Tuesday, November 22, 2016

Surat ‘Cinta’ Kedua Mendagri untuk KONI


 
Surat Kementrian Dalam Negeri
Kehadiran pejabat publik dalam struktur kepengurusan KONI kembali menuai masalah. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Tjahjo Kumolo, memerintahkan Ketua Umum KONI Pusat, Tono Suratman, untuk segera mencabut keputusan dan atau tidak mengangkat kepala dan wakil kepala daerah, pejabat struktural serta fungsional maupun anggota DPRD dalam kepengurusan KONI. Alasannya, tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Surat “cinta” kedua Mendagri ini ditanggapi serius Pengurus KONI Pusat, Jakarta. Induk organisasi cabang olahraga itu berjanji dan meminta waktu pada Mendagri untuk menata kembali organisasi tersebut usai PON XIX/2016, September 2016 mendatang. Bagaimana posisi Ketua Umum KONI Aceh yang juga Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf? Wartawan MODUS ACEH, Irwan Saputra, menulisnya untuk Laporan Khusus pekan ini.***

SURAT tiga lembar itu diperoleh media ini dari seorang sumber terpercaya. Isinya, Menteri Dalam Negeri Jahjo Kumolo dengan tegas meminta Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat, Tono Suratman, untuk mencabut sejumlah Surat Keputusan (SK) Pengurus KONI Provinsi yang dipimpin pejabat publik, struktural maupun fungsional.
Alasan Mendagri jelas, menabrak sejumlah aturan, khususnya UU No: 3 Tahun 2005, tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) serta Surat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor B-903 01-15/04/2011, tanggal 4 April 2011 tentang Hasil Kajian KPK yang menemukan adanya rangkap jabatan pejabat publik pada penyelenggaraan keolahragaan di daerah, sehingga dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Termasuk keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait judicial review yang diajukan Gubernur Jawa Timur. Pada putusannya, MK menolak gugatan tersebut. “Sehubungan dengan hal di atas, diminta kepada Saudara agar mencabut keputusan dan/atau tidak mengangkat KDH/Wakil KDH, pejabat struktural dan fungsional, serta anggota DPRD dalam fungsionaris/kepengurusan KONI karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” tegas Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo.
Tjahjo Kumolo
Penegasan itu disampaikan melalui surat nomor: X.800/33/57, tanggal 14 Maret 2016 lalu. Mendagri memaparkan sejumlah pejabat publik seperti gubernur/wakil gubernur, kepala dinas pemuda dan olahraga, pimpinan maupun anggota DPRD di Indonesia yang menjadi ketua umum maupun pengurus KONI.
Pada nomor urut satu misalnya, tersebut nama H. Muzakir Manaf, Wakil Gubernur Aceh sebagai Ketua Umum KONI Aceh Periode 2014-2018. Selanjutnya Gubernur Lampung, M. Ridho Ficardo; Sekdaprov Sulawesi Tenggara, DR. H. Lukman Abunawas; Frans Lebu Raya (Gubernur NTT). Tak hanya itu, ada juga Gubernur Papua, Lukas Enembe; Gubernur Papua Barat, Abraham O; Aturun serta Drs H. Engkos Kosasih, Kadispora Provinsi Banten sebagai Sekretaris Umum KONI setempat. “Rangkap jabatan ini tidak sesuai Pasal 40 Undang-Undang No: 3 Tahun 2005, tentang Sistem Keolahragaan Nasional,” kata Mendagri dalam suratnya itu.
          Larangan ini sebenarnya bukan cerita dan kebijakan baru dari negara. Menindaklanjuti undang-undang tadi, Mendagri sebelumnya, Gamawan Fauzi, juga telah membuat surat edaran serupa, nomor 800/148/SJ 2012. Isinya dengan tegas melarang kepala daerah tingkat I dan II, pejabat publik, wakil rakyat, hingga pegawai negeri sipil (PNS) rangkap jabatan dalam organisasi olahraga, seperti KONI dan persatuan sepak bola seluruh indomePSSI, serta kepengurusan klub sepakbola profesional atau amatir.
Larangan itu juga berpijak pada Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2005 serta Peraturan Pemerintah (PP) Republik Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaran Keolahragaan. Pasal 56 ayat (1) menyebutkan, pengurus komite olahraga nasional, komite olahraga provinsi, dan komite olahraga kabupaten/kota bersifat mandiri dan tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publik. Ayat (2): dalam menjalankan tugas, kewajiban, dan kewenangannya, pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus bebas dari pengaruh dan intervensi pihak manapun untuk menjaga netralitas dan menjamin keprofesionalan pengelolaan keolahragaan.
Pada ayat (3): pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang memegang suatu jabatan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang pegawai negeri sipil dan militer dalam rangka memimpin satuan organisasi negara atau pemerintahan, antara lain jabatan eselon di departemen atau lembaga pemerintahan non departemen.
Dan, ayat (4): Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang memegang suatu jabatan publik yang diperoleh melalui suatu proses pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui pemilihan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, antara lain presiden/wakil presiden dan para anggota kabinet, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, anggota DPR-RI, anggota DPRD, hakim agung, anggota Komisi Yudisial, Kapolri, dan Panglima TNI.
Selain itu, masih ada penegasan sesuai Surat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor B-903 01-15/04/2011, tanggal 4 April 2011 tentang hasil kajian KPK yang menemukan adanya rangkap jabatan pejabat publik pada penyelenggaraan keolahragaan di daerah, sehingga dapat menimbulkan konflik kepentingan.
          Sayangnya, berbagai aturan tadi ditabrak dengan sadar oleh sejumlah pejabat dan pimpinan daerah di Indonesia, termasuk Aceh. Ini artinya, mereka dengan sadar pula “melawan” undang-undang serta aturan negara.
          Untuk Pengurus KONI Aceh misalnya, selain posisi Mualem sebagai ketua umum, jabatan sekretaris umum yang dipegang M. Nasir juga bermasalah. Sebab, dia pegawai negeri sipil (PNS) yang memiliki eseloniring (jabatan) di Pemerintah Aceh.
          Lantas, apa kata Pengurus Umum KONI Pusat? Melalui suratnya nomor: 813/ORG/IV/16, tanggal 26 April 2016 menyebutkan, seluruh kepengurusan KONI Provinsi yang telah dikukuhkan berdasarkan Surat Keputusan KONI Pusat adalah sah berdasarkan usulan KONI Provinsi, sesuai hasil Musyawarah Olahraga Provinsi (Musorprov), yang mekanisme pembentukannya sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga KONI.
          Terkait adanya larangan, sesuai Pasal 40 UU Nomor: 3/2005, diakui Ketua Umum KONI Pusat, Tono Suratman, posisi pihaknya sangat dilematis. Sebab, hasil musyawarah KONI di daerah, secara aklamasi dan demokratis, memilih gubernur/bupati/walikota atau anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) untuk duduk dalam kepengurusan KONI di daerah.
“Karena itu, berkenan Mendagri menerima Pengurus KONI Pusat untuk beraudiensi, sekaligus memberi arahan secara langsung,” harap Tono Suratman dalam suratnya itu.
          Di akhir isi suratnya, Pengurus KONI Pusat berjanji akan melakukan penataan organisasi sesuai surat Mendagri setelah selesainya Pekan Olahraga Nasional (PON) di Jawa Barat. “Mengingat saat ini seluruh KONI Provinsi sedang melakukan persiapan menghadapi PON XIX/2016 pada bulan September 2016, agar fokus dalam menyiapkan atlet menuju PON yang akan datang,” tulis surat KONI Pusat.
          Begitupun, hingga pekan lalu, media ini belum menerima salinan surat persetujuan Mendagri terhadap permohonan Ketua Umum KONI Pusat tersebut. Ini berarti, Mendagri tetap pada pokok surat yang dikirim tadi.
          Lantas, apa keputusan Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem? Media ini belum berhasil melakukan konfirmasi khusus dan langsung pada Mualem. Namun, menurut orang dekatnya, Mualem sepertinya akan memilih untuk mundur.
“Sedang kami pikir secara matang. Tapi, dapat saya pastikan Mualem akan taat azas dan aturan. Dia tak mau melanggar undang-undang. Andaipun mundur, bukan berarti komitmennya terhadap kemajuan olahraga prestasi di Aceh kendur. Itu akan lebih kami tingkatkan lagi jika insya Allah Mualem dan TA. Khalid terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada Pilkada, 15 Februari 2017 mendatang,” kata sumber ini.
Memang, biar mulus menuju kursi Aceh-1, sebaiknya Ketua Komite Peralihan Aceh dan Partai Aceh ini tidak melawan aturan dan undang-undang. Jalan yang paling santun adalah mundur dengan kesadaran sendiri, sehingga tidak membuka ruang dan celah bagi lawan politiknya untuk melakukan kampanye hitam pada pesta demokrasi mendatang.
Sekedar mengulang. Saat dicalonkan dan terpilih sebagai Ketua Umum KONI Aceh periode 2014-2018 pada Musorprov KONI Aceh tahun 2014 lalu di Banda Aceh. Mualem menegaskan, sepanjang tidak melanggar aturan dia bersedia untuk dipilih dan memimpin KONI Aceh.
“Tapi, saya juga taat dan patuh terhadap aturan yang melarang pejabat publik untuk tidak terikat dalam kepentingan kepengurusan KONI. Dapat saya tegaskan, saya akan ikut aturan yang berlaku,” sebut Mualem berulangkali saat itu.***



