Studi Kasus Putusan Pengadilan
Negeri Calang
Nomor: 35/Pid.B/2010/CAG
Oleh
: Irwan Saputra, SH.I
|
Ilustrasi |
I. I. PENDAHULUAN
Sebagai kejahatan kelas berat (extra ordinary crime) tindak pidana
narkotika juga digolongkan dalam tindak pidana khusus. Karena, narkotika menyangkut masa depan generasi muda negeri pertiwi
ini, bahkan dapat menimbulkan bahaya
besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa, tentu saja pada akhirnya akan melemahkan
ketahanan nasional.
Pada dasarnya, narkotika adalah zat yang bermanfaat
untuk pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Namun, seiring
berkembangnya teknologi, transportasi, informasi dan komunikasi yang canggih,
modus operandi tindak pidana narkotika dalam waktu relatif singkat dengan mobilitas cepat
selain memiliki dimensi lokal, nasional dan juga internasional bahkan telah
menjelma sebagai kejahatan transnasional. Modus operandi sindikat peredaran
narkotika begitu mudah menembus batas-batas negara di dunia melalui jaringan
manajemen yang rapi dan teknologi canggih, serta masuk ke Indonesia sebagai
negara transit (transit-state) atau bahkan sebagai negara tujuan
perdagangan narkotika secara ilegal (point of market-state).
Oleh sebab itu, sebagai negara peserta Konvensi Tunggal
Narkotika (KTN)
yang diselenggarakan di New York pada 1961 silam, Indonesia telah mengesahkan Konvensi Tunggal
Narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya. Tujuannya adalah,
untuk menyempurnakan
cara-cara pengawasan dan mengatasi penggunaan narkotika hanya untuk kepentingan
pengobatan dan ilmu pengetahuan,
serta
menjamin kerjasama internasional dalam pengawasan narkotika. Alhasil, dari
proses yang cukup panjang lahirlah Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, setelah terjadi perubahan dari undang-undang
sebelumnya. Dalam formulasi hukuman, undang-undang tentang narkotika, menganut sistem
pidana minimum khusus,
yang bertujuan sebagai upaya pemberatan terhadap pelaku tindak
pidana narkotika.
Sistem pidana minimum
khusus, adalah
formulasi yang menyimpang dari pola pemidanaan dari KUHP (Wetboek van
Strafrecht) yang menganut pola maksimum umum dan minimum umum. Pidana
minimum khusus hanya diberlakukan
pada beberapa tindak pidana yang dipandang meresahkan masyarakat, sementara penerapan ancaman pidana minimum bertujuan agar tidak terjadinya
disparitas (perbedaan)
pemidanaan.
Namun praktik di pengadilan, ternyata sering didapati hakim memvonis terdakwa yang diancam
pidana minimum dengan putusan di bawah dari ancaman tersebut. Terkesan menabrak
aturan.
Seperti kasus di Pengadilan Negeri Calang, nomor perkara: 35/Pid.B/2010/CAG yang terbukti melanggar pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35
tahun 2009 tentang Narkotika, sesuai aturan, seharusnya terdakwa diancaman
pidana paling singkat untuk terdakwa 5 tahun. Namun, hakim hanya memvonis
dengan hukuman 2 tahun. Atas dasar itulah, penulis tertarik untuk menulis makalah
ini, dengan asumsi apakah hakim bisa serampangan mendobrak aturan tersebut?
atau ada pertimbangan lain?
Metode
penelitian makalah ini bersifat yuridis normatif, sementara pendekatannya bersifat statute
approach,dan conceptual approach, sedangkan teknik
pengumpulan data bersifat library
reseach, yakni
dengan mengumpulkan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier.
II.
PIDANA DAN PEMIDANAAN
Pidana adalah
pemberian hukuman oleh
negara terhadap individu atau kelompok yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan undang-undang dengan sengaja.
Andi Hamzah menjelaskan,
yang dimaksud melanggar ketentuan dengan sengaja adalah menyelahi ketentuan
asas legalitas yang tercantum dalam Pasal
1 ayat 1 KUHP, yaitu nullum
delictum nulla poena sine pravia lege poenali.
Maksudnya,
tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.
Pidana tak lain adalah suatu reaksi
atas delik (tindak pidana) dan berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja
diberikan oleh negara pada pelaku delik, sehingga reaksi tersebut dapat
dianggap sebagai suatu sanksi yang pantas ditujukan dengan semata-mata untuk
menjaga keamanan masyarakat terhadap ancaman dari bahayanya delik yang dilakukan.
Pidana, dalam prosesnya memiliki unsur, Mahrus
Ali menjelaskan
unsur-unsur pidana yang meliputi, perbuatan tersebut
mewujudkan suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat pada keadaan
yang dilarang oleh hukum baik
dalam pengertian formil maupun materil. Kemudian, kelakuan dan akibat yang timbul
tersebut harus bersifat melawan hukum. dan adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai
terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum. Dalam unsur terakhir ini, terkait dengan beberapa
hal yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum pidana yang
ada dalam undang-undang.
Di beberapa
negara seperti Nedherland, pengenaan pidana harus memenuhi unsur actus reus
yakni unsur esensial dari kejahatan (physical element) dan means rea
(mental element) yakni keadaan sikap batin pelaku tindak pidana.
