Saturday, June 11, 2016

Apa Kabar Alumni Beasiswa Pemerintah Aceh?


Apa Kabar Alumni Beasiswa Pemerintah Aceh?
Dimulai sejak tahun 2008 silam, Pemerintah Aceh menyalurkan dana beasiswa untuk putra-putri terbaik Aceh. Dana dalam jumlah ratusan miliar ini, dikelola Lembaga Pemberdayaan Sumber Daya Masyarakat (LPSDM) yang sebelumnya bernama Komisi Beasiswa Aceh (KBA).
Bagi mereka yang “cerdas” dan bernasib baik, tentu saja setelah melalui serangkaian proses seleksi, dapat mengenyam pendidikan strata dua (S2) dan strata tiga (S3) di sejumlah perguruan tinggi (universitas) terbaik di Indonesia serta luar negeri.
Program dan tujuan Pemerintah Aceh ini pantas diapresiasi dan dukungan. Sebab, dapat memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM) Aceh yang memang sempat anjlok selama 32 tahun akibat konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia.
Begitupun, alih-alih alih menuai hasil memuaskan, sederet persoalan kerap menjadi penyebab gagalnya Pemerintah Aceh mendapatkan hasil seperti yang diharapkan. Kenyataan itu dipersahih dengan banyaknya alumni beasiswa lulusan dalam dan luar negeri yang belum mendapatkan pekerjaan tetap sebagai pegawai negeri swasta (PNS), akademisi atau memilih jalur mandiri dengan wirausaha.
Akibatnya, tak sedikit dari mereka menjadi pengangguran atau memilih untuk mengabdi di negeri orang dengan alasan beragam. Dari kalah bersaing hingga tak tersedianya lapangan pekerjaan di Aceh. Padahal, sebelum menerima beasiswa dan berangkat untuk melanjutkan pendidikan, mereka telah terikat kontrak untuk mengabdi di Aceh. “Ini sangat disayangkan, Aceh yang berkorban dan mengeluarkan ratusan miliar dana, tapi daerah dan negara lain yang memetik hasil,” ungkap Febriansyah, salah seorang penerima beasiswa LPSDM Aceh tahun 2011, Kamis pekan lalu.
Menurut Febriansyah, seharusnya Pemerintah Aceh memikirkan solusi terbaik agar para penerima beasiswa tadi dapat mengabdikan dirinya di negeri Serambi Mekah ini. Misal, membuat kerja sama dengan perguruan tinggi negeri dan swasta di Aceh, untuk menerima mereka sebagai dosen. Selain itu, dipekerjakan sebagai tenaga kontrak pada dinas dan perusahaan swasta lainnya. Termasuk memikirkan modal awal, jika di antara mereka yang ingin menjadi wirausaha muda.
***
Kepala LPSDM Aceh, Prof. Dr. Said Muhammad, justru berpendapat lain. Tugas Pemerintah Aceh dan pihaknya sudah selesai, tatkala pada generasi muda Aceh tadi dibiayai untuk melanjutkan pendidikan. Soal pekerjaan, tentu mereka sendirilah yang mencarinya. Tak masalah pula jika mereka bekerja atau mengabdikan di daerah lain maupun luar negeri. “Kami tidak bertugas untuk mencari pekerjaan bagi mereka,” tegas Kepala LPSDM Aceh, Prof. Said Muhammad, Rabu pekan lalu.
Nah, pengakuan Said Muhammad semakin mensahihkan bahwa alasan sempitnya lapangan pekerjaan di Aceh dan rumitnya mengurus berbagai persoalan merupakan jalan alternatif bagi penerima beasiswa Aceh untuk memilih bekerja di negeri orang.
Sejauh ini, ada beberapa negara yang menjadi sasaran mereka. Misal, Singapura, Malaysia, Taiwan, Thailand serta beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat. Sementara di luar Aceh, mereka ada yang bekerja di Batam, Jakarta, Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan bahkan Papua. Dalam konteks ini, tujuan awal Pemerintah Aceh agar para penerima beasiswa tadi dapat mengabdikan diri dan ilmunya bagi kemajuan pembangunan Aceh, menjadi tak sejalan.
