Sunday, April 19, 2015

Pemko Banda Aceh Harus Punya Nyali Bisnis dan Empati


Pengamat ekonomi ritail yang juga Direktur Magister Manajemen (MM) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Dr. H. Mukhlis Yunus, SE, MS berpendapat. Salah satu penyebab sepinya pembeli dan aktivitas di Pasar Aceh Baru, karena Pemko Banda Aceh sebagai pengelola kurang memperhatikan pelayanan dan kepuasan konsumen. Akibatnya, terjadi pergeseran pembeli. Dari Pasar Aceh ke mall yang mulai tumbuh dan berkembang di Kota Banda Aceh. Nah, apa saja pendapat Dr. Mukhlis Yunus? Irwan Syaputra dari MODUS ACEH menemui Dr. Mukhlis Yunus di kantornya pekan lalu.
***
SEPINYA Pasar Aceh Baru dikarenakan pembeli yang sedikit dengan daya beli yang tidak normal, sehingga terjadi pergeseran pembeli dari non mall berpindah ke mall. Sebut saja Suzuya Mall dan Hermes Mall. Karena itu, saya berpandangan, semua ini karena para pembeli membutuhkan kepastian harga. Dari yang ditawarkan mall versus di Pasar Aceh yang bersifat non mall dan lebih bersifat negosiasi atau tawar menawar.
Selain itu, dibutuhkan pelayanan, kenyamanan serta kepuasan konsumen atau pembeli. Di Pasar Aceh, itu jarang dilakukan, sementara di mall-mall, ini lazim terjadi. Misal soal pelayanan, di mall jauh lebih baik karena ada sales promotion girl (SPG), tempat parkir yang memadai serta jenis barang dagangannya juga lebih komplek. Jadi kalau ke mall, sekali jalan mereka dapat membeli berbagai macam kebutuhan, beda dengan Pasar Aceh.
Hal lain, menurut saya pembukaan mall seperti tidak ada regulasi yang mengatur dari Pemko Banda Aceh. Beda dengan Pasar Aceh, karena pembeli terbatas, karena itu pembeli berpindah ke mall. Maka dari itu, Pemerintah Kota Banda Aceh idealnya punya nyali bisnis dan punya empati yang bisa memaklumi, memahami dan mengkaji lebih dalam tentang karakteristik dan ciri khas pengusaha-pengusaha ritail yang umumnya adalah ekonomi lemah.
Menurut saya, diperlukan regulasi untuk mengatur pedagang kecil.  Misal, pada tahap awal diberi subsidi atau diberi keringanan dalam harga sewa atau bahkan disesuaikan. Jadi diperlukan spesifikasi kebijakan sehingga mereka yang sudah lemah modal tidak mungkin berfokus pada untuk tempat usaha.
Karena itu saya usulkan, diperlukan regulasi dan fasilitas yang tersedia dari manapun idealnya di segmensasikan dengan situasi dan kondisi yang ada, karena akan bisa digunakan sebagai promotion sekle dan promosi untuk kemajuan ekonomi daerah ini melalui kegiatan perdagangan. Pada pase berikutnya yang menjadi servicing sektor, bahwa usaha-usaha, ruko-ruko itu dan fasilitas yang ada bisa menjadi sumber pendapatan asli kota.
Tahap awal, memang perlu untuk membuat kawasan itu bisa lebih maju, karenanya pemerintah perlu melakukan kegiatan daerah promosi. Dibeberapa negara pertumbuhan sektor seperti itu memang digratiskan dulu. Masa permulaan gratiskan dulu, berikan mereka yang terbaik dengan melibatkan cukup pengusaha-pengusaha mapan, tujuannya untuk menghidupkan kawasan yang masih tahap promosi tadi.
Karena itu, seharusnya Pemerintah Kota Banda Aceh punya hati, dan punya perasaan bahwa sebagian besar dari mereka memang dari pedagang kecil yang memang  tidak punya kapasitas dan kapabilitas yang memadai. Selai itu, usaha mereka memang visibel tapi dalam pemahaman perbangkan tidak bankibel.
Makanya, dunia perbankan yang ada di Kota Banda Aceh juga harus mendukung sehingga Pemerintah Kota Banda Aceh bisa memfasilitasi dengan memberikan modal-modal dengan skil yang khusus. “Artinya Bank pun perlu melakukan segmentasi untuk menumbuh kembangkan usaha kecil ini. Jika tidak, jangan harap Pasar Aceh bisa maju dan berkembang dan akan jauh tertinggal dengan mall-mall yang sudah ada dan akan terus tumbuh di masa datang,” jelas Dr. Mukhlis Yunus.***