Zainal Abidin Farid dalam Siswanto mengatakan, unsur actus reus harus
didahulukan yaitu perbuatan kriminal (criminal act). Hal tersebut sesuai dengan
syarat-syarat pemidanaan (strafvoraus setzungen) yang mendahulukan
adanya perbuatan pidana, setelah diketahui adanya perbuatan pidana sesuai
rumusan undang-undang barulah diselidiki tentang sikap batin pembuat.
Tindak pidana, merupakan masalah kemanusiaan dan
masalah sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap bentuk masyarakat, di mana ada masyarakat di situ ada tindak pidana. Tindak
pidana selalu bertalian erat dengan nilai, struktur masyarakat itu sendiri.
Sehingga apapun upaya manusia untuk menghapuskannya, tindak pidana tidak mungkin
tuntas karena tindak pidana memang tidak mungkin terhapus melainkan hanya dapat
dikurangi jumlahnya.
Menurut Hans
Kelsen, tindak pidana adalah suatu kondisi dimana sanksi diberikan berdasarkan
norma hukum yang ada. Perbuatan manusia dikatakan sebagai delik apabila aturan
hukum memberikan sanksi sebagai konsekuensi dari tindakan tersebut.
Sehingga kriteria konsep delik adalah elemen yang ditentukan dalam materi norma
hukum itu sendiri.
Senada dengan Kelsen. C.S.T. Kansil menyebutkan bahwa, tindak pidana adalah
perbuatan yang dapat dihukum, ia berupa kelakuan individu yang bertentangan
dengan keinsafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, dengan
catatan dilakukan oleh seseorang yang dapat dipersalahkan seperti yang
dijelaskan dalam ketentaun buku kedua dan buku ketiga KUHP.
Dalam praktiknya, pidana tidak dapat
dilepaskan dari tujuan pemidanaan. Namun, menentukan tujuan pemidanaan sering menjadi
persoalan yang dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan
untuk melakukan pembalasan atau
untuk pembelajaran bagi pelaku dan masyarakat umum lainnya.
Secara teoritis,
pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang berkisar pada perbedaan hakikat ide
dasar tentang pemidanaan yang dapat
dilihat dari beberapa pandangan.
Andi
Hamzah menuliskan ada 3 (tiga) aliran utama dalam teori pemidanaan, yaitu teori
pembalasan pembalasan,
relatif, dan gabungan.
a. Teori
pembalasan (retributive).
Teori ini berpandangan bahwa pidana, tidaklah bertujuan untuk
memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur
untuk dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukannya suatu
kejahatan. Teori ini berprinsip manfaat penjatuhan pidana tidaklah perlu untuk
difikirkan, setiap kejahatan harus berakibat pada penjatuhan pidana kepada
pelaku. Oleh karena itu teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan
tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi
keharusan, hakikat suatu pidana ialah pembalasan.
b. Teori
relatif (teleologis).
Teori ini
mengajarkan penjatuhan pidana harus berorientasi pada mencegah terpidana (special
prevention) dari kemungkinan mengulangi kejahatan di masa mendatang, serta
mencegah masyarakat luas pada umumnya (general prevention) dari
kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti kejahatan yang telah dilakukan
terpidana maupun lainnya.Ada
tiga poros tujuan utama pemidanaan dalam teori relatif, yaitu: preventif,
detterence dan reformatif.
Teori relatif
memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku,
tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi
masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat.
c. Teori
Retributif Teleologis (Teori Gabungan)
Teori ini merupakan penggabungan dari kedua teori di
atas, yaitu
teori absolut dan teori relatif.
Menurut
Andi Hamzah, teori gabungan dipraktikkan
secara bervariasi, ada
kalanya
menitikberat pada pembalasan ada pula yang menginginkan adanya keseimbungan antara
prevensi dan pembalasan. Van Bemmelan yang merupakan salah
satu tokoh penganut teori gabungan mengemukakan, pidana bertujuan untuk
membalas kesalahan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan keduanya
bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan yang
layak dalam masyarakat.
Pendapat ini disepakati oleh Pompe dan Grotius yang kemudian dilanjutkan oleh
Rossi dan Zevenbergen yang mengatakan bahwa makna dari tiap-tiap pidana adalah
melindungi tata hukum dan pidana mengembalikan hormat terhadap hukum
pemerintah.
Dengan demikian,
pada umumnya para penganut teori gabungan mempunyai paham bahwa dalam suatu
pidana terkandung unsur pembalasan dan unsur perlindungan masyarakat. Adapun
titik berat maupun keseimbangan di antara kedua unsur tersebut tergantung dari
masing-masing sudut pandang penganut teori gabungan.
III.
PENERAPAN PIDANA MINIMUM KHUSUS
Undang-Undang Dasar
1945 menegaskan,
bahwa Negara Indonesia adalah negara yang didasarkan atas hukum (rechstaat)
bukan didasarkan atas kekuasaan (machtsstaat). Sebagai negara hukum
Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia,
menjamin keselamatan dan kenyamanan warga negara serta menempatkan semua warga
negara pada posisi yang sama di depan hukum (equality before the law).
Lauren M. Friedman
mengemukakan ada empat
fungsi dasar sistem hukum dalam sebuah negara. Pertama, sebagai bagian
dari sistem kontrol sosial (social control) yang mengatur perilaku
manusia. Kedua, sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa (dispute
setlement). Ketiga, sebagai social egeneering function dan keempat,
hukum sebagai social maintenence, yaitu fungsi yang menekankan
peranan hukum sebagai pemeliharaan “status quo” yang tidak menginginkan
perubahan.
