Aceh Masih Diatas Papua
Di
atas kertas, prestasi kafilah Aceh yang bertanding pada arena Musabaqah
Tilawatil Qur’an (MTQ) Nasional XXVI/2016 di Mataram, Nusa Tenggara Barat,
boleh dibilang
ada peningkatan. Setidaknya, jika
tahun lalu berada di bawah Provinsi Papua, kini naik satu tingkat di atasnya.
Namun, sebagai provinsi yang
berlabel syariat Islam,
prestasi itu tentu bukanlah sesuatu yang membanggakan, jika tak elok disebut prestasi. Itu sebabnya, banyak
pihak menilai, tak kunjung gemilangnya prestasi Aceh di arena MTQ nasional, karena karut-marutnya pola pengelolaan dan pembinaan di Unit Pelaksana
Tugas Daerah (UPTD) Pengembangan Pemahaman Quran
(PPQ), dibawah pengawasan Dinas Syariat Islam Aceh.
Salah satunya dalam merekrut
dan mendidik para generasi calon peserta MTQ tingkat nasional. Karena itu, Pemerintah
Aceh bersama legislatif (DPR)
Aceh didesak
untuk segera mengevaluasi
UPTD PPQ Aceh, segera mungkin. Apalagi,
prestasi tak menggembirakan itu terjadi di tengah anggaran yang berlimpah.
Nah,
apa saja yang menjadi pengganjal gerak langkah prestasi Kafilah Aceh di arena MTQ Nasional saban tahun. Benarkah karena minimnya
anggaran? Atau tidak keseriusan PPQ Aceh dalam mengemban tanggungjawab yang diberikan? Wartawan MODUS ACEH,
Irwan Saputra menulisnya untuk rubrik Dibalik
Berita pekan ini.
***
Kepala
UPTD PPQ Aceh, Ridwan Johan tentu
tak
mau disalahkan. Dia balik menuding,
prestasi itu setali tiga uang dengan dukungan dari pemangku kepentingan yaitu Pemerintah Aceh dan DPR
Aceh dalam
mengalokasikan anggaran.
Faktor tidak cukupnya anggaran inilah yang menyebabkan pembinaan dan pengelolaan
Kafilah MTQ Aceh, menjadi salah satu penyebab prestasi Aceh
tak kunjung gemilang.
Tapi, pendapat Ridwan Johan dibantah Nurzahari,
anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh. “Itu tidak benar, jangankan
dipangkas malah kami meminta
agar ditambah dari anggaran yang diajukan,” kata Nurzahri.
Sebaliknya, politisi Partai Aceh (PA) ini menilai, anjloknya
presatasi MTQ Aceh di tingkat nasional
adalah bukti tidak seriusnya UPTD PPQ Aceh dalam mengelola anggaran yang
disediakan.
***
Beratapkan langit cerah, suasana di
halaman Islamic Center Nusa Tenggara Barat (NTB) malam itu begitu meriah. Tepuk tangan bahagia membuat arena tersebut menjadi lengkap, saat Ketua
Dewan Hakim Nasional, Prof. Dr. H. Said Aqil Husen Al-Munawar membacakan dan memanggil nama peserta
MTQ tadi sebagai juara dan tampil ke atas panggung.
Sebaliknya, ada peserta dan pimpinan kontingen dari
seluruh Indonesia yang muram dan kecewa. Itu disebabkan, belum berhasil meraih
juara, membawa pulang catatan prestasi bagi daerahnya, setelah sepekan
bertanding di arena Musabaqah Tilawatil Qur`an (MTQ) Nasional ke
XXVI, yang berlangsung 30 Juli hingga 6 Agustus 2016 di
Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Kontingen
Aceh misalnya, walau tak sampai terjun bebas, namun prestasi yang ditoreh tahun
ini bisa disebut tak begitu memuaskan. Bayangkan, dari 33 provinsi di
Indonesia, Aceh hanya berada di urutan kedelapan atau setingkat di atas
Provinsi Papua, tapi di bawah Sumatera Barat.
