Wednesday, March 11, 2015

Hukum Ditepis, Norma Ditegakkan


Pantai Ulee Lheue Banda Aceh
Ada syarat yang dapat dilakukan untuk menutup jalur atau jalan. Pertama, harus ada jalan alternatif dan kondisional. Kedua, untuk jalan nasional dan provinsi, harus ada izin dan  hanya untuk kepentingan umum yang bersifat nasional. Konsekuensi hukum dari pihak yang menutup jalan adalah, bertanggung jawab baik secara pidana maupun perdata.
***
    FENOMENA penutupan jalan memang banyak terjadi di Indonesia, tak kecuali Banda Aceh. Dan, itu kerap ditemui para penguna jalan serta warga kota. Padahal, untuk umum seperti jalan nasional dan jalan provinsi, dapat ditutup sebagian dengan alasan kegiatan resepsi perkawinan, acara kematian atau acara keagamaan serta kunjungan kepala negara atau Presiden RI.
Namun faktanya, hampir sebagian kebijakan penutupan jalan dilakukan sepihak. Ironisnya, para pemangku kebijakan seperti Walikota dan Bupati, bahkan tidak menyatakan pernyataan maaf atas gangguan fasilitas umum (fasum) tersebut. Misal, memasang rambu pengalihan jalur lalu lintas atau bentuk informasi lain.
Khusus untuk kawasan perkotaan seperti Banda Aceh, penutupan jalan untuk acara tertentu, mulai dirasakan warga kota sangat menggangu aktifitas pengguna jalan. Efeknya, kemacetan terjadi saat kegiatan berlangsung. Selain merugikan waktu, banyak masyarakat yang terganggu.
“Penutupan jalan memang diizinkan, namun wajib memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UU No 22/2009, tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ),” jelas Kombes Pol. Samsul Bahri, Dirlantas Polda Aceh kepada media ini pekan lalu. 
Begitupun sebut Samsul Bahri, dibolehkan oleh UU, bukan berarti tata etika dan kesalamatan di jalan raya, diabaikan begitu saja. Jika melanggar, secara pidana akan dijerat dengan Pasal 274 ayat (1) dan Pasal 279 UU LLAJ dengan ancaman satu tahun penjara.
Secara perdata dapat digugat dengan dasar hukum perbuatan melawan hukum, vide Pasal 1365 KUH Perdata. Jika penutupan jalan melawan hukum tersebut menimbulkan kecelakaan yang mengakibatkan kematian orang lain, maka dapat dikenakan pasal pidana kelalaian mengakibatkan orang lain meninggal dunia (Pasal 359 KUHP) dengan ancaman pidana lima tahun penjara.
Ketiga, penutupan jalan kota/kabupaten dan jalan desa dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional, daerah, dan/atau kepentingan pribadi. “Di sini jelas bahwa, penutupan jalan untuk kepentingan pribadi seperti resepsi pernikahan hanya mungkin diizinkan pada jalan kota/kabupaten dan jalan desa,” ulas Kombes Pol. Samsul Bahri.
Tak hanya itu, pelaksanaan pengalihan lalu lintas akibat penutupan jalan tersebut harus dinyatakan dengan rambu lalu lintas sementara. Dan, para pemangku kebijakan harus mengajukan permohonan izin penggunaan jalan diluar peruntukannya. Pemberian izin tersebut setelah pihak yang berkepentingan mengajukan permohonan terlebih dahulu pada jajaran kepolisian setempat.
Kombes Pol. Samsul Bahri
“Setelah mendapatkan izin, selanjutnya pihak kepolisian akan menempatkan personilnya di jalan yang dialihkan sementara tersebut,” jelas Kombes Pol. Samsul Bahri kepada media ini.
Entah itu sebabnya, Kepada Dinas Perhubungan  Kota Banda Aceh, Muzakir Tulot, sempat mengkritisi kebijakan Walikota Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal. Katanya, penutupan jalan di kawasan pantai menuju fasilitas negara yaitu Pelabuhan Ule Lhe, tidak dibenarkan secara hukum dan aturan. Apalagi bersifat permanen. Itu diakui mantan Camat Ule Lhe Yusnardi yang kini Kepala Satpol PP/WH Kota Banda Aceh.
