Friday, November 25, 2016

Hasil MTQ Nasional XXVI Mataram 2016



Aceh Masih Diatas Papua
Di atas kertas, prestasi kafilah Aceh yang bertanding pada arena Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Nasional XXVI/2016 di Mataram, Nusa Tenggara Barat, boleh dibilang ada peningkatan. Setidaknya, jika tahun lalu berada di bawah Provinsi Papua, kini naik satu tingkat di atasnya.
Namun, sebagai provinsi yang berlabel syariat Islam, prestasi itu tentu bukanlah sesuatu yang membanggakan, jika tak elok disebut prestasi. Itu sebabnya, banyak pihak menilai, tak kunjung gemilangnya prestasi Aceh di arena MTQ nasional, karena karut-marutnya pola pengelolaan dan pembinaan di Unit Pelaksana Tugas Daerah (UPTD) Pengembangan Pemahaman Quran (PPQ), dibawah pengawasan Dinas Syariat Islam Aceh.
Salah satunya dalam merekrut dan mendidik para generasi calon peserta MTQ tingkat nasional. Karena itu, Pemerintah Aceh bersama legislatif (DPR) Aceh didesak untuk segera mengevaluasi UPTD PPQ Aceh, segera mungkin. Apalagi, prestasi tak menggembirakan itu terjadi di tengah anggaran yang berlimpah.
Nah, apa saja yang menjadi pengganjal gerak langkah prestasi Kafilah Aceh di arena MTQ Nasional saban tahun. Benarkah karena minimnya anggaran? Atau tidak keseriusan PPQ Aceh dalam mengemban tanggungjawab yang diberikan? Wartawan MODUS ACEH, Irwan Saputra menulisnya untuk rubrik Dibalik Berita pekan ini.
***
Kepala UPTD PPQ Aceh, Ridwan Johan tentu tak mau disalahkan. Dia balik menuding, prestasi itu setali tiga uang dengan dukungan dari pemangku kepentingan yaitu Pemerintah Aceh dan DPR Aceh dalam mengalokasikan anggaran.
Faktor tidak cukupnya anggaran inilah yang menyebabkan pembinaan dan pengelolaan Kafilah MTQ Aceh, menjadi salah satu penyebab prestasi Aceh tak kunjung gemilang.
Tapi, pendapat Ridwan Johan dibantah Nurzahari, anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh. “Itu tidak benar, jangankan dipangkas malah kami meminta agar ditambah dari anggaran yang diajukan,” kata Nurzahri.
Sebaliknya, politisi Partai Aceh (PA) ini menilai, anjloknya presatasi MTQ Aceh di tingkat nasional adalah bukti tidak seriusnya UPTD PPQ Aceh dalam mengelola anggaran yang disediakan.
***
            Beratapkan langit cerah, suasana di halaman Islamic Center Nusa Tenggara Barat (NTB) malam itu begitu meriah. Tepuk tangan bahagia membuat arena tersebut menjadi lengkap, saat Ketua Dewan Hakim Nasional, Prof. Dr. H. Said Aqil Husen Al-Munawar membacakan dan memanggil nama peserta MTQ tadi sebagai juara dan tampil ke atas panggung.
Sebaliknya, ada peserta dan pimpinan kontingen dari seluruh Indonesia yang muram dan kecewa. Itu disebabkan, belum berhasil meraih juara, membawa pulang catatan prestasi bagi daerahnya, setelah sepekan bertanding di arena Musabaqah Tilawatil Qur`an (MTQ) Nasional ke XXVI, yang berlangsung 30 Juli hingga 6 Agustus 2016 di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
            Kontingen Aceh misalnya, walau tak sampai terjun bebas, namun prestasi yang ditoreh tahun ini bisa disebut tak begitu memuaskan. Bayangkan, dari 33 provinsi di Indonesia, Aceh hanya berada di urutan kedelapan atau setingkat di atas Provinsi Papua, tapi di bawah Sumatera Barat.
