Tuesday, June 21, 2016

Terkait Kemiskinan di Aceh : Abu Doto Tanggung Jawab!


Abu Doto Tanggung Jawab!

Doktor Amri

Akademisi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Dr. Amri, SE, M.Si mengaku kaget saat lihat angka kemiskinan di Aceh. Pengakuannya, angka kemiskinan Aceh melonjak luar biasa. Itu disebabkan, kata mantan Sekretaris Magister Manajemen Unsyiah, Dr. Amri, SE, M.Si, karena perencanaan yang tidak matang serta koordinasi lemah. Makanya, lanjut Dr. Amri, SE, M.Si, maju atau gagalnya pembangunan di Aceh berada di pundak Gubernur dr. Zaini Abdullah alias Abu Doto. Sebab, top management ada pada Gubernur Aceh. Seperti apa pengakuan Dr. Amri, SE, M.Si? Berikut penuturannya pada Juli Saidi dari MODUS ACEH di Ulee Kareng, Banda Aceh, Senin siang, 13 Juni 2016 lalu.

Pendapat Anda soal angka kemiskinan Aceh saat ini? 
Sangat menyedihkan, saya terkejut melihat angka ini. Anggapan saya selama 17 sampai 20 persen. Ternyata kalau begini hampir 40 persen.
Bagaimana orang disebut miskin menurut pendapat Anda?
Orang miskin itu yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar. Standar Bank Dunia adalah satu dolar Amerika per hari, sebulan berarti USD 30. Tinggal kalikan saja kalau satu dolar Amerika Rp 14 ribu, maka pendapatannya hanya Rp 420 ribu per bulan.
Baik, apakah masyakat golongan 40 persen terendah di Indonesia itu juga disebut orang miskin?
40 persen ini mendekati kemiskinan. Desil keempat ini termasuk orang hampir miskin, orang yang susah hidup.
Maksud Anda?
Orang susah hidup adalah yang susah beli pakaian dan perumahan. Tapi, kalau kita bisa beli baju, makan, ada rumah, itu bukan orang miskin. Jadi, kelompok 40 persen terendah itu hampir dikatakan miskin, belum sejahtera.
Kenapa angka kemiskinan Aceh tumbuh subur?
Menurut saya karena diperencanaan salah. Kalau perencanaan salah, maka pelaksanaan akan salah. Pelaksanaan salah, pengawasan juga salah. Kalau program pembangunan diarahkan pada program pengentasan kemiskinan, saya pikir tidak mungkin angka kemiskinan cukup tinggi seperti saat ini.
Alasannya?
Ini tampak sekali, kue pembangun dinikmati oleh sebahagian kecil masyarakat Aceh. Jadi, ini bicara berdasarkan data dan fakta.
Fakta tidak elok itu, apa yang mesti dilakukan Pemerintah Aceh?
Jalan yang harus ditempuh segera diselesaikan. Caranya, program-program pembangunan tahun 2016-2017 harus banyak diarahkan pada pengentasan kemiskinan dan pengangguran.
Apakah mungkin dilakukan dengan masa jabatan tinggal satu tahun lebih lagi?
Ini persoalan dalam pembangunan, kalau masalah kemiskinan tidak beres tetap akan tidak beres seterusnya. Kalau rakyat miskin, daya beli tidak ada. Jadi, berbagai persoalan pembangunan akan muncul. Jalan keluarnya tetap pada awal rencana pembangunan, harus diarahkan pada program pengentasan kemiskinan, jangan hanya proyek-proyek besar yang tidak bersentuhan langsung dengan program pengentasan kemiskinan.
Ini artinya, tidak ada terobosan Pemerintah Aceh dalam menyejahterakan masyarakat?
Faktanya seperti itu, buktinya angka kemiskinan bukan malah turun, tapi malah naik tiap tahun. Ini sangat kita sayangkan, angka kemiskinan ini banyak di pedesaan. Kita mau lihat Aceh, jangan lihat di pinggir jalan hitam saja. Lihatlah lima kilometer pinggir jalan hitam, di situlah tertumpuknya orang-orang miskin. Orang-orang yang tidak punya pengetahuan, pendidikan.
