Thursday, July 21, 2016

Penerapan Ancaman Pidana Minimum Khusus Dalam Perkara Narkotika


Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Calang
Nomor: 35/Pid.B/2010/CAG

Oleh : Irwan Saputra, SH.I

Ilustrasi

I.                   I. PENDAHULUAN
Sebagai kejahatan kelas berat (extra ordinary crime) tindak pidana narkotika juga digolongkan dalam tindak pidana khusus. Karena, narkotika menyangkut masa depan generasi muda negeri pertiwi ini, bahkan dapat menimbulkan bahaya besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa, tentu saja pada akhirnya akan melemahkan ketahanan nasional.[1]
Pada dasarnya, narkotika adalah zat yang bermanfaat untuk pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.[2] Namun, seiring berkembangnya teknologi, transportasi, informasi dan komunikasi yang canggih, modus operandi tindak pidana narkotika dalam waktu relatif singkat dengan mobilitas cepat selain memiliki dimensi lokal, nasional dan juga internasional bahkan telah menjelma sebagai kejahatan transnasional. Modus operandi sindikat peredaran narkotika begitu mudah menembus batas-batas negara di dunia melalui jaringan manajemen yang rapi dan teknologi canggih, serta masuk ke Indonesia sebagai negara transit (transit-state) atau bahkan sebagai negara tujuan perdagangan narkotika secara ilegal (point of market-state).
Oleh sebab itu, sebagai negara peserta Konvensi Tunggal Narkotika (KTN) yang diselenggarakan di New York pada 1961 silam, Indonesia telah mengesahkan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya.[3] Tujuannya adalah, untuk menyempurnakan cara-cara pengawasan dan mengatasi penggunaan narkotika hanya untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan, serta menjamin kerjasama internasional dalam pengawasan narkotika.[4] Alhasil, dari proses yang cukup panjang lahirlah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,[5] setelah terjadi perubahan dari undang-undang sebelumnya. Dalam formulasi hukuman, undang-undang tentang narkotika, menganut sistem pidana minimum khusus, yang bertujuan sebagai upaya pemberatan terhadap pelaku tindak pidana narkotika.
Sistem pidana minimum khusus, adalah formulasi yang menyimpang dari pola pemidanaan dari KUHP (Wetboek van Strafrecht) yang menganut pola maksimum umum dan minimum umum. Pidana minimum khusus hanya diberlakukan pada beberapa tindak pidana yang dipandang meresahkan masyarakat, sementara penerapan ancaman pidana minimum bertujuan agar tidak terjadinya disparitas (perbedaan) pemidanaan.[6]
Namun praktik di pengadilan, ternyata sering didapati hakim memvonis terdakwa yang diancam pidana minimum dengan putusan di bawah dari ancaman tersebut. Terkesan menabrak aturan.
Seperti kasus di Pengadilan Negeri Calang, nomor perkara: 35/Pid.B/2010/CAG yang terbukti melanggar pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, sesuai aturan, seharusnya terdakwa diancaman pidana paling singkat untuk terdakwa 5 tahun. Namun, hakim hanya memvonis dengan hukuman 2 tahun. Atas dasar itulah, penulis tertarik untuk menulis makalah ini, dengan asumsi apakah hakim bisa serampangan mendobrak aturan tersebut? atau ada pertimbangan lain?
 Metode penelitian makalah ini bersifat yuridis normatif, sementara pendekatannya bersifat statute approach,[7]dan conceptual approach,[8] sedangkan teknik pengumpulan data bersifat library reseach, yakni dengan mengumpulkan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
II.                PIDANA DAN PEMIDANAAN
Pidana adalah pemberian hukuman oleh negara terhadap individu atau kelompok yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan undang-undang dengan sengaja.[9] Andi Hamzah menjelaskan, yang dimaksud melanggar ketentuan dengan sengaja adalah menyelahi ketentuan asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, yaitu nullum delictum nulla poena sine pravia lege poenali. Maksudnya, tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.[10]
Pidana tak lain adalah suatu reaksi atas delik (tindak pidana) dan berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja diberikan oleh negara pada pelaku delik, sehingga reaksi tersebut dapat dianggap sebagai suatu sanksi yang pantas ditujukan dengan semata-mata untuk menjaga keamanan masyarakat terhadap ancaman dari bahayanya delik yang dilakukan.
Pidana, dalam prosesnya memiliki unsur, Mahrus Ali menjelaskan unsur-unsur pidana yang meliputi, perbuatan tersebut mewujudkan suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat pada keadaan yang dilarang oleh hukum baik dalam pengertian formil maupun materil. Kemudian, kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum. dan adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum. Dalam unsur terakhir ini, terkait dengan beberapa hal yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum pidana yang ada dalam undang-undang.[11]
Di beberapa negara seperti Nedherland, pengenaan pidana harus memenuhi unsur actus reus yakni unsur esensial dari kejahatan (physical element) dan means rea (mental element) yakni keadaan sikap batin pelaku tindak pidana.[12] Zainal Abidin Farid dalam Siswanto mengatakan, unsur actus reus harus didahulukan yaitu perbuatan kriminal (criminal act). Hal tersebut sesuai dengan syarat-syarat pemidanaan (strafvoraus setzungen) yang mendahulukan adanya perbuatan pidana, setelah diketahui adanya perbuatan pidana sesuai rumusan undang-undang barulah diselidiki tentang sikap batin pembuat.[13]
Tindak pidana, merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap bentuk masyarakat, di mana ada masyarakat di situ ada tindak pidana. Tindak pidana selalu bertalian erat dengan nilai, struktur masyarakat itu sendiri. Sehingga apapun upaya manusia untuk menghapuskannya, tindak pidana tidak mungkin tuntas karena tindak pidana memang tidak mungkin terhapus melainkan hanya dapat dikurangi jumlahnya.
Menurut Hans Kelsen, tindak pidana adalah suatu kondisi dimana sanksi diberikan berdasarkan norma hukum yang ada. Perbuatan manusia dikatakan sebagai delik apabila aturan hukum memberikan sanksi sebagai konsekuensi dari tindakan tersebut.[14] Sehingga kriteria konsep delik adalah elemen yang ditentukan dalam materi norma hukum itu sendiri.[15] Senada dengan Kelsen. C.S.T. Kansil menyebutkan bahwa, tindak pidana adalah perbuatan yang dapat dihukum, ia berupa kelakuan individu yang bertentangan dengan keinsafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, dengan catatan dilakukan oleh seseorang yang dapat dipersalahkan seperti yang dijelaskan dalam ketentaun buku kedua dan buku ketiga KUHP.[16]
Dalam praktiknya, pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan pemidanaan. Namun, menentukan tujuan pemidanaan sering menjadi persoalan yang dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atau untuk pembelajaran bagi pelaku dan masyarakat umum lainnya.
Secara teoritis, pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang berkisar pada perbedaan hakikat ide dasar tentang pemidanaan yang  dapat dilihat dari beberapa pandangan. Andi Hamzah menuliskan ada 3 (tiga) aliran utama dalam teori pemidanaan, yaitu teori pembalasan pembalasan, relatif, dan gabungan.[17]

