Saturday, November 26, 2016

Terkait info grafis Bawaslu RI

‘Meradang’ Zaini Abdullah Disengat Infografis Bawaslu

Bawaslu menerbitkan infografis yang isinya juga memuat tentang figur potensial pada Pilkada Aceh 2017. Dari enam calon gubernur, empat di antaranya dinilai potensial. Dua sisanya, Zaini Abdullah dan Abdullah Puteh tak termasuk. Hanya Zaini Abdullah yang “meradang”.

Dadang Heryanto | Irwan Saputra

Info grasis Bawaslu RI (Screnshot)
Informasi itu cepat tersebar. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengeluarkan profil singkat tentang Aceh dalam bentuk infografis. Termasuk di dalamnya memuat kesimpulan analisis tentang figur potensial dalam pilkada Aceh 2017.

Dari enam bakal calon Gubernur Aceh, dua di antaranya tak masuk sebagai figur potensial pada Pilkada 2017. Mereka adalah Zaini Abdullah dan Abdullah Puteh. Keduanya calon dari jalur perseorangan.

Sementara, empat lainnya yaitu Muzakir Manaf, Irwandi Yusuf, Zakaria Saman dan Tarmizi Karim dinilai sebagai figur potensial. Bawaslu juga menyajikan narasi singkat mengenai profil masing-masing figur.

Muzakir Manaf yang dideskripsikan sebagai petahana (sedang menjabat) wakil gubernur Aceh, mendapat gelar "Mualem" pada masa konflik Aceh yaitu gelar kepada seorang yang berpengetahuan tinggi dalam ilmu kemiliteran--meski Aceh saat ini tak sedang konflik.

Sementara, Irwandi Yusuf dinarasikan sebagai mantan Gubernur Aceh periode 2007-2012 dan maju pada Pilkada 2012, namun dikalahkan Pasangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf. Adapun Zakaria Saman disebutkan sebagai pendiri Partai Aceh dan tokoh serta mantan Menteri Pertahanan GAM. Sedangkan Tarmizi Karim adalah mantan Penjabat Gubernur Aceh, mantan Bupati Aceh Utara dan saat ini sedang menjabat Irjen Kemendagri.

Infografis ini diunggah pada 10 Agustus 2016 lalu. Pengambilan data dilakukan antara Januari hingga Februari 2016 dengan metode wawancara, masing-masing pegiat pemilu, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pers. Bawaslu juga melakukan riset dokumen primer dan analisis media.

Selain Aceh, Bawaslu membuat infografis serupa untuk sejumlah provinsi lain, di antaranya Banten, DKI Jakarta, Gorontalo dan Papua Barat.

Zaini Abdullah (Photo: Kompasiana)
Informasi langsung menjadi viral dan diperbincangkan, termasuk di media sosial. Analisis ini kabarnya membuat pasangan Zaini Abdullah-Nasaruddin (AZAN) "meradang". Mereka protes dan berencana melapor Bawaslu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.

Seperti yang dilansir acehtrend.co Selasa pekan lalu, Juru Bicara Tim Pemenangan AZAN, Fauzan Febriansyah, menyatakan keberatan dengan infografis yang diterbitkan Bawaslu tersebut.
“Pada halaman website tersebut hanya menampilkan empat bakal calon gubernur dan meniadakan dua bakal calon gubernur lainnya yaitu: Zaini Abdullah dan Abdullah Puteh,” kata Fauzan.

Penggunaan kalimat "Figur Potensial Pilkada Serentak 2017" pada infografis di halaman resmi website Bawaslu tersebut, kata Fauzan, provokatif dan menggiring opini publik. Karena secara langsung dapat diambil kesimpulan bahwa hanya empat bakal calon gubernur yang ditampilkan pada halaman website Bawaslu yang layak dipilih dan berpotensi sedangkan yang lain tidak.

Tindakan Bawaslu tersebut juga dinilai telah mencederai semangat netralitas penyelenggara pemilu yang merupakan ruh dan amanah utama dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Konstitusi UUD 1945.

