Apa Kabar Alumni Beasiswa Pemerintah Aceh?
Dimulai sejak tahun 2008 silam, Pemerintah Aceh menyalurkan dana beasiswa untuk putra-putri terbaik Aceh. Dana dalam jumlah ratusan miliar ini, dikelola Lembaga Pemberdayaan Sumber Daya Masyarakat (LPSDM) yang sebelumnya bernama Komisi Beasiswa Aceh (KBA).
Bagi mereka yang “cerdas” dan bernasib baik, tentu saja setelah melalui serangkaian proses seleksi, dapat mengenyam pendidikan strata dua (S2) dan strata tiga (S3) di sejumlah perguruan tinggi (universitas) terbaik di Indonesia serta luar negeri.
Program dan tujuan Pemerintah Aceh ini pantas diapresiasi dan dukungan. Sebab, dapat memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM) Aceh yang memang sempat anjlok selama 32 tahun akibat konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia.
Begitupun, alih-alih alih menuai hasil memuaskan, sederet persoalan kerap menjadi penyebab gagalnya Pemerintah Aceh mendapatkan hasil seperti yang diharapkan. Kenyataan itu dipersahih dengan banyaknya alumni beasiswa lulusan dalam dan luar negeri yang belum mendapatkan pekerjaan tetap sebagai pegawai negeri swasta (PNS), akademisi atau memilih jalur mandiri dengan wirausaha.
Akibatnya, tak sedikit dari mereka menjadi pengangguran atau memilih untuk mengabdi di negeri orang dengan alasan beragam. Dari kalah bersaing hingga tak tersedianya lapangan pekerjaan di Aceh. Padahal, sebelum menerima beasiswa dan berangkat untuk melanjutkan pendidikan, mereka telah terikat kontrak untuk mengabdi di Aceh. “Ini sangat disayangkan, Aceh yang berkorban dan mengeluarkan ratusan miliar dana, tapi daerah dan negara lain yang memetik hasil,” ungkap Febriansyah, salah seorang penerima beasiswa LPSDM Aceh tahun 2011, Kamis pekan lalu.
Menurut Febriansyah, seharusnya Pemerintah Aceh memikirkan solusi terbaik agar para penerima beasiswa tadi dapat mengabdikan dirinya di negeri Serambi Mekah ini. Misal, membuat kerja sama dengan perguruan tinggi negeri dan swasta di Aceh, untuk menerima mereka sebagai dosen. Selain itu, dipekerjakan sebagai tenaga kontrak pada dinas dan perusahaan swasta lainnya. Termasuk memikirkan modal awal, jika di antara mereka yang ingin menjadi wirausaha muda.
***
Kepala LPSDM Aceh, Prof. Dr. Said Muhammad, justru berpendapat lain. Tugas Pemerintah Aceh dan pihaknya sudah selesai, tatkala pada generasi muda Aceh tadi dibiayai untuk melanjutkan pendidikan. Soal pekerjaan, tentu mereka sendirilah yang mencarinya. Tak masalah pula jika mereka bekerja atau mengabdikan di daerah lain maupun luar negeri. “Kami tidak bertugas untuk mencari pekerjaan bagi mereka,” tegas Kepala LPSDM Aceh, Prof. Said Muhammad, Rabu pekan lalu.
Nah, pengakuan Said Muhammad semakin mensahihkan bahwa alasan sempitnya lapangan pekerjaan di Aceh dan rumitnya mengurus berbagai persoalan merupakan jalan alternatif bagi penerima beasiswa Aceh untuk memilih bekerja di negeri orang.
Sejauh ini, ada beberapa negara yang menjadi sasaran mereka. Misal, Singapura, Malaysia, Taiwan, Thailand serta beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat. Sementara di luar Aceh, mereka ada yang bekerja di Batam, Jakarta, Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan bahkan Papua. Dalam konteks ini, tujuan awal Pemerintah Aceh agar para penerima beasiswa tadi dapat mengabdikan diri dan ilmunya bagi kemajuan pembangunan Aceh, menjadi tak sejalan.