a.       Teori pembalasan (retributive).
Teori ini berpandangan bahwa pidana, tidaklah bertujuan untuk memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukannya suatu kejahatan. Teori ini berprinsip manfaat penjatuhan pidana tidaklah perlu untuk difikirkan, setiap kejahatan harus berakibat pada penjatuhan pidana kepada pelaku. Oleh karena itu teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, hakikat suatu pidana ialah pembalasan.[18]
b.      Teori relatif (teleologis).
Teori ini mengajarkan penjatuhan pidana harus berorientasi pada mencegah terpidana (special prevention) dari kemungkinan mengulangi kejahatan di masa mendatang, serta mencegah masyarakat luas pada umumnya (general prevention) dari kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti kejahatan yang telah dilakukan terpidana maupun lainnya.[19]Ada tiga poros tujuan utama pemidanaan dalam teori relatif, yaitu: preventif, detterence dan reformatif.[20]
Teori relatif memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat.[21]

c.    Teori Retributif Teleologis (Teori Gabungan)
Teori ini merupakan penggabungan dari kedua teori di atas, yaitu teori absolut dan teori relatif. Menurut Andi Hamzah, teori gabungan dipraktikkan secara bervariasi, ada kalanya menitikberat pada pembalasan ada pula yang menginginkan adanya keseimbungan antara prevensi dan pembalasan.[22] Van Bemmelan yang merupakan salah satu tokoh penganut teori gabungan mengemukakan, pidana bertujuan untuk membalas kesalahan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan yang layak dalam masyarakat.[23] Pendapat ini disepakati oleh Pompe dan Grotius yang kemudian dilanjutkan oleh Rossi dan Zevenbergen yang mengatakan bahwa makna dari tiap-tiap pidana adalah melindungi tata hukum dan pidana mengembalikan hormat terhadap hukum pemerintah.[24]
Dengan demikian, pada umumnya para penganut teori gabungan mempunyai paham bahwa dalam suatu pidana terkandung unsur pembalasan dan unsur perlindungan masyarakat. Adapun titik berat maupun keseimbangan di antara kedua unsur tersebut tergantung dari masing-masing sudut pandang penganut teori gabungan.