Lalu?
Kalau pendidikan rendah, ini problem ekonomi. Dalam pandangan saya, Aceh ini “ekonominya masih dalam morat-marit”. Artinya orang masih susah, beli daging waktu meugang (sembelih hewan) saja susah, tetapi terpaksa dibeli walaupun harus utang. Jadi, pengentasan kemiskinan ini intinya pada perencanaan pembangunan, dulu kenapa angka kemiskinan tidak seperti sekarang? Kenapa sekarang terjadi peningkatang drastis? Janganlah lihat angka kemiskinan ini di Banda Aceh atau di kabupaten, tapi lihat ke pedalaman desa. Malah sangat menyedihkan, di ibukota saja masih banyak yang miskin.
Berarti ada perubahan?
Dulu di kabupaten angka kesejahteraan membaik, tapi sekarang berdasarkan data justru tinggi, misal di Aceh Utara dan Bireuen. Ini kan fakta.
Namun, Pemerintah Aceh membantah soal data angka kemiskinan?
Kalau membantah data ini berarti membantah data BPS. Kalau membantah data BPS berarti tidak mengakui republik ini. BPS adalah lembaga resmi Republik Indonesia. Bahkan Presiden Joko Widodo menyatakan hanya data BPS yang valid.
Selama ini masyarakat di Aceh hanya berharap pada APBA karena industri tidak tumbuh, sebaliknya pencintraan terus dilakukan Pemerintah Aceh. Pendapat Anda?
Menurut saya perencanaan pembangunan tidak matang, tapi tumpang tindih. Padahal, harus ada sinkronisasi dan koordinasi yang bagus antara dinas. Misalnya, dinas yang melakukan pengentasan kemiskinan, seperti Dinas Pertanian, Perkebunan, Dinas Koperasi, Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) dan beberapa dinas lain. Nah, dinas itu harus betul-betul berkoordinasi. Janganlah anggaran ini diarahkan pada proyek-proyek infrastruktur besar. Jadi, tidak tepat sasaran. Maka, perlu dicek ulang, siapa penerimanya, jangan-jangan orang menerima itu lagi.
Seperti apa anggaran besar mesti diarahkan pada program pengentasan kemiskinan di Aceh?
Bolehlah saya ngomong di sini, Masjid Raya itu kan masjid negara. Alangkah baiknya pembangunan Masjid Raya itu diambil dari APBN, jangan dari APBA. Begitu juga pembangunan Jembatan Lamnyong, alangkah baiknya diambil dari APBN jangan dari APBA. Pernyataan saya, jangan salah paham .Bukan saya tidak setuju dengan pembangunan Masjid Raya. Saya sangat setuju bangun Masjid Raya, saya setuju bangun Jembatan Lamnyong. Tapi, anggarannya diambil dari APBN, jangan dari APBA. Anggaran ratusan miliar itu gunakan untuk program pengentasan kemiskinan di Aceh.
Bukankah selama ini diakui Pemerintah Aceh sudah melakukannya?
Program pengentasan kemiskinan itu bukan bagi-bagi duit, tapi harus tepat sasaran. Sehingga, pemerintah bantu bisa keluar dari kemiskinan, bukan kaya. Artinya dia bisa hidupkan diri sendiri, sudah bisa makan, punya rumah dan bisa menyekolahkan anak minimal SMP-SMA.
Terakhir pesan Anda pada Pemerintah Aceh?
Tetap pada koordinasi dan sinkronisasi antar dinas. Di sinilah kemampuan gubernur dalam melihat semua fakta-fakta, jangan biarkan pada anak buah--Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA). Sebaliknya, Gubernur Abu Doto pun jangan syur sendiri dengan pencitraan melalui media massa.
Kenapa?