Itu sebabnya, Pemerintah Aceh perlu mempertimbangkan pemanfaatan potensi para alumni penerima beasiswa pendidikan luar negeri ini agar tidak terbuang sia-sia atau malah dimanfaatkan daerah maupun negara lain. Sebab, sejak program ini diterapkan, tak kurang dari satu triliun dana yang telah disalurkan Pemerintah Aceh.
Pertanyaannya adalah, patutkah program ini dilanjutkan dan diteruskan di tengah minusnya industri dan dunia kerja di Aceh? Haruskah daerah atau negara lain yang menerima asas manfaat dari produk beasiswa Pemerintah Aceh? Ini menjadi penting. Sebab, jika ratusan miliar dana tadi justru dialokasi untuk pembangunan gedung sekolah di pedesaan dan rumah kaum dhuafa di Aceh, tentu dapat mempercepat pengentasan kemiskinan di Aceh. Belum lagi, menepis dan menjawab berbagai dugaan adanya praktik kongkalikong dalam meluluskan calon penerima beasiswa luar negeri, sehingga menjadi cerita miris di tengah masyarakat Aceh saat ini.
Nah, bagaimana potret kebijakan program beasiswa Pemerintah Aceh melalui LPSDM Aceh? Wartawan MODUS ACEH Irwan Saputra, menulisnya untuk laporan utama pekan ini.***
Dana
Habis Manfaat
Dipertanyakan
Penghujung 2010 lalu,
bertempat di ruang kerja Gubernur Aceh, Jamaika, staf LPSDM Aceh mengkritik
kebijakan Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh saat itu. Menurutnya, ratusan miliar uang yang
digelontorkan Pemerintah
Aceh untuk
program beasiswa putra-putri Aceh ke dalam dan luar negeri,
tidak sebanding dengan outcome
(hasil) yang diterima. Buktinya,
banyak putra Aceh setelah lulus kuliah tadi dan bergelar master
serta doktor,
namun ogah untuk kembali ke Aceh, dan lebih memilih untuk bekerja di
luar daerah
dan luar negeri.
Saat
itu, Irwandi Yusuf justru menjawab
dengan bertamsil.
Dia memakai metode orang Yahudi dalam membangun
generasi.
Irwandi ingin putra-putri Aceh memiliki skill atau keahlian dengan latar belakang pendidikan S2 dan
S3. Dia pun mempermasalahkan, apakah para alumni penerima
beasiswa tadi mau pulang dan bekerja di Aceh atau justru menetap dan bekerja di
luar negeri. Sebab, kata Jamaika mengutip pendapat Irwandi, ada kebanggaan
jika anak Aceh
bisa bekerja di tempat
lain atau luar negeri.
Menurut
Irwandi, kata Jamaika, selaku penggagas
program LPSDM, tujuan dari lembaga itu didirikan adalah untuk menyekolahkan
putra-putri terbaik Aceh ke luar maupun dalam negeri. Kalaupun tak bekerja di Aceh karena keterbatasan
lapangan pekerjaan, mereka dapat dibanggakan tatkala bekerja di luar Aceh dan
luar negeri dengan keahlian di atas rata-rata.
Gagasan
strategis itu muncul pasca gempa dan tsunami Aceh, 26 Desember 2004 silam dan konflik
bersenjata antara
GAM-RI yang berakhir dengan kesepakatan damai, 15 Agustus 2015. Ketika itu (2007),
Irwandi Yusuf terpilih sebagai Gubernur Aceh dan dana otonomi
khusus (otsus) mengalir deras dari Jakarta ke Aceh.
Selain
untuk peningkatan berbagai perbaikan infrastruktur yang rusak, Irwandi
menyisakan dana tadi untuk program beasiswa S2 dan S3 dalam dan luar negeri.
Caranya, pada tahun 2008, membentuk Lembaga
Komisi Beasiswa Aceh
yang kemudian berganti nama menjadi LPSDM Aceh.
Program ini mematok target, memperbaiki
kualitas pendidikan generasi Aceh dengan menyekolahkan putra-putri terbaik Aceh ke dalam dan luar negeri pada sejumlah perguruan tinggi ternama di Indonesia,
Asia, Australia, Eropa, Amerika Serikat serta Timur Tengah.