III.             PENERAPAN PIDANA MINIMUM KHUSUS
Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan, bahwa Negara Indonesia adalah negara yang didasarkan atas hukum (rechstaat) bukan didasarkan atas kekuasaan (machtsstaat). Sebagai negara hukum Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia,[25] menjamin keselamatan dan kenyamanan warga negara serta menempatkan semua warga negara pada posisi yang sama di depan hukum (equality before the law).[26]
Lauren M. Friedman mengemukakan ada empat fungsi dasar sistem hukum dalam sebuah negara. Pertama, sebagai bagian dari sistem kontrol sosial (social control) yang mengatur perilaku manusia. Kedua, sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa (dispute setlement). Ketiga, sebagai social egeneering function dan keempat, hukum sebagai social maintenence, yaitu fungsi yang menekankan peranan hukum sebagai pemeliharaan “status quo” yang tidak menginginkan perubahan.
Selain fungsi hukum, Friedman menambahkan, ada tiga elemen dasar dari sistem hukum tersebut, yaitu strukture, subtance, dan legal culture. Aspek Struktur menyangkut lembaga yang berwenang membuat dan melaksanakan undang-undang (lembaga pengadilan dan lembaga legislatif).  Kemudian aspek subtansi, yaitu materi atau bentuk dari peraturan dan aspek terakhir dari sistem hukum adalah apa yang disebut sebagai sikap orang terhadap hukum dan sistem hukum, yaitu menyangkut kepercayaan akan nilai, pikiran atau ide dan harapan mereka.[27]
          Dalam kehidupan sosial, kejahatan pada dasarnya selalu melekat dalam masyarakat manapun dan berbentuk apapun sistem politiknya. Bahkan seiring perkembangan teknologi dan kompleksitas kehidupan, kualitas kejahatan semakin meningkat dan sulit untuk diungkap. Contohnya pencurian, dulu pencurian hanya dilakukan dengan mengambil secara langsung barang milik orang lain. Tetapi kini, seiring dengan perkembangan teknologi, pencurian dilakukan dengan bantuan teknologi canggih seperti komputer. Akibatnya bentuk pencurian dan tindak pidana lain menggunakan teknologi tinggi dan tidak gampang untuk dilacak. Bahkan dalam perkembangannya, kejahatan tidak lagi hanya dilakukan oleh perorangan. Apalagi didorong oleh mengglobalnya sistem perekonomian dunia, sehingga kejahatan dalam skala besar dilakukan oleh kelompok-kelompok terorganisir.[28]
Menurut W.A Bonger, kejahatan adalah perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapatkan reaksi dari negara, berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan hukum (legal definition) mengenai kejahatan.[29] Semenetara Barda Nawawi merumuskan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang dapat merintangi pencapaian kualitas bagi semua orang.[30]
Maka untuk mencegah kejahtan berulang dan dapat merintangi pencapaian kualitas bagi semua orang, maka dilakukanlah penanggulangan dengan sarana hukum (penal policy), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum in concreto), yang merupakan upaya untuk memberantas kejahatan dengan memperhatikan dan mengarahkan pada tercapainya kebijakan sosial yang berupa sosial welfare dan social defence.[31]
Dalam kebijakan menanggulangi kejahatan, maka hukum selain harus mengandung unsur represif  juga mengandung unsur preventif. Karena di samping penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana juga diharapkan ada efek pencegah (detterence efect) terhadap masyarakat lainnya. Hal ini karena hukum pidana merupakan salah satu kebijakan sosial untuk menyalurkan ketidaksukaan masyarakat terhadap kejahatan (social dislike) yang sekaligus diharapkan menjadi sarana perlindungan sosial (social defence). Oleh karena itu penal policy merupakan bagian integral dari social defence policy.[32]
Karena, menurut Helbert L. Parker penggunaan sanksi pidana secara sembarangan tanpa pandang bulu (indiscriminately) dan digunakan secara paksa (coercievely) akan menimbulkan sarana pidana itu menjadi suatu pengancam utama (prime treatener).[33]
Maka, untuk kejahatan-kejahatan tertentu seperti tindak pidana narkotika yang diatur dalam undang-undang pidana khusus, terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang menyimpang dari hukum pidana umum (KUHP). Seperti penentuan pidana minimum khusus dalam pidana penjara yang menyangkut sekelompok orang atau perbuatan-perbuatan tertentu.[34]
Pola penggunaan pidana minimum khusus dalam tindak pidana khusus terhadap pidana penjara, merupakan suatu perkecualian, yaitu hanya ditujukan untuk delik-delik tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan atau meresahkan masyarakat dan delik-delik yang dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya (Erfolgsqualifilizierte Delikte).
Penentuan pidana minimum dalam undang-undang hukum pidana khusus, merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi agar tidak terjadinya disparitas pidana (disparity of sentencing), di samping sebagai upaya memperkuat prevensi general dan untuk menunjukkan beratnya tindak pidana yang dilakukan.[35]
Disparitas pidana (disparity of sentencing) adalah penerapan pidana yang berbeda terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offences of comporable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas.[36]
Menurut Muladi, disparitas pidana mempunyai dampak yang dalam karena mengandung pertimbangan konstitusional antara kebebasan individu dan hak negara untuk memidana. Disparitas pidana dapat berakibat fatal apabila dikaitkan dengan administrasi pembinaan narapidana. Terpidana akan merasa menjadi korban dari ketidakpastian atau ketidakteraturan pengadilan setelah membandingkan antara pidana yang dikenakan kepadanya dengan pidana yang dikenakan pada orang lain. Maka pada perkembangannya narapidana tersebut akan menjadi orang yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan hukum tersebut merupakan salah satu hasil yang ingin dicapai dalam tujuan pemidanaan. Dan di sini akan tampak persoalan berat, Sebab akan merupakan suatu indikator dan manifestasi kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana.[37]
Lebih lanjut, menurut Barda Nawawi dianutnya sistem pidana minimum khusus yang selama ini tidak dikenal dalam KUHP didasarkan pada pokok pemikiran:
a.    Guna menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang secara hakiki berbeda kualitasnya;
b.    Untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi general, khususnya bagi delik-delik yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat;
c.    Dianalogkan dengan pemikiran, bahwa apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana (umum maupun khusus) dapat diperberat, maka minimum pidanapun dapat diperberat dalam hal-hal tertentu.[38]
              Dari paparan tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan tujuan pemidanaan secara umum, yaitu untuk melindungi kepentingan masyarakat dan perseorangan dari tindak-tindak yang tidak menyenangkan akibat adanya suatu pelanggaran oleh seseorang.[39]
IV.             LANDASAN YURIDIS DAN FILOSOFIS
            Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009[40] tentang Narkotika menyebutkan bahwa, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Istilah narkotika yang dipergunakan di sini bukanlah “narkotics” dalam farmacologi (farmasi), melainkan sama artinya dengan “drugs” yaitu sejenis zat yang apabila digunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai seperti mempengaruhi kesadaran, memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia, seperti penenang, perangsang, dapat menimbulkan halusinasi dan menghilangkan kesadaran.[41]
Dalam undang-undang narkotika, dasar pengaturan hukum terhadap pelaku tindak pidana narkotika adalah untuk:
a.       Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan, dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b.      Mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika;
c.       Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, dan
d.      Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika.[42]
Undang-undang narkotika mengkategorikan 4 (empat) tindakan melawan hukum yang dapat diancam dengan sanksi pidana yaitu, pertama memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika dan prekursor narkotika, kedua memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekursor narkotika; ketiga menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dan prekursor narkotika, dan keempat membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika dan prekursor narkotika.[43]
Dari ke empat ketegori tindak pidana narkotika, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 terdapat 25 yang mengatur ancaman pidana minimum, sementara 38 pasal lainnya mengatur ancaman yang bervariasai (1 hingga 6 tahun).
Secara filosofis, tujuan penentuan pidana minimum khusus dalam undang-undang narkotika didasari atas pemikiran bahwa, penentuan pidana minimum khusus hanya pada tindak pidana serius bagi bangsa dan negara. Sehingga sekecil apapun pelanggaran yang dilakukan tidak dapat ditolerir, dan ancaman hukuman demikian dipandang setimpal.[44]