Prestasi
itupun, tidak diraih pada katagori lomba prestisius. Misal, cabang tilawah qur’an, qari dan qariah maupun hafid (lihat:
table juara). Bila dibandingkan tahun 2015 lalu, memang kafilah
Serambi Mekah bertenger di
bawah Papua. Ini berarti naik satu tingkat dari tahun
sebelumnya.
Penentuan
juara itu, berdasarkan akumulasi nilai yang berhasil di raih suatu daerah dari
para peserta yang diikut. Untuk juara satu misalnya, dewan juri mengganjar poin
lima, juara dua (tiga poin) juara tiga (satu poin). Jika suatu daerah atau provinsi mendapatkan banyak
juara satu, otomatis berhak meraih juara umum.
Untuk Kafilah Aceh, setelah berhasil meloloskan
enam cabang ke babak final, akhirnya
memetik hasil kurang mengembirakan atau hanya berhasil meraih 18 poin. Mereka
adalah, tafsir
bahasa Inggris putri (Yusniar SPdi Juara I), tahfihd 1 Juz putra (Muhammad
Khadafi Juara I), khatil Quran hiasan mushaf putra (Syeh Murzawi juara II),
fahmil Quran (Aulia Rizki, Aguslijar, dan Fachrul Radji juara II),
tahfidh 5 juz putra (M Rajul Fuzari juara III),
dan cabang tilawah remaja putri (Yasarah juara III).
“Keberhasilan
peserta MTQ Aceh tidak lepas dari doa dan
dukungan masyarakat Aceh,” ujar Sekretaris Kafilah Aceh, Drs. H. Ridwan Johan, usai menyaksikan prosesi
penutupan malam itu.
Menurut
Ridwan, di arena MTQ Nasional ke-XXVI/2016 Mataram, Provinsi NTB, Aceh
mendapat peringkat lebih lebih bagus
dari tahun sebelumnya, yaitu dari sembilan (2015) dan naik ke
delapan (2016). Walau sebenarnya, keberhasilan itu belum
memuaskan jika disanding dengan prestasi Provinsi Papua yang mayoritas beragama
non muslim.
“Juara satu cabang Bahasa
Inggris dari Papua Barat dan itu
murni orang Aceh. Namanya Alfian,” ujar
Ridwan saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu pekan lalu.
Diakui Ridwan, masyarakat
menginginkan prestasi Aceh
di arena MTQ
nasional tidak hanya berkutat diurutan
delapan. Apalagi dengan label Provinsi Serambi Mekkah yang menerapkan nilai-nilai syariat Islam secara kaffah (menyeluruh).
Itu sebabnya, dia berharap ada partisipasi
dari pemerintah daerah dengan cara mendukung alokasi dana
yang cukup untuk pendidikan dan pelatihan qari-qariah
serta hafid dan hafizah, sehingga dapat dilakukan latihan lebih lama dan maksimal.
“Kalau dananya kurang, tentu berakibat pada proses latihan dan tidak mungkin
bisa maksimal,” ujar Ridwan.
Selama ini sebut Ridwan, waktu latihan sangat
terbatas bagi qari dan qariah maupun hafid dan hafidzah Aceh dalam
memperdalam ilmunya. Termasuk pelatih yang terbatas atau hanya dua orang
pelatih nasional. Sementara daerah lain, waktu latihan panjang dan mendatangkan pelatih
lebih dari dua orang.
Ridwan Johan. |
Ungkap Ridwan, jika Aceh ingin meraih prestasi dari
semua katagori lomba, maka harusnya mendatangkan pelatih dari semua katagori
lomba tersebut. Kebijakan ini tentu saja memiliki konsekwensi dalam
pendanaan. “Andai anggaran cukup, kita
bisa mengundang semua cabang pelatih nasional ke Aceh. Dan kita bisa mengetahui serta mendapat
bayangan bagaimana
mekanisme di MTQ Nasional,” ujar Ridwan.