Juru Bicara Tim Pemenangan AZAN ini juga menegaskan, meskipun yang dilakukan Bawaslu tersebut merupakan sebuah tindakan ketidaksengajaan, tetap tidak dapat ditolerir dan merupakan bentuk nyata tidak profesionalnya Bawaslu khususnya yang bertanggungjawab dalam hal media dan informasi Bawaslu. ”Yang paling janggal, menurut kami, bagaimana mungkin Bawaslu melakukan publikasi empat bakal calon gubernur. Padahal, pendaftaran calon gubernur dukungan parpol belum dilakukan. Begitu juga proses verifikasi calon perseorangan sedang berlangsung,” katanya.

Itulah sebabnya, kata Fauzan, pihaknya akan meminta tanggapan dan klarifikasi dari Bawaslu terkait hal ini. “Kami juga akan melaporkan Bawaslu kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait hal ini yang kami anggap telah mencederai semangat netralitas dan profesionalisme lembaga penyelenggara pemilu,” kata dia.

Abdullah Puteh
Berbeda dengan pasangan Zaini Abdullah-Nasaruddin, bakal calon Gubernur Aceh dari jalur perseorangan yakni Abdullah Puteh tidak mempersoalkan namanya tak masuk sebagai figur potensial pada Pilkada 2017, seperti yang dilansir dalam infografis yang dirilis Bawaslu tersebut. Puteh menilai hal itu sebagai dinamika politik biasa.

"Asalkan niat kita maju baik. Biarkan sajalah," ujar Abdullah Puteh pada MODUSACEH.CO, Rabu, pekan lalu.

Menurut Puteh, setiap perjuangan pasti memiliki dinamika, namun tak semuanya harus diatensi. "Kita berserah diri dan memohon pada Allah agar niat baik kita untuk membawa perubahan ini dilancarnya oleh-Nya," kata Puteh.

Itulah sebabnya, Abdullah Puteh tak begitu ambil pusing dengan infografis yang dirilis Bawaslu tersebut. "Jadi, biar sajalah. Itu hanya dinamika," ujar Puteh tersenyum.
Sementara itu, Panitia Pengawasan Pemilihan (Panwaslih) Aceh yang merupakan perpanjangan tangan dari Bawaslu RI di Aceh mengaku terkejut dengan infografis tersebut.

Irhamsyah (Photo: Acehtrend.co)
Kepala Divisi Humas dan Sosialisasi Panwaslih Aceh, Irhamsyah, mengatakan, sebagai pengawas, mereka tidak boleh menganalisa siapa calon yang lebih unggul persentasenya dari calon lainnya. Begitupun, siapa calon yang lebih memiliki massa yang lebih banyak dibandingkan dengan calon lainnya.

“Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tegas menyebutkan bahwa tugas pengawas bukan menganalisa siapa calon potensial atau bukan, siapa yang akan menang atau tidak, melainkan menerima laporan masyarakat dan mengawasi setiap tahapan pilkada yang dilaksanakan oleh penyelenggara--dalam hal ini KIP--mulai dari tahapan awal, hingga selesai. Begitupun, kita juga mengawas peserta dalam pilkada, bukan menganalisa. Itu tidak boleh,” ujar Irhamsyah, Kamis pekan lalu.
Irhamsyah menjelaskan, tugas Panitia Pengawas (Panwas) adalah mengawasi setiap tahapan yang dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan peserta pilkada. Apakah sudah sesuai dengan verifikasi faktual atau belum. Jika belum, pihaknya mendampingi verifikasi tersebut.

Jika ada masyarakat yang tidak mendukung calon tertentu yang mengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP) masyarakat tersebut, kemudian merekomendasi pada KIP Aceh untuk dibetulkan. Kalau memang nanti ada perbaikan, begitupun kalau ada pemalsuan dan segala macam, seperti terjadinya pemalsuan dokumen dan tanda tangan, maka akan diserahkan kepada pihak kepolisian.

