Prof. Dr. H. Farid Wajdi Ibrahim, MA
Pendidikan Aceh Tak
Fokus
Prof. Dr. Farid Wajidi |
Aceh
unggul dalam alokasi anggaran pendidikan. Bayangkan,
dari 34 provinsi di Indonesia,
Aceh menduduki
urutan kedua setelah DKI Jakarta sebagai penyedia anggaran terbesar
selama tahun
2015, yaitu Rp 1,5 triliun yang bersumber dari APBA dan Rp 600 miliar APBN yang
digelontorkan Pemerintah
Pusat dalam bentuk bantuan operasi sekolah (BOS).
Tapi,
kucuran dana yang melimpah tersebut, ternyata berbanding terbalik
dengan kenyataan mutu pendidikan di Aceh saat ini. Penilaian itu disampaikan Rektor Universitas
Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Prof. Dr. H. Farid Wajdi Ibrahim, MA. Guru Besar Pendidikan Islam ini menilai,
mutu pendidikan Aceh masih jauh dari apa yang diharapkan. Penyebabnya, karena
Pemerintah Aceh tak fokus maupun
memiliki
target dalam meningkatkan kualitas mutu pendidikan. Berikut wawancara Irwan Saputra dari MODUS
ACEH,
Kamis
pekan lalu. Wawancara berlangsung di ruang Biro Rektorat UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Menurut neraca pendidikan yang dirilis Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI, hingga tahun 2015, mutu pendidikan Aceh
menunjukkan grafik yang menurun. Pendapat Anda?
Pergerakan
grafik mutu pendidikan Aceh memang berjalan lambat, bahkan jalan di tempat. Ini semua tak
lepas dari berbagai alasan, baik karena konflik yang berkepanjangan
ataupun tsunami. Itu adalah
bagian dari
dunia pendidikan kita. Tapi, kita tidak boleh melihat hanya itu saja sebagai penghambat. Karena di balik semua itu, Aceh mendapat dana
bantuan yang berlipat jika dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia.
Maksud Anda?
Seharusnya
dengan dana yang banyak, pendidikan Aceh bisa melaju lebih cepat dan meloncat
dari ketertinggalan.
Tapi, kenyataannya tidak
demikian. Plot
anggaran untuk pendidikan Aceh memang sudah sangat luar biasa. Dari sisi
anggaran,
perhatian yang luar biasa dari Pemerintah Pusat, namun anggaran
tersebut belum banyak digunakan dan tidak tepat sasaran. Sehingga, kualitas
pendidikan tidak seperti yang diharapkan.
Apa saja?
Baik
kualitas
mutu pendidikan maupun sarana dan prasarana pendidikan. Karena, kualitas itu merupakan hasil dari produk
akhir, tapi harus didukung oleh fasilitas dan kualitas lain. Katakanlah laboratorium, informasi dan teknologi (IT) dan sebagainya. Maka, sangat disayangkan,
jika dana sebesar itu tidak digunakan secara tepat sasaran. Seharusnya, dengan
dana sebesar itu
tentu
hasil yang dicapai hari ini juga besar atau ada loncatan. Itu yang ingin saya
sampaikan.
Minimal peringkat pendidikan kita naiklah pada posisi ke-10. Tapi, kalau masih
pada posisi ke-20, itu tidak memuaskan.
Dalam hal uji kompetensi guru, Aceh berada pada urutan
ke 32 dari 34 provinsi di Indonesia di bawah Provinsi Papua. Pendapat Anda?
Itu
yang saya katakan tadi, kalau kita masih berada di atas 20 nasional dan itu perlu
segera berbenah, perlu digenjot
lagi, karena masih belum tercapai sasaran. Dengan dana yang besar
itu, rata-rata rankingnya di bawah 20 sudah oke. Kita tidak akan memberikan
penilian positif atau negatif
lagi, karena
itu sudah standar.
Tapi,
kalau masih di atas 20 apalagi masih di atas 30 rata-rata, berarti ada yang tidak beres. Pemerintah masih
memerlukan jalan lain, bagaimana mutu pendidikan di Aceh ditingkatkan, apakah perlu
mengevaluasi kinerja dinas atau pihak terkait seperti Majelis Pendidikan Daerah (MPD), atau lembaga penjamin mutu pendidikan lainnya. Itu harus dipikirkan kembali karena jika dana sebesar itu mutu pendidikan rendah,
berarti ada yang salah.
Jadi,
harus dievaluasi?
Ya, bayangkan,
dengan dana yang cukup banyak, dalam tempo waktu yang sudah cukup lama
tapi kualitas masih tidak memuaskan. Perlu diketahui, sejak tahun 2000, dana untuk
pendidikan Aceh sudah mencapai triliunan. Buktinya, tidak kurang dari satu
triliun per tahun untuk dana pendidikan Aceh. Dan, sekarang sudah tahun 2016,
sudah 16 tahun. Patutnya mutu pendidikan di Aceh sudah ada hasil. Karena cara menilainya per lima tahun sekali. Tapi, ini sudah 16 tahun, belum ada perubahan yang signifikan.