Ini Aturan yang Melarang

·   Pasal 40 UU No: 3/2005, tentang Sistem Keolahragaan Nasional
·   Pasal 56 ayat (1) ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah No:16/2007, tentang Penyelenggaraan Olahraga
·        Surat Edaran Mendagri No:800/2398/SJ, tanggal 26 Juni 2011, tentang Rangkap Jabatan Kepala Daerah, Pejabat Publik, termasuk Wakil Rakyat pada Organisasi KONI dan Pengurus Induk Olahraga
·        Surat Edaran KPK, No: B-903/0115/201, tanggal 4 April 2011, tentang Hasil Kajian KPK yang mengungkapkan adanya rangkap jabatan pejabat publik pada penyelenggaraan keolahragaan di daerah dapat menimbulkan konfik kepentingan
·        Hasil yudisial review dari Mahkamah Konstitusi (MK), No: 27/PUU-V/2007 terhadap Uji Materi Pasal 40 UU No:3/2005 dan Pasal 56 Peraturan Pemerintah No: 16/2007. Hasilnya permohonan pemohon dinyatakan ditolak.***


Sekretaris Umum KONI Aceh, M. Nasir
Mualem Siap Mundur!
M. Nasir
Pasca diterimanya surat Mendagri yang melarang pejabat publik sebagai Ketua Umum KONI, Sekum KONI Aceh, M. Nasir, memastikan bahwa Ketua Umum KONI Aceh, Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem, siap mundur. Itu disampaikan Nasir, didampingi Wakil Ketua Bidang Prestasi, Bachtiar Hasan, saat wawancara khusus dengan wartawan MODUS ACEH, Irwan Saputra, Jumat pekan lalu di Kantor KONI Aceh, Banda Aceh. Berikut penjelasannya.