“Jadi, tugas kita hanya melihat penyelenggaraan pilkada, sesuai tidak dengan norma hukum yang dilaksanakan oleh penyelenggra agar tidak melanggar rambu-rambu, apakah itu black campaign, money politic dan hal-hal lain,” jelas Irhamsyah.

Nah, apabila ada yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku, maka masyarakat harus melapor. Karena tugas kita adalah mengawasi, mengkaji dan bahkan menyelesaikan sengketa antara peserta dengan penyelenggra. Di samping itu, Panwas juga bisa menyelesaikan sengketa antara peserta dengan peserta. “Jadi, bukan menganalisa para calon. Ini tidak boleh,” kata Irhamsyah

Diakui Irhamsyah, Panwaslih Aceh tidak tahu adanya infografis Bawaslu terhadap analisa para calon Gubernur Aceh tersebut. Dia mengatakan, akan melakukan koordinasi dengan Bawaslu Pusat kenapa hal tersebut terjadi. Karena dugaan yang akan muncul adalah data analisis tersebut berasal dari Panwaslih Aceh karena kita hirarki.

“Saya tegaskan, data itu bukan dari Panwaslih Aceh. Panwaslih tidak berwenang menganalisis siapa calon yang unggul dan tidak unggul. Bukan itu tupoksi kita. Tupoksi kita adalah mengawasi penyelenggara pilkada dan mengawasi peserta yang akan bertarung dalam pilkada sesuai norma yang berlaku,” tegas Irhamsyah.***

Sumber : Tabloid MODUS ACEH Edisi XX

Ekplorasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)

Ramahnya Zaini pada Hitay Energy
Untuk dan atas nama pengembangan potensi panas bumi, Gubernur Aceh Zaini Abdullah meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengizinkan PT Hitay Panas Energy melakukan eksplorasi kawasan hutan Leuser. Kendati berada di zona inti kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.

Irwan Saputra
Bertempat di sebuah hotel di Jalan Sisingamangaraja, Medan, Sumatera Utara (Sumut). Perwakilan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Sumut berkumpul bersama sejumlah pakar lingkungan, pejabat Direktorat Konservasi Kawasan, serta Direktorat Pengelolaan dan Informasi Konservasi Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jumat, 17 Juni 2016 lalu. Pertemuan hari itu membahas evaluasi zonasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), yang diprakarsai Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL).

Seperti yang diberitakan mongabay.co.id oleh penulis Ayat S Karokaro, pertemuan dadakan itu menaruh curiga banyak pihak. Banyak yang mempertanyakan kenapa secara tiba-tiba Pemerintah Aceh dan Pemerintah Sumut melakukan konsultasi publik terhadap evaluasi zonasi TNGL tersebut.
Tersiar kabar, rupanya ada sejumlah kalangan yang mendesak BBTNGL agar mempercepat pembahasan zonasi Leuser tersebut. Tujuannya supaya zona TNGL khusus kawasan lapangan Kappi di Aceh Tenggara itu bisa diubah menjadi zona pemanfaatan.

Di Kappi, memang terdapat potensi geothermal atau panas bumi yang dianggap besar, sehingga membuat perusahaan asal Turki tertarik untuk mengelola. Terendus kabar, upaya untuk melancarkan perubahan zona ini diprakarsai oleh seorang mantan pejabat di KLHK yang berulangkali mondar-mandir ke kantor BBTNGL di Jalan Selamat, Medan.

Kepala BBTNGL, Andi Basyrul, dalam pembukaan pertemuan hari itu mengatakan, kawasan TNGL menyandang berbagai status, mulai dari cagar biosfer, warisan dunia, warisan ASEAN, dan Kawasan Strategis Nasional.