“Saat Musrembang lalu di Kantor Bappeda Banda Aceh, saya ditegur Kadis Perhubungan Banda Aceh, Muzakir Tulot. Katanya, penutupan jalan negara tidak dibenarkan,” ungkap Yusnardi.
Karena itulah, alasan tingginya tingkat kerawanan perbuatan maksiat, sehingga dilakukan penutupan jalan oleh Walkota Banda Aceh, dianggap bukan solusi tepat. Apalagi, penutupan jalan menuju kawasan dan Pelabuhan laut Ule Lhe pada malam hari, direncanakan bersifat tetap.
Amatan media ini, kawasan Pantai Wisata Ulee Lhee Banda Aceh memang saban hari ramai dikunjungi warga. Alasannya beragam. Ada yang ingin menikmati keindahan alam, menyantap jagung bakar serta melepas penat, setelah seharian berjibaku dengan tugas rutin.
Jika melihat keindahan alam, kawasan ini memang sangat potensial untuk menjadi sumber pemasukan bagi daerah (PAD) Kota Banda Aceh dan penduduk setempat. Terutama pedagang kecil yang berjualan di sepanjang jalan.
Tapi apa lacur, jalan negara yang menghubungkan Kota Banda Aceh dengan Sabang dan Pulau Aceh (Aceh Besar) ini, telah di palang dengan dalih penerapan Syariat Islam. Ironisnya, tidak ada pihak yang berani mempertanyakan kebijakan Walkot Banda Aceh tersebut. Alasannya, takut dituduh tidak mendukung pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah.
Koramil Kecamatan Meuraxa Lettu. ARH. Hamka Siregar kepada media ini mengaku prihatin dengan nasib pedagang kecil di kawasannya. Itu akibat penutupan jalan tadi. “Memang kita akui, para pedagang merasa kebaratan, tapi saat saya masuk ke sini, jalan tersebut sudah ditutup,” jelasnya pada media ini, Rabu pekan lalu.
Siregar menambahkan, sebagai unsur Muspika Kecamatan Meuraxa, dia bersedia kerjasama dengan Satpol PP/WH Kota Banda Aceh untuk menjaga kawasan pantai tersebut agar terbebas dari praktik maksiat.
“Jika Pemerintah Kota Banda Aceh mengajak kami untuk bersama-sama menjaga tempat wisata yang selama ini dianggap menjadi tempat praktik maksiat, mereka saya menyambutnya dengan tangan terbuka,” kata Siregar.
Pengakuan serupa juga disampaikan Kapolsek Meuraxa Iptu. Budiman. “Jika untuk kemajuan Kota Banda Aceh, ya kami akan mendukungnya. Apapun itu,” kata Budiman singkat.
Sementara itu, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (PP) dan Wilayatul Hisbah (WH) Yusnardi, S.,STP., M.Si juga mengaku. Penutupan jalan negara tersebut melanggar aturan. Meski demikian, dia memandang kebijakan yang diambil pimpinannya, Illiza Sa`aduddin Jamal sudah tepat.
Menurut dia, kebijakan itu atas pertimbangan kemaslahatan umat, karena masyarakat Ulee Lhee dan sekitarnya adalah korban tsunami, 26 Desember 2004 silam.
“Memang kalau dari sisi peraturan tidak dibenarkan,  karena hanya Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh dan Kepolisian (Dirlantas) Polda Aceh yang bisa mengatur seluruh jalan negara. Tapi,  dalam hal-hal sensitif seperti Kota Banda Aceh yang menerapkan Syariat Islam secara kaffah, maka faktor norma juga harus menjadi pertimbangan Walkot Banda Aceh, untuk mencegah dan mengurangi tingkat pelanggaran syariat,” jelas Yusnardi.
Tak hanya itu, Yusnardi juga menambahkan. “Terkadang, karena alasan norma tertentu dan khusus, bisa saja penegakkan hukum diabaikan untuk sementara. Apalagi, untuk hal-hal yang bersifat khusus seperti penegakkan Syariat Islam. Tentu ada pertimbangan lain dari  pimpinan,” ulasnya, setengah membela kebijakan Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal.
Semudah itukah? Agaknya, pimpinan dan anggota DPRK Kota Banda Aceh perlu mengkaji dan mengevaluasi kembali kebijakan ini. Sebab, jangan sampai warga kota menilai: karena kelemahan eksekutif dan legislatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka melahirkan kebijakan yang seolah-olah kreatif. Padahal, sesungguhnya kontra produktif dengan aspirasi dan keinginan rakyat.