Itu sebabnya, Pemerintah Aceh perlu mempertimbangkan pemanfaatan potensi para alumni penerima beasiswa pendidikan luar negeri ini agar tidak terbuang sia-sia atau malah dimanfaatkan daerah maupun negara lain. Sebab, sejak program ini diterapkan, tak kurang dari satu triliun dana yang telah disalurkan Pemerintah Aceh.
Pertanyaannya adalah, patutkah program ini dilanjutkan dan diteruskan di tengah minusnya industri dan dunia kerja di Aceh? Haruskah daerah atau negara lain yang menerima asas manfaat dari produk beasiswa Pemerintah Aceh? Ini menjadi penting. Sebab, jika ratusan miliar dana tadi justru dialokasi untuk pembangunan gedung sekolah di pedesaan dan rumah kaum dhuafa di Aceh, tentu dapat mempercepat pengentasan kemiskinan di Aceh. Belum lagi, menepis dan menjawab berbagai dugaan adanya praktik kongkalikong dalam meluluskan calon penerima beasiswa luar negeri, sehingga menjadi cerita miris di tengah masyarakat Aceh saat ini.
Nah, bagaimana potret kebijakan program beasiswa Pemerintah Aceh melalui LPSDM Aceh? Wartawan MODUS ACEH Irwan Saputra, menulisnya untuk laporan utama pekan ini.***





Dana Habis Manfaat

Dipertanyakan

Penghujung 2010 lalu, bertempat di ruang kerja Gubernur Aceh, Jamaika, staf LPSDM Aceh mengkritik kebijakan Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh saat itu. Menurutnya, ratusan miliar uang yang digelontorkan Pemerintah Aceh untuk program beasiswa putra-putri Aceh ke dalam dan luar negeri, tidak sebanding dengan outcome (hasil) yang diterima. Buktinya, banyak putra Aceh setelah lulus kuliah tadi dan bergelar master serta doktor, namun ogah untuk kembali ke Aceh, dan lebih memilih untuk bekerja di luar daerah dan luar negeri.
Saat itu, Irwandi Yusuf justru menjawab dengan bertamsil. Dia memakai metode orang Yahudi dalam membangun generasi. Irwandi ingin putra-putri Aceh memiliki skill atau keahlian dengan latar belakang pendidikan S2 dan S3. Dia pun mempermasalahkan, apakah para alumni penerima beasiswa tadi mau pulang dan bekerja di Aceh atau justru menetap dan bekerja di luar negeri. Sebab, kata Jamaika mengutip pendapat Irwandi, ada kebanggaan jika anak Aceh bisa bekerja di tempat lain atau luar negeri.
Menurut Irwandi, kata Jamaika, selaku penggagas program LPSDM, tujuan dari lembaga itu didirikan adalah untuk menyekolahkan putra-putri terbaik Aceh ke luar maupun dalam negeri. Kalaupun tak bekerja di Aceh karena keterbatasan lapangan pekerjaan, mereka dapat dibanggakan tatkala bekerja di luar Aceh dan luar negeri dengan keahlian di atas rata-rata.
Gagasan strategis itu muncul pasca gempa dan tsunami Aceh, 26 Desember 2004 silam dan konflik bersenjata antara GAM-RI yang berakhir dengan kesepakatan damai, 15 Agustus 2015. Ketika itu (2007), Irwandi Yusuf terpilih sebagai Gubernur Aceh dan dana otonomi khusus (otsus) mengalir deras dari Jakarta ke Aceh.
Selain untuk peningkatan berbagai perbaikan infrastruktur yang rusak, Irwandi menyisakan dana tadi untuk program beasiswa S2 dan S3 dalam dan luar negeri. Caranya, pada tahun 2008, membentuk Lembaga Komisi Beasiswa Aceh yang kemudian berganti nama menjadi LPSDM Aceh.