Dia mengatakan, perkembangan yang terjadi baik kebijakan maupun kondisi kawasan menjadi alasan percepatan pembahasan evaluasi zonasi ini. “Kalau dulu, zona inti tak boleh diganggu gugat. Berbeda sekarang, kita juga dituntut mengelola kawasan untuk mendapatkan penerimaan negara bukan pajak,” ujarnya.

Namun, seusai membuka pertemuan evaluasi zonasi Leuser tersebut, Basyrul langsung pergi meninggalkan pertemuan. Dia juga tidak menjelaskan rencana panas bumi di Kappi yang masuk zona inti TNGL.
***
Menindaklanjuti pertemuan tersebut, Gubernur Aceh Zaini Abdullah atau yang akrab disapa Abu Doto, menyurati Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar M.Sc, agar mengizinkan PT Hitay Panas Energy melakukan eksplorasi kawasan Leuser. Kendati ia sadar, itu berada di zona inti kawasan TNGL. Permintaan izin ini dilayangkan Zaini Abdullah lewat surat nomor: 677/14266 tanggal 16 Agustus 2016.

Dok.
Pada poin dua surat tersebut, Abu Doto mengatakan, saat ini, Pemerintah Aceh bersama PT Hitay Panas Energy merencanakan pengembangan potensi panas bumi yang berada di Kabupaten Gayo Lues.

Namun, terkendala karena arealnya berada di dalam kawasan TNGL, bahkan terindikasi berada pada zona inti. Meski menyadari hal tersebut, yang ditulis pada poin tiga suratnya itu, Zaini Abdullah kembali menyatakan bahwa sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2015, pemanfaatan potensi panas bumi dapat dilakukan pada kawasan Taman Nasional.

Abu Doto meminta menteri berkenan merevisi sebagian zona inti menjadi zona pemanfaatan dan dapat diberikan izin kepada PT Hitay Panas Energy melakukan eksplorasi potensi panas bumi dimaksud.

Permohonan Gubernur Aceh ini mendapat reaksi dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh. Direktur WALHI Aceh, Muhammad Nur, mengatakan, pemanfaatan serta pemberian izin  eksplorasi kepada PT Hitay Panas Energy bukanlah sikap yang bijak dan akan menjadi preseden yang buruk di masa yang akan datang, di mana hukum (peraturan perundang-undangan terkait tentang perlindungan alam) boleh saja diubah-ubah untuk mengakomodir segala bentuk keinginan dan/atau kepentingan bisnis pelaku usaha.

“Dikhawatirkan, pemberian izin eksplorasi kepada PT Hitay Panas Energy di zona inti akan memperburuk kerusakan yang terjadi di TNGL, seperti pembangunan fisik di antaranya pembangunan jalan yang akan menuju zona inti yang akan mempermudah akses pencurian kayu, perambahan dan aktifitas ilegal lainnya,” kata Muhammad Nur dalam siaran persnya yang diterima MODUSACEH.CO, Selasa pekan lalu.

Permintaan Gubernur Aceh Zaini Abdullah agar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberi izin eksplorasi pada PT Hitay Panas Energy tak hanya mendapat reaksi dari WALHI semata, tapi juga menjadi atensi wakil dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Irwan Djohan.
Bahkan, Irwan Djohan telah bertemu langsung dengan Rida Mulyana M.Sc, Dirjen Energi Baru Terbarukan serta Yunus Saefulhak MM MT, Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM, termasuk untuk membahas keinginan Abu Doto itu.

"Selasa, 23 Agustus lalu, saya ke Kementerian ESDM untuk mendiskusikan soal panas bumi dan titipan dari kawan-kawan lingkungan hidup untuk mempertanyakan soal perubahan RTRW, di mana zona inti Gunung Leuser telah diminta oleh gubernur agar digunakan untuk pemanfaatan investasi oleh perusahaan dari Turki," kata Irwan Djohan, Senin pekan lalu.