Karena yang bertanggungjawab semua adalah pada top management dalam hal ini adalah gubernur. Berhasilnya daerah adalah tanggung jawab gubernur, gagalnya Aceh juga di pundak gubernur. Maka, gubernur harus memilih orang yang tepat pada posisi yang tepat.
Tapi, hampir setiap pekan muncul pemberitaan tentang keberhasilan pembangunan Aceh?
Begini cara melihatnya. Sebagai kepala daerah, Abu Doto adalah sentral dari berbagai kebijakan (regulasi). Karena itu, dia menjadi narasumber utama bagi media pers dan setiap hari pasti banyak wartawan dan media yang ingin mendapat informasi dari Abu Doto, terkait berbagai isu dan regulasi pembangunan. Contohnya, Ahok. Tentu, semua itu berlangsung secara gratis. Sebab, media yang butuh Abu Doto. Tapi, yang terjadi sejak tiga tahun lalu apa? Justru Abu Doto mengejar media pers untuk mempublikasi kebijakannya. Ini aneh menurut saya sebab harus berbayar. Berapa uang negara yang tersedot untuk itu? Saya tidak tahu apakah Abu Doto kurang menarik bagi media atau Kepala Biro Humas yang kurang cerdas, walau sudah berulangkali terjadi bongkar pasang.***





Terkait Kemiskinan di Aceh : Takut Dimarah Abu Doto atau Gagal Paham?

Kepala Bappeda dan Karo Humas
Takut Dimarah Abu Doto atau Gagal Paham?

 
Frans Delian
Untuk memperoleh data kemiskinan di Acehmedia ini menyerahkan selembar surat permohonan data pada Hasrati, Selasa, 31 Mei 2016, di lantai III, kantor Bappeda, Banda Aceh. Setelah satu hari Tabloid Berita Mingguan MODUS ACEH beredar atau Selasa, 7 Juni 2016, Kepala Bappeda Aceh, Zulkifli Hs, menghubungi wartawan media ini, Juli Saidi. Dia mempertanyakan, mengapa wawancara dirinya tak dimuat utuh.***



Selain itu, Kepala Biro Humas, Frans Delian, juga membuat klarifikasi tentang isi berita. Menariknya, sejumlah kalimat dan isi berita yang dipersoalkan, justru telah tertulis dan mendapat penjelasan dalam pemberitaan.
Misal, soal maksud dari desil satu hingga empat. Padahal, saat wawancara dilakukan, Kepala Bappeda Aceh Zulkifli Hs tak memberikan data secara rinci dan detail pada media ini. Bisa jadi Zulkifli dan Frans Delian gagal paham tentang maksud dan tujuan klarifikasi sebuah pemberitaan media pers.
Tak hanya itu, pekan lalu, melalui sambungan telepon seluler, Kepala Bappeda Aceh Zulkifli Hs bertanya di mana posisi wartawan media ini, Juli Saidi. Spontan dijawab, sedang melakukan tugas (liputan) di DPRA. Lalu, Zulkifli Hs mempertanyakan kenapa wawancaranya tidak dimuat semua alias utuh. Misal, penjelasannya tentang pembangunan rumah duafa. Juli Saidi menjelaskan bahwa keterangannya sudah ia muat.
Sebaliknya, entah puas atau tidak, dalam pembicaraan singkat tadi, Zulkifli Hs mengaku tidak mempermasalahkan isi berita. Tak lama kemudian, masuk pesan singkat (SMS) dari Kepala Biro Humas Setda Aceh Frans Delian. Karo Humas Setda Aceh itu mengatakan akan menggunakan hak jawab.
Keinginan Frans tentu wajar, sebab sesuai dengan Undang-Undang Pokok Pers No:40/1999, Pasal 5 (ayat 103) menyebutkan, pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. (2) Pers wajib melayani Hak Jawab. (3) Pers wajib melayani Hak Tolak.
