Monday, August 31, 2015

Ada Nama Darjo dalam BAP Malek Hamdani


Ada Nama Darjo dalam BAP Malek Hamdani

Malik Hamdani SE, MM Bin SATUBAN, Kuasa BUD Kabupaten Aceh Tenggara (2009-2010), duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa. Dia dijerat, melakukan dugaan korupsi. Nama Hasanuddin Darjo ikut disebut.

Muhammad Saleh | Irwan Saputra

TAK ada asap kalau tidak ada api. Dugaan sejumlah PNS Dinas Pendidikan Aceh, melalui surat kaleng, tanggal 5 Juli 2015, mengenai Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Hasanuddin Darjo, sedang terlilit masalah, ternyata benar juga.
Ini sejalan dengan posisi Malik Hamdani SE, MM sebagai terdakwa dalam kasus dugaan korupsi yang singgah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh, sejak dua pekan lalu.
Nah, Senin, 27 Juli 2015 lalu, Malik Hamdani SE, MM yang juga Kuasa Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara Tahun Anggaran 2009-2010, kembali berhadapan dengan Jaksa Penuntut Umum JPU Kejati Aceh dan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh.
Penunjukkan Malik sebagai BUD, sesuai Keputusan Bupati Aceh Tenggara Nomor KU.984/140/2009, tanggal 5 Januari 2009. Sementara, Hasanuddin Darjo atau akrab disapa Darjo ini, saat itu sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Tenggara. Ini berarti, posisi Malik adalah anak buah langsung dari Darjo. Dan patut diduga, berbagai aksi ‘pencolengan’ uang negara yang dilakukan Malik, diketahui Darjo.
Malik dijerat JPU Kejaksaan Tinggi Aceh, M. Ali Akbar SH, MH (ketua) dan Iqbal SH serta Ramadiyagus SH (anggota) dengan dugaan melakukan tindak pidana korupsi (kas bon), memperkaya diri sendiri atau orang lain dan korporasi.
Dugaan praktik culas ini dilakukan dengan cara penarikan/pengambilan sejumlah dana Pemkab Aceh Tenggara yang dilakukan secara berulang-ulang (baca:  Perkiraan Penarikan Dana yang Diketahui Hasanuddin Darjo). Itu mulai dilakukan sejak tanggal 12 Februari 2010.
Menurut JPU, modus operandi yang dilakukan terdakwa Malik Hamdani salah satunya, mengajukan cek PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Kantor Cabang Kutacane dengan Nomor CEC 194890, tanggal 12 Februari 2010, untuk ditandatangani Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Tenggara saat itu, Drs. Hasanuddin Darjo, yang kini masih berstatus sebagai saksi. Itu sebabnya, nama Hasanuddin Darjo disebutkan berkali-kali dalam dakwaan JPU, meski masih sebagai saksi.
 “Namun setelah cek tersebut ditandatangani Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Tenggara, Drs. Hasanuddin Darjo, terdakwa memerintahkan saksi Kasturi (staf terdakwa) untuk mencairkan, namun tidak memindahkan dananya ke rekening Kas Daerah yang terdapat pada PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh Kantor Cabang Kutacane. Tapi, terdakwa mengambilnya dengan mengatasnamakan sebagai pinjaman sementara pada saksi Kasturi,” begitu salah satu dakwaan yang disampaikan JPU Kejaksaan Tinggi Aceh.
Entah merasa enak dan ketagihan, tanggal 1 Maret 2010, Malik kembali mengajukan dana Rp 300 juta melalui  Bilyet Giro (BG) PT. BPD Aceh, Kantor Cabang Kutacane, untuk ditandatangani Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Tenggara, Drs Hasanuddin Darjo. Menariknya, semua penarikan dana daerah/negara tadi, ditandatangani Hasanuddin Darjo.
Akibat perbuatan terdakwa, telah mengakibatkan kerugian keuangan Negara cq. Keuangan Pemerintahan Kabupaten Aceh Tenggara, Rp 2.5 miliar lebih. Ini sesuai Laporan Hasil Pemeriksaan Perhitungan Kerugian Negara/Daerah yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) Perwakilan Provinsi Aceh.
Perbuatan terdakwa diancam pidana Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seperti telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Yang jadi soal adalah, benarkah praktik tak elok itu dilakukan dan dinikmati sendiri oleh Malik Hamdani, tanpa diketahui Hasanuddin Darjo sebagai Sekdakab Aceh Tenggara ketika itu? Atau sebaliknya, Darjo juga ikut kecipratan dan menikmati dana tersebut? Agaknya JPU dan Majelis Hakim PN Tipikor Banda Aceh, patut mengejar dan mengusutnya hingga tuntas. Semoga.***

