Monday, June 27, 2016

Prof. Dr. H. Farid Wajdi Ibrahim, MA : Pendidikan Aceh Tak Fokus

Prof. Dr. H. Farid Wajdi Ibrahim, MA
Pendidikan Aceh Tak Fokus
Prof. Dr. Farid Wajidi
Aceh unggul dalam alokasi anggaran pendidikan. Bayangkan, dari 34 provinsi di Indonesia, Aceh menduduki urutan kedua setelah DKI Jakarta sebagai penyedia anggaran terbesar selama tahun 2015, yaitu Rp 1,5 triliun yang bersumber dari APBA dan Rp 600 miliar APBN yang digelontorkan Pemerintah Pusat dalam bentuk bantuan operasi sekolah (BOS).
Tapi, kucuran dana yang melimpah tersebut, ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan mutu pendidikan di Aceh saat ini. Penilaian itu disampaikan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Prof. Dr. H. Farid Wajdi Ibrahim, MA. Guru Besar Pendidikan Islam ini menilai, mutu pendidikan Aceh masih jauh dari apa yang diharapkan. Penyebabnya, karena Pemerintah Aceh tak fokus maupun memiliki target dalam meningkatkan kualitas mutu pendidikan. Berikut wawancara Irwan Saputra dari MODUS ACEH, Kamis pekan lalu. Wawancara berlangsung di ruang Biro Rektorat UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

Menurut neraca pendidikan yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, hingga tahun 2015, mutu pendidikan Aceh menunjukkan grafik yang menurun. Pendapat Anda?
Pergerakan grafik mutu pendidikan Aceh memang berjalan lambat, bahkan jalan di tempat. Ini semua tak lepas dari berbagai alasan, baik karena konflik yang berkepanjangan ataupun  tsunami. Itu adalah bagian dari dunia pendidikan kita. Tapi, kita tidak boleh melihat hanya itu saja sebagai penghambat. Karena di balik semua itu, Aceh mendapat dana bantuan yang berlipat jika dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia.

Maksud Anda?
Seharusnya dengan dana yang banyak, pendidikan Aceh bisa melaju lebih cepat dan meloncat dari ketertinggalan. Tapi, kenyataannya tidak demikian. Plot anggaran untuk pendidikan Aceh memang sudah sangat luar biasa. Dari sisi anggaran, perhatian yang luar biasa dari Pemerintah Pusat, namun anggaran tersebut belum banyak digunakan dan tidak tepat sasaran. Sehingga, kualitas pendidikan tidak seperti yang diharapkan.

Apa saja?
Baik kualitas mutu pendidikan maupun sarana dan prasarana pendidikan. Karena,  kualitas itu merupakan hasil dari produk akhir, tapi harus didukung oleh fasilitas dan kualitas lain. Katakanlah laboratorium, informasi dan teknologi (IT) dan sebagainya. Maka, sangat disayangkan, jika dana sebesar itu tidak digunakan secara tepat sasaran. Seharusnya, dengan dana sebesar itu tentu hasil yang dicapai hari ini juga besar atau ada loncatan. Itu yang ingin saya sampaikan. Minimal peringkat pendidikan kita naiklah pada posisi ke-10. Tapi, kalau masih pada posisi ke-20, itu tidak memuaskan.

Dalam hal uji kompetensi guru, Aceh berada pada urutan ke 32 dari 34 provinsi di Indonesia di bawah Provinsi Papua. Pendapat Anda?
Itu yang saya katakan tadi, kalau kita masih berada di atas 20 nasional dan itu perlu segera berbenah, perlu digenjot lagi, karena masih belum tercapai sasaran. Dengan dana yang besar itu, rata-rata rankingnya di bawah 20 sudah oke. Kita tidak akan memberikan penilian positif atau negatif lagi, karena itu sudah standar. Tapi, kalau masih di atas 20 apalagi masih di atas 30 rata-rata, berarti ada yang tidak beres. Pemerintah masih memerlukan jalan lain, bagaimana mutu pendidikan di Aceh ditingkatkan, apakah perlu mengevaluasi kinerja dinas atau pihak terkait seperti Majelis Pendidikan Daerah (MPD), atau lembaga penjamin mutu pendidikan lainnya. Itu harus dipikirkan kembali karena jika dana sebesar itu mutu pendidikan rendah, berarti ada yang salah.

Jadi, harus dievaluasi?
            Ya, bayangkan, dengan dana yang cukup banyak, dalam tempo waktu yang sudah cukup lama tapi kualitas masih tidak memuaskan. Perlu diketahui, sejak tahun 2000, dana untuk pendidikan Aceh sudah mencapai triliunan. Buktinya, tidak kurang dari satu triliun per tahun untuk dana pendidikan Aceh. Dan, sekarang sudah tahun 2016, sudah 16 tahun. Patutnya mutu pendidikan di Aceh sudah ada hasil. Karena cara menilainya per lima tahun sekali. Tapi, ini sudah 16 tahun, belum ada perubahan yang signifikan.

