Pantai Ulee Lheue Banda Aceh |
***
FENOMENA penutupan jalan memang banyak terjadi di Indonesia, tak kecuali Banda Aceh. Dan, itu kerap ditemui para penguna jalan serta warga kota. Padahal, untuk umum seperti jalan nasional dan jalan provinsi, dapat ditutup sebagian dengan alasan kegiatan resepsi perkawinan, acara kematian atau acara keagamaan serta kunjungan kepala negara atau Presiden RI.
Namun faktanya, hampir sebagian kebijakan penutupan jalan dilakukan sepihak. Ironisnya, para pemangku kebijakan seperti Walikota dan Bupati, bahkan tidak menyatakan pernyataan maaf atas gangguan fasilitas umum (fasum) tersebut. Misal, memasang rambu pengalihan jalur lalu lintas atau bentuk informasi lain.
Khusus untuk kawasan perkotaan seperti Banda Aceh, penutupan jalan untuk acara tertentu, mulai dirasakan warga kota sangat menggangu aktifitas pengguna jalan. Efeknya, kemacetan terjadi saat kegiatan berlangsung. Selain merugikan waktu, banyak masyarakat yang terganggu.
“Penutupan jalan memang diizinkan, namun wajib memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UU No 22/2009, tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ),” jelas Kombes Pol. Samsul Bahri, Dirlantas Polda Aceh kepada media ini pekan lalu.
Begitupun sebut Samsul Bahri, dibolehkan oleh UU, bukan berarti tata etika dan kesalamatan di jalan raya, diabaikan begitu saja. Jika melanggar, secara pidana akan dijerat dengan Pasal 274 ayat (1) dan Pasal 279 UU LLAJ dengan ancaman satu tahun penjara.
Secara perdata dapat digugat dengan dasar hukum perbuatan melawan hukum, vide Pasal 1365 KUH Perdata. Jika penutupan jalan melawan hukum tersebut menimbulkan kecelakaan yang mengakibatkan kematian orang lain, maka dapat dikenakan pasal pidana kelalaian mengakibatkan orang lain meninggal dunia (Pasal 359 KUHP) dengan ancaman pidana lima tahun penjara.
Ketiga, penutupan jalan kota/kabupaten dan jalan desa dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional, daerah, dan/atau kepentingan pribadi. “Di sini jelas bahwa, penutupan jalan untuk kepentingan pribadi seperti resepsi pernikahan hanya mungkin diizinkan pada jalan kota/kabupaten dan jalan desa,” ulas Kombes Pol. Samsul Bahri.
Tak hanya itu, pelaksanaan pengalihan lalu lintas akibat penutupan jalan tersebut harus dinyatakan dengan rambu lalu lintas sementara. Dan, para pemangku kebijakan harus mengajukan permohonan izin penggunaan jalan diluar peruntukannya. Pemberian izin tersebut setelah pihak yang berkepentingan mengajukan permohonan terlebih dahulu pada jajaran kepolisian setempat.
Kombes Pol. Samsul Bahri |
Entah itu sebabnya, Kepada Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh, Muzakir Tulot, sempat mengkritisi kebijakan Walikota Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal. Katanya, penutupan jalan di kawasan pantai menuju fasilitas negara yaitu Pelabuhan Ule Lhe, tidak dibenarkan secara hukum dan aturan. Apalagi bersifat permanen. Itu diakui mantan Camat Ule Lhe Yusnardi yang kini Kepala Satpol PP/WH Kota Banda Aceh.
“Saat Musrembang lalu di Kantor Bappeda Banda Aceh, saya ditegur Kadis Perhubungan Banda Aceh, Muzakir Tulot. Katanya, penutupan jalan negara tidak dibenarkan,” ungkap Yusnardi.
Karena itulah, alasan tingginya tingkat kerawanan perbuatan maksiat, sehingga dilakukan penutupan jalan oleh Walkota Banda Aceh, dianggap bukan solusi tepat. Apalagi, penutupan jalan menuju kawasan dan Pelabuhan laut Ule Lhe pada malam hari, direncanakan bersifat tetap.
Amatan media ini, kawasan Pantai Wisata Ulee Lhee Banda Aceh memang saban hari ramai dikunjungi warga. Alasannya beragam. Ada yang ingin menikmati keindahan alam, menyantap jagung bakar serta melepas penat, setelah seharian berjibaku dengan tugas rutin.