Photo: disesuaikan

Besar Pasar dari Pembeli

Sempat diperebutkan pedagang. Pasar Aceh di Banda Aceh, Ibukota Provinsi Aceh yang dibangun dengan kucuran dana Rp. 116,2 miliar, kini bernasib kurang baik. Ibarat pepetah, hidup segan, mati pun tak mau. Padahal, dana tahap awal pembangunan pusat perekonomian ini, merupakan bantuan dari Pemerintah Jepang. Selanjutnya, mendapat pinjaman dana dari Bank Dunia.
Searah mata memandang, tatapan ironis terus memberi berbagai fakta miris. Misal, tingginya harga sewa serta sepinya pembeli membuat banyak kios tutup. Akibatnya, tak sedikit para pedagang yang gulur tikar. Berharap tuah Pasar Aceh, kini pengelolaan yang dilakukan Pemko Banda Aceh jadi sorotan. Reporter MODUS ACEH Irwan Saputra menulisnya untuk Sudut Kutaradja pekan ini.
***
            BERDIRI megah, gedung tiga lantai berasitektur tinggi dengan ornamen Islami itu terletak di pusat Kota Banda Aceh, Ibukota Provinsi Aceh. Lokasinya tak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman nan mewah. Tempat ibadah yang memberi sejuta kisah dan inspirasi, terutama tentang sejarah perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda.
Hari itu, Senin, 13 April 2015, searah jarum jam bergerak ke pukul 15.00 WIB. Banda Aceh, kota bertajuk: Bandar Wisata Islami ini diselimut hawa panas. Terik matahari, membakar kulit hingga kepala. Begitupun, aktivitas pedagang di Pasar Aceh tetap berdenyut, walau tak semeriah Pasar Tanah Abang di Jakarta.
Diantara kerumunan pedagang tradisional dan kaki lima itulah, saya menelusuri lorong demi lorong hingga akhirnya bertepi di Pasar Aceh. Titik akhir penelusuran, sengaja saya hentikan di pusat pasar yang diresmikan Menteri Perdagangan RI, Gita Wirjawan pada awal Juli 2013 lalu.
Kini, Pasar Aceh tak hanya sebagai ikon Kota Banda Aceh. Tapi, menyimpan juga sebait kisah pilu saat bencana dahsyat tsunami yang melanda Bumi Serambi Mekkah, 26 Desember 2004 silam. Banda Aceh dan beberapa kota lain di Aceh, luluh lantak dihantam bencana tersebut.
Tak mau terlalu lama berduka, Walikota Banda Aceh (alm) Mawardi Nurdin ketika itu menyingsingkan lengan baju, membangun komunikasi dengan berbagai pihak. Baik di Jakarta maupun dunia Internasional. Maklum, saat itu pembangunan Aceh paska tsunami ditangani Badan Rehabiltitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias. Hasilnya, Rp 71,9 miliar berhasil ditarik Mawardi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ABPN). Sisanya, Rp 42 miliar pinjaman dari Bank Dunia (World Bank). Sementara, dana awal Rp 2,3 miliar berasal dari APBK Kota Banda Aceh. Dan, berhasil mengumpulkan seluruhnya Rp 116,2 miliar.
“Sebagai Ketua DPD Partai Demokrat Aceh, Mawardi memang cerdas melakukan komunikasi dengan Jakarta. Apalagi saat itu, Indonesia dipimpinan Pak SBY dari Partai Demokrat,” kenang Ir. Zubir Sahim, salah seorang sohib dekat Mawardi.
***