Pada 24 Agustus 2016 lalu, Irwan Djohan juga secara khusus mengomentari rencana Pemerintah Aceh memanfaatkan lapangan Kappi, yang masuk zona inti TNGL tersebut. Dalam akun Facebook-nya, Irwan mengatakan, rencana tersebut harus dikaji lebih serius. "Tak boleh sembarangan mengalihkan zona inti menjadi zona pemanfaatan," tulis Irwan.

Salah satu yang dikhawatirkan adalah jalan masuk proyek tersebut akan disalahgunakan oleh perambah hutan dan pemburu liar. Seperti diketahui, pengamalan ini pernah terjadi saat proyek Ladia Galaska di era Gubernur Abdullah Puteh. Proyek prestisius ini digadang-gadang akan menghubungkan Lautan Hindia-Gayo-Alas-Selat Malaka.

Tapi, WALHI Aceh sempat membeberkan tentang parahnya dampak lingkungan yang ditimbulkan. Bahkan, WALHI menempuh jalur hukum dengan menggugat program itu ke pengadilan hingga sampai ke Mahkamah Agung, namun mereka kalah.

Irwan Djohan punya alasan yang cukup relevan menaruh atensi serius ihwal rencana Abu Doto itu. "Potensi listrik lapangan Kappi "hanya" 25 megawatt, padahal banyak lokasi lain yang menyimpan potensi 50 hingga 200 megawatt. Pertanyaannya, mengapa yang disasar adalah yang berada di TNGL," katanya.

Seperti diketahui, Taman Nasional Gunung Leuser memiliki tiga fungsi utama yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.*

Sumber : Tabloid MODUS ACEH Edisi XX

Wawancara Prof. Dr. H A. Hamid Sarong, SH.MH terkait Pergub Cuti Bersalin

Pergub Kagetan dan Mubazir
Zaini Abdullah langsung menerapkan Peraturan Gubernur Nomor 49 Tahun 2016 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif. Pergub ini lebih dipopulerkan dengan istilah Pergub Cuti Bersalin lantaran regulasi itu juga membenarkan PNS mendapat cuti enam bulan. Yenni Linda Yanti, salah seorang pegawai di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Banda Aceh dipilih sebagai sampel penerima perdana. Gubernur Aceh Zaini Abdullah langsung menyerahkan SK cuti selama enam bulan itu pada Yenni, Kamis, 25 Agustus 2016 lalu. Untuk dan atas nama keberpihakan pada kaum ibu, Zaini memutuskan untuk tahan badan meski sesungguhnya pergub yang dia terbitkan telah menjadi kontroversi. Bukan satu dua pakar hukum menyatakan jika regulasi itu tak sejalan dengan sederet peraturan perundang-undangan yang ada.
Prof. Dr. H A. Hamid Sarong, SH.MH
Pendapat serupa juga disampaikan pakar hukum Islam Prof. Dr. H A. Hamid Sarong, SH.MH. Seperti apa pendapatnya? Kamis pekan lalu Wartawan MODUS Aceh, Irwan Saputra, mewawancarai pakar hukum Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, itu. Berikut penuturannya.***
  
Pemerintah Aceh menerbitkan Pergub Cuti Bersalin hingga enam bulan. Pendapat Anda?
Saya tidak tahu apa filosofinya di balik pemberian cuti selama enam bulan tersebut, apakah ini memang dibutuhkan oleh pegawai perempuan saat melahirkan hingga enam bulan atau tidak. Kemudian, apakah memang telah dilakukan penelitian sebelum pergub ini dikeluarkan bahwa di Aceh, perempuan yang pasca melahirkan membutuhkan cuti hingga enam bulan? Ini juga kita tidak tahu.