Nah, karena keterbatasan dana itulah, menurut Ridwan membuat pelatihan dan bimbingan
kafilah Aceh menuju MTQ nasional menjadi tidak maksimal. Selain
itu, banyak putra dan putri Aceh yang ikut atau mewakili provinsi
lain seperti
Banten dan Riau.
Padahal menurut pria asal Meulaboh,
Aceh Barat
ini, Aceh memiliki cukup banyak kader. “Tapi, mereka tak mau datang saat dipanggil
untuk mengikuti seleksi,” ungkap Ridwan.
Kondisi inilah yang diharapkan Ridwan agar
menjadi perhatian khusus dan
serius dari Pemerintah Aceh maupun Bupati serta Walikota di Aceh. Sebab, mereka
berasal dari sana. “Ini bahaya dan tidak ada ijin dari kami,” tegas
Ridwan.
Ridwan menyarankan, bagi qari dan qariah, hafid maupun
hafidzah Aceh dari berbagai katagori lomba lainnya yang berprestasi di tingkat
provinsi, tapi menolak untuk dipanggil dan mengikuti seleksi dengan
berbagai alasan, kemudian
diketahui membela provinsi lain, maka harus diberi
sanksi atau di diskualifikasi. Caranya, jangan
diberi
kesempatan lagi untuk ikut atau menjadi
dari
kafilah Aceh.
“Ada
14 putra Aceh yang mewakili provinsi
lain dari seluruh Indonesia. Kenapa
begini? Kami juga tidak tahu. Mereka memang tidak terpilih mewakili Aceh karena bukan juara
satu pada MTQ Provinsi Aceh di Nagan Raya. Dan, tidak
mungkin kita bawa juara dua. Namun, sebagai putra Aceh harusnya mereka tidak
memperkuat provinsi lain,” jelasnya.
Dijelaskan Ridwan, untuk
proses seleksi calon peserta MTQ, para juara satu hingga tiga di tingkat provinsi,
diseleksi ulang. Dari hasil inilah, satu orang diberangkatkan
untuk ikut MTQ tingkat nasional.
Lazimnya,
Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur`an (LPTQ) memerlukan lima puluh orang untuk diberangkatkan pada MTQ nasional dan harus melalui
hasil training centre (TC) atau pusat pelatihan. Jumlahnya ada 150 orang. Ini artinya, meski juara satu, belum ada jaminan dan belum
tentu dibawa ikut MTQ Tingkat
Nasional. “Karena pada saat MTQ provinsi
bisa saja dia kurang sehat dan mendapat juara tiga. Padahal saat dia sehat, luar biasa bagus, maka dia juga kita panggil,”
jelas Ridwan.***
Saling
Tuding Usai Bertanding
Nurzahari |
Kepala UPTD PPQ Dinas Syariat Islam beralasan, tak
kunjung gemilangnya prestasi Kafilah Aceh pada MTQ nasional karena anggaran yang diberikan jauh dari cukup. Alasan itu dibantah Nurzahari, anggota Komisi VII
(urusan keagamaan) DPR Aceh. Dia
menilai, pernyataan
Ridwan hanya mencari kambing hitam atas kegagalan dalam mengemban
jabatan.
Belum
membaiknya prestasi Kafilah Aceh pada
MTQ
Nasional 2016 di Mataram, NTB, menuai
banyak kritik. Salah satunya dari anggota DPR Aceh Nurzahari. Namun,
Kepala UPTD PPQ Dinas Syrariat
Islam Aceh, Ridwan Johan menolak untuk
dipersalahkan.
Menurutnya,
tak kunjung membaiknya prestasi Aceh pada
MTQ nasional, karena kurang mendapat dukungan dari pemangku
jabatan dalam memberikan anggaran.
Yang disasar Ridwan tentu mudah ditebak, yaitu
Pemerintah Aceh dan DPR Aceh. Akibatnya, prestasi Aceh pada MTQ nasional belum mampu digenjot seperti
yang diharapkan rakyat Aceh.