Sejauh mana persiapan KONI Aceh menuju PON XIX/2016 di Jawa Barat?
Kami menggunakan pendekatan klasifikasi. Klasifikasi pertama untuk peraih medali Pra-PON. Kami memberikan hak untuk melaksanakan pemusatan latihan (platda) selama tujuh bulan. Basis utama kami atlet. Misalnya, cabang tarung drajat yang mendapat emas dua orang ditambah beregu empat orang dan menjadi ada enam orang. Maka, keenam mereka melakukan pemusatan pelatihan selama tujuh bulan, dari bulan Februari sampai 15 September 2016.
Peraih medali emas Porwil, kami berikan pemusatan latihan lima bulan dari April sampai September 2016. Klasifikasi ketiga peraih medali perak, pada Pra-PON dan Porwil kami beri kesempatan empat bulan, yaitu Mei sampai September 2016. Klasifilkasi selanjutnya peraih medali perunggu Pra-PON dan Porwila selam tiga bulan.
Selain itu?
Ada juga cabang-cabang yang lolos delapan besar, tapi tidak meraih medali. Kami beri kesempatan selama dua bulan untuk menuju PON. Jadi, dengan pendekatan klasifikasi ini, kita berharap bisa mempertahankan 72 persen dari perolehan dari Pra-PON lalu. Sebagai catatan, Pra-PON 2011 lalu kita hanya meraih empat emas, sementara Pra-PON 2015 kita meraih 13 emas. Harapan kami bisa membukukan 75 persen. Itu harapan dan target kami. Kemudian, dalam konteks persiapan, insya Allah kami mampu mempertahankan prestasi tadi. Kami mempersiapkan untuk PON ada 31 cabang olahraga dan ada satu cabang olah raga yaitu balap sepeda yang tidak lolos delapan besar, tapi mereka meminta berangkat dengan dana sendiri. Kami kita memfasilitasi mereka untuk mendaftar dengan biayai sendiri. Sementara, ada 31 cabang peraih medali dan masuk dalam delapan besar.
 Berapa target medali emas dan dari cabang olah raga apa saja?
Insya Allah kami berani menargetkan delapan medali emas, tapi bisa dijelaskan oleh Pak Bakhtiar, selaku Ketua Platda Kontingen terkait dengan PON. Kami target delapan medali emas dari 13 yang telah diperoleh pada Pra-PON. Kami berharap 75 persen itu berada di angka delapan. Kalaupun meleset, target kami di atas PON lalu. Kalau cabang olahraga andalan masih pada tarung drajat, angkat besi, menembak, kempo, terjun payung, pencak silat dan panjat tebing. Jadi, tujuh cabang ini kita harapkan bisa membukukan medali emas.
Apa dasar dari target tersebut?
Dasarnya adalah Pra-PON dan persiapan kami yang panjang, dan alhamdulillah kami yang cukup lama melakukan platda.  Sebagai asumsi, Sumatera Utara hanya dua bulan atau 44 hari melakukan TC. Kalau kita tujuh bulan, makanya kami berharap mereka bisa mempertahankan medali. Inilah harapan, namun ada beberapa cabang yang kita beri kesempatan untuk berlatih dua sampai tiga bulan. Selebihnya atas biaya pengprov cabor sendiri.
Berapa jumlah atlet dan pelatih?
Atlet putra 127 orang dan putri 63 orang, sementara pelatih daerah 62 orang dan pelatih nasional empat orang, termasuk mekanik sembilan orang, offisial sepuluh orang. Total semua 275 orang. Ini yang masuk kampus atau delegasi resmi nantinya.
Baik, Mendagri telah mengirim surat pada K0NI Pusat tentang larangan pejabat publik. Anda sudah menerimanya?
Sudah kami terima. Tapi, saya tidak mau menjelaskan secara ekplisit. Saya ingin jelaskan secara umum. Surat Mendagri itu ditujukan pada KONI Pusat dan meminta KONI Pusat untuk meninjau kembali SK 15 Ketua Umum KONI Provinsi, yang ketua umumnya itu berasal dari pejabat negara, atau pejabat publik serta pejabat struktural. KONI Pusat menjawab dan meminta kepada Mendagri. Mereka berharap pemerintah menjamin dana olahraga di setiap provinsi sampai dengan lima persen. Artinya KONI Pusat meminta jaminan.
Kenapa meminta jaminan?
Karena kehadiran pejabat publik dalam organisasi KONI adalah permintaaan cabang olahraga termasuk di Aceh yaitu Haji Muzakir Manaf. Bukan beliau yang mendaftarkan diri, tapi kami yang meminta. Ada 32 cabang saat itu agar beliau mau memimpin KONI Aceh. Akhirnya, kami melakukan musyawarah secara aklamasi dan tidak ada yang menolak. Karena dasarnya adalah terjadi kejumudan (jenuh) dalam proses olahraga. Kami berharap hadirnya pejabat publik dapat mendorong menjadi lebih baik. Alhamdulillah, apa yang kita lakukan hari ini, dengan merujuk pada Pra-PON 2015 bisa membukukan 13 medali emas, Porwil sembilan emas karena pendanaan kita cukup kemudian kita di-back-up. Ini penting bagi kami.
Dalam surat tersebut, meminta Ketua Umum KONI Aceh Muzakir Manaf untuk mundur. Pendapat Anda?
Jika KONI Pusat meminta Ketua Umum KONI Aceh mundur, Mualem siap! Beberapa hari lalu sudah saya sampaikan kepada Mualem dan Mualem siap untuk mundur. Beliau tidak ada persoalan dengan itu. Saya pun telah menyampaikannya kepada Mualem, termasuk kepada Ketua Harian Abu Razak dan beliau welcome saja. Karena pada dasarnya, mereka di KONI karena kami minta.
Apa langkah selanjutnya dari Pengurus KONI Aceh?
Keputusannya ada di KONI Pusat. Tinggal apa keputusan KONI Pusat dan saya telah berkomunikasi dengan KONI Pusat, hasilnya kita tunggu saja dulu. Surat itu yang eksekusi bukan kami, tapi KONI Pusat. Kami nggak punya hak untuk mengeksekusi karena ini adalah wewenang KONI Pusat.
Dalam surat tersebut meminta Ketua Umum KONI Aceh Muzakir Manaf untuk mundur dan Anda sendiri PNS yang memiliki jabatan di Sekretariat Daerah Aceh?
Kalau saya termasuk juga, tidak ada persoalan. Saya eselon IV dan terserah saja. Artinya, tergantung ketua umum. Kalau diminta mundur, saya siap. Kalaupun mundur di sini, saya oke mundur. Bagaimanan ketentuan.
Jika Mualem mundur, apa langkah selanjutnya?
Ketentuannya ada di KONI Pusat. Kita nggak tahu apakah mereka menyuruh kita untuk melakukan musyawarah atau mem-Plt­-kan. Kami belum tahu reaksi KONI Pusat. Yang sudah kami tahu berdasarkan surat yang ditembuskan KONI Pusat terhadap surat itu adalah diminta waktu pada Mendagri setelah selesai PON XIX/2016 di Jawa Barat.
Sejauh ini, apakah persoalan tersebut ada dibicarakan dengan KONI kabupaten/kota serta pengprov cabang olahraga?
Sudah ditembuskan kepada KONI kabupaten/kota. Kami tidak perlu menyampaikan karena itu untuk KONI Pusat. Nanti KONI Pusat merespon terhadap 15 KONI provinsi ini. KONI provinsi juga akan merespon pada kabupaten/kota. Itu kan hanya efek domino saja. Artinya, kalau KONI Pusat menunjuk musyawarah atau PLT, itu kami lakukan. Kami menunggu kebijakan KONI Pusat, kalau nanti ada perintah kami laksanakan. Ini kewenangannya ada di KONI Pusat.
Bukankah persoalan itu menjadi penting mengingat Mualem maju sebagai calon Gubernur Aceh?
Seperti saya katakan tadi, Mualem welcome saja. Kalau harus mundur, siap. Cuma kami menunggu respon KONI Pusat. Karena surat itu diterima oleh KONI Pusat.
Sejumlah Pengurus KONI Aceh menyebutkan, Anda terlalu dominan dalam pengambilan keputusan. Benarkah?
Itu tendensius sekali saya kira, tapi bukan pertanyaannya yang tendensius namun pernyataannya yang tendensius. Sejauh ini, tidak ada rapat yang saya kangkangi dan semuanya ada notulensi serta kita jalankan secara baik. Persoalan dominannya seorang sekretaris umum saya kira memang ketentuan AD/ART. Mungkin bisa dilihat AD/ART KONI, begitu banyak tugas-tugas yang harus diemban oleh sekretaris umum. Hampir semua komponen di KONI hari ini terlibat dalam mengawal KONI. Jadi, tidak ada yang dominan. Dominan tergantung job masing-masing. Misal, persoalan administrasi saya harus dominan karena saya sekretaris umum. Masak sih orang yang bukan terkait dengan kesekretariatan dominan? Itu tidak mungkin. Jadi, semua sudah ada porsinya masing-masing berdasarkan AD/ART. Jadi, nggak ada yang kita lakukan di luar batas-batas kewajaran. Artinya, kalau itu yang saya lakukan, maka ketua harian akan menegur saya, ndak mungkin beliau saya kangkangi.
Apa tanggapan Anda terkait pelunasan pajak dan peralatan atlet Platda KONI Aceh yang sempat tertunda?
Saya kira tidak ada itu. Karena setelah kita cek pajak itu ada yang kita bayarkan dan ada juga yang dibayarkan oleh pihak ketiga. Jadi, ada mekanisme pembayaran pajak. Artinya, ada yang dibayarkan oleh KONI dan ada juga yang dibayar oleh pihak ketiga yaitu perusahaan. Jadi, ketika kita rekap, ada yang belum melaporkan pembayaran pajak. Nanti bisa ditanyakan langsung kepada Bendahara Umum Kennedi Husein.
Ada juga pengakuan dari sejumlah pengurus bahwa Anda sedang menyusun grup atau kekuatan untuk merebut kembali posisi di KONI Aceh. Benarkah?
            Saya sedang fokus mengawal platda bersama kawan-kawan. Persoalan saya menyusun grup itu tidak ada. Artinya, dalam sebuah keorganisasian, ada yang lebih dominan kita percaya karena fungsinya saja. Karena orang yang kita percayai lebih mengarah dari itu. Jadi, kalau lebih dari itu saya kira tendensius itu tuduhan saja. Kalau ada orang-orang yang dominan bekerja sesuai tupoksinya dan membuat dia dominan, itu sah-sah saja. Misalnya, terkait dengan prestasi dan litbang memang harus dominan, sehingga pada posisi itu agak sulit kita memisahkan seakan-akan kita anak emaskan. Ini hanya tuduhan saja, saya tahu yang menuduh ini.
Tapi, kalau untuk menjadi pimpinan tetap ada kan?
Itu manusiawi, semua orang saya rasa demikian.***