Pemerintah
Aceh saat itu berprinsip, dengan
kualitas pendidikan yang bagus, maka akan melahirkan generasi cerdas untuk menunjang
kualitas SDM serta pembangunan di Bumi Serambi Mekkah. Dan sejak program ini
dilaksanakan tahun 2008 hingga tahun ini,
alumni penerima beasiswa LPSDM Pemerintah Aceh sudah mencapai 2.891 orang yang tersebar di
berbagai negara seperti Thailand,Taiwan, Malaysia, Jerman, Inggris, Spanyol,
Sudan, Tunisia, Jepang dan beberapa negara lainnya yang memiliki kontrak
kerja sama
Pemerintah
Aceh dengan kampus-kampus di negara tersebut.
Sejalan
dengan itu, Pemerintah Aceh menggelontorkan dana antara Rp 82
miliar hingga
Rp 150 miliar
per tahun dengan jumlah mahasiswa antara 12
hingga 123 orang per
tahun. Begitupun, program
pencerdasan anak Aceh itu, belum dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat di daerah
ini, sehingga
banyak yang mempertanyakan tindak lanjut dari program
unggulan tersebut.
Syardani M. Syarif atau
yang akrab disapa Jamaika
salah satunya. Staf
LPSDM Aceh itu
meminta agar Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah atau akrab disapa
Abu Doto untuk mengevaluasi kembali program beasiswa ini sebelum
anggaran habis terkuras,
sementara
manfaat dari
program ini, diakuinya belum dirasakan
masyarakat Aceh.
Jamaika mengaku, meski
ia masih tercatat sebagai staf LPSDM Aceh, namun ia merasa memiliki berkewajiban
untuk mengawasi setiap anggaran yang dikeluarkan Pemerintah Aceh, termasuk
menyekolahkan putra-putri Aceh ke luar negeri dengan uang tersebut.
Menurut
Jamaika, dia bukan tidak sepakat dengan
program tadi
dan program yang gagas Irwandi Yusuf ini patut
diberi
acuan jempol.
Namun, harus diperhatikan juga manfaat apa yang didapatkan masyarakat Aceh dari para sarjana S2 dan S3 lulusan dalam dan luar
negeri tadi. “Saya bukannya tidak setuju,
tapi harus harus dievaluasi, saya cuma ingin tahu. Orang-orang yang sudah kuliah
di luar
negeri di mana
mereka saat
ini dan apa konstribusi mereka untuk kemajuan pembangunan Aceh,” kata Jamaika,
Rabu pekan lalu.
Kata
Jamaika, hingga saat ini, ada sekitar
lima ribu orang yang telah disekolahkan Pemerintah Aceh ke luar
negeri. Mereka
berhasil menyandang gelar master dan doktor, sehingga memiliki kecerdasan dan
kemampuan tinggi.
“Namun, saya belum melihat manfaat dari mereka untuk masyarakat,” kritik
Jamaika.
Karena, tujuan Pemerintah Aceh menyekolahkan
mereka ke luar
negeri untuk dapat membantu mengentaskan kemiskinan dan pengangguran di Aceh. Namun, sampai saat
ini belum ada manfaatnya. “Apakah mereka
hanya cukup dengan ijazah, setelah itu selesai begitu saja? Ini yang perlu
dipertanyakan dan
di mana tanggung jawab moral
mereka,” sebut Jamaika.
Dia
memberi contoh, seorang yang disekolahkan
ke Amerika Serikat,
Pemerintah
Aceh menggelontorkan
anggaran dari
Rp 500 juta sampai mencapai satu miliar. Lalu, setelah lulus apa
dampak positif
untuk daerah dan masyarakat Aceh? “Coba
bandingkan dengan membuat satu sekolah dasar di pelosok daerah tertinggal dengan
anggaran sebesar itu, mungkin bisa membuat beberapa sekolah dan langsung bisa
dinikmati masyarakat Aceh. Bayangkan
jika sepuluh orang tidak disekolahkan ke luar negeri
tapi anggarannya
untuk
menyekolahkan anak-anak di pelosok Aceh yang kurang
mampu. Tapi, yang seperti ini absen dari perhatian Pemerintah
Aceh,”
kritik Jamaika.
