Abu
Doto Tanggung Jawab!
Doktor Amri |
Akademisi Universitas
Syiah Kuala (Unsyiah), Dr. Amri, SE, M.Si mengaku kaget saat lihat angka
kemiskinan di Aceh. Pengakuannya, angka kemiskinan Aceh melonjak luar biasa.
Itu disebabkan, kata mantan Sekretaris Magister Manajemen Unsyiah, Dr. Amri,
SE, M.Si, karena perencanaan yang tidak matang serta koordinasi lemah. Makanya,
lanjut Dr. Amri, SE, M.Si, maju atau gagalnya pembangunan di Aceh berada di pundak
Gubernur dr. Zaini Abdullah alias Abu Doto. Sebab, top management ada pada Gubernur Aceh. Seperti apa pengakuan Dr.
Amri, SE, M.Si? Berikut penuturannya pada Juli Saidi dari MODUS ACEH di Ulee
Kareng, Banda Aceh, Senin siang, 13 Juni 2016 lalu.
Pendapat Anda soal angka
kemiskinan Aceh saat ini?
Sangat menyedihkan,
saya terkejut melihat angka ini. Anggapan saya selama 17 sampai 20 persen. Ternyata
kalau begini hampir 40 persen.
Bagaimana orang disebut miskin
menurut pendapat Anda?
Orang miskin itu yang
tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar. Standar Bank Dunia adalah satu dolar
Amerika per hari, sebulan berarti USD 30. Tinggal kalikan saja kalau satu dolar
Amerika Rp 14 ribu, maka pendapatannya hanya Rp 420 ribu per bulan.
Baik, apakah masyakat golongan 40
persen terendah di Indonesia itu juga disebut orang miskin?
40 persen ini
mendekati kemiskinan. Desil keempat ini termasuk orang hampir miskin, orang
yang susah hidup.
Maksud Anda?
Orang susah hidup
adalah yang susah beli pakaian dan perumahan. Tapi, kalau kita bisa beli baju,
makan, ada rumah, itu bukan orang miskin. Jadi, kelompok 40 persen terendah itu
hampir dikatakan miskin, belum sejahtera.
Kenapa angka kemiskinan Aceh
tumbuh subur?
Menurut saya karena
diperencanaan salah. Kalau perencanaan salah, maka pelaksanaan akan salah. Pelaksanaan
salah, pengawasan juga salah. Kalau program pembangunan diarahkan pada program pengentasan
kemiskinan, saya pikir tidak mungkin angka kemiskinan cukup tinggi seperti saat
ini.
Alasannya?
Ini tampak sekali,
kue pembangun dinikmati oleh sebahagian kecil masyarakat Aceh. Jadi, ini bicara
berdasarkan data dan fakta.
Fakta tidak elok itu, apa yang
mesti dilakukan Pemerintah Aceh?
Jalan yang harus
ditempuh segera diselesaikan. Caranya, program-program pembangunan tahun
2016-2017 harus banyak diarahkan pada pengentasan kemiskinan dan pengangguran.
Apakah mungkin dilakukan dengan
masa jabatan tinggal satu tahun lebih lagi?
Ini persoalan dalam
pembangunan, kalau masalah kemiskinan tidak beres tetap akan tidak beres
seterusnya. Kalau rakyat miskin, daya beli tidak ada. Jadi, berbagai persoalan
pembangunan akan muncul. Jalan keluarnya tetap pada awal rencana pembangunan,
harus diarahkan pada program pengentasan kemiskinan, jangan hanya proyek-proyek
besar yang tidak bersentuhan langsung dengan program pengentasan kemiskinan.
Ini artinya, tidak ada terobosan
Pemerintah Aceh dalam menyejahterakan masyarakat?
Faktanya seperti itu,
buktinya angka kemiskinan bukan malah turun, tapi malah naik tiap tahun. Ini
sangat kita sayangkan, angka kemiskinan ini banyak di pedesaan. Kita mau lihat Aceh,
jangan lihat di pinggir jalan hitam saja. Lihatlah lima kilometer pinggir jalan
hitam, di situlah tertumpuknya orang-orang miskin. Orang-orang yang tidak punya
pengetahuan, pendidikan.
Lalu?
Kalau pendidikan
rendah, ini problem ekonomi. Dalam pandangan saya, Aceh ini “ekonominya masih
dalam morat-marit”. Artinya orang masih susah, beli daging waktu meugang (sembelih hewan) saja susah,
tetapi terpaksa dibeli walaupun harus utang. Jadi, pengentasan kemiskinan ini
intinya pada perencanaan pembangunan, dulu kenapa angka kemiskinan tidak
seperti sekarang? Kenapa sekarang terjadi peningkatang drastis? Janganlah lihat
angka kemiskinan ini di Banda Aceh atau di kabupaten, tapi lihat ke pedalaman
desa. Malah sangat menyedihkan, di ibukota saja masih banyak yang miskin.