Ketika Kepercayaan Mualem Tergadaikan

Muzakir Manaf alias Mualem (Photo: Dok)
Usai terpilih dan dilantik Ketua Umum KONI Pusat, Tono Suratman, Ketua Umum KONI Aceh Muzakir Manaf menunjukkan keseriusan dan niat baiknya untuk meningkatkan prestasi olahraga di Aceh. Itu dibuktikan dengan bersedia menjadi Ketua Umum KONI Aceh, walau undang-undang melarangnya. Sayang, kepercayaan Mualem, begitu dia akrab disapa, “dikhianati” oknum pimpinan KONI Aceh.***

Komitmen itu ditunjukkan Mualem di tengah kesibukan tugasnya sebagai Wakil Gubernur Aceh dan Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) serta Ketua Partai Aceh (PA). Apalagi, Mualem sejak awal telah menyatakan diri maju sebagai calon Gubernur Aceh pada Pilkada 15 Februari 2017 mendatang.
Itu sebabnya, berbagai kebijakan diserahkan sepenuhnya pada Pengurus KONI Aceh di bawah pengawalan Ketua Harian Kamaruddin Abu Bakar (Abu Razak) dan Sekretaris Umum M. Nasir. Hasilnya, satu tahun berjalan, organisasi induk cabang olahraga ini berlabuh dengan penuh target dan ambisi prestisius.
Peluang ini kemudian dimanfaatkan betul Pengurus KONI Aceh. Misal, mengajukan anggaran berlebih dari periode sebelumnya. Ini sangat dimungkinkan karena ada 29 kursi Partai Aceh (PA) di DPR Aceh. Selain itu, ada sejumlah anggota DPR Aceh dari PA yang memimpin beberapa cabang olahraga.
Karena itu, mereka berani mematok prestasi dengan meraih medali emas secara maksimal serta perbaikan posisi (ranking) pada papan tengah di Pekan Olahraga Wilayah (Porwil) Sumatera, Prakualifikasi PON dan PON XIX/2016 di Jawa Barat.
Untuk memenuhi target dan keinginan tadi, Pengurus KONI Aceh periode 2014-2018 menjadi lebih gemuk dibandingkan periode 2010-2014. Dari 50-an menjadi 75 orang. Begitu juga dengan pegawai sekretariat. Dari 11 pada periode lalu, bertambah menjadi 20-an lebih.
Namun, harapan ternyata tak selamanya sesuai kenyataan. Pengurus dan staf yang membengkak justru menghasilkan banyak persoalan. Bahkan, antar sesama pengurus nyaris terjadi baku hantam. Ini disebabkan, karena perbedaan visi dan misi serta program dalam peningkatan prestasi.
“Dulu, antara Haris dengan Syarkawi cek cok dan nyaris baku hantam. Kemarin antara TB Herman dengan Agus Sani (staf keuangan), hanya masalah penanggungjawab pembayaran tiket. Ini tidak pernah terjadi pada beberapa periode sebelumnya. Kalaupun ada perbedaan pendapat, semua diselesaikan melalui rapat internal,” ungkap seorang pengurus.
Selain itu, ada desas desus sejumlah wakil ketua tak bisa berbuat banyak karena apa pun keputusan selalu dinominasi Sekretaris Umum (Sekum), M. Nasir. Menariknya, pengelolaan anggaran juga “dieksekusi” oleh staf sekretariat, bukan bidang terkait. 
“Bahkan, ada kebijakan yang telah kami putuskan dalam rapat, tiba-tiba berubah di tangan Sekum. Selain itu, bayangkan ada staf yang berani menolak arahan dan kebijakan dari wakil ketua. Ini tidak pernah sebelumnya dan tak mungkin terjadi jika tak ada restu dari Sekum,” ungkap seorang pimpinan KONI Aceh pada media ini.
Tapi, tudingan itu dibantah Nasir. “Itu tendensius sekali saya kira, tapi bukan pertanyaannya yang tendensius, namun pernyataannya yang tendensius. Sejauh ini, tidak ada rapat yang saya kangkangi dan semuanya ada notulensi serta kita jalankan secara baik. Persoalan dominannya seorang sekretaris umum memang ketentuan AD/ART. Mungkin bisa dilihat AD/ART KONI, begitu banyak tugas-tugas yang harus diemban sekretaris umum. Hampir semua komponen di KONI hari ini terlibat dalam mengawal KONI. Jadi, tidak ada yang dominan. Dominan tergantung job masing-masing,” bantah Nasir.
Entah itu sebabnya, memasuki tahun kedua kepengurusan, induk organisasi cabang olahraga ini menuai berbagai persoalan. Misal, ada oknum pengurus yaitu Syarkawi, yang diduga tidak menyetor pajak pengadaan dan jasa kepada negara.
“Setelah ditulis MODUS ACEH, baru mereka kebakaran jenggot dan mencari solusi untuk menyelesaikannya. Ini berarti, ada niat tidak baik dan entah sadar atau tidak, itu sama artinya dengan merusak nama baik dan citra Mualem sebagai ketua umum,” papar sumber tadi.
Syarkawi sendiri saat dikonfirmasi media ini tak mau berkomentar banyak. Awalnya, janji untuk bertemu, tapi batal terlaksana. “Maaf, belum bisa, saya menuju Meulaboh,” begitu jawab Syarkawi.
Nama Syarkawi memang sedang menjadi buah bibir di kalangan Pengurus KONI Aceh dan Pengprov Cabang Olahraga di Aceh. Namanya juga tercatat pada salah satu biro perjalanan (travel), karena tidak membayar sejumlah biaya tiket. Diduga, tertutupnya Syarkawi karena ada persoalan yang sengaja dia tutupi. “Saya kira, ini ada tali-temali antara Syarkawi dengan oknum petinggi KONI Aceh lainnya, sehingga masalah ini coba diredam dan tutupi,” duga seorang Pengurus KONI Aceh.
