Tuesday, June 21, 2016

Terkait Kemiskinan di Aceh : Abu Doto Tanggung Jawab!


Abu Doto Tanggung Jawab!

Doktor Amri

Akademisi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Dr. Amri, SE, M.Si mengaku kaget saat lihat angka kemiskinan di Aceh. Pengakuannya, angka kemiskinan Aceh melonjak luar biasa. Itu disebabkan, kata mantan Sekretaris Magister Manajemen Unsyiah, Dr. Amri, SE, M.Si, karena perencanaan yang tidak matang serta koordinasi lemah. Makanya, lanjut Dr. Amri, SE, M.Si, maju atau gagalnya pembangunan di Aceh berada di pundak Gubernur dr. Zaini Abdullah alias Abu Doto. Sebab, top management ada pada Gubernur Aceh. Seperti apa pengakuan Dr. Amri, SE, M.Si? Berikut penuturannya pada Juli Saidi dari MODUS ACEH di Ulee Kareng, Banda Aceh, Senin siang, 13 Juni 2016 lalu.

Pendapat Anda soal angka kemiskinan Aceh saat ini? 
Sangat menyedihkan, saya terkejut melihat angka ini. Anggapan saya selama 17 sampai 20 persen. Ternyata kalau begini hampir 40 persen.
Bagaimana orang disebut miskin menurut pendapat Anda?
Orang miskin itu yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar. Standar Bank Dunia adalah satu dolar Amerika per hari, sebulan berarti USD 30. Tinggal kalikan saja kalau satu dolar Amerika Rp 14 ribu, maka pendapatannya hanya Rp 420 ribu per bulan.
Baik, apakah masyakat golongan 40 persen terendah di Indonesia itu juga disebut orang miskin?
40 persen ini mendekati kemiskinan. Desil keempat ini termasuk orang hampir miskin, orang yang susah hidup.
Maksud Anda?
Orang susah hidup adalah yang susah beli pakaian dan perumahan. Tapi, kalau kita bisa beli baju, makan, ada rumah, itu bukan orang miskin. Jadi, kelompok 40 persen terendah itu hampir dikatakan miskin, belum sejahtera.
Kenapa angka kemiskinan Aceh tumbuh subur?
Menurut saya karena diperencanaan salah. Kalau perencanaan salah, maka pelaksanaan akan salah. Pelaksanaan salah, pengawasan juga salah. Kalau program pembangunan diarahkan pada program pengentasan kemiskinan, saya pikir tidak mungkin angka kemiskinan cukup tinggi seperti saat ini.
Alasannya?
Ini tampak sekali, kue pembangun dinikmati oleh sebahagian kecil masyarakat Aceh. Jadi, ini bicara berdasarkan data dan fakta.
Fakta tidak elok itu, apa yang mesti dilakukan Pemerintah Aceh?
Jalan yang harus ditempuh segera diselesaikan. Caranya, program-program pembangunan tahun 2016-2017 harus banyak diarahkan pada pengentasan kemiskinan dan pengangguran.
Apakah mungkin dilakukan dengan masa jabatan tinggal satu tahun lebih lagi?
Ini persoalan dalam pembangunan, kalau masalah kemiskinan tidak beres tetap akan tidak beres seterusnya. Kalau rakyat miskin, daya beli tidak ada. Jadi, berbagai persoalan pembangunan akan muncul. Jalan keluarnya tetap pada awal rencana pembangunan, harus diarahkan pada program pengentasan kemiskinan, jangan hanya proyek-proyek besar yang tidak bersentuhan langsung dengan program pengentasan kemiskinan.
Ini artinya, tidak ada terobosan Pemerintah Aceh dalam menyejahterakan masyarakat?
Faktanya seperti itu, buktinya angka kemiskinan bukan malah turun, tapi malah naik tiap tahun. Ini sangat kita sayangkan, angka kemiskinan ini banyak di pedesaan. Kita mau lihat Aceh, jangan lihat di pinggir jalan hitam saja. Lihatlah lima kilometer pinggir jalan hitam, di situlah tertumpuknya orang-orang miskin. Orang-orang yang tidak punya pengetahuan, pendidikan.
Lalu?
Kalau pendidikan rendah, ini problem ekonomi. Dalam pandangan saya, Aceh ini “ekonominya masih dalam morat-marit”. Artinya orang masih susah, beli daging waktu meugang (sembelih hewan) saja susah, tetapi terpaksa dibeli walaupun harus utang. Jadi, pengentasan kemiskinan ini intinya pada perencanaan pembangunan, dulu kenapa angka kemiskinan tidak seperti sekarang? Kenapa sekarang terjadi peningkatang drastis? Janganlah lihat angka kemiskinan ini di Banda Aceh atau di kabupaten, tapi lihat ke pedalaman desa. Malah sangat menyedihkan, di ibukota saja masih banyak yang miskin.