Selain fungsi hukum,
Friedman menambahkan, ada tiga elemen dasar dari sistem hukum tersebut, yaitu strukture,
subtance, dan legal culture. Aspek Struktur menyangkut lembaga yang
berwenang membuat dan melaksanakan undang-undang (lembaga pengadilan dan
lembaga legislatif). Kemudian aspek
subtansi, yaitu materi atau bentuk dari peraturan dan aspek terakhir dari
sistem hukum adalah apa yang disebut sebagai sikap orang terhadap hukum dan
sistem hukum, yaitu menyangkut kepercayaan akan nilai, pikiran atau ide dan
harapan mereka.
Dalam kehidupan sosial, kejahatan pada dasarnya selalu
melekat dalam masyarakat manapun dan berbentuk apapun sistem politiknya. Bahkan
seiring perkembangan teknologi dan kompleksitas kehidupan, kualitas kejahatan
semakin meningkat dan sulit untuk diungkap. Contohnya pencurian, dulu pencurian
hanya dilakukan dengan mengambil secara langsung barang milik orang lain.
Tetapi kini, seiring dengan perkembangan teknologi, pencurian dilakukan dengan
bantuan teknologi canggih seperti komputer. Akibatnya bentuk pencurian dan
tindak pidana lain menggunakan teknologi tinggi dan tidak gampang untuk
dilacak. Bahkan dalam perkembangannya, kejahatan tidak lagi hanya dilakukan
oleh perorangan. Apalagi didorong oleh mengglobalnya sistem perekonomian dunia,
sehingga kejahatan dalam skala besar dilakukan oleh kelompok-kelompok
terorganisir.
Menurut
W.A Bonger, kejahatan adalah perbuatan anti sosial yang secara sadar
mendapatkan reaksi dari negara, berupa pemberian derita dan kemudian sebagai
reaksi terhadap rumusan hukum (legal
definition) mengenai kejahatan. Semenetara Barda Nawawi
merumuskan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang dapat merintangi pencapaian
kualitas bagi semua orang.
Maka untuk mencegah kejahtan berulang dan dapat merintangi pencapaian
kualitas bagi semua orang, maka dilakukanlah penanggulangan dengan
sarana hukum
(penal policy), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif
(penegakan hukum in concreto), yang merupakan upaya untuk memberantas kejahatan dengan
memperhatikan dan mengarahkan pada tercapainya kebijakan sosial yang berupa sosial
welfare dan social defence.
Dalam kebijakan menanggulangi kejahatan, maka hukum selain harus mengandung unsur represif juga mengandung unsur preventif.
Karena di samping
penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana juga diharapkan ada efek
pencegah (detterence efect) terhadap masyarakat lainnya. Hal ini karena
hukum pidana merupakan salah satu kebijakan sosial untuk menyalurkan
ketidaksukaan masyarakat terhadap kejahatan (social dislike) yang
sekaligus diharapkan menjadi sarana perlindungan sosial (social defence).
Oleh karena itu penal policy merupakan bagian integral dari social
defence policy.
Karena, menurut Helbert L.
Parker penggunaan sanksi pidana secara sembarangan tanpa pandang bulu (indiscriminately) dan digunakan secara
paksa (coercievely) akan menimbulkan sarana pidana itu
menjadi suatu pengancam utama (prime
treatener).
Maka, untuk kejahatan-kejahatan tertentu seperti tindak pidana narkotika
yang diatur dalam undang-undang pidana khusus, terdapat ketentuan-ketentuan hukum
yang menyimpang dari hukum pidana umum (KUHP). Seperti penentuan pidana minimum
khusus dalam pidana penjara yang menyangkut sekelompok orang atau
perbuatan-perbuatan tertentu.
Pola penggunaan pidana
minimum khusus dalam tindak
pidana khusus
terhadap pidana penjara, merupakan suatu perkecualian, yaitu hanya ditujukan
untuk delik-delik tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan atau
meresahkan masyarakat dan delik-delik yang dikualifisir atau diperberat oleh
akibatnya (Erfolgsqualifilizierte Delikte).
Penentuan pidana
minimum dalam undang-undang hukum pidana khusus, merupakan salah satu upaya
untuk mengantisipasi agar tidak terjadinya disparitas pidana (disparity of
sentencing), di samping
sebagai upaya memperkuat prevensi general
dan untuk menunjukkan beratnya tindak pidana yang dilakukan.
Disparitas pidana (disparity
of sentencing) adalah penerapan pidana yang berbeda terhadap tindak pidana
yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat
berbahayanya dapat diperbandingkan (offences of comporable seriousness)
tanpa dasar pembenaran yang jelas.
Menurut Muladi,
disparitas pidana mempunyai dampak yang dalam karena mengandung pertimbangan
konstitusional antara kebebasan individu dan hak negara untuk memidana. Disparitas
pidana dapat berakibat fatal apabila dikaitkan dengan administrasi pembinaan
narapidana. Terpidana akan merasa menjadi korban dari ketidakpastian atau
ketidakteraturan pengadilan setelah membandingkan antara pidana yang dikenakan
kepadanya dengan pidana yang dikenakan pada orang lain. Maka pada
perkembangannya narapidana tersebut akan menjadi orang yang tidak menghargai
hukum, padahal penghargaan hukum tersebut merupakan salah satu hasil yang ingin
dicapai dalam tujuan pemidanaan. Dan di sini akan tampak persoalan berat, Sebab
akan merupakan suatu indikator dan manifestasi kegagalan suatu sistem
untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus akan
melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana.
