Friday, September 5, 2014

Prostitusi Dalam Perspektif Kriminologis

Prostitusi Dalam Perspektif Kriminologis

Pemerintah Kota Surabaya menjadi pembicaraan hangat belakangan ini setelah langkah tegas yang diambil untuk menutup dengan mengalihfungsikan lokalilasi Dolly-Jarak yang selama ini menjadi Praktek prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Pemerintah Kota Surabaya di bawah kepemimpinan Tri Rismaharini bertekat memutus mata rantai prostitusi yang diketahui terdapat sebanyak 1.449 orang pekerja seks komersial (PSK) yang 300 orang diantaranya positif tertular virus Hiv/Aids, 292 orang germo dan 52 wisma yang digunakan sebagai fasilitas transaksi prostitusi (Republika 19/6). Lokalisasi Dolly sudah dikenal oleh masyarakat setempat sejak zaman penjajahan Belanda di Indonesia. Lokalisasi ini telah menjadi tempat mencari nafkah, baik itu nafkah lahir maupun nafkah batin yang datang dari berbagai wilayah dengan berbagai latar masalah, faktor ekonomi, ketidakpuasan kehidupan seks akibat hypersexual hingga para pria hidung belang yang ingin mencicipi jasa layanan para PSK Dolly-Jarak untuk menyalurkan kebutuhan seks biologisnya. Oleh karena itu langkah berani yang diambil oleh Pemerintah kota setempat praktis membuat penghuni Dolly-Jarak hilang mata pencaharian yang selama ini berprofesi sebagai PSK, germo, Mucikarai, pedagang, hingga penyedia fasilitas Prostitusi.
Tulisan ini bertujuan untuk melihat prostitusi dalam perspektif kriminologis, yaitu: penyebab munculnya praktek Prostitusi, akibat yang diterima oleh penghuni dari penutupan lokalisasi Dolly-Jarak dan mekanisme pemerintah kota Surabaya dalam memanusiakan kembali eks lokalisasi Dolly-Jarak.
Sejarah prostitusi sudah dikenal sejak ratusan tahun sebelum masehi, dimulai sejak zaman kerajaan Yunani Kuno. Dimana pelacuran dianggap sebagai pekerjaan terhormat yang diakui oleh publik dan dianggap sebagai adat kebiasaan yang merupakan privilege yang menjadi hak istimewa para laki-laki. Namun di Roma (Italia) pelacuran dianggap sebagai penyelewengan moral dan dikenakan hukum berat, meskipun demikian, pelacuran dianggap sebagai suatu yang lumrah, apalagi kaisar-kaisar Roma sendiri terlibat intim dengan perempuan-perempuan pelacur. Sehingga pelacuran menjadi suatu gejala anomie dalam masyarakat, dimana aturan tidak berlaku sama sekali. Begitupun di Perancis melalui Raja Louis IX pemberantasan pelacuran pernah di lakukan dengan menghukum berat para pelacur, pun demikian upaya ini juga tidak berhasil, malah lambat laun bermunculan pelacuran secara gelap yang jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya. Hal yang sama juga terjadi di Amerika, dimana pelacuran mulai marak terjadi pada abad ke-19 Masehi bersamaan dengan berkembangnya industri di perkotaan bagian timur dan pertambangan di bagian barat. Saint Louis bersama kaum Puritan pada Tahun 1912 di Chicago melakukan kampanye menentang pelacuran dengan membersihkan tempat-tempat pelacuran yang terdapat pada wilayah terpisah yang dikenal sebagai daerah lampu merah tetap juga tidak memberantas praktek pelacuran. Sedangkan di Indonesia sendiri pelacuran sudah ada sejak pemerintahan Hindia Belanda, paktik pelacuran yang dilakukan berlangsung di rumah-rumah bordil, dan di jalan-jalan terutama bagi mereka yang berada di kota besar seperti Batavia, Bandung, Semarang dan sebagainya.
Prostitusi berasal dari bahasa latin “protitut” yang berarti perilaku secara terang-terangan menyerahkan diri pada perizinahan. Dalam hukum positif perzinahan diartikan sebagai perbuatan melakukan hubungan badan secara overspel yaitu melakukan hubungan badan dengan perempuan atau lelaki yang sudah menikah, sehingga adanya pihak yang dirugikan akibat perzinahan tersebut baik itu suami pelaku mataupun istri pelaku, hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP.
Di Indonesia bahkan dunia, prostitusi dilabelkan sebagai penyakit masyarakat yang harus dicegah karena dapat merusak moral generasi bangsa, merendahkan martabat manusia dan menularnya penyakit kelamin yang mematikan. Hukum Indonesia dari dulu hingga sekarang belum menyentuh hukuman terhadap para PSK, akan tetapi hanya menancam hukuman terhadap para mucikari dan germo yang memperniagakan perempuan atau laki-laki dengan ancaman maksimal enam tahun penjaara, sebagaiman terdapat dalam pasal 297 KUHP. Alasannya adalah bahwa pelacuran dianggap sebagai gejala sosial yang bersifat alami dan mustahil dapat dilenyapkan sama sekali sebagaimana sejarah telah membuktikannya. Sehingga alternatif yang diambil untuk pola penanganan prostitusi di Indonesia dan berbagai negara di dunia adalah melalui kebijakan lokalisasi.