Contohnya ya itu tadi. Kalau memang diduga rawan maksiat, kenapa di kawasan itu tidak dipasang lampu penerangan jalan. Membuat pos dan menempatkan anggota Satpol PP/WH untuk bertugas serta menjalin kerjasama dengan Polsek, Koramil serta tokoh masyarakat dan pemuda Gampong Ule Lhe. Bukan sebaliknya, hanya karena tikus, lalu lumbung padi dibakar. Ini tidak arif dan bijaksana namanya. Alamak!***

Sumber: Tabloid Modus Aceh

Rezeki Hilang, Solusi tak Diberi


Pedagang Kecil di kawasan Pantai Ulee Lheue
SEJAK tiga tahun lalu , Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, menutup akses jalan negara menuju kawasan pantai dan Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh. Itu dimulai sejak pukul 18.00 WIB, saban hari. Alasannya, kawasan itu sarat dengan praktik maksiat, terutama pada malam hari.
    Akibatnya, puluhan pedagang kecil kehilangan rezeki. Sementara solusi alternatif tidak diberikan oleh sang Ibu Walikota Banda Aceh. Misal, memasang lampu jalan. Menempatkan petugas Satpol PP/WH serta membangun pos pemantau. Termasuk, melibatkan polisi (Polsek) serta TNI (Koramil) setempat dan Pemuda Gampong Ulee Lheue, untuk menjaga pantai itu dari perbuatan maksiat.
Itu sebabnya, kebijakan penutupan jalan tersebut, mulai dipertanyakan sejumlah warga kota ini, terutama siapa pihak yang berwenang untuk membuka dan menutup jalan. Nah, wartawan MODUS ACEH Irwan Saputra menulisnya untuk Sudut Kutaradja pekan ini.
***
“MAMPIR Dek,,,,mampir. Ada jagung bakar dan kepala muda”. Begitu tawar beberapa pria dan perempuan paruh baya, bersahutan. Mereka adalah pedagang jajanan yang ada di Pantai Ulee Lheue, Kota Banda Aceh.
Karena itu jangan heran, jika Anda melintas di sana, pasti menemui dan mendapat tawaran serupa dari mereka dengan penuh senyum.
Itu sebabnya, sepanjang jalan menuju pelabuhan laut yang menghubungkan Kota Banda Aceh dengan Kota Sabang dan Pulau Aceh (Aceh Besar), dipenuhi sejumlah pedagang tadi, terutama pada sore hari. Dan, bila hari libur (Sabtu-Minggu), mayoritas warga kota ini menghabiskan waktu bersama keluarga di sana.
Begitupun, Anda tak bisa berlama-lama. Kawasan pantai ini hanya dibuka sejak pagi hari hingga pukul 18.00 WIB. Selebihnya, seluruh pengunjung akan diminta untuk keluar atau meninggalkan tempat. Caranya, seluruh transaksi dagang dihentikan dan jalan menuju pantai ditutup dengan mengunakan palang dari besi.
Kebijakan itu dilakukan Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal. Alasannya, kawasan tersebut rawan dengan perbuatan maksiat alias melanggar syariat Islam. Maklum, Pemko Banda Aceh memang dikenal keukeuh menjalankan nilai syariat Islam. Itu sebabnya, Banda Aceh diberi julukan sebagai: Kota Bandar Wisata Madani.
Semudah itukah? Inilah yang jadi soal. Sebab, jika karena alasan maksiat, maka menjadi ironis dengan kondisi yang ada. Maklum, di kawasan itu ada Kantor Polsek dan Koramil. “Inikan jadi aneh, terkesan Walikota tidak percaya dengan aparat penegak hukum di sana,” kritik Usman, seorang warga Banda Aceh.
Sayangnya, hanya bisa dihitung dengan jari ada warga yang seperti Usman. Mayoritas lainnya, lebih memilih diam. Termasuk para tokoh Gampong dan Pemuda Ulee Lheue. Bisa jadi, mereka takut dicap sebagai orang yang tidak mendukung pelaksanaan Syariat Islan di Kota Banda Aceh. Ini menjadi jurus jitu bagi Walkot Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal untuk menaikkan citra positif kepemimpinannya.