Lebih lanjut, menurut Barda Nawawi dianutnya
sistem pidana minimum khusus yang selama ini tidak dikenal dalam KUHP
didasarkan pada pokok pemikiran:
a. Guna
menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik
yang secara hakiki berbeda kualitasnya;
b.
Untuk lebih
mengefektifkan pengaruh prevensi general, khususnya bagi delik-delik yang
dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat;
c.
Dianalogkan
dengan pemikiran, bahwa apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana (umum
maupun khusus) dapat diperberat, maka minimum pidanapun dapat diperberat dalam
hal-hal tertentu.
Dari
paparan tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan tujuan pemidanaan secara
umum, yaitu untuk melindungi kepentingan masyarakat dan perseorangan dari
tindak-tindak yang tidak menyenangkan akibat adanya suatu pelanggaran oleh
seseorang.
IV.
LANDASAN YURIDIS DAN FILOSOFIS
Dalam ketentuan Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika menyebutkan bahwa, narkotika adalah zat atau obat yang
berasal dari tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Istilah narkotika yang
dipergunakan di sini bukanlah “narkotics” dalam farmacologi (farmasi),
melainkan sama artinya dengan “drugs” yaitu sejenis zat yang apabila
digunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si
pemakai seperti mempengaruhi kesadaran, memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia, seperti
penenang, perangsang, dapat menimbulkan halusinasi dan menghilangkan kesadaran.
Dalam undang-undang
narkotika, dasar pengaturan hukum terhadap pelaku tindak pidana narkotika
adalah untuk:
a. Menjamin
ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan, dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. Mencegah,
melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika;
c. Memberantas
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, dan
d. Menjamin
pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu
narkotika.
Undang-undang narkotika mengkategorikan 4 (empat) tindakan
melawan hukum yang dapat diancam dengan sanksi pidana yaitu, pertama memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika dan prekursor narkotika, kedua memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekursor narkotika;
ketiga menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
narkotika dan prekursor narkotika,
dan keempat
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika dan prekursor
narkotika.
Dari ke empat ketegori tindak pidana narkotika, dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 terdapat 25
yang mengatur ancaman pidana
minimum, sementara 38 pasal lainnya mengatur ancaman yang
bervariasai (1 hingga 6 tahun).
Secara filosofis, tujuan penentuan pidana minimum
khusus dalam
undang-undang narkotika didasari atas pemikiran bahwa, penentuan pidana minimum khusus hanya pada tindak pidana serius
bagi bangsa dan negara. Sehingga sekecil apapun pelanggaran yang dilakukan
tidak dapat ditolerir,
dan ancaman
hukuman demikian dipandang setimpal.
V.
KEWENANGAN HAKIM PIDANA
Hakim adalah pejabat
peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili suatu
perkara yang dihadapkan kepadanya.
Adapun pengertian mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa dan memutus suatu perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak
memihak di sidang pengadilan.
Dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah, kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Pernyataan tersebut
merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah amandemen ketiga tahun 2001,
berbunyi, “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”,
Dalam praktiknya, hakim merupakan suatu pekerjaan yang
memiliki tanggung jawab besar terhadap pelaksanaan hukum di suatu negara. Hakim merupakan
benteng terakhir dari penegakan hukum.
Sebagai pelaksana hukum dan pemberi keputusan dalam setiap perkara yang
diajukan kepanya dipengadilan, hakim dituntut untuk dapat menyelesaikan setiap
perkara secara inparsial berdasarkan hukum yang berlaku, hakim harus selalu
mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, terutama dalam mengambil setiap
keputusan.
Kedudukan hakim dalam
arti bebas dari pengaruh pihak manapun, merupakan ciri khas negara hukum.
Pentingnya kebebasan hakim ini tampak dari penjelasan Declaration of Delhi
Tanggal 10 Januari 1959 yang menetapkan “..an independent judiciary and
legal frofession are essential to the maintenence of the rule of law and to
proper administration of justice” (Terjemahan bebas: peradilan danhakim
yang independen sangat penting untuk pemeliharaan aturan hukum dan administrasi
peradilan).
Meskipun kebebasan
hakim dalam memutuskan suatu perkara merupakan sifat pembawaan daripada setiap
peradilan, namun Sudikno Mertokusumo menggaris bawahi bahwa, kebebasan hakim
tidaklah bersifat mutlak, oleh karena itu hakim tidak dapat berbuat
sewenang-wenang,
Karena secara mikro hakim dibatasi oleh Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan prilaku atau kepentingan para
pihak, sedangkan secara makro hakim dibatasi oleh sistem pemerintahan, politik,
ekonomi dan sebagainya.
Sudikno Mertokusumo menambahkan, hakim harus mempertanggungjawabkan putusannya
kepada masyarakat, hakim harus memberi alasan-alasan atau dasar mengapa dia
sampai pada putusan tersebut. Karena hakim harus menegakkan hukum maka
putusan-putusannya tidak boleh bertentangan dengan hukum. Sehingga kebebasan
hakim dalam artian terikat secara hukum.