Dari sisi indeks integritas Ujian Nasional 2015, Aceh masih berada pada posisi 54,97 persen, di bawah dari rata-rata nasional, yaitu 63,28 persen. Pendapat Anda?
Memang pemerintah selalu membicarakan tentang upaya menggenjot mutu pendidikan, tapi kenyataannya tidak demikian. Masalah UAN berkaitan langsung dengan guru. Jika guru belum berkualitas, sebenarnya pemerintah bisa meningkatkan kualitas guru dengan diberikan pelatihan-pelatihan secara rutin dan berkelanjutan, minimal dalam setahun dua kali. Selama ini, tidak ada demikian. Malahan tiga tahun sekali, empat tahun sekali, bahkan ada yang lima tahun sekali. Jika seperti ini, tidak akan mempertajam kualitas guru. Maka, ilmu yang ditransfer ke muridnya pun dangkal. Contoh, dalam hal pengetahuan nasional, pemahaman nasional di Aceh masih di bawah rata-rata nasional. Apalagi, setengah dari guru-guru di Aceh saat ini gagap teknologi. Sehingga, tidak bisa mentransfer ilmu melalui medai-media elektronik, tidak bisa mengakses pengetahuan di internet, jadi IQ-nya lambat.

Maksud Anda?
Guru-guru kita yang tidak paham, sebenarnya harus diperkuat oleh pemerintah, karena guru itu juga punya kelemahan sendiri. Khususnya untuk guru yang mendapatkan sertifikasi. Sejak 2007 dan 2008 lalu, bahkan hingga saat ini, ada sekitar 90 persen yang sudah kaya sekarang. Tapi, kekayaan mereka digunakan dalam bentuk konsumtif, beli rumah, beli mobil, mewah-mewah, tetapi tidak pada peningkatan kualitas.
Patutnya, guru sertifikasi yang telah mendapat gaji dua kali lebih besar itu, harus melakukan penguatan pada dirinya sebagai pendidik, minimal sekitar 20 persenlah dari gajinya itu untuk beli buku atau ikut pelatihan, atau beli laptop atau alat-alat yang menjadi penunjang kualitas dirinya. Makanya, percuma dana besar tapi mutu pendidikan tidak berubah. Pendidikan malah mundur ke belakang. Dalam hal ini, guru boleh disalahkan. Tapi, ingat, pemerintah bertanggungjawab untuk mencari cara lain, dengan cara mengelola dana yang banyak agar tidak terhambur-hambur secara tidak jelas.

Akreditasi sekolah di Aceh juga sangat memprihatinkan. Kementerian Pendidikan merilis ada 3.401 sekolah dasar (SD), baru 8,4 persen terakreditasi A dan masih ada 12,6 persen belum terakreditasi, 25,9 persen (C) dan 53,1 persen (B). Pendapat Anda?
Saya ingin melihat dulu yang belum terakreditasi. Berarti ini belum tersentuh secara standar, sementara masalah akreditasi B dan C itu nanti kita lihat. Tapi, ini yang belum sama sekali terakreditasi di mana kesalahannya, sehingga terjadi seperti ini. Harus dicari di mana kesalahannya. Apakah di kepala sekolah, kepala dinas, atau salah pimpinan kabupaten/kota atau salah di Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Aceh. Tapi, tidak mungkin itu salah kepala sekolah kalau dia ditekan dan diminta dari atasan. Dia tentu tidak mungkin diam. Karena ini adalah satu keharusan, karena dengan akreditasi inilah mereka bisa melaksanakan tugas sesuai prosedur.
Jadi, akreditasi ini adalah standar dalam pengelolaan lembaga pendidikan, baik di perguruan tinggi, maupun di tingkat sekolah. Sementara, akreditasi C adalah label sebuah kelemahan dalam status dunia pendidikan. Titik amannya adalah B dan A. Sementara, C itu harus dipacu lagi. Jadi, kalau persentasenya, saya lihat, masih banyak status akreditasi C dan tidak terakreditasi. Inilah potret lembaga pendidikan Aceh saat ini.
Saya lihat, sekitar 10 persen itu yang memperoleh A, yang B itu ada 20 sampai 40,  sementara 60 persennya adalah C dan yang tak punya akreditasi. Ini masalah yang harus dikaji ulang, di mana dan siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab dalam hal ini. Harusnya, Dinas Pendidikan Aceh wajib memperhatikan ini karena biaya operasional di sana. Sedangkan Gubernur Aceh dan para bupati atau walikota harus mengambil sikap. Tapi, sepertinya mereka hanya diam-diam saja. Ini satu hal yang memalukan. Namun, yang jadi pertanyaannya, Pemerintah Aceh saat ini punya target atau nggak dalam meningkatkan mutu pendidikan di Aceh?