“Untuk
MTQ di Mataram kami hanya
diberikan dana Rp 2,5 miliar.
Di sana sudah tercover semua, sejak dari seleksi, tansportasi, fasilitas,
perlengkapan hingga penginapan.
Anggaran tahun ini memang lebih
besar Rp 500 juta dari tahun sebelumnya,
tapi semua biaya akomodasi ditanggung
sendiri,” ungkap Ridwan Johan.
Karena itu, ia berharap, untuk MTQ Nasional berikutnya (2018), Pemerintah Aceh dan DPR Aceh dapat
mengalokasikan anggaran lebih
besar. Karena alokasi dana yang paling besar
terserap saat melakukan TC. Namun, untuk tahun berikutnya ia tak berani
memasang target, karena hingga saat ini mereka belum menyeleksi calon-calon
peserta yang akan diikutkan pada MTQ
Tingkat Nasional di Medan, Sumatera Utara,
tahun 2018.
“MTQ
Provinsi Aceh Timur akan berlangsung Agustus
2017
mendatang. Dari hasil itu akan
kita seleksi untuk TC,
peserta
MTQ Nasional di Medan,” jelas
Ridwan.
Adapun peserta yang akan diikutkan,
putra-putri terbaik Aceh. Misalnya, cabang Syarhil Quran (tiga orang), Fahmil Quran (tiga orang). Dan, kemungkinan akan ada satu grup putra dan satu putri, baik Fahmil Qur`an maupun Syarhil Quran, tentu membutuhkan biaya yang lebih,” ujar Ridwan.
Faktanya ungkap Ridwan, untuk anggaran
kafilah Aceh menuju MTQ
Mataram, di ambil dari biaya bangunan
Gedung Kantor Syariat Islam
Aceh. “Jadi tidak ada plot anggaran khusus. Ini yang harus diketahui masyarakat,”
ujarnya.
Tapi, alasan itu dibantah Nurzahari,
anggota Komisi VII DPR Aceh. Dia bahkan mengaku kecewa dengan hasil yang diperoleh kafilah Aceh di MTQ Mataram. Sebab
kata Nurzahari, sudah disiapkan anggaran dan dukungan. Namun, hasilnya tidak tidak
sebanding dengan yang diharapkan.
Padahal kata Nurzahari, pihak luar
negeri mengaku kagum dengan Aceh
karena terdapat qari-qariah
yang sudah go internasional atau meraih juara. Salah satunya di Turki beberapa
waktu lalu. Ironisnya sebut Nurzahari, mereka berlatih sendiri, bukan melalui pembinaan yang dananya dari pemerintah daerah.
“Bandingkan dengan kondisi
kader di LPTQ, jadi saya kira Pemerintah Aceh harus mengevaluasi kinerja UPTD
PPQ, Dinas Syariat Islam Aceh,” kritik politisi Partai Aceh ini.
Dia juga mengaku heran, mengapa banyak putra-putri Aceh yang ikut MTQ, tapi membela daerah lain, apalagi
kejadian seperti ini sudah
berulang
kali terjadi. Menurut Nurzahari, ini
menandakan bahwa Aceh tidak menghiraukan prestasi putra-putri sendiri. Akibatnya, diambil oleh daerah
lain. “Dalam waktu dekat kami
akan panggil dan tanyakan dan meminta pertanggungjawaban dari UPTD
PPQ,” kata Nurzahari pada
media ini, Jumat pekan lalu.
Nurzahari
menilai, tak kunjung membaiknya prestasi Aceh pada MTQ nasional, karena UPTD PPQ
yang menaungi LPTQ kurang serius dalam mengemban amanah, terutama para panitia LPTQ.
Mereka hanya sekedar memasang target penyerapan anggaran.
“Jadi, tidak ada target akan
studi banding, selain dari menghabis-habiskan anggaran, sementara kualitas qari
tidak terpantau. Seharusnya, saat mau
bertanding para qari-qari
tersebut harus diketahui apakah
sudah layak tanding atau belum.