Dalam kaitannya
kebebasan hakim dengan batas maksimum dan minimum hukuman, Oemar Seno Adji
mengatakan bahwa, hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dapat bergerak
antara batas maksimum maupun minimum hukuman untuk memilih jenis hukuman. Dalam
hal ini hakim bebas untuk mencari hukuman yang dijatuhkan secara tepat walaupun
kebebasan hakim dalam artian terikat oleh undang-undang.
Namun, Artijo Alkostar dalam menaggapi hal ini
berpandangan, penentuan batas minimum khusus dilatar belakangi oleh kekurang percayaan terhadap hakim, karena
lazimnya yang ada adalah batas ketentuan maksimum. Oleh karena itu permasalahan
penegakan hukum seharusnya memperbaiki sistem dan profesionalisme para penegak
hukum, bukan dengan cara memangkas kewenangan hakim karena kekurang percayaan.
Dalam mengambil sebuah keputusan hukum, hakim diharuskan untuk melakukan
penemuan hukum. Penemuan hukum (rechtvinding) adalah, proses pembentukan
hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya, yang diberi tugas
melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwa
hukum yang konkrit.
Lebih lanjut penemuan
hukum dapat dikatakan sebagai proses konkritisasi dan individualisasi
peraturan (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa
konkret (das sein) tertentu.
Menurut Utrecht dalam
Ahmad Rifai berpandangan, apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan yang
belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak berdasar inisiatifnya
sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut dalam hal ini hakim harus berperan
untuk menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan
perundang-undangan tidak dapat membantunya. Tindakan hakim inilah yang
dinamakan dengan penemuan hukum.
Penyebab hakim harus menemukan hukum adalah, karena undang-undang
bersifat statis dan tidak dapat mengikuti dinamika perkembangan kemasyarakatan,
sehingga menimbulkan ruang kosong yang perlu diisi. Tugas mengisi ruang kosong
itulah dibebankan kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum melalui metode
interpretasi atau kontruksi dengan syarat para hakim tidak boleh “memperkosa”
maksud dan jiwa undang-undang atau tidak boleh bersikap sewenang-wenang.
Interpretasi hakim
dalam menemukan hukum dipandang sangatlah perlu, khususnya untuk dapat
mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat. Oleh
karena itu keharusan hakim untuk menemukan hukum merupakan amanat dari
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) tentang Kekuasaan
Kehakiman, dikatakan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Dari bunyi pasal
tersebut dapatlah dicermati bahwa hakim bukanlah sebagai “des etres
inanimees” yang “prononces les paroles de la loi”,
dimana hakim hanya dipandang sebagai terompet undang-undang atau sebagai “bouce
de laloi” saja.
Dalam memeriksa,
mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, hakim
pertama-tama harus meggunakan hukum tertulis terlebih dahulu, yaitu
perundang-undangan, namun jika peraturan perundang-undangan tersebut ternyata
tidak cukup atau tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka
barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum
yang lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum
tertulis.
Dalam arti yang khusus,
penemuan hukum hanya dilakukan oleh hakim saat memeriksa dan memutus suatu
perkara. Meskipun ilmuan hukum melakukan upaya penemuan hukum, hasil penemuan
hukum oleh ilmuan tidaklah dapat disebut hukum melainkan ilmu atau doktrin. Namun
doktrin bisa berubah menjadi hukum apabila diambil alih oleh hakim dalam
putusannya di persidangan. Hal
ini karena doktrin juga merupakan sumber hukum nasional.
VI.
PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM
a. Amar putusan
hakim Pengadilan Negeri Calang, Nomor : 35/Pid.B/2010/CAG
1.
Menyatakan Terdakwa
EPM telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
- Bersekongkol atau bersepakat membeli narkotika Golongan I dan
- Tanpa hak atau melawan hukum memiliki narkotika Golongan I dalam
bentuk tanaman dan
- Penyalahgunaan narkotika Golongan I bagi diri sendiri.
2.
Menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa EPM tersebut diatas dengan pidana penjara 2 (dua) tahun.
3.
Menjatuhkan pidana
denda terhadap terdakwa sebesar Rp. 1.000.000.000.-(satu miliyar rupiah),
dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka diganti
dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
4.
Menetapkan masa
penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
telah dijatuhkan.
5.
Menyatakan barang
bukti berupa:
a) 1 (satu) bungkus ganja kering dibungkus dengan kertas koran
seberat 6 gram
b) 1 (satu) bungkus rokok Marlboro yang berisikan 6 (enam) batang
rokok Marlboro
c) Tembakau rokok yang dibalut dengan kertas koran
d) 2 (dua) bal kertas pembalut rokok (piper) merk 235 Dji sa U Harum
Manis. Dirampas untuk dimusnahkan.
6.
Menghukum Terdakwa
untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah);
b. Dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum
(JPU).
Sebelumnya,
Jaksa penuntut umum mendakwa dengan pasal yang
disusun dalam bentuk kumulatif yaitu: Pasal 114 Ayat (1) jo Pasal 132 ayat (1) Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 111 Ayat (1) Undang-undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Pasal 127 Ayat (1) Undang-undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Sementara
saat penuntutan, terdakwa dituntut agar dijatuhi hukuman penjara selama 5 (lima) tahun, dikurangi selama
terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah terdakwa tetap membayar denda
sebanyak Rp. 1.0000.000,000,-(satu miliar rupiah), apabila pidana denda tidak
dibayar, maka pidana denda diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga)
bulan penjara.
c.
Perimbangan hukum oleh hakim.