Program ini mematok target, memperbaiki kualitas pendidikan generasi Aceh dengan menyekolahkan putra-putri terbaik Aceh ke dalam dan luar negeri pada sejumlah perguruan tinggi ternama di Indonesia, Asia, Australia, Eropa, Amerika Serikat serta Timur Tengah.
Pemerintah Aceh saat itu berprinsip, dengan kualitas pendidikan yang bagus, maka akan melahirkan generasi cerdas untuk menunjang kualitas SDM serta pembangunan di Bumi Serambi Mekkah. Dan sejak program ini dilaksanakan tahun 2008 hingga tahun ini, alumni penerima beasiswa LPSDM Pemerintah Aceh sudah mencapai 2.891 orang yang tersebar di berbagai negara seperti Thailand,Taiwan, Malaysia, Jerman, Inggris, Spanyol, Sudan, Tunisia, Jepang dan beberapa negara lainnya yang memiliki kontrak kerja sama Pemerintah Aceh dengan kampus-kampus di negara tersebut.
Sejalan dengan itu, Pemerintah Aceh menggelontorkan dana antara Rp 82 miliar hingga Rp 150 miliar per tahun dengan jumlah mahasiswa antara 12 hingga 123 orang per tahun. Begitupun, program pencerdasan anak Aceh itu, belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di daerah ini, sehingga banyak yang mempertanyakan tindak lanjut dari program unggulan tersebut.
Syardani M. Syarif atau yang akrab disapa Jamaika salah satunya. Staf LPSDM Aceh itu meminta agar Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah atau akrab disapa Abu Doto untuk mengevaluasi kembali program beasiswa ini sebelum anggaran habis terkuras, sementara manfaat dari program ini, diakuinya belum dirasakan masyarakat Aceh.
Jamaika mengaku, meski ia masih tercatat sebagai staf LPSDM Aceh, namun ia merasa memiliki berkewajiban untuk mengawasi setiap anggaran yang dikeluarkan Pemerintah Aceh, termasuk menyekolahkan putra-putri Aceh ke luar negeri dengan uang tersebut.
Menurut Jamaika, dia bukan tidak sepakat dengan program tadi dan program yang gagas Irwandi Yusuf ini patut diberi acuan jempol. Namun, harus diperhatikan juga manfaat apa yang didapatkan masyarakat Aceh dari para sarjana S2 dan S3 lulusan dalam dan luar negeri tadi. “Saya bukannya tidak setuju, tapi harus harus dievaluasi, saya cuma ingin tahu. Orang-orang yang sudah kuliah di luar negeri di mana mereka saat ini dan apa konstribusi mereka untuk kemajuan pembangunan Aceh,” kata Jamaika, Rabu pekan lalu.
Kata Jamaika, hingga saat ini, ada sekitar lima ribu orang yang telah disekolahkan Pemerintah Aceh ke luar negeri. Mereka berhasil menyandang gelar master dan doktor, sehingga memiliki kecerdasan dan kemampuan tinggi. “Namun, saya belum melihat manfaat dari mereka untuk masyarakat,” kritik Jamaika.
Karena, tujuan Pemerintah Aceh menyekolahkan mereka ke luar negeri untuk dapat membantu mengentaskan kemiskinan dan pengangguran di Aceh.  Namun, sampai saat ini belum ada manfaatnya. “Apakah mereka hanya cukup dengan ijazah, setelah itu selesai begitu saja? Ini yang perlu dipertanyakan dan di mana tanggung jawab moral mereka,” sebut Jamaika.
Dia memberi contoh, seorang yang disekolahkan ke Amerika Serikat, Pemerintah Aceh menggelontorkan anggaran dari Rp 500 juta sampai mencapai satu miliar. Lalu, setelah lulus apa dampak positif untuk daerah dan masyarakat Aceh? “Coba bandingkan dengan membuat satu sekolah dasar di pelosok daerah tertinggal dengan anggaran sebesar itu, mungkin bisa membuat beberapa sekolah dan langsung bisa dinikmati masyarakat Aceh. Bayangkan jika sepuluh orang tidak disekolahkan ke luar negeri tapi anggarannya untuk menyekolahkan anak-anak di pelosok Aceh yang kurang mampu. Tapi, yang seperti ini absen dari perhatian Pemerintah Aceh,kritik Jamaika.