            Prestasi itupun, tidak diraih pada katagori lomba prestisius. Misal, cabang tilawah  qur’an, qari dan qariah maupun hafid (lihat: table juara). Bila dibandingkan tahun 2015 lalu, memang kafilah Serambi Mekah bertenger di bawah Papua. Ini berarti naik satu tingkat dari tahun sebelumnya.
Penentuan juara itu, berdasarkan akumulasi nilai yang berhasil di raih suatu daerah dari para peserta yang diikut. Untuk juara satu misalnya, dewan juri mengganjar poin lima, juara dua (tiga poin) juara tiga (satu poin). Jika suatu daerah atau provinsi mendapatkan banyak juara satu, otomatis berhak meraih juara umum.
Untuk Kafilah Aceh, setelah berhasil meloloskan enam cabang ke babak final, akhirnya memetik hasil kurang mengembirakan atau hanya berhasil meraih 18 poin. Mereka adalah, tafsir bahasa Inggris putri (Yusniar SPdi Juara I), tahfihd 1 Juz putra (Muhammad Khadafi Juara I), khatil Quran hiasan mushaf putra (Syeh Murzawi juara II), fahmil Quran (Aulia Rizki, Aguslijar, dan Fachrul Radji juara II), tahfidh 5 juz putra (M Rajul Fuzari juara III), dan cabang tilawah remaja putri (Yasarah juara III).

“Keberhasilan peserta MTQ Aceh tidak lepas dari doa dan dukungan masyarakat Aceh,” ujar Sekretaris Kafilah Aceh, Drs. H. Ridwan Johan, usai menyaksikan prosesi penutupan malam itu.
Menurut Ridwan, di arena MTQ Nasional ke-XXVI/2016 Mataram, Provinsi NTB, Aceh mendapat peringkat lebih lebih bagus dari tahun sebelumnya, yaitu dari sembilan (2015) dan naik ke delapan (2016). Walau sebenarnya, keberhasilan itu belum memuaskan jika disanding dengan prestasi Provinsi Papua yang mayoritas beragama non muslim.
Juara satu cabang Bahasa Inggris dari Papua Barat dan itu murni orang Aceh. Namanya Alfian,” ujar Ridwan saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu pekan lalu.
Diakui Ridwan, masyarakat menginginkan prestasi Aceh di arena MTQ nasional tidak hanya berkutat diurutan delapan. Apalagi dengan label Provinsi Serambi Mekkah yang menerapkan nilai-nilai syariat Islam secara kaffah (menyeluruh).
Itu sebabnya, dia berharap ada partisipasi dari pemerintah daerah dengan cara mendukung alokasi dana yang cukup untuk pendidikan dan pelatihan qari-qariah serta hafid dan hafizah, sehingga dapat dilakukan latihan lebih lama dan maksimal. “Kalau dananya kurang, tentu berakibat pada proses latihan dan tidak mungkin bisa maksimal,” ujar Ridwan.
Ridwan Johan.
Selama ini sebut Ridwan, waktu latihan sangat terbatas bagi qari dan qariah maupun hafid dan hafidzah Aceh dalam memperdalam ilmunya. Termasuk pelatih yang terbatas atau hanya dua orang pelatih nasional. Sementara daerah lain, waktu latihan panjang dan mendatangkan pelatih lebih dari dua orang.
Ungkap Ridwan, jika Aceh ingin meraih prestasi dari semua katagori lomba, maka harusnya mendatangkan pelatih dari semua katagori lomba tersebut. Kebijakan ini tentu saja memiliki konsekwensi dalam pendanaan. Andai anggaran cukup, kita bisa mengundang semua cabang pelatih nasional ke Aceh. Dan kita bisa mengetahui serta mendapat bayangan bagaimana mekanisme di MTQ Nasional, ujar Ridwan.