Hanya saja, Gubernur Aceh Abu Doto, Kepala Bappeda Aceh Zulkifli Hs dan Karo Humas Frans Delian bisa jadi gagal paham tentang hak klarifikasi tadi. Contoh, sebelum media ini menulis berita, telah lebih dulu berupaya melakukan konfirmasi, baik langsung pada Gubernur Aceh Abu Doto (sms melalui ustadz Muzakir) maupun Karo Humas Pemerintah Aceh Frans Delian, namun tak berhasil.
Jawaban aneh datang dari Frans bahwa dia tak bisa menjamin waktu Abu Doto karena diatur oleh Kepala Sekretariat Pendopo Dailami. Padahal, sebagai Karo Humas Pemerintah Aceh, harusnya Frans bebas dan leluasa bergerak untuk kepentingan pemberitaan yang terkait Pemerintah Aceh dan Gubernur Aceh. Sebagai pengganti, media ini melakukan wawancara dengan Kepala Bappeda Aceh Zulkifli Hs yang juga Sekretaris Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Aceh.
Nah, ambil contoh pada tulisan dengan judul berita: “2,2 Juta Rakyat Aceh Ternyata Masih Miskin, edisi No.8/TH XIV 6-12 Juni 2016”. Pada bagian akhir tulisan media ini, sudah jelas tertulis bahwa Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), melakukan pendataan terhadap warga dengan tingkat ekonomi 40 persen terendah ke bawah. Program ini dikenal dengan Program Pendataan Perlindungan Sosial (PPLS) dan sudah dilakukan sejak 2005, 2008, 2011 serta pemutakhiran terakhir pada 2015.
Total jumlah rumah tangga miskin Aceh itu dibagi dalam empat klaster atau disebut desil. Dari empat desil sudah dijelaskan tingkat kesejahteraan masyarakat Aceh berdasarkan data TKPKD Aceh yang diperoleh media ini secara resmi. “Sesungguh[n]ya MODUS telah salah dalam membaca data BDT dan tidak utuh memahami penjelasan kami saat dilakukan wawa[n]cara oleh saudara Juli Saidi pada tanggal 2 Juni 2016, pukul 4.30 PM diruang kerja Kepala Bappeda,” begitu tulis Zulkifli dalam hak jawab yang diterima media ini, Jumat pekan lalu.
Itu sebabnya, hak jawab yang dikirim Kepala Bappeda Aceh, Jumat pekan lalu itu justru tidak merinci secara detail pada bagian kalimat yang mana terdapat kesalahan kutipan dan makna.
Sepertinya, Karo Humas Setda Aceh atau Kepala Bappeda Aceh tidak begitu paham tentang hak jawab. Seharusnya, setiap paparan media ini yang dianggap tidak benar, baru diklarifikasi. Kalau hanya mengulang apa yang dimaksud dengan desil satu hingga empat, ditambah penjelasan tambahan di luar isi pemberitaan, tentu saja tak sejalan dengan maksud dan tujuan klarifikasi.***



Terkait Kemiskinan di Aceh : Inilah Klarifikasi Pemerintah Aceh


Inilah Klarifikasi Pemerintah Aceh

Zulkifli Hasan
Terkait dengan pemberitaan Tabloid MODUS ACEH, edisi No. 8/TH XIV 6-12 JUNI 2016 yang mengutip rilis BPS Aceh dan Data BDT TNP2K, tercatat lonjakan angka kemiskinan di tanah rencong sebanyak delapan ribu jiwa untuk kurun waktu maret 2015 - september 2015. Secara riil justru lebih mencengangkan, data TNP2K menunjukkan jumlah riil kemiskinan di Aceh pada 2015 adalah 2,2 juta jiwa. Sesungguh[n]ya MODUS telah salah dalam membaca data BDT dan tidak utuh memahami penjelasan kami saat dilakukan wawa[n]cara oleh saudara Juli Saidi, tanggal 2 Juni 2016 pukul 16.30 WIB di ruang kerja Kepala Bappeda.