V.                KEWENANGAN HAKIM PIDANA
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili suatu perkara yang dihadapkan kepadanya.[45] Adapun pengertian mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus suatu perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan.[46]
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,[47] menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah, kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.[48]
Pernyataan tersebut merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah amandemen ketiga tahun 2001, berbunyi, “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”,[49]
Dalam praktiknya, hakim merupakan suatu pekerjaan yang memiliki tanggung jawab besar terhadap pelaksanaan hukum di suatu negara. Hakim merupakan benteng terakhir dari penegakan hukum.[50] Sebagai pelaksana hukum dan pemberi keputusan dalam setiap perkara yang diajukan kepanya dipengadilan, hakim dituntut untuk dapat menyelesaikan setiap perkara secara inparsial berdasarkan hukum yang berlaku, hakim harus selalu mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, terutama dalam mengambil setiap keputusan.[51]
Kedudukan hakim dalam arti bebas dari pengaruh pihak manapun, merupakan ciri khas negara hukum. Pentingnya kebebasan hakim ini tampak dari penjelasan Declaration of Delhi Tanggal 10 Januari 1959 yang menetapkan “..an independent judiciary and legal frofession are essential to the maintenence of the rule of law and to proper administration of justice” (Terjemahan bebas: peradilan danhakim yang independen sangat penting untuk pemeliharaan aturan hukum dan administrasi peradilan).
Meskipun kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara merupakan sifat pembawaan daripada setiap peradilan, namun Sudikno Mertokusumo menggaris bawahi bahwa, kebebasan hakim tidaklah bersifat mutlak, oleh karena itu hakim tidak dapat berbuat sewenang-wenang,[52] Karena secara mikro hakim dibatasi oleh Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan prilaku atau kepentingan para pihak, sedangkan secara makro hakim dibatasi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya.[53] Sudikno Mertokusumo menambahkan, hakim harus mempertanggungjawabkan putusannya kepada masyarakat, hakim harus memberi alasan-alasan atau dasar mengapa dia sampai pada putusan tersebut. Karena hakim harus menegakkan hukum maka putusan-putusannya tidak boleh bertentangan dengan hukum. Sehingga kebebasan hakim dalam artian terikat secara hukum.[54]
Dalam kaitannya kebebasan hakim dengan batas maksimum dan minimum hukuman, Oemar Seno Adji mengatakan bahwa, hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dapat bergerak antara batas maksimum maupun minimum hukuman untuk memilih jenis hukuman. Dalam hal ini hakim bebas untuk mencari hukuman yang dijatuhkan secara tepat walaupun kebebasan hakim dalam artian terikat oleh undang-undang.[55]
Namun, Artijo Alkostar dalam menaggapi hal ini berpandangan, penentuan batas minimum khusus dilatar belakangi oleh  kekurang percayaan terhadap hakim, karena lazimnya yang ada adalah batas ketentuan maksimum. Oleh karena itu permasalahan penegakan hukum seharusnya memperbaiki sistem dan profesionalisme para penegak hukum, bukan dengan cara memangkas kewenangan hakim karena kekurang percayaan.[56]
Dalam mengambil sebuah keputusan hukum, hakim diharuskan untuk melakukan penemuan hukum. Penemuan hukum (rechtvinding) adalah, proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya, yang diberi tugas melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit.
Lebih lanjut penemuan hukum dapat dikatakan sebagai proses konkritisasi dan individualisasi peraturan (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret (das sein) tertentu.
Menurut Utrecht dalam Ahmad Rifai berpandangan, apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan yang belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak berdasar inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya. Tindakan hakim inilah yang dinamakan dengan penemuan hukum.[57]
Penyebab hakim harus menemukan hukum adalah, karena undang-undang bersifat statis dan tidak dapat mengikuti dinamika perkembangan kemasyarakatan, sehingga menimbulkan ruang kosong yang perlu diisi. Tugas mengisi ruang kosong itulah dibebankan kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum melalui metode interpretasi atau kontruksi dengan syarat para hakim tidak boleh “memperkosa” maksud dan jiwa undang-undang atau tidak boleh bersikap sewenang-wenang.[58]
Interpretasi hakim dalam menemukan hukum dipandang sangatlah perlu, khususnya untuk dapat mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat.[59] Oleh karena itu keharusan hakim untuk menemukan hukum merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) tentang Kekuasaan Kehakiman, dikatakan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”[60]
Dari bunyi pasal tersebut dapatlah dicermati bahwa hakim bukanlah sebagai “des etres inanimees” yang “prononces les paroles de la loi”,[61] dimana hakim hanya dipandang sebagai terompet undang-undang atau sebagai “bouce de laloi” saja.[62]
Dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, hakim pertama-tama harus meggunakan hukum tertulis terlebih dahulu, yaitu perundang-undangan, namun jika peraturan perundang-undangan tersebut ternyata tidak cukup atau tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tertulis.[63]
Dalam arti yang khusus, penemuan hukum hanya dilakukan oleh hakim saat memeriksa dan memutus suatu perkara. Meskipun ilmuan hukum melakukan upaya penemuan hukum, hasil penemuan hukum oleh ilmuan tidaklah dapat disebut hukum melainkan ilmu atau doktrin. Namun doktrin bisa berubah menjadi hukum apabila diambil alih oleh hakim dalam putusannya di persidangan.[64] Hal ini karena doktrin juga merupakan sumber hukum nasional.
VI.             PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM
a.       Amar putusan hakim Pengadilan Negeri Calang, Nomor : 35/Pid.B/2010/CAG
M E N G A D I L I[65]
1.    Menyatakan Terdakwa EPM telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
-       Bersekongkol atau bersepakat membeli narkotika Golongan I dan
-       Tanpa hak atau melawan hukum memiliki narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman dan
-       Penyalahgunaan narkotika Golongan I bagi diri sendiri.
2.    Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa EPM tersebut diatas dengan pidana penjara 2 (dua) tahun.
3.    Menjatuhkan pidana denda terhadap terdakwa sebesar Rp. 1.000.000.000.-(satu miliyar rupiah), dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
4.    Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang telah dijatuhkan.
5.    Menyatakan barang bukti berupa:
a)    1 (satu) bungkus ganja kering dibungkus dengan kertas koran seberat 6 gram
b)   1 (satu) bungkus rokok Marlboro yang berisikan 6 (enam) batang rokok Marlboro
c)    Tembakau rokok yang dibalut dengan kertas koran
d)   2 (dua) bal kertas pembalut rokok (piper) merk 235 Dji sa U Harum Manis. Dirampas untuk dimusnahkan.
6.    Menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah);
b.      Dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Sebelumnya, Jaksa penuntut umum mendakwa dengan pasal yang disusun dalam bentuk kumulatif yaitu: Pasal 114 Ayat (1) jo Pasal 132 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 111 Ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Pasal 127 Ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Sementara saat penuntutan, terdakwa dituntut agar dijatuhi hukuman penjara selama 5 (lima) tahun, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah terdakwa tetap membayar denda sebanyak Rp. 1.0000.000,000,-(satu miliar rupiah), apabila pidana denda tidak dibayar, maka pidana denda diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan penjara.
c.       Perimbangan hukum oleh hakim.[66]
1.    Unsur Setiap orang
Unsur setiap orang menunjukkan kepada subjek hukum, yaitu orang atau pelaku yang diajukan ke muka persidangan dikarenakan adanya suatu dakwaan terhadap dirinya. Dalam dakwaan ini terdakwa menerangkan identitas dirinya seperti apa yang dimaksudkan penuntut umum di dalam surat dakwaan. Maka berdasarkan pertimbangan majelis hakim unsur “setiap orang” dalam dakwaan ini telah terpenuhi menurut hukum.