Photo: disesuaikan

Boks:
Penarikan Dana yang Diketahui Hasanuddin Darjo

*        Penarikan/pengambilan dana tanggal 28 Januari 2010,                   Rp   50 juta
·                Penarikan/pengambilan dana tanggal 1 Februari 2010,                   Rp 290 juta lebih
·                Penarikan/pengambilan dana
tanggal 12 Februari 2010,                                                                Rp 60 juta Penarikan/pengambilan dana tanggal 1 Maret 2010,                            Rp 300 juta
·                Penarikan/pengambilan dana tanggal 2 Maret 2010,                                   Rp 298 juta lebih
·                Penarikan/pengambilan dana tanggal 9 Maret 2010,                                   Rp 250 juta lebih
·                Penarikan/pengambilan dana tanggal 25 Maret 2010,                     Rp 400 juta
·                Penarikan/pengambilan dana tanggal 19 April 2010,                                   Rp   60 juta
·                Penarikan/pengambilan dana tanggal 3 Mei 2010,                          Rp 200 juta
·                Penarikan/pengambilan dana tanggal 12 Mei 2010,                                    Rp   73 juta lebih


Sumber; Dakwaan JPU Kejati Aceh

Surat Kaleng untuk Darjo

Surat Kaleng untuk Darjo

Dua lembar surat kaleng singgah ke redaksi media ini. Isinya mengungkap pola kepemimpinan Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Drs. Hasanuddin Darjo. Si pengirim mengaku PNS Dinas Pendidikan Aceh. Buntut dari mutasi sapu bersih?