Itu
sebabnya, berkali-kali ia menekankan bukan tidak setuju
dengan program beasiswa tersebut, tapi ia hanya menagih manfaat yang diperoleh
masyarakat Aceh setelah mereka disekolahkan dengan gelontoran dana ratusan miliar rupiah ke
luar negeri.
Memang,
permasalahan
Aceh adalah pengangguran dan kemiskinan.
Karena itu, program beasiswa ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mencegah
pengangguran dan kemiskinan di Aceh. “Tapi, apakah
tujuan itu sudah tercapai. Okelah bagi
yang telah menjadi dosen membuat anak-anak Aceh pintar, tapi
tidak semua menjadi dosen dan itu harus ada ukurannya,” kata Jamaika.
Dia
memberi
contoh, saat ini,
bahan sembako mahal karena diimpor dari luar daerah dan luar negeri seperti gula.
Seharusnya, ada
putra-putri Aceh yang telah disekolahkan ke luar Aceh
dengan disiplin
ilmu
ekonomi, pertanian, teknik dan sebagainya bisa mencegah
harga sembako
yang melambung tinggi menjadi lebih murah. Tentu tidak mesti
lagi mengimpor sebab Aceh punya
lahan,
kampus pertanian, kampus peternakan dan banyak penelitian
dilakukan Universitas Syiah Kuala. Tapi, semua itu tak terjadi dan didapat masyarakat Aceh.
“Ini
yang seharusnya
menjadi tugas mereka, karena mereka punya ilmu dan wawasan luas dari luar negeri,” tegas
Jamaika.***
Utama-04
Di
Negeri Orang Mengadu Nasib
Sebelum dinyatakan lulus
sebagai penerima beasiswa LPSDM. Pemerintah
Aceh mensyaratkan mereka harus pulang dan mengabdi
di Aceh.
Faktanya, karena alasan sempitnya lapangan pekerjaan dan tak ada modal usaha, banyak
dari
mereka mengadu nasib di negeri
orang.
Setiap pembukaan seleksi calon mahasiswa penerima
beasiswa LPSDM Pemerintah
Aceh, berduyun para sarjana mendaftar. Harapannya hanya satu, mendapatkan
kesempatan kuliah gratis untuk tingkat master (S2) dan doktor (S3) di dalam dan luar
negeri
dengan biaya dari Pemerintah Aceh.
Tapi, sebelum mendaftar, para calon
penerima beasiswa harus melengkapi persyaratan yang disyaratkan panitia
rekrutmen LPSDM Aceh.
Terpenting
di antaranya
adalah skor tes bahasa
Inggris sebagai syarat masuk perguruan tinggi yang disebut dengan Test of
English as A Foreign Language (TOEFL), harus
mencapai 550. Itu adalah persyaratan utama. Namun, jika si calon
mahasiswa hanya memiliki skor 500, LPSDM masih mengakomodir
dengan mewajibkan si calon penerima beasiswa untuk mengikuti pendidikan tambahan selama tiga bulan
di LPSDM Aceh.
Setelah mereka dinyatakan lulus dari seleksi sebagai
calon penerima beasiswa Pemerintah Aceh, para calon
mahasiswa akan disodorkan daftar
kampus yang telah mengikat kerja sama, untuk mendaftarkan diri pada kampus yang
diinginkan.
Nah, setelah si calon
mahasiswa mendapatkan LoA (letter of acceptance)
atau surat penerimaan dari kampus yang dituju, maka baru kemudian Pemerintah
Aceh melalui LPSDM mengeluarkan surat bahwa si mahasiswa tersebut dibiayai Pemerintah
Aceh.
Maka, berangkatlah si
mahasiswa ke luar negeri.
Untuk
menunjang kegiatan perkuliahan di negeri orang tadi, setiap mahasiswa mendapat
bantuan beasiswa beragam, tergantung dari negara tujuan. Mulai dari Rp 500 juta
per tahun hingga satu miliar rupiah. Tapi, yang mereka terima hanya uang saku,
biaya makan serta biaya lainnya. Sementara uang kuliah, langsung ditransfer
Pemerintah Aceh pada perguruan tinggi atau negara yang ditempati.