Pada kesempatan ini dapat kami luruskan dan jelaskan kembali bahwa: Basis Data Terpadu (BDT) yang dikelola Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) merupakan sebuah sistem pendataan yang dapat digunakan untuk perencanaan program perlindungan sosial dengan mengidentifikasi nama dan alamat calon penerima bantuan sosial, baik rumah tangga, keluarga maupun individu berdasarkan pada kriteria-kriteria sosial-ekonomi yang ditetapkan oleh pelaksana program.
BDT berisi informasi sosial-ekonomi dan demografi atas  40 % penduduk di Indonesia yang paling rendah status kesejahteraannya. Cakupan dari 40 % penduduk dengan kondisi sosial ekonomi terendah ini ialah sekitar 24 juta rumah tangga atau sekitar 96 juta individu. Rumah tangga yang ada dalam Basis Data Terpadu ini dapat diurutkan menurut peringkat kesejahteraannya. Cakupan 40 % ini meliputi kelompok penduduk miskin dan hampir miskin. 
Dengan mendasari pada urutan berdasarkan pengelompokan persentase per-sepuluhan, maka diperoleh gambaran per desil, yaitu; Desil 1 adalah rumah tangga dalam kelompok 10 % terendah (miskin). Desil 2 adalah rumah tangga dalam kelompok antara 10-20 % terendah (hampir miskin). Desil 3 adalah rumah tangga dalam kelompok antara 20-30 % terendah (rentan miskin) dan Desil 4 adalah rumah tangga dalam kelompok antara 30-40 % terendah dan seterusnya (rentan miskin). Sedangkan Desil 10 adalah rumah tangga dalam kelompok 10 % dengan tingkat kesejahteraan paling tinggi/tidak miskin. 
Basis Data Terpadu (BDT) jika dimasukkan dalam katagorial BPS tentang Kemiskinan maka, kelompok Desil 1 masuk katagori miskin, Desil 2 masuk katagori hampir miskin, dan Desil 3 dan Desil 4 masuk dalam katagori rentan miskin. Dan ini memuat 40 % rumah tangga dengan peringkat kesejahteraan terendah yang menjadi target program perlindungan sosial mencakup program; Program Raskin, Jamkesmas, Bantuan Siswa Miskin, dan Program Keluarga Harapan. Selain itu, Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota juga dapat menggunakan data tersebut untuk menjalankan program yang spesifik daerah.
Mendasri pada uraian tersebut, maka sesungguhnya jumlah penduduk miskin di Aceh tahun 2015 adalah 17,11 % atau 859.410 jiwa. Ini sesuai dengan BDT TNP2K dimana penduduk Aceh yang masuk dalam katagori miskin ada masyarakat yang berada di desil 1. Ini juga sudah pernah dijelaskan oleh BPS Aceh, melalui Bapak Abdul Hakim (Kabid Statistik Sosial), bahwa yang dianggap penduduk miskin adalah masyarakat yang berada dalam pembagian/desil 1 yakni 10 hingga 20 persen.
Demikian surat hak jawab ini kami sampaikan untuk dapat meluruskan pemberitaan MODUS pada edisi No. 8/TH XIV 6-12 JUNI 2016. Harapan kami opini yang dibangun berikutnya dapat menumbuhkan semangat kebangkitan rakyat untuk membangun Aceh yang lebih sejahtera, bermartabat dan damai sepanjang masa. Terimakasih atas kerjasamanya.
Atas  nama Pemerintah Aceh
Kepala Bappeda Aceh
Drs. Zulkiffli Hasan



Terkait Indikator Kemiskinan di Aceh: Fakta Diungkap, Abu Doto Terusik


Fakta Diungkap, Abu Doto Terusik
Ilustri
Kondisi kesejahteraan rakyat Aceh terendah di Indonesia dan bertambah pada tahun 2015 lalu dengan tingkat kemiskinan berbeda-beda. Ironisnya, saat fakta itu diungkap, Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah atau akrab disapa Abu Doto, yang sedang gemar melakukan pencitraan di media pers merasa terusik. Kepala Bappeda Aceh Zulkifli berdalih, media ini salah memahami data. Bagaimana kisahnya? Wartawan MODUS ACEH, Juli Saidi dan Irwan Saputra, menulisnya untuk liputan Di Balik Berita pekan ini.