Tiba-tiba saja mereka muncul,
sehingga saat ikut dalam MTQ kalah. Mestinya, sebelum
diberangkatkan ada uji tanding seperti halnya olahraga,” usul Nurzahari.
Terkait
alasan kurang anggaran, Nurzahari mengatakan tidak ada anggaran yang dipangkas di badan anggaran (Banggar) DPR Aceh. Sebaliknya, disahkan
secara penuh seperti yang diajukan, malah
ditambah. “Memang yang ditambah itu
tidak ada kesepakatan dengan Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA). Tetapi menurut saya bukan faktor kurang
anggaran, karena perencanaannya dipersiapkan oleh UPTD PPQ bersama Tim TAPA,” ungkap Nurzahari.
Malah,
pihaknya kata Nurzahari selalu minta tambahan
anggaran untuk UPTD PPQ. Itu
dilakukan pada paripurna
anggraan dengan tim TAPA.
Makanya, ada
kewajiban bagi Pemerintah Aceh untuk mengalokasikan lima persen anggaran APBA
untuk penegakan syaraiat Islam, termasuk untuk lembaga UPTD.
“Tapi
dalam perjalanannya, tim TAPA terkesan setengah hati, padahal qanun sudah kita
sahkan sejak tahun 2014. Jadi,
seharusnya tidak adalasan dengan dalih tidak ada anggaran,” sebutnya.
Itu sebabnya kata Nurzahari, UPTD harus bertanggungjawab. “Kenapa perencanaan demikian
dan kenapa saat kita minta tambah anggaran tidak mau berjuang di tim TAPA.
Ketika tim TAPA meminta rasionalisasi
anggaran, anggota dewan meminta
anggaran ditambah tapi kenapa
LPTQ tidak berpihak kepada anggota
dewan,” ungkap alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Masih kata Nurzahari. “Mereka
memilih mengiyakan saat tim
TAPA memangkas anggarannya. Padahal, inikan
dana APBA,” ujarnya.
Seharusnya
menurut Nurzahari, para pemangku kebijakan harus berpikir kembali bahwa
permasalahannya bukan hanya MTQ, tetapi penegakkan syariat Islam. “Dari awal saya selalu
menegasakan bahwa kewajiban membaca Alquran itu tidak hanya pada proses uji saja. Apakah saat mau maju
sebagai anggota dewan
baru baca quran. Mau maju sebagai komisioner harus baca
quran? Jangan demikian, tapi mewajibkan membaca
alquran mulai dari pendidikan
paling dasar seperti TK
hingga
berjenjang sampai pendidikan tinggi. Jadi
sebanding”.
Masih kata Nurzahari, kalau
hanya menyerahkan kewajiban pada guru-guru agama di luar pendidikan sekolah,
ini menandakan bahwa Pemerintah
Aceh tidak serius dalam penerapan
syariat Islam.
“Maka
jangan mengharapkan sesuatu yang fantastis tapi dalam praktiknya kita tidak mempersiapkan
apapun. Oh, di sana ada qari yang bagus kita
ambil, tidak boleh demikian,” ujarnya.
Sekretaris Dinas Syariat Islam Aceh Darjalil yang ditemui media
ini, Rabu
pekan lalu mengaku tidak berani berkomentar atas prestasi MTQ Aceh di Mataram. Dia menyarankan agar media ini menunggu kepulangan Kepala Dinas Syariat Islam, Prof. Dr.
Syahrizal Abas yang sedang
mendampingi rakyat Aceh menunaikan ibadah haji
atau menanyakan langsung pada Ridwan Johan, Kepala UPTD PPQ Dinas Syariat
Islam Aceh yang berkantor di LPTQ Aceh.
“Supaya lebih jelas tentang persoalan
MTQ, ada UPTD yang mengelola
secara teknis. Kami sarankan dapat
berkonsultasi dengan unit pelaksaan teknis binaan
yang membidangi tentang al-Qur`an,” saran Darjalil.***
Sumber Tabloit Modus Aceh Edisi XVII/2016