Begitupun
siapa
sangka, lulus
dari strata (S2 dan S3) jebolan perguruan tinggi terkemuka di luar negeri,
ternyata belum menjamin bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai di Aceh. Terutama untuk jurusan
eksakta seperti teknik nuklir. Maklum, selain menjadi dosen, di Aceh tidak ada
perusahaan atau industri sejenis yang mampu menampung lulusan tadi.
Selain
itu, proses penerimaan tenaga kontrak di jajaran Pemerintah Aceh maupun
instansi swasta lainnya, masih belum lepas dari praktik kolusi, korupsi dan
nepotisme (KKN). Akibatnya, banyak dari mereka yang tidak memiliki koneksi dan
relasi di tubuh Pemerintah Aceh, terpaksa menjadi pengangguran, walaupun
disiplin ilmu yang mereka miliki di atas rata-rata para sarjana S1 atau bahkan
S2 lulusan dalam negeri.
Nah,
salah satu cara untuk bisa keluar dari situasi yang tidak sehat itu adalah
mereka bekerja atau menetap di luar Aceh atau luar negeri. Banyak dari para
mahasiswa S2 dan S3 luar negeri tadi, telah mempersiapkan diri untuk langkah
solutif tadi, saat mereka masih menjalani pendidikan di luar negeri. “Ya,
sambil kuliah juga membaca peluang pekerjaan. Jika cocok, maka mereka lebih
memilih untuk bekerja dan menetap di negara yang menerima mereka bekerja,”
kata Febriansyah,
salah seorang penerima beasiswa LPSDM Aceh tahun 2011, Kamis pekan
lalu.
Begitupun, Febriansyah lebih memilih
untuk bekerja sebagai
konsultan di Aceh. Bersama rekannya sesama alumni Fakultas Teknik
Arsitektur Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Febri, begitu dia
akrab disapa, mendirikan perusahaan tadi.
Kepada MODUS ACEH,
Febri mengaku,
para alumni penerima beasiswa LPSDM susah mendapatkan pekerjaan di Aceh, terutama yang berlatar belakang
pendidikan sosial. Berbeda dengan dirinya
yang memiliki skil dasar teknik dan mendapatkan gelar master dari Taiwan, untuk bekerja tak harus
menjadi pegawai negeri sipil (PNS). “Seperti saya
arsitek, tidak mesti menunggu
adanya lapangan kerja. Itu mungkin enaknya di
teknik,”
ujar
Febri saat ditemui media ini, Rabu pekan lalu.
Menurut Febri, banyak lulusan master
luar negeri lebih
cenderung untuk
menjadi pengajar atau tenaga ahli di
kantor pemerintah
atau
perusahaan
swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Jika
tidak ada, otomatis sebagian alumni penerima LPSDM akan mencari kerja di luar daerah atau luar negeri.
Itu
sebabnya, Febri memberi masukan pada Pemerintah Aceh agar LPSDM
tidak hanya melepas begitu saja para mahasiswa lulusan luar negeri tadi. Sebaliknya, disalurkan pada perguruan tinggi
negeri dan swasta yang ada di Aceh, sesuai disiplin ilmu yang mereka miliki. “Sayang kan,
ada lulusan S3 luar negeri tapi menjadi dosen di luar Aceh. Kita yang biayai
tapi daerah lain yang menikmati. Tapi, jangan salahkan mereka, sebab di Aceh
tak ada yang menampung,” ucap Febri.
Kata
Febri, selama ini, faktor tersebut kurang
diperhatikan
Pemerintah Aceh. Harusnya, ada kerja
sama dan tidak terputus antara alumni penerima beasiswa dengan LPSDM Aceh, sehingga ilmu yang
mereka dapatkan tidak sia-sia. “Tapi, bukan
membuat para alumni beasiswa
luar negeri menjadi manja. Sebab, setelah diberi beasiswa harus diberi pekerjaan pula. Tapi, dari sisi
penguasaan bahasa asing misalnya, mereka dapat lebih baik dan bisa membantu
Pemerintah Aceh dan perusahaan swasta lainnya di Aceh,” saran Febri.