Jadi, harus ada penelitian terlebih dahulu?
Seharusnya dilakukan penelitian terlebih dulu. Dicari dulu dasar pemberlakukan pergub itu, baru kemudian bisa diterapkan. Oh, rupanya semua perempuan di Aceh yang melahirkan dan menyusui anaknya membutuhkan waktu sampai enam bulan baru sembuh dan bisa beraktivitas kembali. Tapi, ada juga sebagian perempuan yang cukup dengan waktu 40 hari saja, kemudian tidak mau lagi karena takut kecantikannya hilang. Kan menyusui ini bukan pekerjaan yang mudah. Sehingga, menjadi tradisi di Arab sana yang menyusui itu orang lain. Ini menunjukkan bahwa tradisi kemanusian menyusui itu adalah sebuah kerja berat, sehingga harus disuruh sama orang lain. Kemudian, kita buat penelitian di Aceh, orang-orang yang melahirkan di Aceh ini apa dia menyusui sampai enam bulan. Kalau tidak, untuk apa ada masa cuti sampai enam bulan?

Dalam Islam, bukankah perempuan diharuskan menyusui hingga dua tahun?
Dalam hukum Islam, Al-Quran memang menganjurkan agar perempuan menyusui anaknya sampai dua tahun. Tapi, untuk menyusui banyak macam, model serta caranya. Karena itu, apakah harus dengan cuti hingga enam bulan untuk dapat menyusui anak secara terus-menerus. Kan tidak mesti demikian.

Idealnya menurut Anda?
Bagi seorang pegawai, jika ingin menyusui anaknya pasca melahirkan dan cuti selama tiga bulan, kan bisa saja untuk menyusui dengan cara menabung ASI di rumah sebelum berangkat kerja. Atau dibuatkan tempat menyusui di kantor-kantor atau diberikan waktu yang longgar untuk pegawai tersebut. Karena, saya kira tidak perlulah diberikan cuti seperti itu. Jangan sampai dia meninggalkan pekerjaannya sampai enam bulan. Jika demikian, ini saya pikir adalah sebuah kebijakan yang keliru karena seorang pegawai yang digaji oleh negara meninggalkan pekerjaan hingga enam bulan.

Bagaimana pendapat Anda jika seorang pegawai yang cuti hingga enam bulan, sementara mereka mendapatkan gaji penuh?
Ini akan berdampak pada dugaan pegawai tersebut ini terima gaji saja, sementara kerja tidak ada. Kalau dalam Islam, gaji tersebut tidak pantas untuk didapatkan atau paling tidak syubhat (antara halal dan haram/nggak jelas) hukumnya.

Tapi, bukankah ini sebuah kebijakan yang diambil oleh kepala daerah sekaliber Gubernur Aceh?
Itulah yang saya katakan tadi, apakah kebijakan ini dimulai dengan sebuah penelitian terlebih dahulu. Jika memang dibutuhkan, sehingga merasa tidak cukup dengan aturan yang mengatur hanya tiga bulan untuk pegawai cuti bersalin. Tapi, lakukanlah penelitian terlebih dahulu. Jangan cuma ingin spesialis, semua harus spesialis. Sehingga, berbentur dengan aturan yang lebih tinggi.

Bagaimana indikator untuk menghitung pantas tidaknya pergub ini diberlakukan?
            Saya kira harus dihitung berapa pegawai perempuan di Aceh, kemudian kalikan berapa banyak pekerjaan yang ditinggalkan oleh perempuan walaupun tidak bersamaan. Tapi, untuk menemukan angka dan efektivitas, pekerjaan itu kan harus digeneralkan terlebih dahulu, apakah pegawai perempuan di Aceh separuh dari pegawai laki-laki. Kalikan saja secara periodik yang meninggalkan pekerjaan hingga enam bulan-enam bulan. Jadi, harus menggunakan matematis itu. Makanya, saya katakan tadi, maunya dibuat penelitian dulu, dilemparkan hasil penelitian kepada masyarakat, nanti masyarakat yang menilai apakah kebijakan itu memang dibutuhkan atau tidak, baru kemudian gubernur mengambil kesimpulan. Jangan tiba-tiba sudah ada seperti ini, tanpa ada kajian-kajian, tidak ada relevansinya. Apa keuntungannya dan apa kerugiannya?

