Prostitusi
Dalam Perspektif Kriminologis
Pemerintah Kota Surabaya menjadi pembicaraan hangat belakangan ini
setelah langkah tegas yang diambil untuk menutup dengan mengalihfungsikan
lokalilasi Dolly-Jarak yang selama ini menjadi Praktek prostitusi terbesar di
Asia Tenggara. Pemerintah Kota Surabaya di bawah kepemimpinan Tri Rismaharini
bertekat memutus mata rantai prostitusi yang diketahui terdapat sebanyak 1.449
orang pekerja seks komersial (PSK) yang 300 orang diantaranya positif tertular
virus Hiv/Aids, 292 orang germo dan 52 wisma yang digunakan sebagai fasilitas
transaksi prostitusi (Republika 19/6). Lokalisasi Dolly sudah dikenal oleh
masyarakat setempat sejak zaman penjajahan Belanda di Indonesia. Lokalisasi ini
telah menjadi tempat mencari nafkah, baik itu nafkah lahir maupun nafkah batin
yang datang dari berbagai wilayah dengan berbagai latar masalah, faktor
ekonomi, ketidakpuasan kehidupan seks akibat hypersexual hingga para pria hidung belang
yang ingin mencicipi jasa layanan para PSK Dolly-Jarak untuk menyalurkan
kebutuhan seks biologisnya. Oleh karena itu langkah berani yang diambil oleh
Pemerintah kota setempat praktis membuat penghuni Dolly-Jarak hilang mata
pencaharian yang selama ini berprofesi sebagai PSK, germo, Mucikarai, pedagang,
hingga penyedia fasilitas Prostitusi.
Tulisan ini bertujuan untuk melihat prostitusi dalam perspektif
kriminologis, yaitu: penyebab munculnya praktek Prostitusi, akibat yang
diterima oleh penghuni dari penutupan lokalisasi Dolly-Jarak dan mekanisme
pemerintah kota Surabaya dalam memanusiakan kembali eks lokalisasi Dolly-Jarak.
Sejarah prostitusi sudah dikenal sejak ratusan tahun sebelum
masehi, dimulai sejak zaman kerajaan Yunani Kuno. Dimana pelacuran dianggap
sebagai pekerjaan terhormat yang diakui oleh publik dan dianggap sebagai adat
kebiasaan yang merupakan privilege yang menjadi hak istimewa para
laki-laki. Namun di Roma (Italia) pelacuran dianggap sebagai penyelewengan
moral dan dikenakan hukum berat, meskipun demikian, pelacuran dianggap sebagai
suatu yang lumrah, apalagi kaisar-kaisar Roma sendiri terlibat intim dengan
perempuan-perempuan pelacur. Sehingga pelacuran menjadi suatu gejala anomie dalam masyarakat, dimana aturan
tidak berlaku sama sekali. Begitupun di Perancis melalui Raja Louis IX
pemberantasan pelacuran pernah di lakukan dengan menghukum berat para pelacur,
pun demikian upaya ini juga tidak berhasil, malah lambat laun bermunculan
pelacuran secara gelap yang jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya. Hal yang
sama juga terjadi di Amerika, dimana pelacuran mulai marak terjadi pada abad ke-19
Masehi bersamaan dengan berkembangnya industri di perkotaan bagian timur dan
pertambangan di bagian barat. Saint Louis bersama kaum Puritan pada Tahun 1912
di Chicago melakukan kampanye menentang pelacuran dengan membersihkan
tempat-tempat pelacuran yang terdapat pada wilayah terpisah yang dikenal
sebagai daerah lampu merah tetap juga tidak memberantas praktek pelacuran.
Sedangkan di Indonesia sendiri pelacuran sudah ada sejak pemerintahan Hindia
Belanda, paktik pelacuran yang dilakukan berlangsung di rumah-rumah bordil, dan
di jalan-jalan terutama bagi mereka yang berada di kota besar seperti Batavia,
Bandung, Semarang dan sebagainya.
Prostitusi berasal dari bahasa latin “protitut” yang berarti perilaku secara
terang-terangan menyerahkan diri pada perizinahan. Dalam hukum positif
perzinahan diartikan sebagai perbuatan melakukan hubungan badan secara overspel yaitu melakukan hubungan badan
dengan perempuan atau lelaki yang sudah menikah, sehingga adanya pihak yang
dirugikan akibat perzinahan tersebut baik itu suami pelaku mataupun istri
pelaku, hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP.
Di Indonesia bahkan dunia, prostitusi dilabelkan sebagai penyakit
masyarakat yang harus dicegah karena dapat merusak moral generasi bangsa,
merendahkan martabat manusia dan menularnya penyakit kelamin yang mematikan.
Hukum Indonesia dari dulu hingga sekarang belum menyentuh hukuman terhadap para
PSK, akan tetapi hanya menancam hukuman terhadap para mucikari dan germo yang
memperniagakan perempuan atau laki-laki dengan ancaman maksimal enam tahun
penjaara, sebagaiman terdapat dalam pasal 297 KUHP. Alasannya adalah bahwa
pelacuran dianggap sebagai gejala sosial yang bersifat alami dan mustahil dapat
dilenyapkan sama sekali sebagaimana sejarah telah membuktikannya. Sehingga
alternatif yang diambil untuk pola penanganan prostitusi di Indonesia dan
berbagai negara di dunia adalah melalui kebijakan lokalisasi.