Jika
tidak,
ilmu yang mereka dapatkan akan dimanfaatkan oleh pihak luar daerah. “Angkatan
sebelum saya, ada juga yang di luar Aceh. Karena di sini tidak
ada yang sesuai
dengan kapasitas ilmu mereka. Akhirnya
yang petik hasil perusahaan dan kampus-kampus di luar Aceh. Sayang kan,” tambah Febri.
Pengakuan
serupa juga disampaikan Dr. Ramzi
Adriman, dosen
Fakultas Teknik Elektro Unsyiah. Ramzi merupakan alumni
Taiwan, tapi
bukan penerima beasiswa dari LPSDM Aceh. Saat kuliah S2 dan S3 di Taiwan, Ramzi
mengaku sering bertemu dengan para mahasiswa penerima beasiswa Aceh. “Ya,
mereka curhat pada saya dan mengaku bingung setelah lulus mau bekerja apa di
Aceh. Lapangan pekerjaan terbatas, mau bekerja di luar daerah atau luar negeri,
takut dikatakan tak bisa mengabdi untuk Aceh dan berterimakasih,” begitu kata
Ramzi, mengutip keluhan para mahasiswa tadi.
Namun,
Ramzi mengajak mereka untuk berpikir realistis. Jika memang begitu kondisinya,
tak salah jika mencari kehidupan di luar Aceh atau luar negeri. Ini sesuai
dengan bidang ilmu dan keahlian mereka. “Saya bilang, jika tidak punya
lapangan kerja dan tidak punya modal untuk usaha, tak salah jika mereka mencari masa depan di luar
Aceh. Saya temukan, jumlah mereka ada
ratusan.
Saya
kira data
lengkapnya ada di Pemerintah Aceh,” ungkap Ramzi, saat
ditemui,
Kamis pekan lalu.
Amatan Ramzi, rata-rata dari kawan-kawannya yang belum
mendapatkan pekerjaan
tadi berasal dari
berbagai disiplin ilmu yang berbeda, baik sosial maupun ilmu agama. Alasan mereka bekerja di luar Aceh karena tak ada lapangan
pekerjaan. Sementara
untuk memulai usaha tidak ada modal.
Menurut Ramzi, tak masalah jika kebanyakan
dari mereka berangkat kuliah S2 dan S3 sudah punya
pekerjaan seperti PNS atau usaha sendiri. Namun, bagi yang masih muda dan belum memiliki status pekerjaan saat
pulang dari luar negeri, ini yang jadi masalah. “Faktanya di Aceh memang lapangan pekerjaan sangat
terbatas
karena minus industri, baik formasi PNS maupun untuk menjadi dosen
perguruan tinggi swasta
atau negeri,”
kata Dr. Ramzi. ***
Kepala
LPSDM Aceh, Prof. Said Muhammad
Itu
di Luar Kontrol
Kami!
Banyak alumni penerima beasiswa
Pemerintah
Aceh yang
memilih bekerja dan menetap di luar Aceh. Alasan mereka, karena di Aceh tak ada
peluang pekerjaan. Sebaliknya, tak sedikit dari mereka yang kembali ke Aceh
menjadi pengangguran walau menyandang gelar S2 dan S3 lulusan luar negeri.
Kondisi ini, ternyata tak membuat Pemerintah Aceh dan LPSDM Aceh pusing
tujuh keliling. Alasannya, soal
pekerjaan bukan tanggung jawab pemerintah daerah dan lembaga ini. Kepala
LPSDM Pemerintah Aceh, Profesor Dr. Said
Muhammad,
menyebut,
itu di luar kontrol pihaknya. Berikut penuturan Prof Said Muhammad pada Irwan
Saputra dari
MODUS ACEH, Rabu pekan
lalu di
Banda Aceh.
Sejak
kapan program beasiswa LPSDM ini dimulai?
Beasiswa LPSDM ini sudah
berjalan sejak tahun 2008 hingga saat ini.
Bagaimana mekanisme perekrutan calon
penerima beasiswa?