Entah itu sebabnya, sejak tiga tahun lalu kebijakan itu dilaksanakan, tak ada satupun pihak yang berani mempertanyakan. Termasuk, kewenangan dan dasar hukum penutupan jalan negara tadi. Bahkan, pimpinan dan anggota DPKR Banda Aceh, juga diam seribu bahasa.
“Selama saya bertugas di sini, memang tidak pernah dikonfirmasi tentang alasan penutupan jalan ini. Tapi apapun itu, selama untuk membangun Kota Banda Aceh, kami tetap mendukung,” ujar Kapolsek Meuraxa, Iptu Pol. Budiman saat dijumpai media ini, Rabu Pekan lalu.
Namun, keterangan menarik disampaikan Kepala Satpol PP/WH Banda Aceh, Yusnardi. Katanya, penutupan jalan dan kawasan Pantai Ulee Lheue, karena ada permintaan dari kaum ibu di Kecamatan Meuraxa. Mereka khawatir, anak gadisnya banyak yang kongko-kongko di kawasan tersebut hingga meninggalkan shalat magrib dan patut diduga, ada yang menjurus kepada perbuatan maksiat.
Akibatnya, puluhan pedagang kecil di sana tidak bisa berbuat banyak jika tak elok disebut pasrah menerima nasib. “Saya sudah berjualan sepuluh tahun di sini Dek. Setelah penutupan jalan ini, penghasilan saya drastis berkurang,” kata Amri, seorang pedagang jagung bakar pada media ini, Rabu pekan lalu.
Ayah dua anak ini mengaku, kebijakan Walikota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal menutup jalan dan kawasan pantai pada malam hari, membuat pemasukannya berkurang. Karena itu, dia menyayangkan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil ini.
Pengakuan Amri diamini Kak Nong, juga seorang pedagang jagung bakar di sana. Perempuan paruh baya ini mengaku. Pemko Banda Aceh tidak berpihak pada masyarakat kecil. Buktinya, mereka selalu jadi korban.
“Hanya karena beberapa remaja yang katanya berpacaran, tapi kami pedagang kecil yang jadi korban,” kritik Kak Nong.
Setali tiga uang, nasib apes serupa juga dialami Azizah. Janda beranak dua ini mengaku telah sepuluh tahun berjualan di sana. Menurutnya, kebijakan Walikota Banda Aceh, untuk menutup jalan dianggap aneh dan bukan solusi yang cerdas.
“Katanya untuk mencegah maksiat. Nah, apakah kami diam saja kalau ada yang berbuat maksiat di sini. Pasti kami kejar,” ungkap Azizah, setengah kesal pada media ini, Selasa pekan lalu.
Baik Amri, Kak Nong dan Azizah mengaku setuju dan sepakat jika penutupan jalan dan kawasan pantai pada malam hari karena alasan menghalau praktik maksiat. Begitupun sebut mereka, apakah cara tersebut hanya satu-satunya jalan yang bisa dilakukan Walkot Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal.
“Ya, Pemko Banda Aceh bisa pasang lampu jalan, menempatkan petugas Satpol PP/WH di sini. Bekerjasama dengan pedagang, Polsek dan Koramil serta tokoh gampong maupun pemuda. Ini saya kira jauh lebih baik dan bijak, dari pada bertindak sepihak,” kritik Amri.
Menurut Amri, jika Walkot Banda Aceh benar-benar ingin menghalau maksiat, maka harus melibatkan semua pihak. Ini dimaksudkan tidak sebatas memberi sanksi, tapi juga solusi.
“Dia (Illiza—rd) sudah digaji oleh negara, makan dan tidur enak. Kami, kalau tidak jualan mau makan apa,” timpa Kak Nong, kesal. “Ya, jangan gara-gara tikus, lumbung padi yang dibakar. Silahkan beri sanksi, tapi harus ada solusi buat kami rakyat kecil ini,” sambut Azizah.
***
IHWAL penutupan jalan menuju pantai dan Pelabuhan Ulee Lheue memang ditolak sejumlah pedagang di sana, tapi kebijakan ini justeru didukung tokoh masyarakat dan pemuda setempat. Alasannya, tiga tahun silam, sejumlah kaum ibu dari Kecamatan Meuraxa, ngotot serta meminta Walkota Banda Aceh melalui Camat, Danramil dan Kapolsek (Muspika), untuk menutup kawasan ini, khususnya  pada sore hari. Itu dimaksudkan, agar mereka tidak merisaukan pergaulan anak gadisnya.