2.    Unsur tanpa hak melawan hukum dan
3.    Unsur menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I.
Unsur tanpa hak adalah tidak adanya kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum, sedangkan melawan hukum disini berarti adalah, adanya suatu sifat yang bertentangan dengan hukum atau ketentuan perundang-undangan atau perbuatannya tersebut tidak sesuai dengan hukum yang berlaku sehingga perbuatannya bersifat melawan hukum yang berlaku.
Kemudian, yang dimaksud perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika Golongan I, dalam pasal ini berbentuk alternatif yaitu apabila satu unsur perbuatan dipenuhi maka unsur ini dianggap terpenuhi semua. Pertimbangan majelis hakim, dengan melihat fakta-fakta persidangan berdasarkan keterangan dari saksi-saksi, pengakuan terdakwa yang diperkuat dengan barang bukti dan didukung dengan Laporan Pengujian Laboratorium NAPZA Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) Banda Aceh terhadap barang bukti yang diduga narkotika Golongan I (ganja), dengan jumlah contoh yang diterima seberat 1,6269 gram dengan Laporan Pengujian Nomor : PM. 01.05.811.04.10.475 TANGGAL 05 April 2010 yang ditanda tangani oleh penguji Nurlinda Lubis M. Si. Apt. Nip. 197707022002122001 jabatan penyelia Laboratorium Napza dan Drs. Hasbi, Apt. Nip. 195912041993021001 jabatan kepala pengujian Teranokoko yang telah memeriksa barang bukti tersebut. Maka berdasarkan hasil pengujian Laboratorium sampel barang bukti tersebut disimpulkan  positif ganja (cannabis) dan termasuk dalam Golongan I Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Maka dakwaan bahwa terdakwa membeli ganja adalah tanpa hak atau melawan hukum, oleh karenanya unsur ini dalam dakwaan kesatu telah terpenuhi dari perbuatan terdakwa.

4.    Unsur bersekongkol, atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh,menganjurkan.
Unsur ini berbentuk alternatif yaitu apabila satu unsur perbuatan terpenuhi maka unsur ini dianggap telah memenuhi semua, setelah melihat fakta persidangan berdasarkan keterangan saksi-saksi, dan keterangan terdakwa yang diperkuat dengan adanya barang bukti, kerjasama terdakwa dengan saksi Rizal dan Sdr. Oka dalam meperoleh narkotika telah terjadi dengan sangat sempurna dan saling melengkapi, oleh karena itu, dalam hal ini tidak perlu lagi dipersoalkan siapa yang akhirnya telah mewujudkan atau menyelesaikan dari tindak pidana tersebut, karena cakupan pasal 132 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sangat luas, jangankan permufakatan jahat, percobaan untuk melakukan kejahatan tindak pidana narkotika saja dapat dihukum. Maka unsur bersekongkol, atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut melakukan, meyuruh, menganjurkan, sudah terpenuhi. Maka majelis hakim menganggap unsur ini telah terbukti.

Dakwaan kedua melanggar Pasal 111 Ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

1.      Unsur setiap orang
Unsur setiap orang menunjukkan kepada subjek hukum, yaitu orang atau pelaku yang diajukan ke muka persidangan dikarenakan adanya suatu dakwaan terhadap dirinya. Dalam dakwaan ini terdakwa menerangkan identitas dirinya seperti apa yang dimaksudkan penuntut umum di dalam Surat Dakwaan. Maka berdasarkan pertimbangan majelis hakim pertimbangan unsur “barang siapa” telah terpenuhi menurut hukum.

2.      Unsur tanpa hak melawan hukum dan
3.      Unsur memilki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman.
Dalam pembuktian unsur ini, terdakwa tertangkap tangan memiliki ganja yang dibeli bersama Sdr. Rizal dan Oka dari Darwis dengan harga Rp. 50.000,-(lima puluh ribu rupiah), dan terdakwa tidak ada ijin untuk memilki narkotika jenis ganja tersebut. disamping itu ganja tersebut tanpa ijin dan terdakwa bukanlah orang yang berwenang atau orang yang mempunyai ijin untuk melakukan memiliki ganja tersebut. Maka majelis hakim berkesimpulan bahwa unsur tanpa hak atau melawan hukum dan unsur memilki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman telah terpenuhi.