***
Jumat, 10 Juni 2016 lalu, satu surat dari Pemerintah Aceh (Sekretariat Daerah) masuk ke redaksi media ini. Surat bernomor: 480/10199 itu berisi perihal klarifikasi berita: “Celoteh Abu Doto Sejahterakan si Miskin” dan berita pada halaman 12-13 dengan judul: “2,2 Juta Rakyat Aceh Ternyata Masih Miskin”, yang diwartakan media ini pada edisi: 8/TH.XIV, 6-12 Juni 2016. Atas nama Gubernur dan Sekda Aceh, surat tadi ditandatangani Syahrul SE, M.Si. “Berkenaan dengan hal tersebut di atas, kami ingin mengklarifikasi pemberitaan dimaksud dengan release dan data yang dapat dipertanggungjawabkan,” tulis salah satu dari isi surat tadi.
Nah, satu hari kemudian, sumber media ini di jajaran Pemerintah Aceh mengungkapkan, pengajuan surat klarifikasi itu atas permintaan Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah atau akrab disapa Abu Doto pada Kepala Bappeda Aceh Zulkifli dan Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh Frans Delian. Kabarnya, Abu Doto merasa terusik.
“Wajar saja, sebab dia sedang gencar-gencarnya membangun pencitraan positif, menuju Pilkada 2017 mendatang. Jadi, sedikit saja ada berita yang “kurang baik” terhadap dirinya, langsung muncul reaksi. Karena itu, Anda maklum sajalah, andai bisa setiap hari ada iklan Abu Doto, tentu dia amat sangat sedang,” ujar sumber tadi yang juga salah seorang staf di jajaran Sekda Aceh dan mengaku akan mendukung serta memilih Tarmizi Karim pada Pilkada 2017 mendatang.
Pengakuan serupa juga disampaikan salah seorang pejabat eselon III di Pemerintah Aceh. “Kalau saya berharap jujur sajalah. Memang begitulah kondisi sebenarnya, rakyat Aceh masih banyak yang miskin. Empat tahun sudah Pemerintahan ZIKIR (Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf), tak ada sesuatu yang lebih, selain pencitraan di media pers. Kami staf merasakan sendiri, tak ada pembinaan dari pimpinan. Berbeda saat Irwandi Yusuf memimpin, program terencana dan staf terkontrol dengan baik,” papar pejabat yang mengaku akan mendukung dan memilih Irwandi Yusuf.
***
Soal kemiskinan atau masyarakat miskin memang bukan cerita baru di Aceh. Kisahnya tentu sudah laten terjadi. Hanya saja, Pemerintah Aceh di bawah kendali Abu Doto selama ini mampu membungkusnya dengan tema atau isu pembangunan lain, sehingga nyaris terlupakan oleh publik dan media pers.
Di sisi lain, adanya klaster dan pemaknaan tentang kata miskin, menjadi celah bagi Pemerintah Aceh untuk berdalih dan berasumsi. Misal, soal angka kemiskinan makro dan desil atau pemetaan kategori maupun sebutan miskin. Padahal, kalau mau jujur, hampir saban pekan, media pers mewartakan tentang kehidupan rakyat miskin di Bumi Serambi Mekkah.
Lihat saja gerakan sosial yang dilakukan Edi Fadhil bersama rekan-rekannya dalam membantu dan membangun rumah duafa serta beasiswa untuk anak miskin. Ini menjadi salah satu potret nyata adanya sisi gelap dari “kegagalan” penguasa daerah ini dalam menyejahterakan rakyatnya.