Munculnya Pekerja seks komersil dominannya dilatarbelakngi oleh faktor ekonomi, yang secara sadar tidak mengharapkan hidup dalam dunia hitam yang penuh dosa, apalagi faktor psikologis yang membuat mereka tertekan dengan label yang didapatkan dari masyarakat sekitar sebagai “sampah masyarakat” tentu ini sangat  bersifat subjektif dan tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena keinginan untuk melacurkan diri bukanlah pilihan melainkan alternatif untuk dapat bertahan dan menyambung kehidupan. Maka secara konstitusi keberadaan prostitusi menjadi tanggung jawab penuh negara melalui aparaturnya, UUD 1945 sebagaimana disebutkan dalam pembukan bahwa mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tanggung jawab negara terhadap rakyat Indonesia.
Prostitusi adalah faktor alami yang disebabkan oleh manusia itu sendiri. yaitu faktor ketidakmampuan mengontrol nafsu biologis hingga mengarah pada prostitusi. Menurut George Ryley Scott dalam Yesmil Anwar (2010:354), penyebab utama terjadinya prostitusi adalah keinginan para laki-laki untuk berzina diluar perkawinan, dengan kesedian membayar pelayanan pemuas seksualnya. Inilah yang menimbulkan adanya perilaku prostitusi profesional. Akan tetapi Kinsey (1063: 606) berpandangan berbeda, menurut Kinsey penyebab terjadinya prostitusi tidak hanya dilatar belakangi oleh laki-laki semata, akan tetapi juga oleh perempuan. Kinsey melakukan peneltian pada dua belas ribu orang yang terdiri dari wanita pekerja seks dan penikmat jasa pekerja seks. Dari hasil penelitian diketahui bahwa, para lelaki melakukan hubungan seks dengan pelaku wanita pekerja seks disebabkan, kurangnya jalan keluar dari kebutuhan seks mereka, berhubungan seks dengan pekerja seks dianggap lebih mudah dan lebih murah dan terakhir bisa lebih cepat melupakan setelah hubungan seks selesai. Sedangkan yang melatarbelakangi keterlibatan perempuan adalah, karena tekanan ekonomi, faktor konsumtif, karena kebodohan, karena cacat kejiwaan, karena sakit hati ditinggal pacar atau suami yang beristri lagi sedangkan dia tidak mau di madu dan karena ketidak puasan dengan kehidupan seks, akibat hypersexual.
Sebagai negara agama, Indonesia sangat menjunjung  menjunjung nilai-nilai Ketuhanan, dan diketahui bahwa tidak satupun agama yang melegalkan prkatek asusila dalam ajarannya karna praktek ini dapat merendahkan  martabat manusia, maka  langkah tegas yang diambil oleh pemerintah kota Surabaya pada hari Rabu (18/6). dengan menutup praktek prostitusi Dolly-Jarak adalah untuk memutus mata rantai pelacuran yang telah melibatkan puluh ribuan orang baik sebagai PSK, mucikari, germo, penyedia fasilitas dan pedagang kaki lima di lokalisasi tersebut, khusus pekerja seks Pemerintah Kota surabaya melalui Kementrian Kesejahteraan Sosial mengkucurkan dana kompensasi senilai Rp. 7,3 Miliar yang dialokasi untuk 1.440 PSK Dolly-Jarak dengan kalkulasi mendapat RP. 5.050.000 per PSK. Hal ini sebagaimana dirinci oleh pejabat pemerintah stempat Sony, bahwa uang nominal Rp. 5.050.000 tersebut terdiri dari bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) senilai RP. 3 Juta, bantuan jaminan hidup Rp. 20 ribu perhari selama tiga bulan, serta bantuan transformasi pulang kampung halaman senilai Rp. 250 ribu. Selain uang tunai pihak kementrian juga memberikan motivasi dan keterampilan kepada mantan PSK agar bisa kembali ke masayarakat setelah pengalihfungsian Dolly menjadi lokasi Usaha Ekonomi Produktif (Republika 19/6).
            Kebijakan Pemerintah Kota Surabaya dibawah kepemimpinan Rismaharini patut di apresiasi dan di tiru oleh pimpinan daerah lainnya, khususnya pimpinan daerah di Aceh yang merupakan daerah syariat Islam. Meskipun tidak dapat dipungkiri akan bermunculan praktek prostitusi gelap jalanan, namun upaya ini menjadi pertanda bahwa budaya Indonesia tidak menyukai prostitusi. Selain menutup dan memberi konpensasi kepada eks PSK, hal paling penting adalah bagaimana caranya membina dengan menanamkan kesadaran terhadap nilai-nilai kesusilaan, dan keagamaan, karna hanya dengan upaya-upaya non hukumlah prostitusi masih punya harapan untuk diberantas minimal di minimalisir. Kemudian penguatan hukum juga dipandang perlu ditegakkan sebagai upaya kriminalisasi terhadap penyedia fasilitas para germo dan mucikari yang meraup untung banyak dari praktek prostitusi selama ini.
Akhirnya, hanya kepada Tuhan kita meminta semoga Indonesia bersih dari praktek prostitusi, agar citra dan generasi bangsa terpelihara dan bersih dari kecacatan moral. Amiin.