Itu sebabnya, berkali-kali ia menekankan bukan tidak setuju dengan program beasiswa tersebut, tapi ia hanya menagih manfaat yang diperoleh masyarakat Aceh setelah mereka disekolahkan dengan gelontoran dana ratusan miliar rupiah ke luar negeri.
Memang, permasalahan Aceh adalah pengangguran dan kemiskinan. Karena itu, program beasiswa ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mencegah pengangguran dan kemiskinan di Aceh. Tapi, apakah tujuan itu sudah tercapai. Okelah bagi yang telah menjadi dosen membuat anak-anak Aceh pintar, tapi tidak semua menjadi dosen dan itu harus ada ukurannya,” kata Jamaika.
Dia memberi contoh, saat ini, bahan sembako mahal karena diimpor dari luar daerah dan luar negeri seperti gula. Seharusnya, ada putra-putri Aceh yang telah disekolahkan ke luar Aceh dengan disiplin ilmu ekonomi, pertanian, teknik dan sebagainya bisa mencegah harga sembako yang melambung tinggi menjadi lebih murah. Tentu tidak mesti lagi mengimpor sebab Aceh punya lahan, kampus pertanian, kampus peternakan dan banyak penelitian dilakukan Universitas Syiah Kuala. Tapi, semua itu tak terjadi dan didapat masyarakat Aceh. “Ini yang seharusnya menjadi tugas mereka, karena mereka punya ilmu dan wawasan luas dari luar negeri,” tegas Jamaika.***

Utama-04


Di Negeri Orang Mengadu Nasib

Sebelum dinyatakan lulus sebagai penerima beasiswa LPSDM. Pemerintah Aceh mensyaratkan mereka harus pulang dan mengabdi di Aceh. Faktanya, karena alasan sempitnya lapangan pekerjaan dan tak ada modal usaha, banyak dari mereka mengadu nasib di negeri orang.
                       
            Setiap pembukaan seleksi calon mahasiswa penerima beasiswa LPSDM Pemerintah Aceh, berduyun para sarjana mendaftar. Harapannya hanya satu, mendapatkan kesempatan kuliah gratis untuk tingkat master (S2) dan doktor (S3) di dalam dan luar negeri dengan biaya dari Pemerintah Aceh.
            Tapi, sebelum mendaftar, para calon penerima beasiswa harus melengkapi persyaratan yang disyaratkan panitia rekrutmen LPSDM Aceh. Terpenting di antaranya adalah skor tes bahasa Inggris sebagai syarat masuk perguruan tinggi yang disebut dengan Test of English as A Foreign Language (TOEFL), harus mencapai 550. Itu adalah persyaratan utama. Namun, jika si calon mahasiswa hanya memiliki skor 500, LPSDM masih mengakomodir dengan mewajibkan si calon penerima beasiswa untuk mengikuti pendidikan tambahan selama tiga bulan di LPSDM Aceh.
            Setelah mereka dinyatakan lulus dari seleksi sebagai calon penerima beasiswa Pemerintah Aceh, para calon mahasiswa akan disodorkan daftar kampus yang telah mengikat kerja sama, untuk mendaftarkan diri pada kampus yang diinginkan.
Nah, setelah si calon mahasiswa mendapatkan LoA (letter of acceptance) atau surat penerimaan dari kampus yang dituju, maka baru kemudian Pemerintah Aceh melalui LPSDM mengeluarkan surat bahwa si mahasiswa tersebut dibiayai Pemerintah Aceh. Maka, berangkatlah si mahasiswa ke luar negeri.