Hanya itu? Tunggu dulu. Gubernur Abu Doto juga tidak perlu jauh melihat masyarakat miskin di seluruh pelesok Aceh. Dia cukup berjalan dengan mobil mewahnya dari pendopo menuju Jembatan Lamnyong, Banda Aceh. Di sana, dia pasti bisa menemukan satu keluarga miskin bernama Nursiah (48) bersama dua anaknya Yusnani (17) dan Ramadhani (14). Sehari-hari, janda itu berjualan pulut (nasi ketan bakar) bersama anak perempuannya, Yusnani.
Dari hasil jualan itu, dia hidup dan menyekolahkan anak laki-lakinya. Kini, saat Jembatan Lamnyong dibangun, usaha Nursiah mulai terganggu. Begitupun, ia tetap tegar dan tidak mau meminta-minta.
Tahun 2015, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Drs. H. Sulaiman Abda pernah menjenguk serta membawa dokter saat Nursiah sakit. Pada kunjungan pertama, Drs. H. Sulaiman Abda saat itu pernah bertanya apakah Nursiah memiliki tanah di tempat tinggal lamanya--wilayah utara-timur. Nursiah mengaku tidak memiliki apa-apa. Ketika itu, Drs. H. Sulaiman Abda bermaksud, jika Nursiah ada tanah dia akan mencoba mengusulkan rumah duafa untuk tempat tinggal Nursiah.
Miris memang, bila diakomulasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) sejak tahun 2012 sampai 2016 ini, lebih Rp 58 triliun APBA telah dikelola dr. H. Zaini Abdullah sebagai orang nomor satu di Aceh periode 2012-2017 mendatang. Sayangnya, dana Rp 58 triliun ini, belum mampu memberi dampak dalam penurunan angka kemiskinan di Aceh. Contoh, keluarga Nursiah yang tak punya rumah tetap sebagai jaminan hidup bersama dua anaknya.
Secara makro, angka kemiskinan di Aceh memang ada 17,11 persen. Tapi, berdasarkan Data Basis Terpadu (DBT), Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Aceh atau secara nasional disebut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Aceh yang berkantor di lantai III, Kantor Bappeda Aceh, Banda Aceh, menyebutkan, berdasarkan data aggregate (jumlah) secara mikro, jumlah masyarakat miskin dengan tingkat kesejahteraan berbeda tahun 2015 mencapai 2,2 juta lebih. Sementara, secara individu dan rumah tangga totalnya 530.772 jiwa.
Dan, dari jumlah total tadi, baik secara individu maupun rumah tangga, dikelompokkan menjadi empat desil. Untuk desil satu, disebut rumah tangga/individu dengan kondisi kesejahteraan sampai 10 persen terendah di Indonesia. Desil dua, disebut rumah tangga/individu dengan kondisi kesejahteraan sampai 11-20 persen terendah di Indonesia. Desil tiga, disebut rumah tangga/individu dengan kondisi kesejahteraan sampai 21-30 persen terendah di Indonesia, dan desil empat, disebut rumah tangga/individu dengan kondisi kesejahteraan sampai 31-40 persen terendah di Indonesia.
Kepala Bidang (Kabid) Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Abdul Hakim, mengaku, kriteria miskin memang tergantung dari sisi mana orang melihat. BPS misalnya, melihat dari kemampuan orang bersangkutan dalam mengkonsumsi kebutuhannya, baik makanan maupun non makanan atau disebut makro. “Karena setiap orang berbeda-beda,” ujar Abdul Hakim, Jumat pekan lalu.
Sebaliknya, kata Abdul Hakim, TNP2K dalam menentukan kriteria miskin menggunakan banyak variabel. Itu sebabnya, ada desil satu disebut sangat miskin, desil dua disebut miskin, desil tiga disebut hampir miskin dan desil empat disebut rentan miskin. “Namun, yang paling miskin adalah kelompok paling miskin,” kata Abdul Hakim.
Masih kata Abdul Hakim, TNP2K membuat klaster satu sampai empat hanya untuk memudahkan bagi pemerintah daerah dalam menyalurkan bantuan. Karena tidak mungkin klaster terendah diberi bantuan sama dengan klaster tiga. “Kalau orang yang sangat miskin tidak mungkin diberikan alat. Maka, di situ data individu variabelnya banyak,” kata Abdul Hakim, menjelaskan.