Malah, ketika jalan berhasil ditutup dengan portal, Geushik Ulee Lheue M. Yasin mengaku kebanjiran salam dari kaum ibu. “Ya kita lihat dampaknya memang benar. Sembilan puluh persen apa yang dimaksud itu tercapai. Artinya, untuk menghalau maksiat. Malah, saya kebanjiran salam dari ibu-ibu se-Kecamatan Meraxa,” kata M. Yasin bangga, Rabu pekan lalu.
Entah karena alasan itu pula, portal jalan pun diberlakukan. Tujuannya untuk membendung praktik maksiat. Tapi siapa sangka, dibalik kebijakan tadi, masih ada masyarakat kecil yang dikorbankan.
“Kami rakyat kecil, di sinilah tempat satu-satunya untuk mencari penghasilan, menghidupi keluarga. Ketika ditutup, otomatis kami berjualan hanya sebentar dan penghasilan jadi terbatas,” keluh Azizah.
Dia berharap, Walkot Illiza Sa’aduddin Djamal dan DPRK Banda dapat mencari solusi untuk mengatasi masalah ini secara arif dan bijak. Salah satu cara adalah, memasang lampu jalan biar terang. Membuat pos dan menempatkan anggota Satpol PP/WH sebagai pengawas lapangan serta melibatkan tokoh serta pemuda gampong sebagai relawan. Termasuk Polsek serta Koramil setempat.
“Nah, jika semua pihak dilibatkan, saya kira hanya orang gila dan binatang yang berani berbuat maksiat di sini. Kalau pun itu terjadi, biar kami yang menghukum si pelaku. Jika bandel, kita lempar saja ke laut,” kata Amri, setengah emosi. Bagaimana Pak Dewan?

Sumber : Tabloid Modus Aceh








Harga tak Sama Cakap


Ilustrasi
Pemerintah Aceh melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 541/20/2014, menetapkan. Harga Enceran Tertinggi (HET) Elpiji 3 kilogram di pangkalan Rp 16 ribu. Berharap subsidi tepat sasaran, justru masyarakat sering tidak kebagian. Diduga, ada pangkalan yang bermain curang untuk meraih untung besar.

Irwan Saputra
            
MINGGU pagi pekan lalu, jarum jam masih bergerak pukul 07.00 WIB. Di tengah desingan suara kendaraan yang lalu lalang di jalan yang menghubungi Krueng Cut dengan Banda Aceh. Sepasang suami isteri dan seorang balita, berhenti persis di depan salah satu kios.
Seketika, ibu rumah tangga itu turun dari motor skutik yang dikendarai suaminya. Sambil menjinjing tabung kosong, ibu satu anak ini menghampiri seorang pedagang gas elpiji tiga kilogram. Dia sering disapa Pak Abdullah.
“Ada gas tiga kilo Pak, berapa harganya,” tanya ibu tadi sambil memeriksa gas yang dipajang Abdullah di depan kiosnya.
“Ada, Rp 30 ribu,” jawab Abdullah singkat. “Kok, mahal sekali. Nggak bisa kurang,” timpa ibu tadi setengah mengiba. “Nggak bisa, karena saya juga ambil mahal,” balas Abdullah, datar.
Merasa tidak ada harapan, si ibu tersebut bergegas, mendekati skutik yang dikendarai suaminya. Sambil berlalu dia berujar. “Sudahlah, tidak jadi beli”.
***
            Elpiji tiga kilogram adalah gas yang diperuntukkan pemerintah untuk masyarakat berpenghasilan rendah alias dibawah satu juta lima ratus ribu rupiah per bulan. Selain itu, juga diperuntukkan untuk usah mikro.
Untuk mendapatkan gas elpiji tiga kilogram dari pangkalan, masyarakat disyaratkan untuk membawa kartu tanda penduduk (KTP) atau kartu keluarga (KK). Ini sebagai bukti bahwa masyarakat tersebut adalah benar warga setempat atau berada dalam jangkauan pankalan.
Meski demikian, masyarakat mengaku kesal. Sebab, mereka sering tidak kebagian gas subsidi dari pemerintah. Maklum, karena gas elpiji tiga kilogram di pangkalan terlalu cepat kosong atau sering kehabisan. Sementara, mereka membutuhkan untuk keperluan dapur.