Dari sisi indeks integritas Ujian Nasional 2015, Aceh masih berada pada
posisi 54,97 persen, di bawah dari rata-rata nasional, yaitu 63,28 persen.
Pendapat Anda?
Memang
pemerintah selalu membicarakan tentang upaya menggenjot mutu pendidikan, tapi
kenyataannya tidak demikian. Masalah UAN berkaitan langsung dengan guru. Jika guru belum
berkualitas, sebenarnya pemerintah bisa meningkatkan kualitas guru dengan diberikan
pelatihan-pelatihan secara rutin dan berkelanjutan, minimal dalam setahun dua kali. Selama ini, tidak ada demikian.
Malahan tiga tahun sekali, empat tahun sekali, bahkan ada yang lima tahun sekali.
Jika seperti ini,
tidak akan mempertajam kualitas guru.
Maka,
ilmu yang ditransfer ke muridnya pun dangkal. Contoh, dalam hal
pengetahuan nasional, pemahaman nasional di Aceh masih di bawah rata-rata
nasional. Apalagi, setengah dari
guru-guru di Aceh saat ini gagap teknologi. Sehingga, tidak bisa mentransfer ilmu melalui
medai-media elektronik,
tidak bisa mengakses pengetahuan
di internet,
jadi IQ-nya lambat.
Maksud Anda?
Guru-guru
kita yang tidak paham,
sebenarnya harus diperkuat oleh pemerintah, karena guru itu juga punya
kelemahan sendiri. Khususnya untuk guru yang mendapatkan sertifikasi. Sejak 2007 dan 2008 lalu, bahkan hingga saat
ini, ada sekitar
90 persen yang sudah
kaya sekarang.
Tapi,
kekayaan mereka digunakan dalam bentuk konsumtif, beli rumah,
beli mobil, mewah-mewah, tetapi tidak pada peningkatan kualitas.
Patutnya,
guru sertifikasi yang telah mendapat gaji dua kali lebih besar itu, harus
melakukan penguatan pada
dirinya sebagai pendidik, minimal sekitar 20 persenlah dari gajinya itu untuk
beli buku atau ikut pelatihan, atau beli laptop atau alat-alat yang menjadi penunjang
kualitas dirinya. Makanya, percuma dana besar tapi mutu pendidikan tidak berubah. Pendidikan malah
mundur ke belakang. Dalam hal ini, guru boleh disalahkan. Tapi, ingat, pemerintah bertanggungjawab
untuk mencari cara lain, dengan cara mengelola dana yang banyak agar tidak
terhambur-hambur secara tidak
jelas.
Akreditasi sekolah di Aceh juga sangat memprihatinkan. Kementerian
Pendidikan merilis ada 3.401 sekolah dasar (SD), baru 8,4 persen terakreditasi
A dan masih ada 12,6 persen belum terakreditasi, 25,9 persen (C) dan 53,1
persen (B). Pendapat Anda?
Saya
ingin melihat dulu yang belum terakreditasi.
Berarti ini belum tersentuh secara standar, sementara masalah akreditasi B dan C itu
nanti kita lihat.
Tapi, ini yang belum sama sekali terakreditasi di mana kesalahannya,
sehingga terjadi seperti ini. Harus dicari di mana kesalahannya.
Apakah di kepala sekolah, kepala dinas, atau salah pimpinan kabupaten/kota atau
salah di Kepala Dinas
Pendidikan Provinsi
Aceh. Tapi,
tidak mungkin itu salah kepala sekolah kalau dia ditekan dan diminta dari
atasan. Dia tentu tidak mungkin diam. Karena ini adalah satu keharusan, karena
dengan akreditasi inilah
mereka bisa melaksanakan tugas sesuai prosedur.
Jadi,
akreditasi ini adalah
standar dalam pengelolaan lembaga pendidikan, baik di perguruan tinggi, maupun
di tingkat
sekolah. Sementara, akreditasi C adalah
label sebuah kelemahan dalam status dunia pendidikan. Titik amannya adalah B
dan A. Sementara,
C itu harus dipacu lagi.
Jadi,
kalau persentasenya, saya lihat, masih banyak status akreditasi
C dan tidak terakreditasi.
Inilah potret lembaga pendidikan Aceh saat ini.
Saya
lihat, sekitar 10 persen itu yang memperoleh A, yang B itu ada 20 sampai 40, sementara 60 persennya adalah
C dan yang tak punya akreditasi.
Ini masalah yang harus dikaji ulang, di mana dan siapa sebenarnya yang paling
bertanggungjawab dalam hal ini. Harusnya, Dinas Pendidikan Aceh wajib memperhatikan
ini karena biaya operasional
di sana. Sedangkan Gubernur
Aceh dan para
bupati atau walikota harus mengambil sikap. Tapi, sepertinya
mereka hanya diam-diam saja. Ini satu hal yang memalukan. Namun, yang jadi
pertanyaannya, Pemerintah
Aceh saat ini punya target atau nggak
dalam meningkatkan mutu pendidikan di Aceh?
Dalam hal pendidikan anak usia dini, (PAUD) partisipasinya
baru mencapai 21,08 persen. Artinya, masih sangat banyak anak usia 3-6 tahun
yang belum diperkenalkan pendidikan. Menurut Anda kenapa demikian?
