakkan. Mahdi yang berada di sana mencoba melerai, “Jangan, jangan! Nggak usah berkelahi! Sabarlah,” cerita Mahdi. Tapi, Marzuki yang kadung kalap, terus menyerang Mulyadi. Entah karena Mulyadi berhasil melepaskan diri dari serangan Marzuki, sasaran kemudian dialihkan pada Mahdi.
Mahdi yang sudah berumur 60 tahun itu akhirnya jadi bulan-bulanan Marzuki. Tak ubah seperti film laga Hollywood, secara brutal Marzuki menyerang Mahdi yang sudah terpelanting tak berdaya. Begitupun, aksi brutal itu membuat debu-debu beterbangan.
Mendengar keributan itu, Sabariah dan Fanny Tasfia Mahdi yang tadinya berada di dapur sedang mempersiapkan penganan untuk berbuka puasa, sontak berlari ke depan rumah. “Pakon kapoh lako lon (kenapa kamu pukul suami saya)?” cerita Fanny meniru pertanyaan ibunya.
Sementara, Fanny bergegas mengambil balok seukuran lengan orang dewasa untuk melerai perkelahian itu dengan cara memukul Marzuki dengan balok tersebut. Tapi, niatnya memukul Marzuki dihalang warga yang berada di lokasi.  Saat baloknya dipegang warga, Marzuki yang mengetahui Fanny hendak menyerang dirinya, langsung menonjok Fanny, sehingga niatnya untuk melerai gagal. Sementara, Mulyadi dan Yadainal telah diamankan oleh warga untuk tidak menambah runyam keadaan.
Hari itu, Marzuki benar-benar tanpa pikir panjang dan mengambil batu seukuran buah kelapa hendak dilemparnya pada kepala Mahdi. Beruntung, batu pertama yang dilemparnya tidak mengenai Mahdi. Lalu, Marzuki mengambil batu besar lainnya untuk dilemparkannya kembali ke Mahdi yang sudah tergeletak di tanah tak berdaya. Beruntung, warga yang sigap berhasil menggagalkan upaya tersebut. “Saat saya semi pingsan, melihat dia hendak melemparkan kepala saya dengan batu, tapi saya tidak tahu bagaimana saya bisa lolos,” cerita Mahdi.
Setelah hampir setengah jam terjadi perkelahian, barulah aparat desa setempat berhasil melerai perkelahian hari itu. Marzuki yang masih mengamuk, diamankan dalam rumahnya. Sementara Mahdi yang tergeletak pingsan, dengan wajah berdarah dan babak belur diangkat ke rumahnya. Hari itu juga hadir beberapa aparat kepolisian dari Polda Aceh untuk mengamankan keadaan. Menjelang shalat Isya, barulah Mahdi siuman. “Saya pikir, hari itu adalah hari terakhir saya melihat ayah,” cerita Fanny sedih.
Setelah siuman, Mahdi bertanya kenapa dirinya berlumuran darah dan wajah babak belur seperti ini. “Baru sadar saya dari pingsan,” cerita Mahdi.
Seusai siuman, dengan langkah tertatih-tatih, Mahdi mengajak anak dan isterinya ke rumah sakit. Kemudian, pihak rumah sakit merekomendasikan agar Mahdi dirawat inap (opname) di Rumah Sakit Bayangkara. Meski dokter telah merekomendasikan untuk diopname, Mahdi meminta izin agar dia dan anak-anaknya membuat laporan ke Kanit Reskrim dan Unit Propam Polda Aceh. “Kami diizinkan melapor dan kemudian kembali lagi ke rumah sakit untuk melanjutkan perawatan,” cerita Mahdi.
            Esok harinya, ia dirontgen dan di-scan. Dokter di RS Bhayangkara berjanji akan memberikan jawaban atas hasil tersebut, Senin pekan lalu. Namun, karena ia harus memenuhi panggilan Kanit Reskrim untuk melangkapi BAP. “Makanya, kami belum sempat ke rumah sakit karena harus BAP ke Polda,” sambung Mahdi.***