Dakwaan ketiga melanggar Pasal 127 Ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

1.      Unsur setiap Orang
Unsur setiap orang menunjukkan kepada subjek hukum, yaitu orang atau pelaku yang diajukan ke muka persidangan dikarenakan adanya suatu dakwaan terhadap dirinya. Dalam dakwaan ini terdakwa menerangkan identitas dirinya seperti apa yang dimaksudkan penuntut umum di dalam surat dakwaan. Maka berdasarkan pertimbangan majelis hakim pertimbangan unsur “barang siapa” telah terpenuhi menurut hukum.

2.      Unsur penyalahgunaan narkotika Golongan I
Unsur Penyalahgunaan secara luas dapat diartikan sebagai setiap orang perseorangan sebagai subyek hukum, yang terhadap tindak pidana yang dilakukan dapat dipertanggung jawabkan dan tidak ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf yang dapat melepaskan pertanggung jawaban pidana baginya telah melakukan penyalahgunaan/menggunakan narkotika bagi diri sendiri. 
Berdasarkan keterangan saksi, keterangan terdakwa, maupun barag bukti yang diajukan dipersidangan yang dikuatkan oleh hasil pemeriksaan poliklinik Polres Persiapan Aceh Jaya terhadap urin milik terdakwa Nomor: R/15/II/2010/Urdokkes Tanggal 21 Februari 2010 yang ditandatangani oleh pemeriksa T. Saifullah, A. Md. brigadir Nrp. 82011120 jabatan KAURDOKKES Polres Persiapan Aceh Jaya, disaksikan oleh Khairul Anika Brigadir Nrp. 78080849 dan Azhari Bripda Nrp. 87100938, hasil pemeriksaan terhadap urine milik terdakwa tersebut disimpulkan positif mengandung unsur ganja (cannabis).
Jadi unsur penyalahgunaan narkotika Golongan I dalam pertimbangan majelis hakim hal ini telah terbukti.

3.      Unsur bagi diri sendiri.
Berdasarkan keterangan para saksi, keterangan terdakwa maupun barang bukti yang diajukan ke persidangan, jelas terdakwa menggunakan ganja tersebut adalah untuk dirinya sendiri sehingga dengan demikian majelis hakim berkesimpulan bahwa unsur penggunaan bagi diri sendiri telah terpenuhi dari perbuatan terdakwa.
VII.          ANALIS PUTUSAN HAKIM
          Dalam putusan hakim Nomor: 35/pid.B/2010/CAG seperti disebutkan di atas terdakwa dihukum 2 tahun penjara. Putusan tersebut jauh lebih rendah dari tuntutan JPU mendakwa terdakwa dengan penjara 5 Tahun, atas dakwaan melanggar Pasal 114 Ayat (1) Jo. Pasal 132 ayat (1), Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 127 Ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
          Dalam Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 berbunyi;
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 111 ayat  (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 berbunyi;
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Dan pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 berbunyi:
“Setiap penyalahguna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”
Lebih lanjut, penulis merumuskan sebagai berikut:
Pasal
Pidana Penjara Minimum
(paling singkat)
Pidana penjara Maksimum
(paling lama)
114
5 Tahun
20 Tahun
113
4 Tahun
12 Tahun
127
-
4 Tahun
Keterangan: Data diolah dari tabel 1 perincian pidana minimum khusus dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Undang-undang narkotika menganut pola pemidanaan minimum khusus, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya disparitas pemidanaan terhadap delik-delik yang dianggap berbahaya, selain untuk mengoptimalisasi tujuan pemidanaan juga untuk mengefektifkan prevensi general.[67] Namun timbul masalah, tidak adanya aturan khusus yang mengatur terhadap pola penerapan pidana minimum khusus dalam perundang-undangan khusus, memberi keleluasaan terhadap hakim dalam memutus perkara dipengadilan dan menjadikan ancaman pidana minimum menjadi sia-sia. Karena praktiknya hakim dibolehkan menyimpangi pola pidana minimum khusus (memutus pidana dibawah batas minimum) dengan alasan keadilan.
Hal itu seperti diungkapkan Artijo Alkostar, bahwa pembolehan penjatuhan pidana  di bawah ancaman minimum khusus, didasarkan atas rasa keadilan dengan mempergunakan hati nurani.[68] Selain itu, hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI dengan jajaran pengadilan tingkat banding dari 4 (empat) peradilan seluruh Indonesia di Palembang Tahun 2009 salah satunya memutuskan bahwa, hakim dapat menjatuhkan pidana di bawah ancaman minimum asalkan didukung oleh bukti dan pertimbangan hukum yang sistematis, jelas dan logis menurut hakim.[69]
Nah, adilkah? Berbicara keadilan adalah berbicara perspektif, adil menurut hakim belum tentu adil menurut terdakwa dan masyarakat umum lainnya. E. Fernando Manulang membagi keadilan atas 2  (dua) arus pemikiran, yaitu keadilan yang metafisik dan keadilan rasional. Keadilan metafisik menurut Manulang, muncul dari insprirasi dan intuisi yang mempercayai eksistensi keadilan sebagai sebuah kualitas atau suatu fungsi diatas dan diluar makhluk hidup, dan karena itu keadilan metafisik tidak dapat dipahami menurut kesadaran manusia yang berakal. Sedangkan keadilan rasional pada dasarnya mencoba menjawab perihal keadilan dengan cara menjelaskan secara ilmiah, atau setidak-tidaknya kuasai ilmiah, dan itu semua harus didasarkan pada alasan-alasan yang rasional,[70] sedangkan menurut Friedrich, keadilan hanya dapat dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum.[71]
Sebagai negara konstitusi yang mendasari setiap perbuatan warga negaranya pada perundang-undangan. Pengkriminalisasian hanya dapat diukur oleh undang-undang semata, begitu juga kaitannya dengan pola pidana minimum yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika khususnya pasal 114 dan 113 dalam perkara Nomor 35/PID.B/2010/CAG., walau perundang-undangan bersifat statis dan tidak dapat mengikuti perkembangan dinamika masayarakat sehingga keadilan cendrung terbaikan. Namun pembolehan terhadap penyimpangan perundang-undangan tidak dapat disepelekan, karena selain ketidak seragaman hakim dalam memutus putusan di pengadilan, juga berdampak pada runtuhnya wibawa hukum di mata masyarakat dan membuat terpidana tidak menghormati hukum, karena tidak adanya kepastian dalam pemidanaan. Namun, hakim memiliki kewenangan untuk mendobrak asas minimum khusus, atas pertimbangan keadilan.