1. Unsur Setiap orang
Unsur setiap orang menunjukkan kepada subjek hukum, yaitu orang
atau pelaku yang diajukan ke muka persidangan dikarenakan adanya suatu dakwaan
terhadap dirinya. Dalam dakwaan ini terdakwa menerangkan identitas dirinya
seperti apa yang dimaksudkan penuntut umum di dalam surat dakwaan. Maka
berdasarkan pertimbangan majelis hakim unsur “setiap orang” dalam dakwaan ini
telah terpenuhi menurut hukum.
2. Unsur tanpa hak melawan hukum dan
3. Unsur menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I.
Unsur tanpa hak adalah tidak adanya kekuasaan atau kewenangan yang
dimiliki oleh seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum, sedangkan
melawan hukum disini berarti adalah, adanya suatu sifat yang bertentangan
dengan hukum atau ketentuan perundang-undangan atau perbuatannya tersebut tidak
sesuai dengan hukum yang berlaku sehingga perbuatannya bersifat melawan hukum
yang berlaku.
Kemudian, yang dimaksud perbuatan menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan narkotika Golongan I, dalam pasal ini berbentuk alternatif yaitu
apabila satu unsur perbuatan dipenuhi maka unsur ini dianggap terpenuhi semua.
Pertimbangan majelis hakim, dengan melihat fakta-fakta persidangan berdasarkan
keterangan dari saksi-saksi, pengakuan terdakwa yang diperkuat dengan barang
bukti dan didukung dengan Laporan Pengujian Laboratorium NAPZA Balai Besar
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) Banda Aceh terhadap barang bukti yang
diduga narkotika Golongan I (ganja), dengan jumlah contoh yang diterima seberat
1,6269 gram dengan Laporan Pengujian Nomor : PM. 01.05.811.04.10.475 TANGGAL 05
April 2010 yang ditanda tangani oleh penguji Nurlinda Lubis M. Si. Apt. Nip.
197707022002122001 jabatan penyelia Laboratorium Napza dan Drs. Hasbi, Apt.
Nip. 195912041993021001 jabatan kepala pengujian Teranokoko yang telah
memeriksa barang bukti tersebut. Maka berdasarkan hasil pengujian Laboratorium
sampel barang bukti tersebut disimpulkan
positif ganja (cannabis) dan termasuk dalam Golongan I Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Maka dakwaan bahwa
terdakwa membeli ganja adalah tanpa hak atau melawan hukum, oleh karenanya
unsur ini dalam dakwaan kesatu telah terpenuhi dari perbuatan terdakwa.
4. Unsur bersekongkol, atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan,
membantu, turut serta melakukan, menyuruh,menganjurkan.
Unsur ini berbentuk
alternatif yaitu apabila satu unsur perbuatan terpenuhi maka unsur ini dianggap
telah memenuhi semua, setelah melihat fakta persidangan berdasarkan keterangan
saksi-saksi, dan keterangan terdakwa yang diperkuat dengan adanya barang bukti,
kerjasama terdakwa dengan saksi Rizal dan Sdr. Oka dalam meperoleh narkotika
telah terjadi dengan sangat sempurna dan saling melengkapi, oleh karena itu,
dalam hal ini tidak perlu lagi dipersoalkan siapa yang akhirnya telah
mewujudkan atau menyelesaikan dari tindak pidana tersebut, karena cakupan pasal
132 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sangat luas,
jangankan permufakatan jahat, percobaan untuk melakukan kejahatan tindak pidana
narkotika saja dapat dihukum. Maka unsur bersekongkol, atau bersepakat untuk
melakukan, melaksanakan, membantu, turut melakukan, meyuruh, menganjurkan,
sudah terpenuhi. Maka majelis hakim menganggap unsur ini telah terbukti.
Dakwaan kedua melanggar
Pasal 111 Ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
1. Unsur setiap orang
Unsur setiap orang menunjukkan kepada subjek hukum, yaitu orang
atau pelaku yang diajukan ke muka persidangan dikarenakan adanya suatu dakwaan
terhadap dirinya. Dalam dakwaan ini terdakwa menerangkan identitas dirinya
seperti apa yang dimaksudkan penuntut umum di dalam Surat Dakwaan. Maka
berdasarkan pertimbangan majelis hakim pertimbangan unsur “barang siapa” telah
terpenuhi menurut hukum.
2. Unsur tanpa hak melawan hukum dan
3. Unsur memilki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika
Golongan I dalam bentuk tanaman.
Dalam pembuktian unsur ini,
terdakwa tertangkap tangan memiliki ganja yang dibeli bersama Sdr. Rizal dan
Oka dari Darwis dengan harga Rp. 50.000,-(lima puluh ribu rupiah), dan terdakwa
tidak ada ijin untuk memilki narkotika jenis ganja tersebut. disamping itu
ganja tersebut tanpa ijin dan terdakwa bukanlah orang yang berwenang atau orang
yang mempunyai ijin untuk melakukan memiliki ganja tersebut. Maka majelis hakim
berkesimpulan bahwa unsur tanpa hak atau melawan hukum dan unsur memilki,
menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman
telah terpenuhi.