Sumber media ini yang mengaku dekat dengan Syarkawi menjelaskan, “Dia pernah bilang, jika ingin jelas persoalannya, biar saya jelaskan nanti di pengadilan,” ucap Syarkawi seperti disampaikan sumber tadi. Tak jelas, mengapa Syarkawi ingin menjelaskan di pengadilan.
Hanya itu? Tunggu. Muncul pula persoalan leletnya pengadaan peralatan untuk atlet Platda PON yang telah dimulai awal tahun ini. Bayangkan, baru tersedia bulan Agustus. Itu pun belum semuanya. Padahal, waktu perhelatan akbar olahraga prestasi (PON) XIX/2016 Jawa Barat tinggal hitungan hari.
“Jadi, bagaimana kami dipaksakan untuk mendapatkan prestasi kalau alat latihan saja lelet seperti itu. Kondisi ini baru pertama terjadi sejak KONI Aceh berdiri,” ungkap seorang pengurus pengprov cabang olahraga yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia olahraga Aceh.
Terkait soal target prestasi dan perolehan medali, ada kesan Pengurus KONI Aceh melakukan pembiaran dan memberi masukan yang tidak objektif dan realistis pada Mualem. Misal, menyatakan target medali di PON XIX/2016 di Jawa Barat adalah 45 emas, sementara Ketua Harian Abu Razak menargetkan 24 emas. Lalu, turun dengan target 17 emas. Terakhir delapan emas atau paling tidak satu tingkat lebih dari perolehan emas pada PON XVIII di Pekan Baru, Provinsi Riau.
“Ini jelas sikap galau. Harusnya, jajaran KONI Aceh menyampaikan potensi atlet secara riil dengan target yang realistis pada Mualem, sehingga tidak terkesan “konyol atau berlebihan”. Ini sama artinya menusuk Mualem dari belakang,” ujar seorang Pengurus KONI Aceh yang mengaku sudah berulangkali menyampaikan kondisi tersebut, tapi tak pernah ditanggapi secara serius oleh pimpinan KONI Aceh.
Memang, beberapa waktu lalu, Pengurus KONI Aceh telah melakukan pergantian pengurus. Awalnya, pergantian tersebut diharapkan dapat memberikan “darah” segar untuk peningkatan prestasi olahraga Aceh. Nyatanya, ada beberapa nama yang justru diragukan kemampuannya dalam strategi peningkatan prestasi tadi.
“Lebih pada mengakomodasi kawan-kawan Nasir. Misal, ada pengurus yang tinggal di Lhokseumawe dan kemampuannya dalam konsep serta manajemen organisasi diragukan, tapi ditarik menjadi pengurus. Ini tidak logis dan membebani dana organisasi,” sebut sumber yang tidak mau ditulis namanya itu.
Yang paling mengkhawatirkan, ungkap sumber itu, Pengurus KONI Aceh saat ini belum kelihatan mampu melakukan sinkronisasi program latihan dalam pelatda. “Bayangkan, sampai saat ini, masa pelatda yang hanya tinggal satu bulan lagi, tapi peralatan latihan belum seluruhnya terpenuhi. Prestasi apa yang bisa diharapkan dari pelatihan tanpa alat latihan,” katanya.
Sisi lain mengenai pelaksanaan Pekan Olahraga Aceh (PORA) 2018 di Kabupaten Aceh Besar. Hingga saat ini, belum ada gaungnya, termasuk manual serta cabang olahraga apa yang akan dipertandingkan.
“Padahal, keputusan ini jelas penting, sehingga KONI kabupaten/kota serta pengprov cabor dapat mempersiapkan lebih awal, termasuk persiapan tuan rumah dalam memenuhi sarana dan prasarana,” sebut dia.
Akibat dari semua kondisi tadi, pelaksanaan PORA Aceh 2018 menjadi kehilangan gaung. Padahal, Pra-PORA harus dilakukan pada tahun 2017 mendatang.
Informasi yang diperoleh media ini dari Pengurus KONI Aceh Besar mengungkapkan, akibat “kelengahan” jajaran Pengurus KONI Aceh yang tidak mengagendakan pembahasan pelaksanaan PORA pada Rapat Anggota tahun 2016 lalu di Banda Aceh, terutama cabang-cabang olahraga apa akan dipertandingkan maupun mekanisme Pra-Pora dan PORA. KONI Aceh Besar menjadi kehilangan arah untuk pelaksanaan pesta olahraga daerah ini.
Nah, dari serangkaian tindakan dan perbuatan “blunder” (kesalahan besar) yang dilakukan Pengurus Harian KONI Aceh tadi jelas tergambar bahwa mereka secara diam-diam telah “mengkhianati” kepercayaan Mualem. Kondisi tersebut semakin dipertajam, sejalan dengan “pecah kongsi” antara Mualem dengan Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah atau akrab disapa Abu Doto.
“Sejujurnya, ada pimpinan KONI Aceh yang pro Mualem dan Abu Doto. Harusnya, ini tak perlu terjadi dalam dunia olahraga. Dari awal kami sudah usulkan agar Pengurus KONI Aceh melakukan komunikasi dan audiensi dengan Abu Doto. Misi utama adalah mempersatukan antara Mualem dengan Abu Doto. Tapi, hingga saat ini, misi itu gagal dilakukan, apalagi jelang Pilkada 2017 mendatang,” papar sumber tadi, mengakhiri pendapatnya. Begitu runyamkah? Biarlah waktu menjawabnya.***