Nah, karena keterbatasan dana itulah, menurut Ridwan membuat pelatihan dan bimbingan kafilah Aceh menuju MTQ nasional menjadi tidak maksimal. Selain itu, banyak putra dan putri Aceh yang ikut atau mewakili provinsi lain seperti Banten dan Riau. Padahal menurut pria asal Meulaboh, Aceh Barat ini, Aceh memiliki cukup banyak kader. “Tapi, mereka tak mau datang saat dipanggil untuk mengikuti seleksi,” ungkap Ridwan.
Kondisi inilah yang diharapkan Ridwan agar menjadi perhatian khusus dan serius dari Pemerintah Aceh maupun Bupati serta Walikota di Aceh. Sebab, mereka berasal dari sana. “Ini bahaya dan tidak ada ijin dari kami,” tegas Ridwan.
Ridwan menyarankan, bagi qari dan qariah, hafid maupun hafidzah Aceh dari berbagai katagori lomba lainnya yang berprestasi di tingkat provinsi, tapi menolak untuk dipanggil dan mengikuti seleksi dengan berbagai alasan, kemudian diketahui membela provinsi lain, maka harus diberi sanksi atau di diskualifikasi. Caranya,  jangan diberi kesempatan lagi untuk ikut atau menjadi dari kafilah Aceh.
“Ada 14 putra Aceh yang mewakili provinsi lain dari seluruh Indonesia. Kenapa begini? Kami juga tidak tahu. Mereka memang tidak terpilih mewakili Aceh karena bukan juara satu pada MTQ Provinsi Aceh di Nagan Raya. Dan, tidak mungkin kita bawa juara dua. Namun, sebagai putra Aceh harusnya mereka tidak memperkuat provinsi lain,” jelasnya.
Dijelaskan Ridwan, untuk proses seleksi calon peserta MTQ, para juara satu  hingga tiga di tingkat provinsi, diseleksi ulang. Dari hasil inilah, satu orang diberangkatkan untuk ikut MTQ tingkat nasional.
Lazimnya, Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur`an (LPTQ) memerlukan lima puluh orang untuk diberangkatkan pada MTQ nasional dan harus melalui hasil training centre (TC) atau pusat pelatihan. Jumlahnya ada  150 orang. Ini artinya, meski juara satu, belum ada jaminan dan belum tentu dibawa ikut MTQ Tingkat Nasional. “Karena pada saat MTQ provinsi bisa saja dia kurang sehat dan mendapat juara tiga. Padahal saat dia sehat, luar biasa bagus, maka dia juga kita panggil,” jelas Ridwan.***



Saling Tuding Usai Bertanding

Nurzahari
Kepala UPTD PPQ Dinas Syariat Islam beralasan, tak kunjung gemilangnya prestasi Kafilah Aceh pada MTQ nasional karena anggaran yang diberikan jauh dari cukup. Alasan itu dibantah Nurzahari, anggota Komisi VII (urusan keagamaan) DPR Aceh. Dia menilai, pernyataan Ridwan hanya mencari kambing hitam atas kegagalan dalam mengemban jabatan.

Belum membaiknya prestasi Kafilah Aceh pada MTQ Nasional 2016 di Mataram, NTB, menuai banyak kritik. Salah satunya dari anggota DPR Aceh Nurzahari. Namun, Kepala UPTD PPQ Dinas Syrariat Islam Aceh, Ridwan Johan menolak untuk dipersalahkan.
Menurutnya, tak kunjung membaiknya prestasi Aceh pada MTQ nasional, karena kurang mendapat dukungan dari pemangku jabatan dalam memberikan anggaran.
Yang disasar Ridwan tentu mudah ditebak, yaitu Pemerintah Aceh dan DPR Aceh. Akibatnya, prestasi Aceh pada MTQ nasional belum mampu digenjot seperti yang diharapkan rakyat Aceh.