Untuk menunjang kegiatan perkuliahan di negeri orang tadi, setiap mahasiswa mendapat bantuan beasiswa beragam, tergantung dari negara tujuan. Mulai dari Rp 500 juta per tahun hingga satu miliar rupiah. Tapi, yang mereka terima hanya uang saku, biaya makan serta biaya lainnya. Sementara uang kuliah, langsung ditransfer Pemerintah Aceh pada perguruan tinggi atau negara yang ditempati.
Begitupun siapa sangka, lulus dari strata (S2 dan S3) jebolan perguruan tinggi terkemuka di luar negeri, ternyata belum menjamin bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai di Aceh. Terutama untuk jurusan eksakta seperti teknik nuklir. Maklum, selain menjadi dosen, di Aceh tidak ada perusahaan atau industri sejenis yang mampu menampung lulusan tadi.
Selain itu, proses penerimaan tenaga kontrak di jajaran Pemerintah Aceh maupun instansi swasta lainnya, masih belum lepas dari praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Akibatnya, banyak dari mereka yang tidak memiliki koneksi dan relasi di tubuh Pemerintah Aceh, terpaksa menjadi pengangguran, walaupun disiplin ilmu yang mereka miliki di atas rata-rata para sarjana S1 atau bahkan S2 lulusan dalam negeri.
Nah, salah satu cara untuk bisa keluar dari situasi yang tidak sehat itu adalah mereka bekerja atau menetap di luar Aceh atau luar negeri. Banyak dari para mahasiswa S2 dan S3 luar negeri tadi, telah mempersiapkan diri untuk langkah solutif tadi, saat mereka masih menjalani pendidikan di luar negeri. “Ya, sambil kuliah juga membaca peluang pekerjaan. Jika cocok, maka mereka lebih memilih untuk bekerja dan menetap di negara yang menerima mereka bekerja,” kata Febriansyah, salah seorang penerima beasiswa LPSDM Aceh tahun 2011, Kamis pekan lalu.
            Begitupun, Febriansyah lebih memilih untuk bekerja sebagai konsultan di Aceh. Bersama rekannya sesama alumni Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Febri, begitu dia akrab disapa, mendirikan perusahaan tadi.
            Kepada MODUS ACEH, Febri mengaku, para alumni penerima beasiswa LPSDM susah mendapatkan pekerjaan di Aceh, terutama yang berlatar belakang pendidikan sosial. Berbeda dengan dirinya yang memiliki skil dasar teknik dan mendapatkan gelar master dari Taiwan, untuk bekerja tak harus menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Seperti saya arsitek, tidak mesti menunggu adanya lapangan kerja. Itu mungkin enaknya di teknik,ujar Febri saat ditemui media ini, Rabu pekan lalu.
Menurut Febri, banyak lulusan master luar negeri lebih cenderung untuk menjadi pengajar atau tenaga ahli di kantor pemerintah atau perusahaan swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jika tidak ada, otomatis sebagian alumni penerima LPSDM akan mencari kerja di luar daerah atau luar negeri.
Itu sebabnya, Febri memberi masukan pada Pemerintah Aceh agar LPSDM tidak hanya melepas begitu saja para mahasiswa lulusan luar negeri tadi. Sebaliknya, disalurkan pada perguruan tinggi negeri dan swasta yang ada di Aceh, sesuai disiplin ilmu yang mereka miliki. “Sayang kan, ada lulusan S3 luar negeri tapi menjadi dosen di luar Aceh. Kita yang biayai tapi daerah lain yang menikmati. Tapi, jangan salahkan mereka, sebab di Aceh tak ada yang menampung,” ucap Febri.
Kata Febri, selama ini, faktor tersebut kurang diperhatikan Pemerintah Aceh. Harusnya, ada kerja sama dan tidak terputus antara alumni penerima beasiswa dengan LPSDM Aceh, sehingga ilmu yang mereka dapatkan tidak sia-sia. “Tapi, bukan membuat para alumni beasiswa luar negeri menjadi manja. Sebab, setelah diberi beasiswa  harus diberi pekerjaan pula. Tapi, dari sisi penguasaan bahasa asing misalnya, mereka dapat lebih baik dan bisa membantu Pemerintah Aceh dan perusahaan swasta lainnya di Aceh,” saran Febri.