Muhammad Saleh

            SURAT bernomor istimewa ini, sejatinya disampaikan pada Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah. Tembusannya dikirim pada Ketua DPR Aceh dan Ketua Komisi V DPR Aceh. Namun, entah serius atau sekadar iseng, surat tanggal  5 Juli 2015 dan tanpa identitas pengirim alias surat kaleng tersebut, sampai juga ke redaksi media ini, Senin, 20 Juli 2105, sekira pukul 13.30 WIB.
            Si pengantar mengaku diminta seseorang untuk mengantarkannya ke redaksi MODUS ACEH. Namun, dia mengaku tak tahu apa isi surat tersebut. “Tadi, ada seseorang di Peunayong yang meminta saya untuk mengantar surat ini kemari. Saya dibayar Rp 50 ribu,” kata pria paruh baya tadi.
Lalu, pria yang bekerja sebagai abang becak di kota ini, seketika pergi dan meninggalkan ruang tamu. “Sudah ya, amanah telah saya berikan, saya narik dulu,” katanya sambil balik badan dan berlalu di tengah hiruk pikuk aktivitas warga Kota Banda Aceh.
Sekilas, tentu tak ada yang istimewa dan luar biasa dari surat tersebut. Maklum, redaksi media ini sudah terbiasa menerima surat sejenis. Hanya saja, ada yang ditindaklanjuti jika isi surat tersebut menarik untuk ditelusuri. Sebaliknya, akan masuk keranjang sampah, ketika isinya sulit untuk dipertanggungjawabkan.
“Bapak Gubernur yang terhormat. Kami PNS di jajaran Dinas Pendidikan Aceh, menyampaikan bahwa kondisi Dinas Pendidikan Aceh di bawah pimpinan Bapak Drs Hasanuddin Darjo saat ini sudah sangat darurat dan memprihatinkan dan menuju kehancuran. Harapan kami kepada Bapak Gubernur untuk segera melakukan suatu perbaikan untuk menyelamatkan Dinas Pendidikan dan dunia pendidikan Aceh ke depan sehingga Bapak Gubernur tidak menjadi bahan pembicaraan publik karena salah menempatkan pejabat publik untuk mengurus pendidikan.”
            Itulah kalimat pembuka dari surat kaleng tadi. “Selanjutnya. Bapak Gubernur yang terhormat. Kami yakin dan percaya bahwa tujuan Bapak Gubernur menggantikan kepala dinas yang lama dengan kadis baru, agar supaya adanya perubahan kinerja kepada yang lebih baik terutama dalam memajukan pendidikan di Aceh dan yang menyangkut urusan penyerapan anggaran. Namun, yang terjadi saat ini sebaliknya, kemunduran baik dalam peningkatan mutu juga penyerapan anggaran. Apabila Bapak Gubernur tidak segera melakukan revisi maka dapat dipastikan kinerja Dinas Pendidikan Aceh ke depan akan semakin mundur,”  tulis si pengirim.
            Menurut si pengirim, itu terjadi karena orientasi kinerja Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Drs Hasanuddin Darjo, sangat tidak memungkinkan untuk mendongkrak kinerja dan mutu pendidikan di Aceh. Tetapi, lebih pada urusan bisnis.
Menurut isu berkembang tulis surat ini, Kadis Pendidikan Aceh, Hasanuddin Darjo, terlalu mengintervensi pembagian paket proyek, baik melalui tender maupun penunjukkan langsung (PL) kepada orang terdekat. Akibatnya, para kepala bidang (kabid), PPTK dan kelompok kerja (pokja) tidak bisa bekerja leluasa karena terlalu diarahkan untuk memenangkan rekanan tertentu.
Tak hanya itu, pembagian proyek PL semua diarahkan kepada rekanan yang dia tunjuk sendiri. Bahkan, dia  berani meminta PPTK untuk merubah spek yang telah disurvei dengan spek yang dibawa rekanan dan belum disurvei. Selanjutnya, dia minta untuk dimenangkan.
“Perlu kami sampaikan kepada Bapak bahwa suasana di Kantor Disdik Aceh sudah semakin tidak jelas dan beberapa orang PPTK sudah membuat pernyataan mundur. ketua pokja untuk ULP yang baru beberapa hari ditunjuk dari orang Kantor Disdik Aceh dan sudah mulai bekerja keras untuk mempercepat pelaksanaan tender proyek, guna mempercepat terjadinya realisasi anggaran. Namun, tiba-tiba dibatalkan dan diganti secara mendadak dengan orang lain dari Dinas Tanaman Pangan Aceh, tempat dia pernah menjadi kadis sebelumnya.
Ada informasi yang beredar, digantinya pokja karena yang bersangkutan tidak berani mengikuti semua arahan Darjo, untuk memenangkan tender pada rekanan tertentu sehingga yang bersangkutan dipecat sebagai ketua pokja.
