‘Peradilan Massa’ di PN Banda Aceh
Pengadilan
Negeri (PN) Banda Aceh mengelar sidang
lanjutan kasus Gafatar. Sejumlah saksi ahli dihadirkan ke persidangan. Ratusan massa yang tersulut emosi menghujat keterangan saksi ahli.
Irwan
Saputra
JARUM
jam sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB, Selasa pagi pekan lalu. Diantara
lalu-lalang kendaraan yang melintasi Jalan Cut Mutia Gampong, Keudah Banda
Aceh. Sontak ratusan massa memenuhi badan jalan, persis depan Pengadilan Negeri
(PN) Banda Aceh. Seketika jalan macet total.
Hari itu, massa yang diperkirakan
berjumlah lima ratus orang ini, bergerak dari Taman Kota Ratu Safiatuddin
Lampriet, menuju PN Banda Aceh. Tujuannya, mengikuti sidang anggota Gafatar.
Massa menuntut pengikut Gafatar dihukum seberat-beratnya. Sidang dipimpin Syamsul
Qomar (ketua), Muhiffuddin dan Ahmad Nahrowi Mukhlis (anggota) dengan agenda mendengarkan keterangan
saksi ahli dari pihak terdakwa.
Ratusan
massa hari itu dikomadoi langsung Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
Banda Aceh, Ramli Rasyid. Ada juga anggota Front Pembela Islam (FPI). Pelajar
Islam Indonesia (PII), Pramuka, Majelis Ta`lim, Guru Diniah, tokoh masyarakat
peduli agama, Asosiasi Geuchik Kota Banda Aceh dan Tuha Peut Gampong se Kota
Banda Aceh.
“Kami
minta pengikut Gafatar di hukum seberat-beratnya,” teriak Burhanuddin, anggota
FPI Banda Aceh. Lalu, disambut suara takbir oleh massa lainnya. “Allahu Akbar...
Allahu Akbar...Allahu Akbar”.
Tidak seperti sidang belumnya, massa
yang dihadirkan hari itu tampak lebih banyak. Bahkan diakui koordinator lapangan
(korlap) aksi Marzuki, mereka akan menurunkan massa yang lebih banyak untuk
sidang-sidang berikutnya.
“Target kami 1.500 massa yang dihadirkan
hari ini, tapi walau hanya ada lima ratus untuk sidang selanjutnya akan kami hadirkan
lebih banyak lagi,” ungkap Marzuki.
Sidang
yang mendengar keterangan saksi ahli tersebut, akhirnya menuai amarah massa.
Itu terlihat dari pernyataan koordinator aksi yang disampaikan secara
bergiliran atas naman lembaga yang diwakilinya. “Kami akan menunggu putusan
hakim, apakah keputusan hakim dari Pengadilan Islam atau Pengadilan Kafir,”
cerca Isramuddin, Ketua FPI Kota Banda Aceh, di depan massa yang hadir hari
itu.
Tak
hanya itu, Ketua FPI Aceh Ali Hijrah meminta agar Aceh tidak dijadikan tempat
berkembangannya aliran sesat dan tempat orang yang menyesatkan. “Mari sama-sama
kita kawal, agar Aceh tidak menjadi sarang kelompok-kelompok sesat lagi
menyesatkan,” teriak Ali Hijrah.
Rita
Rosila Dewi, anggota PGRI kota Banda Aceh tak mau ketinggalan. Dia meminta agar
Gafatar ditumpas habis di Bumi serambi Mekkah. Tak tanggung-tanggung, wanita
paruh baya menghujat para saksi yang hadir atas nama pengikut Gafatar.
“Kami
tidak akan membiarkan putra dan putri Aceh disesatkan Gafatar,” ungkapnya. Dia
menambahkan, sebagai seorang guru sangat menyayangkan kenapa para saksi ahli
mau memberi kesaksian untuk Gafatar. Padahal mereka telah jelas-jelas sesat. “Saya
kira mereka yang hadir juga sama seperti orang Gafatar, sesat,” sambungnya.
Ketua
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Banda Aceh, Ramli Rasyid pada media
ini mengaku, ia bersama rombongan melakukan aksi untuk mengawal jalannya
persidangan. Karena itu, dia meminta hakim menghukum pengikut Gafatar
seberat-beratnya. Makanya, dia mengambil alih aksi hari itu, karena sebagai
guru, mereka mengaku orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini.
“Karena
sasaran Gafatar adalah anak-anak Aceh yang merupakan tanggung jawab kami para
guru,” ujar mantan pejabat di Pemerintah Kota Banda Aceh saat pemerintahan dipegang
almarhum Walikota Banda Aceh Mawardi Nurdin.
Nah, entah itu sebabnya, sekira pukul
12.00 WIB, sidang baru dimulai dengan terdakwa Fuadi
Mardhatillah, M. Althaf Mauliyul Islam, Ayu Aristiana, Musliadi, Rida Hidayat
dan T. Abdul Fatah. Bersamaan dengan itu, ratusan massa tadi kemudian melakukan
aksi di depan pintu masuk PN Banda Aceh bahkan, sempat membuat ruang sidang
penuh sesak.