VIII.           PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, dan sebagaimana dijelaslaskan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa, pemberlakuan sistim pidana minimum khusus tidaklah bersifat mengikat karena undang-undang bersifat statis (rigit) sedangkan hakim bukan corong undang-undang melainkan corong keadilan.  Maka penyimpangan semata-mata untuk mencari nilai-nilai keadilan hukum oleh hakim dalam memutus perkara di pengadilan, begitupun ancaman tersebut hanya bersifat regulasi formalitas sebagai pengancam agar tindak pidana yang tergolong berat tersebut tidak dilakukan.
Namun, demikian hakim tentu tidak boleh serampangan menobrak asas pidana minimum, karena selain melahirkan disparitas pemidanaan juga kan mengakibatkan lunturnya kepercayaan terhadap keadilan hukum dan kepastian hukum. Selanjutnya, perlu kiranya dilakukan reformulasi kembali asas penentuan pidana minimun, baik terhadap Undang-undang yang memasukkan asas pidana minimum maupun dealam kewenangan hakim dalam memutuskan suatu perkara hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Nyoman Serikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: UNDIP, 2000)
Siswanto, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009, (Jakarta:       Rineka Cipta, 2012).
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Media Group, 2005).

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1998)

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakrta: PT Pradya Paramita, 1993).

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011)

Jimly Asshidiqie dan M. Ali Syafa`at, Teori Hens Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Konpress,      2012).

C.s.t. Kansil dan Cristine S.T. Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika,         2007).

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja      Grafindo Persada).

Wasingatu Zakiyah, dkk., Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, (Jakarta: Indonesia Corruption       Watch, 2002).

Yesmil Anwar dan Adang, Kriminologi, (Bandung: Refika Aditama, 2010).

Barda Nawai Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bhaki,     2002).

­­________________, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,      (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001)

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986)

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. (Semarang: Universitas Diponegoro 1995).

Moh. Taufik, Suharsil & Moh. Zakky, Tindak Pidana Narkotika, (Bogor: Ghalia Indonensia,         2005).
Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).

Ahmad Rifa`i, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).

Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Liberty 1984)

Artidjo Alkostar, Menegakkan Hukum Pidana, Pengajuan PK Oleh JPU, Pidana Dibawah Minimum Khusus, (diakses pada pada 20 Maret 2013 dari situs: httpwww.mahkamahagung.go.idimagesuploaded15f.MENEGAKKAN_HUKUM_PIDANA.pdf)

Oemar Seno Adji, Hukum Hakim Pidana, (Jakarta: Erlangga, 1984).

Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum, Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: Prenada Media Group,   2012).

M. Syamsudinn, Kontruksi Baru Budaya Hukum Hakim, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2012)
Artidjo Alkostar, Menegakkan Hukum Pidana, Pengajuan PK Oleh JPU, Pidana Dibawah Minimum Khusus. Diakses pada tanggal 20Maret 2013 dari situs: httpwww.mahkamahagung.go.idimagesuploaded15f.MENEGAKKAN_HUKUM_PIDANA.pdf

E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum yang Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai (Jakarta: Kompas, 2007).

Carl Joachim Friedrich, The Philosophy of Law in Historical Perspektive, (terj.) (Chicago: The University of Chicago Press, 1969).