Munculnya Pekerja seks komersil dominannya dilatarbelakngi oleh
faktor ekonomi, yang secara sadar tidak mengharapkan hidup dalam dunia hitam
yang penuh dosa, apalagi faktor psikologis yang membuat mereka tertekan dengan
label yang didapatkan dari masyarakat sekitar sebagai “sampah masyarakat” tentu
ini sangat bersifat subjektif
dan tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena keinginan untuk melacurkan diri
bukanlah pilihan melainkan alternatif untuk dapat bertahan dan menyambung
kehidupan. Maka secara konstitusi keberadaan prostitusi menjadi tanggung jawab
penuh negara melalui aparaturnya, UUD 1945 sebagaimana disebutkan dalam
pembukan bahwa mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa adalah
tanggung jawab negara terhadap rakyat Indonesia.
Prostitusi adalah faktor alami yang disebabkan oleh manusia itu
sendiri. yaitu faktor ketidakmampuan mengontrol nafsu biologis hingga mengarah
pada prostitusi. Menurut George Ryley Scott dalam Yesmil Anwar (2010:354),
penyebab utama terjadinya prostitusi adalah keinginan para laki-laki untuk
berzina diluar perkawinan, dengan kesedian membayar pelayanan pemuas
seksualnya. Inilah yang menimbulkan adanya perilaku prostitusi profesional.
Akan tetapi Kinsey (1063: 606) berpandangan berbeda, menurut Kinsey penyebab
terjadinya prostitusi tidak hanya dilatar belakangi oleh laki-laki semata, akan
tetapi juga oleh perempuan. Kinsey melakukan peneltian pada dua belas ribu
orang yang terdiri dari wanita pekerja seks dan penikmat jasa pekerja seks.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa, para lelaki melakukan hubungan seks
dengan pelaku wanita pekerja seks disebabkan, kurangnya jalan keluar dari
kebutuhan seks mereka, berhubungan seks dengan pekerja seks dianggap lebih
mudah dan lebih murah dan terakhir bisa lebih cepat melupakan setelah hubungan
seks selesai. Sedangkan yang melatarbelakangi keterlibatan perempuan adalah,
karena tekanan ekonomi, faktor konsumtif, karena kebodohan, karena cacat
kejiwaan, karena sakit hati ditinggal pacar atau suami yang beristri lagi
sedangkan dia tidak mau di madu dan karena ketidak puasan dengan kehidupan
seks, akibat hypersexual.
Sebagai negara agama, Indonesia sangat menjunjung menjunjung
nilai-nilai Ketuhanan, dan diketahui bahwa tidak satupun agama yang melegalkan
prkatek asusila dalam ajarannya karna praktek ini dapat merendahkan martabat manusia, maka langkah
tegas yang diambil oleh pemerintah kota Surabaya pada hari Rabu (18/6). dengan
menutup praktek prostitusi Dolly-Jarak adalah untuk memutus mata rantai
pelacuran yang telah melibatkan puluh ribuan orang baik sebagai PSK, mucikari,
germo, penyedia fasilitas dan pedagang kaki lima di lokalisasi tersebut, khusus
pekerja seks Pemerintah Kota surabaya melalui Kementrian Kesejahteraan Sosial
mengkucurkan dana kompensasi senilai Rp. 7,3 Miliar yang dialokasi untuk 1.440
PSK Dolly-Jarak dengan kalkulasi mendapat RP. 5.050.000 per PSK. Hal ini
sebagaimana dirinci oleh pejabat pemerintah stempat Sony, bahwa uang nominal
Rp. 5.050.000 tersebut terdiri dari bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP)
senilai RP. 3 Juta, bantuan jaminan hidup Rp. 20 ribu perhari selama tiga
bulan, serta bantuan transformasi pulang kampung halaman senilai Rp. 250 ribu.
Selain uang tunai pihak kementrian juga memberikan motivasi dan keterampilan
kepada mantan PSK agar bisa kembali ke masayarakat setelah pengalihfungsian
Dolly menjadi lokasi Usaha Ekonomi Produktif (Republika 19/6).
Kebijakan Pemerintah Kota Surabaya dibawah kepemimpinan Rismaharini patut di
apresiasi dan di tiru oleh pimpinan daerah lainnya, khususnya pimpinan daerah
di Aceh yang merupakan daerah syariat Islam. Meskipun tidak dapat dipungkiri
akan bermunculan praktek prostitusi gelap jalanan, namun upaya ini menjadi
pertanda bahwa budaya Indonesia tidak menyukai prostitusi. Selain menutup dan
memberi konpensasi kepada eks PSK, hal paling penting adalah bagaimana caranya
membina dengan menanamkan kesadaran terhadap nilai-nilai kesusilaan, dan
keagamaan, karna hanya dengan upaya-upaya non hukumlah prostitusi masih punya
harapan untuk diberantas minimal di minimalisir. Kemudian penguatan hukum juga
dipandang perlu ditegakkan sebagai upaya kriminalisasi terhadap penyedia
fasilitas para germo dan mucikari yang meraup untung banyak dari praktek
prostitusi selama ini.
Akhirnya, hanya kepada Tuhan kita meminta semoga Indonesia bersih
dari praktek prostitusi, agar citra dan generasi bangsa terpelihara dan bersih
dari kecacatan moral. Amiin.