Kriteria Ketua Umum dan Pengurus KONI
Sesuai Anggaran Rumah Tangga Pasal 27

1.   Kriteria Ketua Umum
(a)      Mempunyai kemampuan manajerial, pengabdian, dan  waktu  yang cukup untuk mengelola organisasi olahraga;
(b)      Mampu menjadi pengayom dan pemersatu semua unsur masyarakat olahraga;
(c)       Mempunyai visi yang luas dalam membina olahraga prestasi;
(d)      Mampu menjalin kerja sama dengan badan-badan usaha dan instansi terkait untuk menunjang pembinaan olahraga prestasi;
(e)      Mampu menggalang kerja sama dengan badan-badan keolahragaan tingkat regional dan dunia.
2.   Kriteria Pengurus KONI
(a)      Mampu bekerjasama dengan Ketua Umum dan anggota pengurus lainnya;
(b)      Mempunyai kemampuan manajerial, pengabdian, dan  waktu  yang cukup untuk mengelola organisasi olahraga;
(c)       Mampu menjabarkan garis kebijakan Ketua Umum;
(d)      Memiliki kemampuan dan kompetensi di bidang tugasnya;
(e)      Mempunyai pengetahuan dan kemampuan berkoordinasi dalam membina sistem organisasi dan administrasi keolahragaan.


Ketua Umum Pengprov FPTI Aceh, Muhammad Saleh

Mualem ‘Ditusuk’ dari Belakang

Setelah lama tak memberi pendapat, Ketua Umum Pengprov Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Aceh, Muhammad Saleh, akhirnya tak kuasa untuk berlama-lama “berpuasa”. Ini terkait dengan kondisi terkini persiapan atlet Aceh untuk berlaga di arena PON XIX/2016 di Bandung, Jawa Barat.
Muhammad Saleh (Photo: Dok)
Perhatian Saleh, begitu dia akrab disapa, tak hanya soal target medali atau prestasi, tapi juga masalah tata kelola administrasi dan manajemen organisasi induk cabang olahraga tersebut. Menurut Saleh, ada indikasi Ketua Umum KONI Aceh, Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem, telah ditusuk atau dikhianati oleh sejumlah oknum Pengurus KONI Aceh. Nah, seperti apa pendapat Saleh? Berikut petikan wawancara Irwan Saputra.