Dakwaan ketiga melanggar
Pasal 127 Ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
1. Unsur setiap Orang
Unsur setiap orang menunjukkan kepada subjek hukum, yaitu orang
atau pelaku yang diajukan ke muka persidangan dikarenakan adanya suatu dakwaan
terhadap dirinya. Dalam dakwaan ini terdakwa menerangkan identitas dirinya
seperti apa yang dimaksudkan penuntut umum di dalam surat dakwaan. Maka
berdasarkan pertimbangan majelis hakim pertimbangan unsur “barang siapa” telah
terpenuhi menurut hukum.
2. Unsur penyalahgunaan narkotika Golongan I
Unsur Penyalahgunaan secara luas dapat diartikan sebagai setiap
orang perseorangan sebagai subyek hukum, yang terhadap tindak pidana yang
dilakukan dapat dipertanggung jawabkan dan tidak ada alasan pembenar maupun
alasan pemaaf yang dapat melepaskan pertanggung jawaban pidana baginya telah
melakukan penyalahgunaan/menggunakan narkotika bagi diri sendiri.
Berdasarkan keterangan saksi, keterangan terdakwa, maupun barag
bukti yang diajukan dipersidangan yang dikuatkan oleh hasil pemeriksaan
poliklinik Polres Persiapan Aceh Jaya terhadap urin milik terdakwa Nomor:
R/15/II/2010/Urdokkes Tanggal 21 Februari 2010 yang ditandatangani oleh
pemeriksa T. Saifullah, A. Md. brigadir Nrp. 82011120 jabatan KAURDOKKES Polres
Persiapan Aceh Jaya, disaksikan oleh Khairul Anika Brigadir Nrp. 78080849 dan
Azhari Bripda Nrp. 87100938, hasil pemeriksaan terhadap urine milik terdakwa
tersebut disimpulkan positif mengandung unsur ganja (cannabis).
Jadi unsur penyalahgunaan narkotika Golongan I dalam pertimbangan
majelis hakim hal ini telah terbukti.
3. Unsur bagi diri sendiri.
Berdasarkan keterangan para saksi, keterangan terdakwa maupun
barang bukti yang diajukan ke persidangan, jelas terdakwa menggunakan ganja
tersebut adalah untuk dirinya sendiri sehingga dengan demikian majelis hakim
berkesimpulan bahwa unsur penggunaan bagi diri sendiri telah terpenuhi dari
perbuatan terdakwa.
VII.
ANALIS PUTUSAN HAKIM
Dalam putusan hakim
Nomor: 35/pid.B/2010/CAG seperti
disebutkan di atas terdakwa dihukum 2 tahun penjara. Putusan tersebut jauh lebih rendah dari tuntutan JPU mendakwa terdakwa dengan penjara 5
Tahun, atas dakwaan melanggar Pasal 114 Ayat (1) Jo. Pasal 132 ayat (1), Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 127 Ayat (1) Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dalam Pasal 114 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 berbunyi;
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan
hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I dipidana dengan
pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
berbunyi;
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan
hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Dan pasal 127 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 berbunyi:
“Setiap penyalahguna Narkotika Golongan
I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”
Lebih lanjut, penulis merumuskan sebagai
berikut:
Pasal
|
Pidana Penjara Minimum
(paling singkat)
|
Pidana penjara Maksimum
(paling lama)
|
114
|
5 Tahun
|
20 Tahun
|
113
|
4 Tahun
|
12 Tahun
|
127
|
-
|
4 Tahun
|
Keterangan: Data
diolah dari tabel 1 perincian pidana minimum khusus dalam Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009
Undang-undang narkotika
menganut pola pemidanaan minimum khusus, yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya disparitas pemidanaan terhadap delik-delik yang dianggap berbahaya,
selain untuk mengoptimalisasi tujuan pemidanaan juga untuk mengefektifkan
prevensi general.
Namun timbul masalah, tidak adanya aturan khusus yang mengatur terhadap pola
penerapan pidana minimum khusus dalam perundang-undangan khusus, memberi
keleluasaan terhadap hakim dalam memutus perkara dipengadilan dan menjadikan
ancaman pidana minimum menjadi sia-sia. Karena praktiknya hakim dibolehkan
menyimpangi pola pidana minimum khusus (memutus pidana dibawah batas minimum)
dengan alasan keadilan.
Hal itu seperti diungkapkan Artijo
Alkostar, bahwa pembolehan penjatuhan pidana
di bawah
ancaman minimum khusus, didasarkan atas rasa keadilan dengan mempergunakan hati
nurani. Selain itu, hasil Rapat Kerja
Nasional Mahkamah Agung RI dengan jajaran pengadilan tingkat banding dari 4
(empat) peradilan seluruh Indonesia di Palembang Tahun 2009 salah satunya
memutuskan bahwa, hakim dapat menjatuhkan pidana di bawah ancaman minimum asalkan
didukung oleh bukti dan pertimbangan hukum yang sistematis, jelas dan logis
menurut hakim.
Nah, adilkah? Berbicara keadilan adalah berbicara
perspektif, adil menurut hakim belum tentu adil menurut terdakwa dan masyarakat
umum lainnya. E. Fernando Manulang membagi keadilan atas 2 (dua) arus pemikiran, yaitu keadilan yang
metafisik dan keadilan rasional. Keadilan metafisik menurut Manulang, muncul
dari insprirasi dan intuisi yang mempercayai eksistensi keadilan sebagai sebuah
kualitas atau suatu fungsi diatas dan diluar makhluk hidup, dan karena itu
keadilan metafisik tidak dapat dipahami menurut kesadaran manusia yang berakal.