Jika melihat keindahan alam, kawasan ini memang sangat potensial untuk menjadi sumber pemasukan bagi daerah (PAD) Kota Banda Aceh dan penduduk setempat. Terutama pedagang kecil yang berjualan di sepanjang jalan.
Tapi apa lacur, jalan negara yang menghubungkan Kota Banda Aceh dengan Sabang dan Pulau Aceh (Aceh Besar) ini, telah di palang dengan dalih penerapan Syariat Islam. Ironisnya, tidak ada pihak yang berani mempertanyakan kebijakan Walkot Banda Aceh tersebut. Alasannya, takut dituduh tidak mendukung pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah.
Koramil Kecamatan Meuraxa Lettu. ARH. Hamka Siregar kepada media ini mengaku prihatin dengan nasib pedagang kecil di kawasannya. Itu akibat penutupan jalan tadi. “Memang kita akui, para pedagang merasa kebaratan, tapi saat saya masuk ke sini, jalan tersebut sudah ditutup,” jelasnya pada media ini, Rabu pekan lalu.
Siregar menambahkan, sebagai unsur Muspika Kecamatan Meuraxa, dia bersedia kerjasama dengan Satpol PP/WH Kota Banda Aceh untuk menjaga kawasan pantai tersebut agar terbebas dari praktik maksiat.
“Jika Pemerintah Kota Banda Aceh mengajak kami untuk bersama-sama menjaga tempat wisata yang selama ini dianggap menjadi tempat praktik maksiat, mereka saya menyambutnya dengan tangan terbuka,” kata Siregar.
Pengakuan serupa juga disampaikan Kapolsek Meuraxa Iptu. Budiman. “Jika untuk kemajuan Kota Banda Aceh, ya kami akan mendukungnya. Apapun itu,” kata Budiman singkat.
Sementara itu, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (PP) dan Wilayatul Hisbah (WH) Yusnardi, S.,STP., M.Si juga mengaku. Penutupan jalan negara tersebut melanggar aturan. Meski demikian, dia memandang kebijakan yang diambil pimpinannya, Illiza Sa`aduddin Jamal sudah tepat.
Menurut dia, kebijakan itu atas pertimbangan kemaslahatan umat, karena masyarakat Ulee Lhee dan sekitarnya adalah korban tsunami, 26 Desember 2004 silam.
“Memang kalau dari sisi peraturan tidak dibenarkan, karena hanya Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh dan Kepolisian (Dirlantas) Polda Aceh yang bisa mengatur seluruh jalan negara. Tapi, dalam hal-hal sensitif seperti Kota Banda Aceh yang menerapkan Syariat Islam secara kaffah, maka faktor norma juga harus menjadi pertimbangan Walkot Banda Aceh, untuk mencegah dan mengurangi tingkat pelanggaran syariat,” jelas Yusnardi.
Tak hanya itu, Yusnardi juga menambahkan. “Terkadang, karena alasan norma tertentu dan khusus, bisa saja penegakkan hukum diabaikan untuk sementara. Apalagi, untuk hal-hal yang bersifat khusus seperti penegakkan Syariat Islam. Tentu ada pertimbangan lain dari pimpinan,” ulasnya, setengah membela kebijakan Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal.
Semudah itukah? Agaknya, pimpinan dan anggota DPRK Kota Banda Aceh perlu mengkaji dan mengevaluasi kembali kebijakan ini. Sebab, jangan sampai warga kota menilai: karena kelemahan eksekutif dan legislatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka melahirkan kebijakan yang seolah-olah kreatif. Padahal, sesungguhnya kontra produktif dengan aspirasi dan keinginan rakyat.
Contohnya ya itu tadi. Kalau memang diduga rawan maksiat, kenapa di kawasan itu tidak dipasang lampu penerangan jalan. Membuat pos dan menempatkan anggota Satpol PP/WH untuk bertugas serta menjalin kerjasama dengan Polsek, Koramil serta tokoh masyarakat dan pemuda Gampong Ule Lhe. Bukan sebaliknya, hanya karena tikus, lalu lumbung padi dibakar. Ini tidak arif dan bijaksana namanya. Alamak!***
Sumber: Tabloid Modus Aceh