[1]Nyoman Serikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: UNDIP, 2000), hlm. 135.
[2]Siswanto, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm.1.
[3]Siswanto, Politik Hukum  dalam Undang-Undang Narkotika UU Nomor 35 Tahun 2009, hlm. 5.
[4]Ibid.
[5]Undang-undang narkotika telah diubah sebanyak tiga kali, semenjak Undang-Undang Nomor 9Tahun 1976 dengan Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37 yang diubah oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 dalam lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 67, dan kembali di ubah oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagaimana terdapat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 60 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5126.
[6]Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti), hlm. 123-124.
[7]Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Media Group, 2005), hlm, 93.
[8]Ibid.
[9]Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm.109-110.
[10]Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakrta: PT Pradya Paramita, 1993), hlm. 2.
[11]Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 100.
[12]Siswanto, Politik Hukum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009., hlm. 250.
[13]Ibid.
[14]Jimly Asshidiqie dan M. Ali Syafa`at, Teori Hens Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Konpress, 2012), hlm.46.
[15]Ibid, hlm. 47.
[16]C.s.t. Kansil dan Cristine S.T. Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 163-164.
[17]Andi Hamzah, Sistem Hukum Pidana Indonersia.,hlm. 186. Mahrus Ali juga menyebutkan ada tiga aliran dalam pemidanaan, yaitu teori absolut, relatif, dan teori gabungan, Lihat Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, hlm. 186-192. Begitupun Siswanto, yang membagi tujuan pemidaan sebagai tujuan retributif, teleolologis dan retributif teleologis, namun Helbert L. Parker sebagaimana terdapat dalam Siswanto mengelompokkan teori pemidanaan pada dua aliran saja, retributif (pembalasan) dan utilitarian (pencegahan). Lihat Siswanto, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika., hlm. 222-223.
[18]Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakrta: PT Pradya Paramita, 1993), hlm.26-27
[19]Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana.,hlm. 190.
[20]Tujuan preventif  dalam dalam pemidanaan adalah untuk melindungi masayarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Dalam kepustakaan pemidanaan, hal ini disebut incapation. Tujuan menakuti atau detterence dalam pemidanaan adalah untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan., tujuan ini dibedakan dalam tiga bagian, yaitu tujuan yang bersifat individual dimaksudkan agar pelaku menjadi jera untuk kembali melakukan kejahatan. Sedangkan tujuan detterence yang bersifat publik, agar anggota masyarakat lain merasa takut untuk melakukan kejahatan. Tujuan detterence yang bersifat jangka panjang long term detterence adalah agar dapat memelihara keajegan sikap masyarakat terhadap pidana. Teori ini sering disebut Educative theory atau denunciation theory.Lihat, Solehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, hlm. 41.
[21]Ibid.,hlm. 41.
[22] Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, hlm. 31.
[23]Ibid., hlm. 32.
[24]Ibid.
[25]Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 33.
[26]Ibid.,hlm. 34.
[27]Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hlm. 311-312.
[28]Wasingatu Zakiyah, dkk., Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2002), hlm. 72
[29]Yesmil Anwar dan Adang, Kriminologi, (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm. 178.
[30]Barda Nawai Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bhaki, 2002), hlm. 9.
[31]Ibid., hlm.73.
[32]Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 184.
[33]Ibid
[34]Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986) , hlm. 61
[35] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, hlm. 124.
[36]Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, hlm. 52-53.
[37]Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. (Semarang: Universitas Diponegoro 1995), hlm. 155.
[38]Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. hlm. 126.
[39]Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum  Pidana, hlm. 13.
[40]Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 60 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5126.
[41]Moh. Taufik, Suharsil & Moh. Zakky, Tindak Pidana Narkotika, (Bogor: Ghalia Indonensia, 2005), hlm. 16-17.
[42] Siswanto, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotia,.Hlm. 21-22.
[43] Ibid., hlm. 256
[44] Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia.,hlm. 85.
[45] Pasal 1 butir (8) kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
[46] Pengertian mengadili sebagaimana terdapat dalam  pasal 1 butir (9) KUHAP
[47]Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076
[48]Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[49]Pasal 24 Ayat  (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[50]Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 114.
[51]Ahmad Rifa`i, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) hlm. 2
[52]Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Liberty 1984), hlm. 141.
[53]Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi.,hlm. 51
[54]Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, hlm. 140.
[55]Oemar  Seno Adji, Hukum Hakim Pidana.,hlm. 8.
             [56]Artidjo Alkostar, Menegakkan Hukum Pidana, Pengajuan PK Oleh JPU, Pidana Dibawah Minimum Khusus, (diakses pada pada 20 Maret 2013 dari situs: httpwww.mahkamahagung.go.idimagesuploaded15f.MENEGAKKAN_HUKUM_PIDANA.pdf,)
[57]Ahmad Rifai,Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, hlm. 22.
[58]Ibid. hlm. 25.
[59] Oemar Seno Adji, Hukum Hakim Pidana, (Jakarta: Erlangga, 1984), hlm. 5
[60]Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076.
[61]Oemar Seno Adji, Hukum Hakim Pidana,hlm. 4.
[62]Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum, Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hlm. 40.
[63]Ahmad Rifai,Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, hlm 25-26.
[64] M. Syamsudinn, Kontruksi Baru Budaya Hukum Hakim, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hlm. 84-85.
[65]Diputuskan di Pengadilan Negeri Calang dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada hari Senin tanggal 28 Juni 2010 oleh Karnaini, SH., MH. Selaku Ketua Majelis Hakim, Faisal Mahdi, SH. dan Hendri Agustian, SH.,MH., masing-masing sebagai hakim anggota, putusan mana diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari kamis tanggal 1 Juli 2010, oleh Hakim Ketua dengan didampingi oleh Hakim Anggota tersebut diatas, dengan di bantu oleh Ilyas, SH, panitera pengganti pada pengadilan Negeri Calang, dan di hadiri oleh Muhammad Chadafi Nasution, SH. Jaksa Penuntut Umum pada kejaksaan Negeri Calang dan dihadapan terdakwa dan penasehat hukumnya.
[66] Ibid.
[67]Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana.,hlm. 124
[68]Artidjo Alkostar, Menegakkan Hukum Pidana, Pengajuan PK Oleh JPU, Pidana Dibawah Minimum Khusus. Diakses pada tanggal 20Maret 2013 dari situs: httpwww.mahkamahagung.go.idimagesuploaded15f.MENEGAKKAN_HUKUM_PIDANA.pdf
[69]Sebagaimana terdapat dalam putusanPengadilan Negeri CalangNomor 35/PID.B/2010/CAG. yang diputus didalam permusyawaratan Majelis Hakim pada hari Senin tanggal 28 Juni 2010 oleh Karnaini, SH., MH. Selaku Ketua Majelis Hakim, Faisal Mahdi, SH. dan Hendri Agustian, SH., MH., masing-masing sebagai hakim anggota, putusan mana diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari kamis tanggal 1 Juli 2010, oleh Hakim Ketua dengan didampingi oleh Hakim Anggota tersebut diatas, dengan di bantu oleh Ilyas, SH, panitera pengganti pada pengadilan Negeri Calang, dan di hadiri oleh Muhammad Chadafi Nasution, SH. Jaksa Penuntut Umum pada kejaksaan Negeri Calang dan dihadapan terdakwa dan penasehat hukumnya. hlm. 35
[70]E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum yang Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai (Jakarta: Kompas, 2007), hlm. 96-97
[71]Carl Joachim Friedrich, The Philosophy of Law in Historical Perspektive, (terj.)(Chicago: The University of Chicago Press, 1969), hlm. 239

No comments:

Post a Comment