Jika tidak, ilmu yang mereka dapatkan akan dimanfaatkan oleh pihak luar daerah. “Angkatan sebelum saya, ada juga yang di luar Aceh. Karena di sini tidak ada yang sesuai dengan kapasitas ilmu mereka. Akhirnya yang petik hasil perusahaan dan kampus-kampus di luar Aceh. Sayang kan,tambah Febri.
Pengakuan serupa juga disampaikan Dr. Ramzi Adriman, dosen Fakultas Teknik Elektro Unsyiah. Ramzi merupakan alumni Taiwan, tapi bukan penerima beasiswa dari LPSDM Aceh. Saat kuliah S2 dan S3 di Taiwan, Ramzi mengaku sering bertemu dengan para mahasiswa penerima beasiswa Aceh. “Ya, mereka curhat pada saya dan mengaku bingung setelah lulus mau bekerja apa di Aceh. Lapangan pekerjaan terbatas, mau bekerja di luar daerah atau luar negeri, takut dikatakan tak bisa mengabdi untuk Aceh dan berterimakasih,” begitu kata Ramzi, mengutip keluhan para mahasiswa tadi.
Namun, Ramzi mengajak mereka untuk berpikir realistis. Jika memang begitu kondisinya, tak salah jika mencari kehidupan di luar Aceh atau luar negeri. Ini sesuai dengan bidang ilmu dan keahlian mereka. Saya bilang, jika tidak punya lapangan kerja dan tidak punya modal untuk usaha, tak salah jika mereka mencari masa depan di luar Aceh. Saya temukan, jumlah mereka ada ratusan. Saya kira data lengkapnya ada di Pemerintah Aceh,ungkap Ramzi, saat ditemui, Kamis pekan lalu.
            Amatan Ramzi, rata-rata dari kawan-kawannya yang belum mendapatkan pekerjaan tadi berasal dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda, baik sosial maupun ilmu agama. Alasan mereka bekerja di luar Aceh karena tak ada lapangan pekerjaan. Sementara untuk memulai usaha tidak ada modal.
Menurut Ramzi, tak masalah jika kebanyakan dari mereka berangkat kuliah S2 dan S3 sudah punya pekerjaan seperti PNS atau usaha sendiri. Namun, bagi yang masih muda dan belum memiliki status pekerjaan saat pulang dari luar negeri, ini yang jadi masalah. “Faktanya di Aceh memang lapangan pekerjaan sangat terbatas karena minus industri, baik formasi PNS maupun untuk menjadi dosen perguruan tinggi swasta atau negeri,” kata Dr. Ramzi. ***



  
Kepala LPSDM Aceh, Prof. Said Muhammad
Itu di Luar Kontrol Kami!

Banyak alumni penerima beasiswa Pemerintah Aceh yang memilih bekerja dan menetap di luar Aceh. Alasan mereka, karena di Aceh tak ada peluang pekerjaan. Sebaliknya, tak sedikit dari mereka yang kembali ke Aceh menjadi pengangguran walau menyandang gelar S2 dan S3 lulusan luar negeri.
Kondisi ini, ternyata tak membuat Pemerintah Aceh dan LPSDM Aceh pusing tujuh keliling.  Alasannya, soal pekerjaan bukan tanggung jawab pemerintah daerah dan lembaga ini. Kepala LPSDM Pemerintah Aceh, Profesor Dr. Said Muhammad, menyebut, itu di luar kontrol pihaknya. Berikut penuturan Prof Said Muhammad pada Irwan Saputra dari MODUS ACEH, Rabu pekan lalu di Banda Aceh.

Sejak kapan program beasiswa LPSDM ini dimulai?
Beasiswa LPSDM ini sudah berjalan sejak tahun 2008 hingga saat ini.
Bagaimana mekanisme perekrutan calon penerima beasiswa?