Untuk menghidupkan dapur, mereka terpaksa meronggoh kocek hingga dua kali lipat dari harga dasar elpiji subsidi di pangkalan. Ini berarti, mereka harus membeli gas elpiji tiga kg di kios pengencer dengan harga Rp 28 ribu sampai Rp 30 ribu per tabung. Padahal pemerintah melalui Pertamina terus menambah pasokan gas subsidi tersebut.
Patut diduga, ada pangkalan penyedia gas elpiji tiga kilogram yang bermain curang. Tujuannya,  untuk memperoleh keuntungan besar dengan mengorbankan masayarakat kecil.
Mawardi, seorang warga Lam Ateuk,  Kabupaten Aceh Besar mengaku. Akibat permainan harga tadi, dia terzalimi. Karena, saat dia membutuhkan gas di pangkalan, nyatanya sering habis. Yang diketahui Mawardi, gas yang dipasok setiap hari dalam jumlah banyak.
“Masak gas bisa habis dalam satu jam. Jika bukan digunakan oleh usaha besar, mana mungkin orang selalu beli gas setiap hari, sehingga saya terpaksa membelinya di enceran dengan harga Rp 28 ribu,” ungkap penjual buah keliling ini.
Dia menduga, ada pangkalan yang bermain curang. Dia memnberi contoh. Pangkalan di Lam Ateuk, Aceh Besar. Gas yang di pasok oleh agen Pertamina pada malam hari, saat pagi atau sekitar jam sepuluh sudah habis terjual. “Mustahil,” katanya singkat pada media ini, Rabu pekan lalu.
***
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itulah gambaran nasib yang diakami masyarakat kelas bawah. Lihat saja, gas elpiji tiga kilogram yang disubsidi pemerintah, ternyata ditilep oleh oknum di pangkalan, guna meraih untung besar.
Setali tiga uang. Nasib apes Mawardi, juga dialami seorang ibu rumah di Blang Krueng, Aceh Besar. Kepada media ini dia mengaku, pangkalan gas elpiji tiga kilogram di desanya sering menjual gas subsidi kepada pengencer yang diangkut dengan becak. Lalu, gas tadi dijual kembali di kampung lain, sementara untuk warga desa mereka, sering tidak mencukupi.
“Sering cepat habis,” ungkap Ibu tadi. Karena alasan keamanan dirinya, dia minta identitasnya tidak ditulis.
Dia menambahkan, harga gas elipiji subsidi tiga kilogram pernah dibelinya dengan harga  Rp 20 ribu per tabung. “Itu masih ada Dek, belum habis tabung bulan kemaren saya pakai. Saya beli seharga Rp 20 ribu,” jelasnya.
Pengakuan itu dibenarkan Khatijah, juga warga Blang Krueng, teman Ibu ini di pagi itu. Malah, Khatijah mengaku semua masyarakat lainnya bersedia untuk jadi saksi terhadap permainan culas pangkalan gas elpiji tiga kilogram di kampungnya itu. Kata Khatijah, mereka sering menjual tabung ke desa lain, sementara untuk warga kampung mereka sering dikatakan habis.
“Mana mungkin gas masuk pada malam hari, esok pagi saat kami mau beli sudah tidak ada lagi. Kami  terpaksa beli dienceran atau pergi ke Desa Baet,” jelasnya.
Dia menambahkan. “Hanya sekarang harganya sudah Rp 16 ribu, setelah ditegur oleh aparat desa,” sebut Khatijahpada media ini, Kamis pekan lalu.
Sebelumnya,  seorang perempuan yang sering disapa Mak Nong Barat mengaku. Pangkalan gas elpiji di kampungnya sering mematok harga secara meulap-lap (angin-anginan) alias tidak menentu. “Kadang Rp 18 ribu atau Rp 16 ribu,” jelasnya pada media ini, hari Selasa pekan lalu.
***
Penelusuran MODUS ACEH selama dua pekan, pemakai gas elpiji tiga kilogram tidak hanya berasal dari masyarakat kalangan bawah atau usaha mikro. Sebaliknya, ada juga dari kalangan  menengah ke atas. Mereka dengan ‘senyum’ menikmati gas subsidi bantuan pemerintah.