“Untuk MTQ di Mataram kami hanya diberikan dana Rp 2,5 miliar. Di sana sudah tercover semua, sejak dari seleksi, tansportasi, fasilitas, perlengkapan hingga penginapan. Anggaran tahun ini memang lebih besar Rp 500 juta dari tahun sebelumnya,  tapi semua biaya akomodasi ditanggung sendiri,ungkap Ridwan Johan.  
Karena itu, ia berharap, untuk MTQ Nasional berikutnya (2018), Pemerintah Aceh dan DPR Aceh dapat mengalokasikan anggaran lebih besar. Karena alokasi dana yang paling besar terserap saat melakukan TC. Namun, untuk tahun berikutnya ia tak berani memasang target, karena hingga saat ini mereka belum menyeleksi calon-calon peserta yang akan diikutkan pada MTQ Tingkat Nasional di Medan, Sumatera Utara, tahun 2018.
“MTQ Provinsi Aceh Timur akan berlangsung Agustus 2017 mendatang. Dari hasil itu akan kita seleksi untuk TC, peserta MTQ Nasional di Medan,” jelas Ridwan. Adapun peserta yang akan diikutkan, putra-putri terbaik Aceh. Misalnya, cabang Syarhil Quran (tiga orang), Fahmil Quran (tiga orang). Dan, kemungkinan akan ada satu grup putra dan satu putri, baik Fahmil Qur`an maupun Syarhil Quran, tentu membutuhkan biaya yang lebih,” ujar Ridwan.
Faktanya ungkap Ridwan, untuk anggaran kafilah Aceh menuju MTQ Mataram, di ambil dari biaya bangunan Gedung Kantor Syariat Islam Aceh. “Jadi tidak ada plot anggaran khusus. Ini yang harus diketahui masyarakat,” ujarnya.
Tapi, alasan itu dibantah Nurzahari, anggota Komisi VII DPR Aceh. Dia bahkan mengaku kecewa dengan hasil yang diperoleh kafilah Aceh di MTQ Mataram.  Sebab kata Nurzahari, sudah disiapkan anggaran dan dukungan. Namun, hasilnya tidak tidak sebanding dengan yang diharapkan.
Padahal kata Nurzahari, pihak luar negeri mengaku kagum dengan Aceh karena terdapat qari-qariah yang sudah go internasional atau meraih juara. Salah satunya di Turki beberapa waktu lalu. Ironisnya sebut Nurzahari, mereka berlatih sendiri, bukan melalui pembinaan yang dananya dari pemerintah daerah. Bandingkan dengan kondisi kader di LPTQ, jadi saya kira Pemerintah Aceh harus mengevaluasi kinerja UPTD PPQ, Dinas Syariat Islam Aceh,” kritik politisi Partai Aceh ini.
Dia juga mengaku heran, mengapa  banyak putra-putri Aceh yang ikut MTQ, tapi membela daerah lain, apalagi kejadian seperti ini sudah berulang kali terjadi.  Menurut Nurzahari, ini menandakan bahwa Aceh tidak menghiraukan prestasi putra-putri sendiri. Akibatnya, diambil oleh daerah lain. “Dalam waktu dekat kami akan panggil dan tanyakan dan meminta pertanggungjawaban dari UPTD PPQ,” kata Nurzahari pada media ini, Jumat pekan lalu.
Nurzahari menilai, tak kunjung membaiknya prestasi Aceh pada MTQ nasional, karena UPTD PPQ yang menaungi LPTQ kurang serius dalam mengemban amanah, terutama para panitia LPTQ. Mereka hanya sekedar memasang target penyerapan anggaran. 
Jadi, tidak ada target akan studi banding, selain dari menghabis-habiskan anggaran, sementara kualitas qari tidak terpantau. Seharusnya, saat mau bertanding para qari-qari tersebut harus diketahui apakah sudah layak tanding atau belum. Tiba-tiba saja mereka muncul, sehingga saat ikut dalam MTQ kalah. Mestinya, sebelum diberangkatkan ada uji tanding seperti halnya olahraga,” usul Nurzahari.