Mendagri kembali mengeluarkan surat yang melarang pejabat publik sebagai pimpinan KONI. Pendapat Anda?
Ini bukan cerita baru. Sudah lama disuarakan dan ditegaskan. Larangan itu sudah ada sejak Mendagri Gamawan Fauzi dan Ketua KPK Abraham Samad. Alasan hukumnya sudah sangat jelas.
Maksud Anda?
            Sejak awal sudah saya sampaikan masalah itu, terutama jelang Musorprov KONI Aceh 2014 lalu di Banda Aceh. Saat itu, posisi saya masih Sekum KONI Aceh. Tapi, ada pihak tertentu yang bernafsu untuk menjadi Pengurus KONI Aceh, sehingga mendorong Mualem untuk maju sebagai Ketua Umum KONI Aceh. Saat itu, ada keinginan saya untuk menyampaikan langsung pada Mualem, tapi mereka mengawalnya dengan sangat ketat, sehingga tak ada ruang bagi saya untuk bertemu dan menjelaskannya.
Hasilnya?
            Saya ditertawakan, bahkan difitnah. Mereka menyampaikan pada Mualem bahwa saya orang yang tidak setuju Mualem jadi ketua umum. Sehingga, saat itu, jangankan diajak bicara, nama saya pun tak boleh didengar Mualem (ha..ha..ha). Sayangnya, sejumlah KONI kabupaten/kota dan pengprov cabor sudah teracuni dan satu kata untuk melawan aturan tadi. Tapi, setelah Musorprov KONI Aceh, saya ketemu Mualem dan saya jelaskan semua tentang aturan. Bahkan, warning dari KPK. Mualem mengerti. Ada kesan saat itu, Mualem telah dijebak untuk posisi dan jabatan itu.
Apa yang Anda jelaskan?
            Saya klarifikasi tentang informasi bahwa saya bukan tidak mendukung Mualem, tapi aturan yang memang tidak membenarkan. Tapi, saat itu, saya tawarkan satu solusi. Jika memang benar-benar komit dan sepakat mengusung Mualem, maka semua KONI kabupaten/kota dan pengprov cabor membuat surat pernyataan di atas materai. Isinya, bila terjadi persoalan hukum atau melanggar aturan di kemudian hari, maka semua yang mengusung Mualem bertanggungjawab. Jadi, jangan lepaskan Mualem sendiri. Apalagi, hari ini, KPK telah menjadi Aceh dari area pengamatan langsung dan serius. Ini tidak bisa dianggap sepele.
Hasilnya?
            Saya gagal. Saya sendiri melawan orang-orang yang memang dengan sengaja dan sadar melawan aturan. Berbeda dengan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar (mantan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh). Ketika Musorprov KONI Aceh 2012, saya dipanggil dan keduanya bertanya tentang aturan yang ada. Sebab, ada juga pihak-pihak yang mendorong salah satu dari mereka untuk memimpin KONI. Saya jelaskan, akhirnya kedua mereka tak bersedia menjadi Ketua Umum KONI Aceh dan melepas penentuannya pada pegiat olahraga di Aceh. Maka, muncullah dua nama yaitu H. Zainuddi Hamid (Let Bugeh) dan Irwansyah (Tgk Maksalmina). Pak Let akhirnya terpilih.
Kenapa Anda begitu konsen dalam masalah ini?
            Kebetulan, menjelang akhir jabatan sebagai Sekum KONI Aceh, saya mengikuti pelatihan tentang tata kelola manajemen dan administrasi olahraga yang dilaksanakan salah satu LSM di Bogor, Jawa Barat. Saat itu, narasumbernya dari Mendagri, KPK dan BPK RI. Saat itulah, kami membedah semua persoalan penyelenggaraan olahraga. Jadi, bukan saya tidak setuju dengan Mualem, tapi karena saya simpati pada Mualem agar tidak masuk dalam persoalan. Faktanya, apa yang dulu saya khawatirkan dan wanti-wanti menjadi kenyataan. Ini keputusan negara melalui Mendagri, jadi tak perlu ngototlah.
Anda sebutkan ada pihak yang mengkhianati Mualem?
Ya, mereka yang “berkuasa” atau pengurus KONI Aceh saat ini. Mereka takut jika bukan Mualem yang menjadi ketua, mereka tak bisa jadi pengurus. Jadi, mereka telah dengan sadar menyeret induk organisasi olahraga ini dalam ranah politik.
Targetnya?
            Bisa menjadi pengurus. Menarik teman-teman mereka yang tak punya kapasitas dan kegiatan. Ya, lama-lama terkesan sebagai tempat aktivitas atau lahan pekerjaan alternatif. Padahal, honornya juga tak seberapa. Karena itulah, pengurus menjadi 75 orang dengan staf 26 orang.
Soal surat Mendagri?
            Ya, seperti kita ketahui bersama. Mereka tidak melakukan apa pun, termasuk konsolidasi organisasi terkait surat Mendagri tadi. Alasannya, sibuk mempersiapkan PON XIX/2016, Jawa Barat. Harusnya, Pengurus KONI Aceh memanggil kami, pengurus pengprov cabor dan KONI kabupaten/kota dan membicarakan persoalan ini secara serius.
Kenapa?
            Karena akan ada muatan politik. Ini kan tahun politik menjelang pilkada. Apa jadinya jika ada pihak tertentu atau lawan politik Mualem yang memanfaatkan kesempatan dan peluang ini? Misalnya, ada kampanye hitam bahwa Mualem tak taat hukum. Jadi dilematis kan? Satu sisi kita butuh Mualem untuk memimpin KONI Aceh, di sisi lain bertabrakan dengan aturan.
Tahun politik seperti apa?
            Begini, sebagai Ketua Umum KONI Aceh, Mualem maju sebagai calon Gubernur Aceh pada periode mendatang. Memang, tak semua pengurus KONI berasal dari Partai Aceh, juga ada partai lain. Tapi, tak salah jika mereka membicarakan soal ini pada kami. Ini normal dan lazim terjadi. Ndak mungkin rasanya insan olahraga tak mendukung Mualem. Masalah ada yang tidak sepakat itu soal lain. Yang penting sampaikan dulu, bagaimana hasilnya, kita lihat nanti. Tapi, itu pun tidak dilakukan. Memang, pengurus KONI Aceh punya kandidat atau calon lain yang diusung, makanya hal itu tak dilakukan.
Tapi, menurut Sekum KONI Aceh, M. Nasir, itu ranahnya KONI Pusat?
Wah, itu gawat. Gagal paham namanya. Kok ranah KONI Pusat, ini jelas amanah undang-undang. Jangan kibulin Mualem lagi. Dalam AD/ART KONI, juga sudah jelas disebutkan soal ini.