Pasar Aceh tentu bukan satu-satunya pusat perbelanjaan di Kota Banda Aceh. Warga kota ini memiliki beberapa pasar alternatif untuk berbelanja dan menghabiskan rupiahnya. Misal, Hermes Mall di Beurawe dan Suzuya Mall di Setui. Yang beda hanya soal pelayanan dan jenis barang dagang. Pasal Aceh lebih dinominasi pedagang kecil dan tradisional, sementara Hermes Mall dan Suzuya lebih bernuansa metropolis.
            Lantai satu Pasar Aceh memiliki 117 pintu kios yang dilengkapi satu unit los ikan dan satu unit los daging. Lantai dua diperuntukkan untuk pakaian dan aksesoris lainnya yang berjumlah 217 kios. Tak hanya itu, ada satu unit restoran dan satu unit minimarket. Sementara di lantai tiga, peruntukannya sama seperti lantai dua, ada 135 kios yang dilengkapi satu unit restoran, dua puluh sembilan unit food count dan satu unit game zone hingga total seluruhnya 469 kios.
Begitupun, kondisi tak elok sangat kontras terlihat di sana. Bayangkan, hingga saat ini ada 261 kios yang masih kosong alias tidak berpenghuni dan nyaris sepi dari pembeli. Bahkan, pedagang justeru lebih memilih untuk berjualan di lapak bagian depan dan di pinggiran jalan menuju Pasar Aceh. Akibatnya, lahan yang diperuntukkan bagi parkir sepeda motor menjadi kecil dan sempit. Dan, usut punya usat, ternyata kondisi tadi disebabkan salah satunya, karena tingginya harga sewa.
“Saat peresmian lalu semua penuh terisi,” kata Yusmadi (?), salah seorang pedagang pada media ini, Selasa pekan lalu. Yus begitu dia akrab disapa menambahkan, sejak dua tahun lalu dia berjualan di pasar tersebut, tapi merrugi. Maklum, harga sewa kios ukuran  2 x 3 dipatok Rp 11 Juta per tahun, sementara, dalam sehari dia hanya mampu menjual satu pakaian. Itu pun terkadang tidak laku. “Kalau saya keluar dan tidak lagi berjualan, saya  tidak punya pekerjaan lain,” kata ayah dua anak ini.
Kondisi serupa juga diakui Lia (?). Perempuan pedagang pakaian wanita ini mengaku sudah berjualan di Pasar Aceh, sebelum pasar itu dibangun kembali. Namun, karena ada aturan yang mengharuskan dirinya mendaftar ulang, untuk mendapatkan kios dan berjualan berdasarkan gang (sesuai undian), maka dia mengikuti semua aturan yang ada, termasuk membayar sewa Rp 11 juta per tahun dan beralih dengan menjual tas.
“Padahal saya tidak menegerti berdagang tas, karena dulu ketika pilih kios harus tarik undian dan kami harus berjualan berdasarkan gang yang telah ditentukan, saya mau bagaiamana lagi. Jualan tas ya tidak boleh jual baju,” ceritanya Lia pada media ini, Selasa pekan lalu.
Itu sebabnya, bersama suami yang juga pedagang di sana, Lia mengaku tidak begitu memikirkan kerugian yang mereka alami. Sebab, kebutuhan rumah tangga sudah ditanggung suaminya yang berjualan pakaian di toko milik pribadi. Hanya saja dia merasa kasihan kepada pedagang lainnya yang berdagang untuk menghidupkan anak-istri di rumah.
“Kalau untuk saya pribadi tidak masalah, tapi kasihan juga pedagang lain yang sukar lagu jualan di sini,” kata Lia sambil menunjukkan ke arah Yus yang berjualan untuk menghidupkan anak dan isterinya.
Setali tiga uang, Ani seorang pedagang lain mengakui bahwa dia dibesarkan dalam keluarga pedagang. Karena itu, dia sedikit mengerti soal seluk beluk berdagang tentang aturan yang diberlakukan Pemerintah Kota Banda Aceh. Misal,  menata pasar dan memperlakukan para pedagang dengan layak. Nah, dari Ani juga diketahui mengapa Pasar Aceh sepi pembeli. Menurut Ani, karena faktor kurangnya promosi. Selain itu desain pasar yang berbengkok, tidak tembus mata memandang, juga jadi  penyebab lain. Disamping aturan yang ketat sehingga pembeli sepi. Termasuk harga sewa yang mahal sehingga banyak pedagang yang memilih untuk menutup kembali. “Alhasil ya sepi begini,” ungkap Ani pada media ini Selasa pekan lalu.
Ani juga mengakui, dari sejumlah pedagang di Pasar Aceh, dia merupakan salah satu yang sudah berjualan di sana selama dua tahun atau sejak peresmian pasar tersebut. Karena itu, dia sering berbeda pendapat dengan kebijakan yang diberlakukan Pemerintah Kota Banda Aceh melalui pengelola pasar. Misal,  ada pengkhususan gang (lokasi kios) bagi pedagang tertentu serta harga sewa yang dianggap mahal. Menurut perempuan kelahiran Kota Banda Aceh ini, kebijakan yang diberlakukan Pemko Banda Aceh tidak berpihak pada pedagang kecil. “Padahal apa salahnya untuk memajukan digratiskan dulu pada tahap awal, atau dimurahkan harga sewa,” saran Ani.