Berarti ada perubahan?
Dulu di kabupaten angka kesejahteraan membaik, tapi sekarang berdasarkan data justru tinggi, misal di Aceh Utara dan Bireuen. Ini kan fakta.
Namun, Pemerintah Aceh membantah soal data angka kemiskinan?
Kalau membantah data ini berarti membantah data BPS. Kalau membantah data BPS berarti tidak mengakui republik ini. BPS adalah lembaga resmi Republik Indonesia. Bahkan Presiden Joko Widodo menyatakan hanya data BPS yang valid.
Selama ini masyarakat di Aceh hanya berharap pada APBA karena industri tidak tumbuh, sebaliknya pencintraan terus dilakukan Pemerintah Aceh. Pendapat Anda?
Menurut saya perencanaan pembangunan tidak matang, tapi tumpang tindih. Padahal, harus ada sinkronisasi dan koordinasi yang bagus antara dinas. Misalnya, dinas yang melakukan pengentasan kemiskinan, seperti Dinas Pertanian, Perkebunan, Dinas Koperasi, Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) dan beberapa dinas lain. Nah, dinas itu harus betul-betul berkoordinasi. Janganlah anggaran ini diarahkan pada proyek-proyek infrastruktur besar. Jadi, tidak tepat sasaran. Maka, perlu dicek ulang, siapa penerimanya, jangan-jangan orang menerima itu lagi.
Seperti apa anggaran besar mesti diarahkan pada program pengentasan kemiskinan di Aceh?
Bolehlah saya ngomong di sini, Masjid Raya itu kan masjid negara. Alangkah baiknya pembangunan Masjid Raya itu diambil dari APBN, jangan dari APBA. Begitu juga pembangunan Jembatan Lamnyong, alangkah baiknya diambil dari APBN jangan dari APBA. Pernyataan saya, jangan salah paham .Bukan saya tidak setuju dengan pembangunan Masjid Raya. Saya sangat setuju bangun Masjid Raya, saya setuju bangun Jembatan Lamnyong. Tapi, anggarannya diambil dari APBN, jangan dari APBA. Anggaran ratusan miliar itu gunakan untuk program pengentasan kemiskinan di Aceh.
Bukankah selama ini diakui Pemerintah Aceh sudah melakukannya?
Program pengentasan kemiskinan itu bukan bagi-bagi duit, tapi harus tepat sasaran. Sehingga, pemerintah bantu bisa keluar dari kemiskinan, bukan kaya. Artinya dia bisa hidupkan diri sendiri, sudah bisa makan, punya rumah dan bisa menyekolahkan anak minimal SMP-SMA.
Terakhir pesan Anda pada Pemerintah Aceh?
Tetap pada koordinasi dan sinkronisasi antar dinas. Di sinilah kemampuan gubernur dalam melihat semua fakta-fakta, jangan biarkan pada anak buah--Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA). Sebaliknya, Gubernur Abu Doto pun jangan syur sendiri dengan pencitraan melalui media massa.
Kenapa?
Karena yang bertanggungjawab semua adalah pada top management dalam hal ini adalah gubernur. Berhasilnya daerah adalah tanggung jawab gubernur, gagalnya Aceh juga di pundak gubernur. Maka, gubernur harus memilih orang yang tepat pada posisi yang tepat.
Tapi, hampir setiap pekan muncul pemberitaan tentang keberhasilan pembangunan Aceh?
Begini cara melihatnya. Sebagai kepala daerah, Abu Doto adalah sentral dari berbagai kebijakan (regulasi). Karena itu, dia menjadi narasumber utama bagi media pers dan setiap hari pasti banyak wartawan dan media yang ingin mendapat informasi dari Abu Doto, terkait berbagai isu dan regulasi pembangunan. Contohnya, Ahok. Tentu, semua itu berlangsung secara gratis. Sebab, media yang butuh Abu Doto. Tapi, yang terjadi sejak tiga tahun lalu apa? Justru Abu Doto mengejar media pers untuk mempublikasi kebijakannya. Ini aneh menurut saya sebab harus berbayar. Berapa uang negara yang tersedot untuk itu? Saya tidak tahu apakah Abu Doto kurang menarik bagi media atau Kepala Biro Humas yang kurang cerdas, walau sudah berulangkali terjadi bongkar pasang.***





No comments:

Post a Comment