Lalu?
Adakah perempuan-perempuan yang melahirkan dan menyusui itu sampai enam bulan? Adakah keluhan-keluhan bagi perempuan yang hanya selama ini diberikan cuti selama tiga bulan dan pada bulan keempat harus bekerja? Adakah keluhan? Ada yang pingsan? Ada yang menangis? Misal, ada orang pingsan. Saat ditanya kenapa pingsan, diketahui karena dia melahirkan. Kapan melahirkan? Empat bulan yang lalu. Setelah empat bulan melahirkan, masih pingsan misalnya. Berarti, harus diberikan cuti enam bulan, dan itu pun tentu tidak berlaku kepada setiap orang melainkan bersifat kasuistis dan berlaku pada mereka yang mengalami hal tersebut. Nah, bagaimana yang tidak demikian?

Maksud anda?
Maksud saya, jangan mengeluarkan kebijakan-kebijakan kagetan. Tiba-tiba, sudah ada kebijakan tanpa ada pengkajian yang mendalam. Jangan saat ini menjabat sebagai Gubernur Aceh, hanya mengharapkan pada masa periodenya saja. Kemudian, pada periode orang lain, itu urusan orang lain. Tak boleh seperti itu membangun negeri.

Seharusnya?
Ya, harus ada grand design-nya. Sehingga, siapa pun gubernur Aceh yang akan datang, akan tahu seperti apa kebijakan yang harus diambil untuk pembangunan Aceh yang lebih baik. Itu baru betul pembangunan. Ini datang gubernur ini buat kebijakan ini, datang gubernur lain buat kebijakan lain. Jika begini arah pembangunan Aceh, maka tidak terarah ke mana pembangunan Aceh ini.

Jadi, bisa disimpulkan kebijakan ini keliru?
Sebenarnya tepat tidak tepatnya kebijakan ini akan terjawab setelah dilakukan penelitian, apakah hasilnya mendukung cuti enam bulan atau sebaliknya. Yang bisa menjawab ini adalah para peneliti-peneliti tadi. Kalau gubernur tidak melakukan penelitian tentang kebijakan cuti selama enam bulan ini, maka ini adalah kebijakan yang keliru. Buktinya, sekarang menjadi kontroversi. Bukan hanya karena berbenturan dengan aturan yang lebih tinggi, tapi juga dengan masa cuti yang dianggap terlalu lama.

Menurut Anda, ini kebijakan semena-mena?
Ya, itu tadi saya katakan, jangan mentang-mentang sedang memiliki kekuasaan, kita melakukan berbagai kebijakan-kebijakan yang menyimpang dari pemahaman umum. Sehingga, menjadi bermasalah karena dengan durasi cuti yang terlalu lama ini, apakah tidak merugikan negara terhadap produktivitas pegawai.

Jadi, setiap kebijakan harus ada penelitian terlebih dahulu?
Meski tidak semua kebijakan. Tapi, terkait cuti bersalin ini, harus ada pengkajian dan penelitian terlebih dahulu, pengkajian dan penelitian ini dilakukan oleh peneliti. Saya tidak tahu apakah ini sudah dilakukan penelitian atau belum. Kalau seandainya belum dilakukan, ini adalah kebijakan yang keliru. Kalau sudah dibuat penelitian, hasilnya bisa lain.

Maksud anda?
Katakanlah memang dibutuhkan. Tapi, saya lihat, banyak perempuan-perempuan yang hanya menyusui di rumah cuma satu bulan, kemudian mereka sudah tidak mau lagi di rumah. Karena alternatif dari menyusui itu kan bisa juga dengan menyediakan tempat menyusui di kantor-kantor seperti saya katakan di atas tadi, karena tidak mungkin terus-menerus orang menyusui di rumah.
Kalau saya pikir, kebijakan ini tidak efektif untuk produktivitas pegawai. Ini kan suatu pemubaziran waktu. Kalau seperti ini, jelas agama melarang.***


Sumber : Tabloid MODUS ACEH Edisi XIX