Jalan terbaik?
            Menurut saya, Mualem jangan menabrak dan melanggar aturan. Jikapun dia terpilih sebagai Gubernur Aceh pada pilkada mendatang, tetap saja harus mundur dari Ketua Umum KONI Aceh. Jadi, lebih baik sekarang dari pada berlama-lama. Ini demi Mualem juga.
Apa itu mungkin?
            Ini bukan soal mungkin atau tidak. Ini soal hukum dan aturan perundang-undangan. Saya sangat yakin Mualem paham soal ini. Dan, saya ingat betul, saat terpilih, Mualem sempat mengeluarkan pernyataan, jika memang melanggar hukum, dia akan mundur.
Lantas, kenapa ini bisa terjadi?
            Ya, itu tadi. Ada pihak yang memang sengaja mendorong Mualem untuk maju sebagai ketua umum. Target mereka sederhana sekali, jika Mualem terpilih, maka mereka bisa dengan leluasa menyusun dan mengatur pengurus, sesuka hati. Mualem dipeuanggngok mantong (Mualem hanya diminta mengiyakan saja). Mereka sudah memprediksikan sejak awal bahwa Mualem tak cukup punya waktu untuk mengontrol KONI Aceh.
Lantas, apa persoalan yang muncul?
            Anda lihat saja sendiri. Sempat muncul masalah pajak pengadaan dan jasa yang tidak dibayar. Pengadaan alat platda tertunda atau jelang dua bulan PON belum ada. Lalu, muncul pula persoalan tiket yang tidak dibayar pada travel. Belum lagi persoalan platda yang tidak tersusun dan terprogram dengan baik. Kalaupun ada alasan bahwa itu persoalan pihak ketiga, berarti pengawasan dan tata kelola administrasi dan manajemen yang tidak baik.
Apa alasan Anda katakan demikian?
            Alhamdulillah, saya sedikit punya pengalaman soal itu karena saya mantan Sekretaris Umum KONI Aceh pada periode lalu. Tapi, selama ini saya diam, sebab mereka bisa menuding saya dengan isu macam-macam. Tapi, lama-lama saya pelajari, kok semakin jauh dari harapan. Karena itu, saya bersuara. Saya berhak bicara karena saya Ketua Umum Pengprov FPTI. Ada tiga atlet saya yang lolos PON XIX/2016, Jawa Barat.
Kenapa Anda tidak memberi saran dan pendapat?
            Sudah saya coba. Ketika Musorprov KONI Aceh 2014 lalu, saya ada membuat konsep pembinaan. Ini berdasarkan pengalaman saya sebagai Sekretaris KONI Aceh. Saya paparkan di mana kelemahan pembinaan prestasi olahraga di Aceh dan apa peluang yang bisa kita raih, termasuk bagaimana menata manajemen organisasi dan kepelatihan. Tapi belum selesai saya presentasi, peserta Musorprov yang sudah “mabuk” dan euforia menghentikannya. Saya diam saja. Nah, sekarang terbuktikan, apa yang saya prediksikan mulai menjadi kenyataan. Saya tinggal menunggu saja, hasil prestasi di PON mendatang. Mudah-mudahan hasilnya lebih baik dari periode saya dan Pak Let Bugeh dulu.
Di mana konsep itu sekarang?
            Ada pada saya. Sedang saya siapkan menjadi buku. Hampir selesai, tinggal menunggu bab akhir soal hasil PON mendatang.
Tapi, target Pengurus KONI Aceh saat ini bisa meraih hasil lebih baik?
            Insya Allah, mudah-mudahan begitu. Sebagai insan olahraga, seharusnya mereka mengerti dan menyampaikan target-target tadi ke media pers dengan variabel dan indikator yang jelas. Bukan coba-coba, rasa-rasa atau berdasarkan naluri. Sebab, mereka menggunakan uang negara dan daerah. Sehingga, jika berhasil, jelas ukurannya. Kalau gagal, jelas pula penyebabnya, sehingga tidak muncul persepsi dan penilaian negatif dari masyarakat.
Apa materi pokok dari buku yang akan Anda susun?
            Tentang rekam jejak prestasi Aceh. Saya lebih banyak menelisik soal manajemennya. Selama ini, dari periode ke periode selalu bicara output. Misal, kalau PON sebelumnya, sekian medali emas, lalu periode berikut sekian atau bertambah satu emas. Itu dinilai sudah mencapai prestasi. Padahal, tidak sesederhana itu. Kita harus bicara input, proses, output, outcome, impact dan benefit. Ini yang terlupakan selama ini. Makanya, dalam konsep saya mengusulkan pengurus KONI cukup 35 orang saja dengan komposisi orang-orang yang paham dan kompeten. Nyatanya, saat ini ada 75 dengan 26 staf sekretariat. Ini jelas tidak efisien. Dulu hanya 55 orang, itu pun dikritik habis-habisan dengan alasan menghambur-hamburkan uang negara (ha..ha..ha).
Bisa Anda jelaskan secara rinci?
            Begini, setiap pengurus selalu  mengeluh soal anggaran yang minim dan di luar target pembinaan. Itu tidak seluruhnya benar dan salah. Sebab, dana besar pun jika tak ada manajemen yang mengaturnya, kita juga gagal. Contoh lain, tidak ada sinergi antara KONI dengan Dispora dan Dinas Pendidikan Aceh serta Kementerian Agama. Padahal, lembaga ini juga bisa mencetak atlet potensial. Dispora ada Popnas, O2SN, ada juga Personi. Saat ini, dana otsus migas sudah Rp 47 triliun habis, tapi satu GOR berstandar nasional pun kita tak punya. Jadi, jangan berpikir politislah, realitis saja. Kecuali, kita menjadi tuan rumah PON kembar bersama Sumatera Utara. Dulu, gagasan ini telah saya sampaikan, tapi malah saya dituding tidak memihak Aceh. Hasilnya, kita gagal di-bidding (tawar/lelang) dengan Papua. Tapi, peluang tetap ada, namun harus pikir ulang soal anggaran. Salah satu usulan saya dulu adalah harus ada qanun olahraga yang mengaturnya dan ini ada klausulnya di Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Tapi, saya dengar, itu sedang digodok saat ini. Mudah-mudahan berhasil.*** 









Sumber: Tabloid Modus Aceh Edisi 16 /2016

No comments:

Post a Comment