“Menurut pembicaraan yang berkembang di kantor, penggantian 23 pejabat di jajaran Disdik Aceh baru-baru ini, terkesan adanya unsur balas dendam terhadap pejabat yang diangkat oleh Kadisdik Aceh lama, Anas M. Adam. Semua dinilai tidak bisa pakai, sehingga dihabisi. Sementara, ada beberapa pejabat baru yang kemampuannya patut dipertanyakan, justru diberi jabatan,” ungkap isi surat tersebut.
Pejabat yang dimaksud adalah Kepala Bidang Pendidikan Dasar (Kabid Dikdas). Dan, Kepala Seksi (Kasi) Kurikulum Pendidikan Dasar berasal dari disiplin ilmu sarjana ekonomi dan belum pernah terlibat dengan urusan kurikulum. Selain itu, Kepala Seksi (Kasi) Tenaga Teknis (Tentis) serta Kasi Data dan Informasi.
“Dalam memimpin rapat dengan para Kabid dan Kasi, Kadis Hasanuddin Darjo selalu marah-marah dan emosi. Seolah-olah dia direktur perusahaan milik pribadi. Darjo suka memarahi bawahan dengan kata-kata yang tidak senonoh dan tidak mendidik serta beretika. Misal, dia berkata silahkan mengundurkan diri atau keluar lewat pintu, jendela atau atap bagi pejabat yang tidak bisa ikuti kebijakannya. Ucapan itu sering disampaikan pada rapat sehingga pengawai mengeluh dan merasa tidak dihargai.
Hanya itu? Tunggu dulu. Menurut isi surat ini, sejak dipimpin Hasanuddin Darjo, suasana kerja di Dinas Pendidikan Aceh, semakin menurun dan tidak seperti sebelumnya. Disiplin pegawai semakin berkurang, karena Darjo jarang masuk kantor alias suka jalan-jalan. Akibatnya, tak ada lagi apel pagi.
Kadis Pendidikan Aceh Hasanuddin Darjo juga melarang pelaksanaan kegiatan penyusunan kurikulum Aceh untuk sekolah PAUD, SD, SMP, dan SMA. Padahal, anggaran untuk kegiatan tersebut telah tersedia Rp 5 miliar yang berasal dari APBA 2015. “Ada informasi berkembang, Pak Darjo sedang terjerat kasus di Kejaksaan Negeri Aceh Tenggara, sehingga dia sering marah-marah dan harus mencari banyak uang untuk menutupi kasus yang sedang dihadapinya. Jika itu benar, maka sosok Hasanuddin Darjo bukan figur profesional, emosional dan tidak menghargai kerja bawahan, sehingga mematikan motivasi pegawai untuk bekerja lebih baik.
            Benarkah semua tudingan itu? Inilah yang jadi soal. Sebab, usaha dan upaya konfirmasi media ini pada Hasanuddin Darjo tak berhasil. Pesan singkat (sms) permohonan untuk bertemu dan wawancara, juga tak dijawab hingga Sabtu malam pekan lalu. Upaya serupa juga disampaikan melalui Sekretaris Disdik Aceh, Asnawi. Hasilnya, tetap saja setali tiga uang.
            Begitupun, informasi tambahan berhasil diperoleh dari Abi Surya, salah seorang kontraktor atau rekanan Disdik Aceh.
“Saya salah seorang yang jadi korban dari kebijakan Pak Darjo. Bayangkan, beberapa pekerjaan yang sedang saya kerjakan, mendadak dihentikan, karena alasan pekerjaan itu dilakukan pejabat lama. Padahal, saya sudah mulai kerja dan menyerahkan biaya perencanaan Rp 5 juta dan  untuk kontrak Rp 3 juta kepada pejabat di dinas itu. Tapi, dengan gampang dijawab Pak Darjo melalui pejabat barunya. Itu urusan PPTK lama dan minta saja uang yang sudah diserahkan pada pejabat tersebut, dikembalikan,” begitu ungkap Abi Surya pada media ini, Jumat pekan lalu.
            Abi Surya mengaku, sebelumnya dia mendapat tiga pekerjaan dengan penunjukkan langsung. Pertama, CV. Red Long Jaya yaitu pembangunan lapangan olahraga terpadu SMA I Permata di Kabupaten Bener Meriah dengan nilai kontrak Rp 200 juta. Kedua, pembangunan lapangan olahraga terpadu SMA I Makmur di Kabupaten Bireuen (CV. Mutiara Phona Kupula, Rp 200 juta dan ketiga rehabilitasi taman dan pemasangan pavling blok SMAN 3 Banda Aceh (CV. Multi Sarana), Rp 200 juta.
            “Namun, tiba-tiba kontrak ditahan Pak Kadis. Paket diberikan pada rekanan lain secara sepihak. Termasuk pergantian pejabat baru yang tidak mengerti persoalan. Ini jelas sangat merugikan kami sebagai kontraktor,” ungkap Abi Surya. Dia berharap, persoalan yang terjadi di Disdik Aceh dan pola kepemimpinan ‘sapu jagat’ Hasanuddin Darjo, dapat menjadi perhatian serius Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah.