Calon penerima beasiswa direkrut dari umum, memenuhi syarat administrasi, tes potensi akademik (TPA) dan wawancara. TPA dilaksanakan Unsyiah, sementara wawancara dilakukan para dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, yang sesuai bidang studi masing-masing.
Berapa anggaran per tahunnya yang digelontorkan Pemerintah Aceh?
Total anggarannya per tahun berbeda-beda tergandung berapa yang dialokasikan oleh pemerintah. Kalau masa saya, ada Rp 60 miliar per tahun. Kami tidak tahu pastinya berapa dianggarkan, karena dana ada tapi belum tentu bisa diplotkan begitu saja. Sebab, saat kami plot, ada calon penerima yang dapat, ada juga yang tidak. Untuk tahun 2015 dan 2016, masing-masing Rp 65 miliar atau 70 persen dari jumlah tersebut untuk mahasiswa lanjutan dan hanya 30 persen untuk mahasiswa baru.
Kenapa bisa demikian?
Untuk tahun ini dana ada, tapi tidak cukup karena calon penerima banyak. Karena tidak bisa pas betul. Kami plot sekian, ternyata yang dapat LoA (diterima di kampus luar negeri) lebih banyak dari dana yang tersedia. Itu yang terjadi tahun ini. Pada tahun sebelumnya, dana banyak, sementara mahasiswa tidak mendapatkan universitas.
Kenapa belum mendapat universitas bukankah sudah lulus sebagai penerima beasiswa LPSDM?
Karena, setelah ia melengkapi syarat, tergantung juga pada kesanggupan mahasiswa itu sendiri dalam melengkapi syarat yang diminta oleh universitas yang dia inginkan. Kadang-kadang tahun ini nggak dapat, tahun depan dia dapat. Artinya, saat plot anggaran tidak ada lagi, tapi saat itu dia mendapatkan kampus. Ini masalahnya.
Di negara mana saja ditempatkan para penerima beasiswa?
Ada 21 negara, di antaranya Thailand, Taiwan, Malaysia, Jerman, Inggris, Spanyol, Sudan, Tunisia, Jepang, serta Amerika Serikat. Sementara kampusnya Elite Study In Taiwan (ESIT), Taiwan, Georgetown University, Qatar, universitas di Australia, universitas di USA, universitas di Inggris, East-west Center di USA serta Hartford Seminary, DAAD Jerman dan kampus-kampus lainnya.
Sekarang berapa banyak mereka masih di luar negeri?
Ada sekitar 890 orang, di antaranya di Inggris. Jerman yang banyak karena vision fee-nya gratis, biaya hidup saja yang kita tanggung. Di Spanyol, ada satu orang, di Amerika ada delapan orang, di Australia juga ada, kemudian di Malaysia yang banyak dan di Mesir.
Disiplin ilmu apa saja yang ditampung di LPSDM?
Banyak yang kita tampung, seperti perminyakan, engineering, ekonomi, kelautan, dan bidang-bidang lain. Begitu juga dokter spesialis itu penting.
Berapa yang sudah lulus dan di mana saja mereka bekerja saat ini?
Yang sudah lulus ada sekitar 425 orang, kebanyakan mereka bekerja di perguruan tinggi, seperti Universitas Malikussaleh, Universitas Teuku Umar, Unsyiah, UIN (Ar-Raniry) dan sebahagian besar adalah guru bahasa Inggris dan sebagiannya ada juga yang swasta tapi tidak banyak.
Kabarnya tidak semua dari alumni luar negeri yang kembali ke Aceh?
Tidak, semuanya mereka pulang. Setahu saya mereka pulang semua, karena kontrak kita ikat agar mereka bekerja di Aceh. Selama ada pekerjaan di Aceh, kalau tidak ada di Aceh dia cari tempat kerja lain dulu, tapi saat dibutuhkan di Aceh, mereka akan pulang kembali ke Aceh. Ada beberapa orang yang tidak ada formasi dia di sini, ya terpaksa bekerja di luar. Karena, syarat utama kita adalah membuat kontrak agar mereka mengabdi di Aceh.