Calon penerima beasiswa direkrut dari
umum, memenuhi syarat administrasi, tes potensi
akademik (TPA) dan wawancara. TPA
dilaksanakan Unsyiah, sementara wawancara dilakukan para
dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan Universitas Islam Negeri (UIN)
Ar-Raniry, yang sesuai bidang studi
masing-masing.
Berapa
anggaran per tahunnya
yang digelontorkan Pemerintah
Aceh?
Total anggarannya per tahun
berbeda-beda tergandung berapa yang dialokasikan oleh pemerintah. Kalau masa
saya, ada Rp 60
miliar per tahun.
Kami tidak tahu pastinya berapa dianggarkan,
karena dana ada tapi belum tentu bisa diplotkan begitu saja. Sebab, saat kami plot, ada
calon penerima yang dapat, ada juga yang tidak. Untuk tahun 2015 dan 2016, masing-masing Rp 65 miliar atau 70 persen dari jumlah tersebut untuk
mahasiswa lanjutan dan hanya 30 persen untuk mahasiswa baru.
Kenapa
bisa demikian?
Untuk
tahun ini dana ada, tapi tidak cukup karena calon penerima banyak.
Karena tidak bisa pas betul.
Kami plot
sekian, ternyata yang dapat LoA (diterima di kampus luar
negeri) lebih banyak dari dana yang tersedia. Itu yang
terjadi tahun ini.
Pada tahun sebelumnya, dana banyak, sementara mahasiswa tidak
mendapatkan universitas.
Kenapa
belum mendapat universitas
bukankah sudah lulus sebagai penerima beasiswa LPSDM?
Karena, setelah ia
melengkapi syarat, tergantung juga pada kesanggupan mahasiswa
itu sendiri
dalam melengkapi syarat yang diminta oleh universitas
yang dia inginkan.
Kadang-kadang
tahun ini nggak dapat, tahun depan
dia dapat. Artinya, saat plot anggaran tidak ada lagi, tapi saat itu dia
mendapatkan kampus. Ini masalahnya.
Di
negara mana saja ditempatkan para penerima beasiswa?
Ada
21 negara,
di antaranya
Thailand, Taiwan, Malaysia, Jerman, Inggris, Spanyol, Sudan, Tunisia,
Jepang, serta Amerika Serikat. Sementara
kampusnya Elite Study
In
Taiwan (ESIT), Taiwan, Georgetown University, Qatar, universitas di Australia, universitas
di USA, universitas di Inggris, East-west Center di USA serta Hartford
Seminary, DAAD Jerman dan kampus-kampus lainnya.
Sekarang
berapa banyak mereka
masih di luar
negeri?
Ada sekitar 890 orang, di antaranya di Inggris. Jerman yang
banyak karena vision fee-nya gratis, biaya hidup saja yang
kita tanggung. Di
Spanyol, ada satu
orang, di Amerika
ada delapan
orang, di Australia
juga ada, kemudian di Malaysia yang banyak dan di
Mesir.
Disiplin
ilmu apa saja yang ditampung di LPSDM?
Banyak
yang kita tampung, seperti perminyakan, engineering,
ekonomi, kelautan, dan bidang-bidang lain. Begitu juga dokter spesialis itu
penting.
Berapa
yang sudah lulus dan di mana
saja mereka bekerja saat ini?
Yang sudah lulus ada
sekitar 425 orang, kebanyakan mereka bekerja di perguruan tinggi, seperti
Universitas Malikussaleh,
Universitas Teuku Umar, Unsyiah, UIN (Ar-Raniry) dan sebahagian besar
adalah guru bahasa Inggris dan sebagiannya ada juga
yang swasta tapi tidak banyak.
Kabarnya
tidak semua dari alumni luar negeri yang kembali ke Aceh?
Tidak, semuanya mereka
pulang.
Setahu
saya mereka pulang semua, karena kontrak kita ikat agar mereka
bekerja di Aceh.
Selama
ada pekerjaan di Aceh, kalau tidak ada di Aceh dia cari tempat kerja lain dulu, tapi saat
dibutuhkan di Aceh, mereka akan pulang kembali ke Aceh. Ada beberapa orang yang
tidak ada formasi dia di sini, ya terpaksa bekerja di
luar. Karena, syarat utama kita adalah membuat kontrak agar mereka mengabdi di
Aceh.