Tak tanggung-tanggung, saat bulan puasa lalu, diakui Ani dia terpaksa harus membatalkan puasanya karena terjadi perang mulut dengan petugas pasar setempat. “Saya katakan pada mereka, gaji kalian itu dari kami pedagang, jika banyak kali aturan kapan laku dagangan kami,” ucapnya berkisah.
Yang menarik, meski sama-sama berjualan satu atap di Pasar Aceh, tapi pengakuan berbeda justeru datang dari Helda. Perempuan paruh baya ini mengaku, setiap hari dia berhasil meraup rupiah meski dagangannya tidak banyak yang laku. “Kita nggak rugi sewanya, karena ramai pengunjungnya. Alhamdulillah,” sebut Helda pada media ini Rabu pekan lalu. Begitu juga dengan Anita, perempuan penjual pakaian jadi di lantai satu ini mengaku dagangannya selalu laku dan pengunjung ramai sejak dia menyewanya. “Kalau kami di sini ramai pengunjungnya” jelasnya pada media ini Rabu pekan lalu.
Nah, lepas dari berbagai pengakuan tadi, Kepala Unit Pelayanan Teknis Dinas (UPTD) Pasar Kota Banda Aceh, Andista ST enggan berkomentar. Dia meminta media ini untuk bertemu langsung Ketua Pengelola Pasar Aceh Teuku Yusuf. Alasan Andista, karena setiap masalah yang ada di Pasar Aceh dibawah kendali Teuku Yusuf. “Saya sebagai pembina semua ketua pengelola pasar, jumpai saja Pak Yusuf,” saran dia.
            Kepada media ini, Teuku Yusuf menjelaskan, berbagai upaya telah dilakukan pihaknya untuk memajukan Pasar Aceh. Bahkan, dia kerap mencari pebisnis-pebisnis dari luar Aceh untuk mau dan masuk ke Pasar Aceh. Dia memberi contoh, mengajak  komunitas pecinta batu alam yang tergabung GaPBA (Gabungan Pecinta Batu Alam) untuk melakukan pentas batu beberapa waktu lalu. “Tujuannya untuk menghidupkan pasar yang sudah mulai sepi sejak diresmikan Menteri Perdagangan 2013 lalu,” kata Muhammad Yus, Kamis pekan lalu.
Teuku Yus juga menapik jika Pasar Aceh yang dikelolanya mulai ditinggalkan pedagang dan pembeli. Kepada media ini, mantan Kepala Dinas Pendapatan Asli Daerah (DPAD) Aceh Besar ini mengaku telah berupaya maksimal dengan memanggil kembali para pedagang yang telah membayar sewa.
Begitupun, Teuku Yusuf yang dipercayakan (alm) Walikota Banda Aceh Mawardi Nurdin ini mengaku tak patah arang untuk terus mengelola Pasar Aceh. Sebaliknya, dia tetap optimis pasar yang dikelolanya suatu saat nanti akan maju. “Mungkin dua atau tiga tahun ke depan, Insya Allah maju,  apalagi Pemko Banda Aceh dalam waktu dekat akan menata pedagang di samping Mesjid Baiturrahman. Bertahan sajalah, tidak tutup sudah lumayan,” harap Teuku Yusuf.
Sebaliknya Teuku Yusuf membantah jika sewa yang diberlakukan Pemko Banda Aceh pada pedagang di Pasar Aceh terlalu mahal. Dia beralasan, sewa kios milik masyarakat di Pasar Aceh tahap pertama saja mencapai Rp 20 juta per tahun. Sementara, milik Pemko Banda Aceh dengan letak strategis harganya cuma  Rp 17 juta dan paling rendah Rp 4 juta per tahun. Itu pun sudah masuk biaya operasional.
           Kata Teuku Yusuf, Pasar Aceh tahap pertama yang dibangun atas tanah milik masyarakat. Lalu, Pemko Banda Aceh sebagai pendiri bangunan dan pengelola juga mendapatkan jatah 88 kios di lantai tiga, dan 2 kios di lantai dua, dari total jumlah kios di Pasar Aceh tahap pertama sebanyak 319 kios. Selain itu, sebagai pengelola dan pendiri bangunan, Pemerintah Kota Banda Aceh memberlakukan biaya operasional pada kios milik masyarakat dengan rincian satu meter Rp 3000 ribu per hari. “Itu kita kutip untuk membayar gaji karyawan, biaya listrik dan air”. Bahkan menurutnya, untuk menyicil utang pembangunan Pasar Aceh Baru pada Bank Dunia, juga diambil dari uang operasional karena pedagang di Pasar Aceh Baru masih sepi. “Karena pedagangnya merugi ya terpaksa bayarnya cicilan,” kata Teuku Yusuf menutup pembicaraan.
            Waktu terus berjalan. Sayup-sayup terdengar suara azan dari puncak menara Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, petanda waktu shalat Ashar tiba. Tanpa terasa, perjalanan saya, menelusuri Pasar Aceh Baru sudah berlalu satu jam. Saya minta izin pada TeukuYusuf untuk kembali ke kantor redaksi di Jalan Nyak Makam Banda Aceh, tentu setelah melaksanakan shalat berjamaah di masjid yang menjadi saksi bisu tewasnya seorang penjajah Belanda, Jenderal Kohler. Kesan yang terus muncul di pikiran saya adalah: kasihan, pasar besar tapi sepi pembeli.***

Photo: disesuaikan