Itu sebabnya, sebut Abdul Hakim, melihat potret kemiskinan tak hanya berdasarkan data makro, tapi juga mikro. “Ya, itu tadi. Yang paling miskin adalah kelompok paling miskin,” kata Abdul Hakim, mengulang.
Lantas, bagaimana dengan data 2,2 juta lebih dari empat desil tadi? Data tersebut diperoleh media secara resmi dari Hasriati, Kasubbid Pengembangan Kelembagaan, Kependudukan, dan Kesejahteraan Sosial (Sektariat TKPK) atas persetujuan Sekretaris TKPK yang juga Kepala Bappeda Aceh, Zulkifli Hs, Rabu sore, 1 Juni 2016 lalu. Dan, kemudian dilanjutkan wawancara sore itu juga.
Saat wawancara, Zulkifli Hs ditemani bawahannya Hasrati. Media ini mempertanyakan tentang data jumlah 2,2 juta lebih angka kemiskinan di Aceh. Ironisnya, pada media ini, Zulkifli Hs tidak membantah, malah justru menjelaskan berbagai perbaikan Rencana Program Jangka Menengah (RPJM) Pemerintah Aceh, berbagai terobosan yang dilakukan Pemerintah Aceh, seperti pembangunan jalan tembus, di Aceh. Alasan lain, sebut Zulkifli, karena di Aceh tidak tumbuh investasi swasta.
Ketika media ini mengajukan pertanyaan apakah semua daerah tahu angka kemiskinan tersebut, Zulkifli menjawab, “Saya kira masing-masing daerah tahu dan ini sudah terintegrasi. Jadi, bagaimana mengupayakan supaya angka kemiskinan bisa menurun, tidak hanya pemerintahan provinsi, tapi juga kabupaten/kota sampai desa,” kata Zulkifli Hs, Rabu dua pekan lalu.
Pakar manajemen sumber daya manusia (SDM) dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Dr. Amri, berpendapat, munculnya angka kemiskinan yang terus melonjak di Aceh disebabkan karena kesalahan perencanaan dalam pembangunan. “Kalau perencanaan salah, maka pelaksanaan akan salah. Pelaksanaan salah pengawasan juga salah. Kalau program pembangunan diarahkan pada program pengentasan kemiskinan, saya pikir tidak mungkin angka kemiskinan cukup tinggi seperti saat ini,” sebut Dr. Amri.
Kata Amri, realitas kemiskinan selama ini sudah menjadi tontonan terbuka bahwa kue pembangunan di Aceh hanya dinikmati oleh sebahagian kecil masyarakat saja. “Ini bicara berdasarkan data dan fakta. Angka kemiskinan bukan malah turun, tapi naik tiap tahun. Ini sangat kita sayangkan. Angka kemiskinan banyak di pedesaan. Kita mau lihat Aceh jangan di pinggir jalan hitam saja, lihatlah lima kilometer di pinggir jalan hitam, di situlah tertumpuknya orang-orang miskin. Orang-orang yang tidak punya pengetahuan, pendidikan dan akses terhadap pembangunan dan kekuasaan,” ungkap Dr. Amri.
Itu sebabnya, usul Dr. Amri, pemerintah Aceh harus mencari jalan untuk segera menyelesaikan persoalan kemiskinan. Caranya, program pembangunan tahun 2016-2017 harus banyak diarahkan pada pengentasan kemiskinan dan pengangguran. “Ini persoalan dalam pembangunan. Kalau masalah kemiskinan tidak beres, tetap akan tidak beres seterusnya. Kalau rakyat miskin dan daya beli tidak ada, maka berbagai persoalan pembangunan akan muncul. Jalan keluarnya tetap pada awal rencana pembangunan, harus diarahkan pada program pengentasan kemiskinan. Jangan hanya proyek-proyek besar yang tidak bersentuhan langsung dengan program pengentasan kemiskinan,” usul Dr. Amri.***