Apakah LPSDM juga bertugas mencari pekerjaan untuk para alumni?
LPSDM tidak bertugas untuk mencari pekerjaan untuk alumni. Kami hanya memastikan bahwa yang mendapat beasiswa selesai kuliahnya.
Jika ada yang masih di luar negeri?
Jika ada mahasiswa yang tidak ada kerja, sehingga bertahan di negeri orang, ataupun ada lahan kerja di Aceh tapi tidak pulang, itu di luar kontrol saya. Kami tidak mungkin kontrol sampai ke sana.
Latar belakang penerima beasiswa itu bagaimana?
Ada dua syarat, kalau kita kirim keluar negeri, otomatois TOEFL (Test of English as A Foreign Language) jadi syarat utama. Nah, kalau kita pakai itu syaratnya, maka kita akan tahu siapa yang akan dapat TOEFL baik. Itu adalah anak-anak kelas menengah ke atas, tidak ke bawah dia. Karena kalau kita ikuti keluarga dia, kita akan mengetahui juga orangtuanya siapa. Jadi, keluarga terdidik sudah pasti pendapatan orang tuanya menengah ke atas. Kalau untuk luar negeri, harus kita lihat TOEFL. Dan ini biasanya yang terpilih anak dari orangtua yang penghasilannya menengah ke atas, tidak ke bawah dia. Walaupun satu dua orang juga ada. Tapi, yang jelas bias.
Karena itu, kita buat juga beasiswa lain yang disebut beasiswa fakir miskin. Itu khusus untuk orang miskin per 10 orang setiap kabupaten/kota. Itu hanya untuk D3 (diploma 3) saja dalam negeri. Tujuan kita untuk memotong rantai kemiskinan, agar keluarganya tidak mewariskan kemiskinan. Saya yakin kalau ada satu anak yang bisa mendapatkan pekerjaan, dia akan bisa menolong adiknya dan memotivasi. Dalam jangka panjang, itu adalah salah satu strategi untuk memotong angka kemiskinan, dan itu jadi target andalan kita ke depan.
Anggaran masing-masing negara yang diplotkan?
Sampai saat ini plot anggaran ada sekitar Rp 670 miliar lebih, belum sampai satu triliun. Kalau masing-masing negara tergantung mahasiswanya berapa banyak, dan ini selalu berubah-ubah.
Target yang ingin dicapai?
Tersedianya sumber daya manusia Aceh yang lebih baik ke depan di semua lini pembangunan, meningkatkan daya saing secara nasional, regional dan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean).
Apakah selama ini program beasiswa itu efektif?
Ya, kalau kita perhatikan tantangan banyak. Belum tentu semua orang yang kita kirim seperti yang kita inginkan. Tapi, kita buat rambu-rambu seperti beberapa orang yang tidak kembali. Tapi, itu cuma satu-dua orang yang tidak kembali, atau sudah kembali kemudian balik lagi. Dia pulang, cari kerjaan tapi tidak ada, balik lagi dan cari kerjaan di tempat lain. Kedua, barangkali saya lihat untuk perguruan tinggi sudah bagus dengan kita sekolahkan doktor atau sebagainya. Unsyiah dapat akreditasi A barangkali juga karena doktornya sudah banyak. Ada puluhan orang.
Kita juga tahu dampak dari semua ini tidak dalam setahun atau dua tahun, tapi berdampak dalam jangka panjang. Jadi, untuk melihat ini perlu waktu dan butuh perencanaan. Karena kalau kita lihat pembangunan Aceh saat ini, apa yang dibutuhkan dan kita bisa bantu dari belakang, memperkuat itu. Ada strategi dan target yang ingin dicapai. Sama halnya dengan Malaysia, mereka ingin meningkatkan industri pariwisata dan kesehatan lalu mendidik generasinya. Sekarang baru dapat diwujudkan dan memetik hasil. Kita harapkan juga begitu.***






No comments:

Post a Comment