Ambil contoh, salah seorang tokoh masyarakat di Gampong Rukoh, Darussalam, Banda Aceh. Dia berprofesi sebagai dosen. Kepada media dia mengaku, masih membeli gas elpiji tiga kilogram untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Saat ditanya kenapa tidak pakai gas elpiji ukuran 12 kilogram? Dia mengaku, karena terlalu berat. Sementara ukuran tiga kilogram relatif lebih ringan.
Tak sampai di sini, media ini juga melakukan penelusuran di Pasar Ulee Kareng, Banda Aceh. Hasilnya, ada masyarakat kelas menengah  atas yang membeli dan menikmati gas bersubsidi. Dia membeli gas elpiji tiga kilogram di pangkalan Cut Ros Kemala Dewi dengan menggunakan mobil Kijang Innova.
            Saat ditemui media ini pekan lalu, Cut Ros Kemala Dewi mengaku, gas elpiji di pangkalannya tidak lebih dari dua jam sudah habis. Dia mengambil 100 tabung dari agen resmi yang dipasok pada malam hari.
“Saya buka jam sembilan pagi. Sekitar satu jam setengah sudah habis terjual,” kata Cut, Rabu pekan lalu.
Untuk memastikan kebenaran informasi Cut Ros Kemala Dewi, Kamis pekan lalu, media ini melakukan kroscek dengan menghitung jumlah tabung yang keluar atau dibeli warga setempat.  Jumlahnya, delapan puluh lima tabung habis terjual dalam jangka waktu satu setengah jam. Ketika ada warga yang membutuhkan, Cut Ros mengaku sudah habis terjual. Habis, sudah habis,” kata warga Ulee Kareng ini.
Kepada media ini, Cut Ros menjelaskan. “Lima belas tabung lagi saya simpan, orang Pertamina bilang untuk jaga-jaga. Jika ada masyarakat yang sangat membutuhkan boleh dikasih. Lagi pula, mereka baru ambil kemaren,” ungkap dia.
Soal gonjang ganjing adanya dugaan para pemilik pangkalan gas elpiji tiga kilogram bermain dengan pengencer, memang bukan cerita baru. Bayangkan, hingga saat ini, praktek haram itu terus saja terjadi. Apabila dibiarkan berlarut-larut oleh pemerintah dan tanpa pengawasan dari Pertamina, tentu akan menjadi preseden buruk.
Rahmat, salah seorang pengencer di Gampong Blang Krueng Aceh Besar mengaku. Dia mengangkut gas elpiji tiga kilogram ke kiosnya dengan mengukan becak mesin. Dia membelinya dua hari sekali. Soal jumlah tabung yang dia dapatkan dari pangkalan, Rahmat mengaku tidak tetap. Semua tergantung pada berapa banyak yang diberikan pangkalan.
“Kadang 20 tabung, ada juga 15 atau bahkan cuma 10 tabung,” jelas Rahmat pada media ini, Kamis pekan lalu. Rahmat mengaku, harus bermain gelap dengan pangkalan untuk mendapatkan gas. Tentu saja, atas dasar saling menguntungkan. Dia juga mengaku ikut bermain dengan salah satu pangkalan yang ada di Aceh Besar.
“Saya katakan pada dia, saya mau beli gas, cuma saya tidak punya KTP, atau surat, berapa harga per tabung,” ungkap Rahmat.
Rahmat menambahkan, setelah pemilik pangkalan setuju untuk memberikan gas padanya dan dia jual kembali secara enceran, baru kemudian diberikan.
Dia memberi bocoran, bila ia membeli dengan harga Rp 23 ribu per tabung, saat menjualnya harganya sangat tergantung pada harga di pasaran. Jika permintaan banyak, maka ia akan menjual dengan harga Rp 30 ribu per tabung. Sebaliknya,  kalau permintaan kurang, dia menjualnya dengan harga Rp 28 ribu per tabung.
“Saya hanya penjual, ya saya melihat keadaan. Jika sedang langka, saya jual Rp 30 ribu. Kalau sedang banyak, saya  jual Rp 28 ribu per tabung,” sebut Rahmat.