Terkait alasan kurang anggaran, Nurzahari mengatakan tidak ada anggaran yang dipangkas di badan anggaran (Banggar) DPR Aceh. Sebaliknya, disahkan secara penuh seperti yang diajukan, malah ditambah. Memang yang ditambah itu tidak ada kesepakatan dengan Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA). Tetapi menurut saya bukan faktor kurang anggaran, karena perencanaannya dipersiapkan oleh UPTD PPQ bersama Tim TAPA,” ungkap Nurzahari.
Malah, pihaknya kata Nurzahari selalu minta tambahan anggaran untuk UPTD PPQ. Itu dilakukan pada paripurna anggraan dengan tim TAPA. Makanya, ada kewajiban bagi Pemerintah Aceh untuk mengalokasikan lima persen anggaran APBA untuk penegakan syaraiat Islam, termasuk untuk lembaga UPTD.
“Tapi dalam perjalanannya, tim TAPA terkesan setengah hati, padahal qanun sudah kita sahkan sejak tahun 2014. Jadi, seharusnya tidak adalasan dengan dalih tidak ada anggaran,” sebutnya.
Itu sebabnya kata Nurzahari, UPTD harus bertanggungjawab. “Kenapa perencanaan demikian dan kenapa saat kita minta tambah anggaran tidak mau berjuang di tim TAPA. Ketika tim TAPA meminta rasionalisasi anggaran, anggota dewan meminta anggaran ditambah tapi kenapa LPTQ tidak berpihak kepada anggota dewan,” ungkap alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Masih kata Nurzahari. “Mereka memilih mengiyakan saat tim TAPA memangkas anggarannya. Padahal, inikan dana APBA,” ujarnya.
Seharusnya menurut Nurzahari, para pemangku kebijakan harus berpikir kembali bahwa permasalahannya bukan hanya MTQ, tetapi penegakkan syariat Islam. “Dari awal saya selalu menegasakan bahwa kewajiban membaca Alquran itu tidak hanya pada proses uji saja. Apakah saat  mau maju sebagai anggota dewan baru baca quran. Mau maju sebagai komisioner harus baca quran? Jangan demikian, tapi mewajibkan membaca alquran mulai dari pendidikan paling dasar seperti TK hingga berjenjang sampai pendidikan tinggi. Jadi sebanding.
Masih kata Nurzahari, kalau hanya menyerahkan kewajiban pada guru-guru agama di luar pendidikan sekolah, ini menandakan bahwa Pemerintah Aceh tidak serius dalam penerapan syariat Islam.  
“Maka jangan mengharapkan sesuatu yang fantastis tapi dalam praktiknya kita tidak mempersiapkan apapun. Oh, di sana ada qari yang bagus kita ambil, tidak boleh demikian,” ujarnya.
Sekretaris Dinas Syariat  Islam Aceh Darjalil yang ditemui media ini, Rabu pekan lalu mengaku tidak berani berkomentar atas prestasi MTQ Aceh di Mataram. Dia menyarankan agar media ini menunggu kepulangan Kepala Dinas Syariat Islam, Prof. Dr. Syahrizal Abas yang sedang mendampingi rakyat Aceh menunaikan ibadah haji atau menanyakan langsung pada Ridwan Johan, Kepala UPTD PPQ Dinas Syariat Islam Aceh yang berkantor di LPTQ Aceh.
Supaya lebih jelas tentang persoalan MTQ, ada UPTD yang mengelola secara teknis. Kami sarankan dapat berkonsultasi dengan unit pelaksaan teknis binaan yang membidangi tentang al-Qur`an,” saran Darjalil.***

 Sumber Tabloit Modus Aceh Edisi XVII/2016