Sedangkan keadilan rasional pada dasarnya mencoba menjawab perihal keadilan
dengan cara menjelaskan secara ilmiah, atau setidak-tidaknya kuasai ilmiah, dan
itu semua harus didasarkan pada alasan-alasan yang rasional,
sedangkan menurut Friedrich, keadilan hanya dapat dipahami jika ia diposisikan
sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum.
Sebagai negara konstitusi yang mendasari setiap
perbuatan warga negaranya pada perundang-undangan. Pengkriminalisasian hanya
dapat diukur oleh undang-undang semata, begitu juga kaitannya dengan pola
pidana minimum yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
khususnya pasal 114 dan 113 dalam perkara Nomor 35/PID.B/2010/CAG., walau
perundang-undangan bersifat statis dan tidak dapat mengikuti perkembangan
dinamika masayarakat sehingga keadilan cendrung terbaikan. Namun pembolehan
terhadap penyimpangan perundang-undangan tidak dapat disepelekan, karena selain
ketidak seragaman hakim dalam memutus
putusan di pengadilan, juga berdampak pada runtuhnya wibawa hukum di mata
masyarakat dan membuat terpidana tidak menghormati hukum, karena tidak adanya
kepastian dalam pemidanaan. Namun,
hakim memiliki kewenangan untuk mendobrak asas minimum khusus, atas
pertimbangan keadilan.
VIII.
PENUTUP
Berdasarkan uraian di
atas,
dan sebagaimana dijelaslaskan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa, pemberlakuan sistim pidana
minimum khusus tidaklah bersifat mengikat karena undang-undang
bersifat statis (rigit) sedangkan hakim bukan corong undang-undang melainkan
corong keadilan. Maka penyimpangan semata-mata untuk mencari nilai-nilai
keadilan hukum oleh hakim dalam
memutus perkara di pengadilan, begitupun ancaman tersebut hanya bersifat
regulasi formalitas sebagai pengancam agar tindak pidana yang tergolong berat
tersebut tidak dilakukan.
Namun, demikian hakim tentu tidak boleh serampangan menobrak asas pidana
minimum, karena selain melahirkan disparitas pemidanaan juga kan mengakibatkan
lunturnya kepercayaan terhadap keadilan hukum dan kepastian hukum. Selanjutnya,
perlu kiranya dilakukan reformulasi kembali asas penentuan pidana minimun, baik
terhadap Undang-undang yang memasukkan asas pidana minimum maupun dealam
kewenangan hakim dalam memutuskan suatu perkara hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Muladi
dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
1998)
Tujuan
preventif dalam dalam pemidanaan
adalah untuk melindungi masayarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan
terpisah dari masyarakat. Dalam kepustakaan pemidanaan, hal ini disebut incapation.
Tujuan menakuti atau detterence dalam pemidanaan adalah untuk
menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan., tujuan ini dibedakan dalam tiga
bagian, yaitu tujuan yang bersifat individual dimaksudkan agar pelaku menjadi
jera untuk kembali melakukan kejahatan. Sedangkan tujuan detterence yang
bersifat publik, agar anggota masyarakat lain merasa takut untuk melakukan
kejahatan. Tujuan detterence yang bersifat jangka panjang long term
detterence adalah agar dapat memelihara keajegan sikap masyarakat terhadap
pidana. Teori ini sering disebut Educative theory atau denunciation
theory.Lihat, Solehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar
Double Track System & Implementasinya, hlm. 41.
Muladi
dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, hlm. 52-53.
Supriadi,
Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), hlm. 114.
Diputuskan
di Pengadilan Negeri Calang dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada hari
Senin tanggal 28 Juni 2010 oleh Karnaini, SH., MH. Selaku Ketua Majelis Hakim,
Faisal Mahdi, SH. dan Hendri Agustian, SH.,MH., masing-masing sebagai hakim
anggota, putusan mana diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada
hari kamis tanggal 1 Juli 2010, oleh Hakim Ketua dengan didampingi oleh Hakim
Anggota tersebut diatas, dengan di bantu oleh Ilyas, SH, panitera pengganti
pada pengadilan Negeri Calang, dan di hadiri oleh Muhammad Chadafi Nasution,
SH. Jaksa Penuntut Umum pada kejaksaan Negeri Calang dan dihadapan terdakwa dan
penasehat hukumnya.
Sebagaimana
terdapat dalam putusanPengadilan
Negeri CalangNomor 35/PID.B/2010/CAG. yang diputus didalam permusyawaratan
Majelis Hakim pada hari Senin tanggal 28 Juni 2010 oleh Karnaini, SH., MH.
Selaku Ketua Majelis Hakim, Faisal Mahdi, SH. dan Hendri Agustian, SH., MH.,
masing-masing sebagai hakim anggota, putusan mana diucapkan dalam persidangan
yang terbuka untuk umum pada hari kamis tanggal 1 Juli 2010, oleh Hakim Ketua
dengan didampingi oleh Hakim Anggota tersebut diatas, dengan di bantu oleh
Ilyas, SH, panitera pengganti pada pengadilan Negeri Calang, dan di hadiri oleh
Muhammad Chadafi Nasution, SH. Jaksa Penuntut Umum pada kejaksaan Negeri Calang
dan dihadapan terdakwa dan penasehat hukumnya. hlm. 35
E.
Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum yang Berkeadilan, Tinjauan Hukum
Kodrat dan Antinomi Nilai (Jakarta: Kompas, 2007), hlm. 96-97