            “Secara logika sederhana saja, bagaimana anggaran bisa terserap jika pola mutasi yang dilakukan dengan sporatis begitu. Tentu, anak buah banyak yang kecewa dan tidak senang, sehingga menjadi malas. Akibatnya, kinerja menjadi menurun. Kondisi ini, sadar atau tidak telah mencoreng wajah Pak Gubernur,” sebut Abi. Sepantasnya, jabatan Darjo dievaluasi kembali Pak Gubernur, sebelum berjalan begitu jauh!***

Vonis untuk Para Pelaksana

Vonis untuk Para Pelaksana

Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh memvonis mantan Sekretaris dan Bendahara KIP Aceh Singkil masing-masing 4,5 tahun penjara. Terpidana merasa tidak bersalah, karena hanya menjalankan perintah atasan. Keduanya banding.

Irwan Saputra

HARI itu, Kemala Sari tak kuasa menahan luapan kesedihan. Sepanjang persidangan, Senin, dua pekan lalu, ibu muda yang juga mantan Sekretaris Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Singkil ini, beberapa kali meyeka air mata. Dia duduk bersebelahan dengan Irma Suryani, mantan Bendahara KIP Singkil di kursi pesakitan. Keduanya tertunduk pasrah, mendengar hakim membaca amar putusan.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh, Yulman MH (ketua), dan Muhifuddin MH, serta Hamidi Jamil SH (anggota), menghukum keduanya 4,5 tahun penjara serta denda Rp 200 juta, subsider dua bulan kurungan. Keduanya, juga harus membayar uang pengganti. Kemala Sari Rp 278 juta  dan Rp 259 juta lebih untuk Irma Suryani.
Menurut majelis hakim, sesuai fakta-fakta di persidangan, dan pendapat ahli yang dihadirkan, keduanya terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi atau suatu korporasi. “Sehingga pledoi (pembelaan) yang diajukan keduanya melalui penasehat hukum masing-masing harus dikesampingkan,” ungkap Yulman.
Dalam pledoi sebelumnya disebutkan, keduanya tidak pantas dibebankan pertanggungjawaban hukum atas terjadinya kerugian negara. Sebab, keduanya hanya menjalankan perintah atasan, Ketua KIP Aceh Singkil, Abdul Muhri. Ini sesuai Pasal 51 KUHPidana ayat (1) buku Ke-1 menyebutkan, barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan kuasa yang berhak maka tidak boleh dihukum.
Tapi, hakim berpandangan lain, kedua terdakwa terbukti bersalah, karena Kemala Sari selaku sekretaris bersama bendaharanya Irma Suryani menjalankan perintah Ketua KIP Singkil yang tidak sesuai aturan hukum. Kondisi ini disadari keduanya melanggar hukum karena tidak tersedia dalam plot mata anggaran dari dana hibah yang dianggarkan tahun 2011, 2012 dan 2013 oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, Rp 14 miliar lebih.
Dalam pertimbangannya, hakim berpedoman pada Pasal 51 KUHpidana ayat (2) buku Ke-1 bahwa, perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak, tidak membebaskan dari hukuman. “Maka, pembelaan kedua penasehat hukum harus dikesampingkan,” ujar Yulman.
Dalam sidang pamungkas tersebut, majelis hakim berkeyakinan bahwa keduanya terbukti dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, baik memperkaya diri sendiri atau orang lain, seperti yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam dalam dakwaan primer.
Sebelum membaca amar putusannya, majelis hakim lebih dahulu menguraikan fakta-fakta yeng terungkap di persidangan. Misal, hakim menyebutkan, sebagai pengguna anggaran, Kemala Sari memiliki wewenang untuk menarik uang yang bersumber dari dana hibah Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Singkil, kapan pun ia mau, meski dia bersama bendahara Irma Suryani, namun keduanya hanya menjalankan tugas dari komisioner KIP. Sebaliknya, mereka mengetahui bahwa perbuatan membagi-bagi uang ke sejumlah pihak itu melanggar hukum, karena tidak ada dalam mata anggaran. Beberapa pihak tersebut adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Singkil (Rp 170 juta) dengan rincian untuk Ketua DPRK Rp 50 juta, Banggar Rp 50 juta, Komisi A Rp 50 juta, kemudian Banggar I Rp 20 juta.
Selanjutnya, untuk Bupati Aceh Singkil Rp 75 juta, kelebihan membayar pengacara Rp 90 juta, pembuatan pos satpam dan mushalla Rp 16 juta, verifikasi ijazah ke Pematang Siantar, Sumatera Utara, Rp 30 juta lebih, monitoring hari H komisioner dan sekretaris Rp 18 juta, pengurusan ke Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Rp 21 juta lebih, yang diberikan hingga dua kali.