***
Soal harga gas elpiji tiga kilogram, sebenarnya sudah diatur berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Aceh, Nomor 541/20/2014, tentang Harga Enceran Tertinggi (HET). Untuk radius 60 kilometer dari Depot Elpiji Pertamina Aceh adalah Rp 16 ribu per tabung. Rinciannya, harga gas elpiji tiga kilogram per tabung yang didapatkan dari agen resmi Rp 14 ribu, sedangkan pangkalan harus menjual kemasyarakat dengan harga tertinggi Rp 16 ribu. Ini   berarti, per tabung pengkalan mendapatkan keuntungan Rp 2 ribu. Namun, masih ada pangkalan yang menjual dan mencari keuntungan lebih besar dengan menaikkan harga.
Kepala Bagian Administrasi Perekonomian Pemko Banda Aceh Arie Maula Kafka, S.Sos kepada media ini pekan lalu mengaku. Pihaknya memang masih kecolongan dalam mengawasi harga gas bersubsidi. Buktinya, masih ada pangkalan nakal yang bermain. Karena itu, dia meminta masyarakat untuk melapor, jika ada pihak atau pedagang yang bermain.
“Lapor saja ke kami biar kita cabut ijin usahanya,” ancam  Arie. Dia juga mengaku telah membuat surat edaran ke seluruh kecamatan dalam Wilayah Kota Banda Aceh. Isinya,  tidak boleh menjual barang bersubsidi selain dari pangkalan resmi.
Menurutnya, di Banda Aceh ada 80 pangkalan gas elpiji yang tersebar di sembilan kecamatan. “Kami telah keluarkan surat edaran, hanya pangkalan resmi saja yang boleh jual gas,”  ujarnya.
Arie Maula mengaku, masih ada pengencer yang menjual barang bersubsidi. Tapi, itu dilakukan di kawasan pinggiran kota. “Rata-rata di pinggiran, ada nggak yang jualan di Peunayong,” kata Arie, balik bertanya. 
Dia mengaku selalu melakukan operasi pasar dengan Pertamina. Tujuannya, agar tidak terjadi kelangkaan gas akibat pasok gas dari pangkalan ke pengencer. Sebaliknya, dia juga mengaku heran kenapa masyarakat masih sulit mendapatkan gas subsidi di pangkalan. Padahal, Pertamina terus meningkatkan pendistribusian. “Sebenarnya, semakin banyak gas elpiji yang didistribusikan, tentu tidak akan terjadi kelangkaan di pangkalan. Karena kami telah mendapatkan sampel (contoh), masyarakat miskin di Banda Aceh paling banyak mengunakan dua tabung dalam satu bulan,” ujarnya.
Kepala Bagian Elpiji PT. Pertamina Persero Aceh, A. Muhajir Kahuripan, saat  ditemui di Kantor PT. Pertamina Persero, Jalan Tgk. H. M. Daud Berueh, Selasa pekan lalu  mengatakan. Terkait dugaan adanya permainan distribusi gas antara pangkalan dengan pengencer, tidak menjadi kewenangan pihaknya. Itu menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten atau Kota. “Pertamina hanya penyedia, sedangkan pengawasan ada di pihak pemerintah daerah. Dan, kami telah membangun komunikasi serta kerja sama dengan Pemda,” jelas Muhajir.
Terkait pengawasan, pihaknya hanya melakukan monitoring ke pangkalan. Sebab, itulah jalur resmi tentang penyaluran gas bersubsidi. “Kami hanya bisa melakukan monitoring ke pangkalan. Kalau ada pangkalan yang menjual mahal, tolong diinformasikan,” harap Muhajir.
Begitupun, pihaknya terus melakukan peningkatan dalam pendistribusian gas elpiji. Untuk tahun tahun 2013 lalu misalnya,  di Aceh telah disalurkan 44 juta tabung. Sementara tahun 2014 berjumlah 56 juta tabung, sedangkan untuk wilayah Banda Aceh (2014), Pertamina menyalurkan 843.920 tabung.
Muhajir berharap, gas elpiji tiga kilogram dapat disalurkan tepat sasaran. “Golongan masyarakat yang berhak memakai gas elpiji tiga kilogram adalah yang berpenghasilan satu juta lima ratus per bulan serta usaha mikro yang omsetnya Rp 25 juta  per bulan,” rinci Muhajir.

Lantas, apa yang harus dilakukan jika masih ada para pengecer dan pengusaha di pangkalan yang membandel? Saat, aparat penegak hukum turun tangan.***