Berarti ada perubahan?
Dulu di kabupaten
angka kesejahteraan membaik, tapi sekarang berdasarkan data justru tinggi,
misal di Aceh Utara dan Bireuen. Ini kan fakta.
Namun, Pemerintah Aceh membantah
soal data angka kemiskinan?
Kalau membantah data
ini berarti membantah data BPS. Kalau membantah data BPS berarti tidak mengakui
republik ini. BPS adalah lembaga resmi Republik Indonesia. Bahkan Presiden Joko
Widodo menyatakan hanya data BPS yang valid.
Selama ini masyarakat di Aceh
hanya berharap pada APBA karena industri tidak tumbuh, sebaliknya pencintraan
terus dilakukan Pemerintah Aceh. Pendapat Anda?
Menurut saya
perencanaan pembangunan tidak matang, tapi tumpang tindih. Padahal, harus ada
sinkronisasi dan koordinasi yang bagus antara dinas. Misalnya, dinas yang
melakukan pengentasan kemiskinan, seperti Dinas Pertanian, Perkebunan, Dinas
Koperasi, Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) dan beberapa dinas lain. Nah,
dinas itu harus betul-betul berkoordinasi. Janganlah anggaran ini diarahkan
pada proyek-proyek infrastruktur besar. Jadi, tidak tepat sasaran. Maka, perlu
dicek ulang, siapa penerimanya, jangan-jangan orang menerima itu lagi.
Seperti apa anggaran besar mesti
diarahkan pada program pengentasan kemiskinan di Aceh?
Bolehlah saya ngomong
di sini, Masjid Raya itu kan masjid negara. Alangkah baiknya pembangunan Masjid
Raya itu diambil dari APBN, jangan dari APBA. Begitu juga pembangunan Jembatan
Lamnyong, alangkah baiknya diambil dari APBN jangan dari APBA. Pernyataan saya,
jangan salah paham .Bukan saya tidak setuju dengan pembangunan Masjid Raya.
Saya sangat setuju bangun Masjid Raya, saya setuju bangun Jembatan Lamnyong. Tapi,
anggarannya diambil dari APBN, jangan dari APBA. Anggaran ratusan miliar itu
gunakan untuk program pengentasan kemiskinan di Aceh.
Bukankah selama ini diakui
Pemerintah Aceh sudah melakukannya?
Program pengentasan
kemiskinan itu bukan bagi-bagi duit, tapi harus tepat sasaran. Sehingga,
pemerintah bantu bisa keluar dari kemiskinan, bukan kaya. Artinya dia bisa
hidupkan diri sendiri, sudah bisa makan, punya rumah dan bisa menyekolahkan
anak minimal SMP-SMA.
Terakhir pesan Anda pada
Pemerintah Aceh?
Tetap pada koordinasi
dan sinkronisasi antar dinas. Di sinilah kemampuan gubernur dalam melihat semua
fakta-fakta, jangan biarkan pada anak buah--Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA).
Sebaliknya, Gubernur Abu Doto pun jangan syur sendiri dengan pencitraan melalui
media massa.
Kenapa?
Karena yang
bertanggungjawab semua adalah pada top
management dalam hal ini adalah
gubernur. Berhasilnya daerah adalah tanggung jawab gubernur, gagalnya Aceh juga
di pundak gubernur. Maka, gubernur harus memilih orang yang tepat pada posisi
yang tepat.
Tapi, hampir setiap pekan muncul
pemberitaan tentang keberhasilan pembangunan Aceh?
Begini cara
melihatnya. Sebagai kepala daerah, Abu Doto adalah sentral dari berbagai
kebijakan (regulasi). Karena itu, dia menjadi narasumber utama bagi media pers
dan setiap hari pasti banyak wartawan dan media yang ingin mendapat informasi
dari Abu Doto, terkait berbagai isu dan regulasi pembangunan. Contohnya, Ahok.
Tentu, semua itu berlangsung secara gratis. Sebab, media yang butuh Abu Doto.
Tapi, yang terjadi sejak tiga tahun lalu apa? Justru Abu Doto mengejar media
pers untuk mempublikasi kebijakannya. Ini aneh menurut saya sebab harus
berbayar. Berapa uang negara yang tersedot untuk itu? Saya tidak tahu apakah
Abu Doto kurang menarik bagi media atau Kepala Biro Humas yang kurang cerdas,
walau sudah berulangkali terjadi bongkar pasang.***
No comments:
Post a Comment