Apakah
LPSDM juga bertugas mencari pekerjaan untuk para alumni?
LPSDM tidak bertugas untuk mencari pekerjaan untuk
alumni. Kami hanya memastikan bahwa yang
mendapat beasiswa selesai kuliahnya.
Jika
ada yang masih di luar
negeri?
Jika ada mahasiswa yang
tidak ada kerja,
sehingga bertahan di negeri orang, ataupun ada lahan kerja di Aceh tapi tidak pulang, itu di luar kontrol
saya.
Kami tidak
mungkin kontrol sampai ke sana.
Latar
belakang penerima beasiswa itu bagaimana?
Ada
dua syarat, kalau kita kirim keluar negeri, otomatois
TOEFL (Test of English as A Foreign Language)
jadi syarat utama. Nah, kalau kita pakai itu syaratnya,
maka kita akan tahu siapa yang akan dapat TOEFL baik. Itu
adalah anak-anak kelas menengah ke atas, tidak ke bawah dia. Karena kalau kita
ikuti keluarga dia, kita akan mengetahui juga orangtuanya siapa. Jadi, keluarga
terdidik sudah pasti pendapatan orang tuanya menengah ke atas. Kalau untuk
luar negeri, harus kita lihat TOEFL.
Dan ini biasanya yang terpilih anak dari orangtua yang
penghasilannya menengah ke atas, tidak ke bawah dia. Walaupun satu
dua orang juga ada. Tapi, yang jelas
bias.
Karena
itu, kita buat juga beasiswa lain yang disebut beasiswa fakir miskin. Itu khusus
untuk orang miskin per 10 orang setiap kabupaten/kota. Itu hanya untuk
D3 (diploma 3) saja
dalam negeri. Tujuan kita untuk memotong rantai kemiskinan, agar keluarganya
tidak mewariskan kemiskinan. Saya yakin
kalau ada satu anak yang bisa mendapatkan pekerjaan, dia akan
bisa menolong adiknya dan memotivasi. Dalam jangka panjang, itu adalah
salah satu strategi untuk memotong angka kemiskinan, dan itu jadi target
andalan kita ke depan.
Anggaran
masing-masing negara yang diplotkan?
Sampai saat ini plot
anggaran ada sekitar Rp 670 miliar lebih, belum
sampai satu triliun.
Kalau
masing-masing negara
tergantung mahasiswanya berapa banyak, dan ini selalu berubah-ubah.
Target
yang ingin dicapai?
Tersedianya sumber daya manusia Aceh yang lebih baik ke depan di semua lini pembangunan, meningkatkan
daya saing secara nasional, regional dan MEA (Masyarakat
Ekonomi Asean).
Apakah selama ini program
beasiswa itu efektif?
Ya, kalau kita
perhatikan tantangan banyak.
Belum tentu semua orang yang kita kirim seperti yang kita
inginkan.
Tapi, kita buat
rambu-rambu seperti
beberapa orang yang tidak kembali. Tapi, itu cuma satu-dua orang yang tidak kembali,
atau sudah kembali kemudian balik lagi. Dia pulang, cari kerjaan tapi tidak
ada, balik lagi
dan cari kerjaan di tempat lain. Kedua, barangkali
saya lihat untuk perguruan tinggi sudah bagus dengan kita sekolahkan doktor
atau sebagainya. Unsyiah dapat akreditasi A barangkali juga karena doktornya
sudah banyak. Ada puluhan orang.
Kita juga tahu dampak
dari semua ini tidak dalam setahun atau dua tahun,
tapi berdampak dalam jangka panjang. Jadi, untuk
melihat ini perlu waktu dan butuh perencanaan. Karena kalau kita lihat
pembangunan Aceh saat
ini, apa yang
dibutuhkan dan kita
bisa bantu dari belakang, memperkuat itu. Ada strategi
dan target yang ingin dicapai. Sama halnya dengan Malaysia, mereka ingin
meningkatkan industri pariwisata dan kesehatan lalu mendidik generasinya. Sekarang baru
dapat diwujudkan
dan memetik hasil. Kita harapkan juga
begitu.***
No comments:
Post a Comment