Untuk
mendengarkan pendapat saksi ahli, kuasa hukum terdakwa menghadirkan saksi ahli yaitu,
pakar teologi Islam yang juga Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prof, Yusni
Sabi. Pakar Antropologi Universitas Malikul Saleh, Dr. Kemal Pasya dan pakar Hukum
Pidana Islam dari Mahkamah Syar`iyah, Sofyan MA. Begitupun, keterangan para saksi ahli tadi
nyaris tak terdengar, karena sesekali sempat disoraki pengunjung sidang.
Kondisi
ini disayangkan berbagai kalangan, termasuk kuasa hukum terdakwa dari Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Kota Banda Aceh, Wahyu Pratama. Kepada media ini Wahyu mengaku
kesal dengan sikap massa yang memenuhi ruang persidangan. Menurut dia, keadaan
seperti ini sulit mendapatkan peradilan yang berimbang, selain membuat para
saksi tertekan, pengacara juga tidak lepas dari sorakan massa yang mengikuti setiap
persidangan.
“Padahal
baik para saksi dan pengacara hanya menjalankan tugas,” ujarnya. Dia menambahkan.
“Jika begini jalannya persidangan, tentu semua orang akan tertekan, bagaimana
tidak, kami selaku pengacara saja sering disorak, apalagi para saksi yang
dihadirkan,” katanya dengan nada kesal.
Kondisi ini dimaklumi Wirzani Usman,
salah seorang staf Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh, yang hadir ke
pengadilan. “Pada posisi seperti ini, siapapun yang dihadirkan pihak Gafatar pasti
dianggap membela Gafatar. Ini karena amarah masyarakat tidak lagi terkontrol,”
ujarnya pada media ini.
Antropolog Unimal, Kemal Pasya usai
memberi keterangan sebagai saksi ahli menyayangkan sikap masyarakat yang membesar-besarkan
masalah yang menurutnya kecil ini. Menurutnya, kasus Gafatar bisa diselesaiakan
secara kekeluargaan dan dengan cara baik-baik. Tanpa harus langsung melakukan
tindakan hukum seperti ini. “Itulah anehnya kita, hal-hal kecil selalu
dibesarkan, contahnya begini kan kasian,” kata Kemal.
Salah seorang terdakwa Althaf, tak
sanggup menahan amarahnya. Alumni Fakultas Teknik Sipil Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh ini mengaku kesal dengan sikap massa yang menghakimi mereka, diluar
proses hukum yang sedang berjalan. “Kalau memang saya dengan teman-teman
dinilai bersalah kenapa tidak dibina terlebih dahulu,” sebutnya kesal.
Menurut Althaf, saksi ahli dari
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Banda Aceh juga berpendapat agar kami
harus dibina dan tidak buru-buru diserahkan pada aparat penegak hukum.
Secara mental, Althaf mengaku sangat
tertekan dengan apa yang ia alami selama dalam tahanan sebagai terdakwa kasus
Gafatar. Menurutnya, mereka tidak hanya dihujat massa tapi juga sering mendapat
perlakuan berbeda di Rumah Tahanan (Rutan). “Mungkin inilah ujian untuk kami,” katanya
dengan nada pasrah.
Pada Jum`at Pekan lalu dalam sidang lanjutan, Jaksa
Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Banda Aceh menuntut enam pengurus Gerakan
Fajar Nusantara (Gafatar) empat tahun penjara. Mereka dinyatakan terbukti
bersalah melakukan penistaan agama dengan mengakui bahwa Mesias atau Ahmad
Musadeq sebagai juru selamat atas kondisi peradaban yang sedang hancur ini. Tuntutan
itu dibacakan Ketua Tim JPU Kejari Banda Aceh, Yovandi Yazid SH.
Menurut
JPU, dari hasil keterangan sejumlah saksi, saksi ahli, dan bukti-bukti yang
diperlihatkan di persidangan menyebutkan para terdakwa terbukti bersalah. Para
terdakwa mengakui bahwa Mesias atau Ahmad Musadeq sebagai juru selamat atas
kondisi peradaban yang sedang hancur ini. Selain itu, meyakini Mesias sebagai
pembawa risalah dari Tuhan Yang Maha Esa (YME). Intinya, perbuatan terdakwa
terlah melanggar Pasal 156a huruf A Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
“Kata-kata Mesias sebagai juru selamat dan pembawa risalah dari Tuhan YME
tersebut telah menodai kaidah-kaidah dalam Islam. Dalam kaidah Islam,
Rasulullah SAW adalah nabi terakhir yang membawa risalah dari Allah SWT,” baca
Yovandi.
Lima
terdakwa pria dalam perkara ini ditahan di Rutan Banda Aceh di Gampong Kajhu,
Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar dan seorang terdakwa wanita, Ayu Ariestyana
ditahan di Cabang Rutan Wanita Lhoknga, Aceh Besar. Penahanan keenamnya
dilakukan sejak 8 Januari 2015.***
Photo: disesuaikan