Kemudian, biaya membayar wartawan dalam rangka kegiatan tahapan Pemilukada (Rp 40 juta). Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) yang tidak dipertanggungjawabkan (RP 25 juta lebih). Biaya makan dan minum pembuatan Surat Pertanggungjawaban Rp  32 juta lebih, biaya uang lelah kepada Iksan Darmawan selaku pembantu bendahara Rp 10 juta, dan Sapriani Rp 20 juta.
Begitupun, biaya untuk pengurusan proses pencarian dana pada Kantor DPPKAD Rp 10 juta rupiah, dan biaya makan dan minum lembur setelah pemeriksaan LPJ dari Inspektorat Rp 25 juta.
            “Semua fakta yang terungkap ini memang dilakukan atas perintah komisioner KIP, tapi para terdakwa tahu jika semua itu tidak ada dalam plot mata anggaran” ujar Yulman.
            Maka dalam pertimbangannya, Kemala Sari sebagai pengguna anggaran dan Irma Suryani sebagai pengelola anggaran, mempunyai wewenang untuk mencairkan dana Pemilu KIP Singkil. Namun, membiarkan uang tersebut dinikmati anggota DPRK Aceh Singkil, Kapolres Aceh Singkil, DPKAD Aceh Singkil, dan para wartawan yang dikeluarkan tanpa ada mata anggaran sehingga membuat Lembaran Pertanggungjawaban (LPJ) dari dana taktis tersebut atas perintah komisioner KIP Aceh Singkil. Caranya, membuat SPPD fiktif.
Perbuatan tersebut telah melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2009, tentang Pedoman Pengelolaan Belanja Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Pasal 10. Begitupun keduanya melanggar Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2007, tentang Penyelenggaraan Pemilu di Aceh. Pasal 8 poin  (4) e menyebutkan, KIP kabupaten/kota wajib mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Begitupun, kedua terdakwa terbukti memperkaya diri sendiri, atau orang lain, diantaranya anggota DPRK Aceh Singkil, Ketua KIP Aceh Singkil, Wakapolres Aceh Singkil, DPKAD, Sekda Aceh Singkil. Semua dana tersebut dipertanggungjawabkan dengan SPPD fiktif yang sebagian besarnya tidak melakukan perjalan dinas seperti nama yang dicantumkan.
Akibat perbuatan kedua terdakwa, negara mengalami kerugian Rp 1,3 miliar. Ini berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Aceh Bernomor: SR-2544/PW01/05/2014 yang dikeluarkan pada 28 November 2014 silam.
Karena itu, majelis hakim menyimpulkan, kedua terdakwa terbukti secara sah seperti dakwaan primer, melanggar Pasal 2 ayat (1) junto Pasal 18 ayat (1) huruf a,b, ayat (2) ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 ayat (1) ke-I KUHPidana.  “Karena kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 1,3 miliar,” ungkap Yulman.
Tak terima divonis bersalah, kedua terdakwa melalui pengacaranya, mengajukan banding.
Tapi, sikap berbeda ditunjukkan JPU dari Kejaksaan Negeri Singkil, Ruri Febrianto SH. Meski divonis dua tahun lebih ringan dari tuntutannya, ia mengaku sudah menerima dan tidak mengajukan banding atas putusan tersebut.
Sekedar mengulang, Kemala Sari dituntut 6,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta, subsider empat bulan kurungan dan diwajibkan membayar uang pengganti masing-masing Rp 328, sementara Irma Suryani Rp 308 juta atau subsider 3,3 tahun penjara.
“Kita akan ajukan banding. Bagaimana mungkin kami bisa terima, orang lain yang menikmati fee, keduanya menanggung akibat. Yang berhak bertanggungjawab atas kerugian ini adalah komisioner KIP,” ujar salah seorang kuasa hukum terdakwa.
Masih kata kuasa hukumnya, pengeluaran uang dana hibah tersebut adalah murni dan terbukti hasil dari rapat para komisioner KIP Aceh Singkil Tahun 2011-2012, sedangkan berdasarkan Pasal 49 ayat (4) peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2008, tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota menyebutkan, Sekretaris KPU/KIP Kabupaten wajib memberikan dukungan teknis dan administratif dalam rapat pleno. Karena itu, keduanya hanya menjalankan perintah dari hasil rapat tersebut.
Usai persidangan, Kemala Sari yang mengenakan gamis merah muda dan Irma Suryani memakai gamis oranye, langsung menghampiri suami masing-masing. Lalu, memasuki mobil tahanan kejaksaan untuk dibawa kembali ke Rumah Tahanan Jantho Aceh Besar.***

Photo: disesuaikan