Sunday, March 18, 2018

Nasib Nursiah dan Buah Hati yang Luput dari Janji Pemerintah

Tak seperti lazimnya tempat tinggal, bangunan berkontruksi kulit pelepah rumbia yang dibangun belasan tahun lalu itu lebih pantas disebut kandang ternak. Bukan hanya karena kontruksi bangunannya yang kian lapuk dan reyot, tapi letak bangunan yang jauh dari kata layak dan sehat untuk dihuni. Maklum, rumah itu berlokasi di bibir sungai, lembab dan kotor.

Tapi, di rumah tak layak huni itulah seorang janda bernama Nursiah (48) menetap bersama dua orang anaknya, Yusnani (17) dan Ramadhani (14). Selama 11 tahun mereka menetap di rumah Jalan Teuku Nyak Arief, Desa Lamgugop, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Kawasan ini hanya beberapa kilometer dari pusat Kantor Pemerintahan Aceh.

Ramadhani saat ini tercatat sebagai siswa VII SLTP Negeri 15 Lampineung, Banda Aceh. Sementara, sang kakak setamat Sekolah Dasar (SD) terpaksa tidak melanjutkan pendidikan karena keterbatasan biaya. Apalagi, kondisi kesehatan Nursiah saat ini sudah jauh menurun. Matanya tak lagi jernih melihat. 

Kamis, 2 Juni 2016 lalu, media ini menyambangi kediaman Nursiah. Musim penghujan akhir-akhir ini membuat hari-hari mereka kian menyedihkan. Air menggenangi sekeliling rumah. Dan, tak jarang, luapan air sungai masuk ke dalam rumah dan menggenangi lantai yang biasa mereka gunakan untuk tidur. "Kami sering begadang jika hujan lebat, karena tidak ada lagi tempat yang tersisa untuk tidur dan berteduh dari guyuran hujan," kata Nursiah lirih.

Untuk penerangan di waktu malam, keluarga Nursiah menerima belas kasih orang sekitar yang bersedia mengaliri aliran listrik ke rumahnya secara cuma-cuma. Semula, Nursiah enggan menerima media ini bertandang dan mewawancarianya, bukan karena tidak mau dan malu dengan keadaan rumah yang begitu memprihatinkan. Tapi, yang membuat Nursiah sakit hati, karena janji-janji yang sering dilontarkan setiap orang yang mendatangi rumahnya, baik wartawan,aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun pejabat teras. “Kalau saya hitung, sudah ada 13 rumah saya saat ini, jika semuanya terwujud,” ujar Nursiah dengan nada kesal.

Namun, setelah media ini menjelaskan niat mengapa memilih mendatangi rumahnya, barulah Nursiah mau bercerita keluh kesahnya. Cerita Nursiah, sebagai ibu dan kepala keluarga, setiap pagi hari ia membuat pulut (penganan dari ketan), kemudian menjualnya di samping Jalan Teuku Nyak Arief pada setiap orang yang lalu lalang agar ia bisa menghidupi kedua anaknya.  “Jika laku semua, saya dapat rezeki 20 ribu. Namun, jika tidak laku, kami memilih untuk tidak makan,” kata Nursiah.

Menurutnya, kalau mereka tidak sabar, makan satu waktu bisa tidak memiliki lagi modal untuk jualan pulut esok harinya. Begitu juga terhadap jajan anaknya yang masih sekolah. Nursiah memiliki harapan besar pada putranya Ramadhani. Dia berharap, suatu hari putranya itu bisa menjadi anak yang sukses. Karena itu, Nursiah rela banting tulang meski terkadang lelah dengan beban hidup yang harus ditanggung. "Saya ingin menunjukkan pada anak bahwa kita harus berjuang untuk hidup. Tak perlu mengemis dan meminta-minta pada orang lain," katanya.

Nursiah menjelaskan, di Aceh orang miskin tak ada nilainya di mata penguasa. Bahkan, orang-orang sepertinya seolah sengaja dipelihara untuk dijadikan objek mencari uang dan jabatanItu disadarinya dengan seringnya orang mendatangi rumahnya dan menebar janji akan memberikan rumah gratis dengan syarat harus memberikan fotokopi Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) serta foto rumah reyotnya. Sementara, setelah itu tidak ada hasil progres lanjutan. “Saya memang bodoh tapi saya tahu dipermainkan. Saya tahu saya diperjualbelikan. Saya sadar itu,” ungkap Nursiah dengan suara terbata-bata.

Tak sanggup menahan emosi, Nursiah akhirnya menumpahkan sakit hatinya. Sambil menangis, Nursiah mengaku tak memiliki harapan apa pun pada Pemerintah Aceh. “Semua telah hampa,” ujarnya dengan nada setengah teriak dan tangan menyapu kedua bola matanya.

Kesal Nursiah tentu punya alasan, menurutnya orang miskin di Aceh seolah sengaja dipelihara. Buktinya, sampai saat ini, ia tidak mengantongi kartu program perlindungan sosial apa pun, baik Kartu Keluarga Harapan dan Kartu Keluarga Sejahtera. Padahal, di KTP yang ia kantongi saat ini, tercatat sebagai warga Lamgugop, Banda Aceh.

“Kenapa kami selalu luput dari perhatian pemerintah? Sementara, sebulan sampai tiga kali orang mendatangi rumah saya,” kata Nursiah mengkritisi sembari dua anaknya Ramadhani dan Yusnani hanya tertunduk di sebelah ibunya, Kamis pekan lalu.

Kepada media ini, Ramadhani mengaku ingin sekali membahagiakan ibunya saat ia besar nanti. Dia sadar, sebagai anak yang terlahir dari keluarga kurang mampu, maka cita-cita yang digantungkannya pun tidak muluk-muluk. 

“Saya hanya ingin membahagiakan Mamak, Bang. Jadi PNS (pegawai negeri sipil)biasa saja saya sudah bersyukur. Atau jadi buruh kasar juga tidak apa-apa asal saya bisa membahagiakan Mamak,” ujarnya polos.[]

Arikel ini sudah pernah ditayangkan pada 2016 dengan judul : 2,2 Juta Rakyat Aceh Ternyata Masih Miskin