Dalam hal pendidikan anak usia dini, (PAUD) partisipasinya baru mencapai 21,08 persen. Artinya, masih sangat banyak anak usia 3-6 tahun yang belum diperkenalkan pendidikan. Menurut Anda kenapa demikian?
            Karena PAUD di desa-desa sangat minim dan bertumpuk di kota. Masyarakat kita di desa, kalau tidak ada pendidikan untuk anak usia dini ya tidak mengapa, karena jika hendak mengantar ke desa tetangga butuh biaya operasional dan sebagainya. Di sini, tanggung jawab pemerintah masih sangat kurang. Coba lihat lebih dari 80 persen lembaga pendikan PAUD adalah swasta, itu kebijakan dari masyarakat. Terlepas disebut sebagai bisnis atau apa pun, tapi untung ada mereka. Bagaimana kalau tidak ada? Seharusnya, Pemerintah Aceh memperhatikan ini, karena Pemerintah Pusat telah memasukkan lembaga PAUD dalam undang-undang dan dananya sudah disediakan. Di tingkat Kementerian Pendidikan, sudah ada Direktur PAUD, begitu juga di Kementerian Agama. Ini pekerjaan rumah bagi Pemerintah Aceh, bagaimana agar setiap kampung di Aceh ada PAUD. Itu adalah bukti keseriusan pemerintah dalam menggenjot pendidikan.
Adakah kaitannya dengan keadaan guru di Aceh?
Suatu ketika, kami melakukan sertifikasi guru di bawah Kementerian Agama di Fakultas Tarbiyah. Pertama sekali yang dites adalah Ujian Kompetensi (UK). Selain dari Aceh, ada peserta lain dari tiga kabupaten di Sumatera Utara. Saat tes hari itu, soal semua sama, waktu juga sama, dalam ruang yang sama. Tapi, semua orang Sumatera Utara itu nilainya melampaui orang-orang kita. Padahal, mereka berasal dari Kabupaten Langkat dan beberapa daerah lainnya. Menjadi pertanyaan saya, kok kualitas guru kita kalah telak dari mereka. Ini semua karena guru kita tidak proaktif dalam meningkatkan mutu guru, gagap teknologi (gaptek), ditambah dengan tidak ada tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan urusan pendidikan.

Adakah ini akibat dari tidak adanya koordinasi antara Lembaga Pencetak Tenaga Kependidikan (LPTK), baik dari perguruan tinggi seperti UIN dan Unsyiah dengan pemerintah?
Di Aceh, cuma 20 persen perguruan negeri yang memproduksi guru, sementara selebihnya 80 persen adalah produk swasta. Perguruan tinggi swasta cukup sedikit yang mendapat akreditasi A, selebihnya B dan C. Akreditasi C itu pertanda lembaga pendidikan ini sakit. Tapi, tak pernah disuntik oleh pemerintah. Jadi, jika lembaga pendidikan sakit, maka produk mereka akan lemah.

Apa tanggapan Anda terkait campur aduk tugas Kepala Dinas Pendidikan dengan tugas peningkatan kualitas pendidikan dengan pengelolaan proyek fisik?
Sebenarnya, tugas Kepala Dinas Pendidikan Aceh adalah mengelola dan menggenjot mutu pendidikan ke arah yang lebih baik, seraya didukung oleh fasilitas pendidikan yang baik untuk memproses hasil didikan. Masalah bangunan fisik itu kalau digabung, jadi gagal fokus pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah harus menyerahkan urusan bangunan pada Dinas PU, atau Bina Marga ataupun Dinas Cipta Karya. Tapi, jika semuanya diurus, maka fokus untuk meningkatkan mutu pendidikan gagal. Jadi, maju atau mundurnya pendidikan di Aceh, tanggungjawabnya ada pada Gubernur Aceh. Seharusnya, jika SKPA sudah tidak sesuai dengan visi dan misinya, segera diganti.

Bagaimana dengan kesenjangan pendidikan antara sekolah-sekolah yang ada di desa dengan di kota?
Itu tadi, ada beberapa sekolah akreditasinya A hanya sedikit, kalau kita persentasekan hanya 10 sampai 15 persen. Ini adalah sekolah unggul yang menerapkan sistem boarding school, ada dana banyak atau cukup. Kelebihan sekolah ini adalah jam belajarnya lebih panjang yaitu siang dan malam mereka belajar dan dibina. Hasilnya, guru dan fasilitas murid unggul hanya 15-20 persen. Sementara, lainnya adalah abal-abal karena kurang perhatian pemerintah. Jadi, mutu pendidikan di Aceh sangat kompleks sekali.

Harapan Anda?
Pemerintah Aceh harus serius dalam mengurus pendidikan Aceh. Mutu pendidikan Aceh memalukan. Kita miris ketika melihat putra-putri Aceh kalah saing dengan daerah, baik di tingkat regional, nasional maupun internasional. Kemudian, pemerintah harus punya target dalam pendidikan, jangan mengambang tidak jelas. Kasihan, uang banyak, sementara mutu pendidikan Aceh buruk. Gubernur Aceh harus bertanggungjawab!***


  • Sumber : Tabloid Modus Aceh

No comments:

Post a Comment