Karena
PAUD di desa-desa sangat minim dan bertumpuk di kota. Masyarakat kita di desa,
kalau tidak ada pendidikan untuk anak usia dini ya tidak mengapa, karena jika
hendak mengantar ke desa tetangga butuh biaya operasional dan sebagainya. Di
sini, tanggung jawab pemerintah masih sangat kurang. Coba lihat lebih
dari 80 persen lembaga
pendikan PAUD adalah swasta,
itu kebijakan dari masyarakat. Terlepas disebut
sebagai bisnis atau apa pun, tapi untung ada
mereka. Bagaimana kalau
tidak ada? Seharusnya, Pemerintah Aceh memperhatikan ini,
karena Pemerintah Pusat telah
memasukkan lembaga PAUD dalam undang-undang dan dananya sudah disediakan. Di tingkat Kementerian Pendidikan, sudah ada Direktur PAUD, begitu juga di Kementerian Agama. Ini pekerjaan rumah
bagi Pemerintah Aceh, bagaimana agar setiap kampung di Aceh ada PAUD. Itu adalah bukti keseriusan pemerintah dalam
menggenjot pendidikan.
Adakah kaitannya dengan keadaan guru di Aceh?
Suatu ketika, kami melakukan sertifikasi guru di
bawah Kementerian Agama di Fakultas Tarbiyah. Pertama sekali yang dites adalah Ujian Kompetensi (UK). Selain
dari Aceh, ada peserta lain dari tiga kabupaten di Sumatera
Utara. Saat tes hari itu, soal semua sama, waktu juga sama, dalam ruang yang sama. Tapi, semua orang Sumatera Utara
itu nilainya melampaui
orang-orang kita. Padahal, mereka berasal dari Kabupaten Langkat
dan beberapa daerah lainnya. Menjadi
pertanyaan saya, kok kualitas guru kita kalah telak dari mereka.
Ini semua karena guru kita tidak proaktif dalam meningkatkan mutu guru, gagap teknologi (gaptek),
ditambah dengan tidak ada tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan urusan
pendidikan.
Adakah ini akibat dari tidak adanya koordinasi antara Lembaga Pencetak Tenaga Kependidikan
(LPTK), baik dari perguruan tinggi seperti UIN dan Unsyiah dengan pemerintah?
Di
Aceh, cuma 20 persen perguruan negeri yang memproduksi guru,
sementara selebihnya 80 persen adalah produk swasta. Perguruan tinggi swasta cukup sedikit yang mendapat
akreditasi A, selebihnya B dan C. Akreditasi C itu pertanda lembaga pendidikan
ini sakit. Tapi, tak pernah disuntik oleh pemerintah. Jadi, jika lembaga pendidikan sakit, maka produk
mereka akan lemah.
Apa
tanggapan Anda terkait campur aduk tugas Kepala Dinas Pendidikan dengan tugas peningkatan
kualitas pendidikan dengan pengelolaan proyek fisik?
Sebenarnya, tugas Kepala Dinas Pendidikan Aceh adalah
mengelola dan
menggenjot mutu pendidikan ke arah yang lebih baik, seraya didukung
oleh fasilitas pendidikan yang baik
untuk memproses hasil didikan. Masalah bangunan fisik itu kalau digabung, jadi
gagal fokus pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah harus
menyerahkan urusan bangunan pada Dinas PU, atau Bina Marga ataupun Dinas Cipta Karya.
Tapi, jika semuanya diurus, maka fokus untuk meningkatkan mutu pendidikan gagal.
Jadi, maju atau mundurnya pendidikan di Aceh,
tanggungjawabnya ada pada Gubernur Aceh. Seharusnya, jika SKPA sudah tidak
sesuai dengan visi dan misinya, segera diganti.
Bagaimana dengan kesenjangan pendidikan antara sekolah-sekolah yang ada
di desa dengan di kota?
Itu
tadi, ada beberapa
sekolah akreditasinya
A hanya sedikit, kalau kita persentasekan hanya 10 sampai 15 persen. Ini adalah sekolah unggul yang
menerapkan sistem boarding school,
ada dana
banyak atau cukup. Kelebihan sekolah ini adalah jam belajarnya lebih
panjang yaitu siang dan malam
mereka belajar dan dibina. Hasilnya, guru dan fasilitas murid unggul
hanya 15-20 persen. Sementara, lainnya adalah
abal-abal karena kurang
perhatian pemerintah. Jadi, mutu pendidikan di Aceh sangat kompleks sekali.
Harapan Anda?
Pemerintah Aceh harus serius dalam mengurus pendidikan
Aceh. Mutu pendidikan Aceh memalukan. Kita miris ketika melihat putra-putri Aceh
kalah saing dengan daerah, baik di tingkat regional, nasional maupun
internasional. Kemudian, pemerintah harus punya target dalam pendidikan, jangan
mengambang tidak jelas. Kasihan, uang banyak, sementara mutu pendidikan Aceh
buruk. Gubernur Aceh harus bertanggungjawab!***
- Sumber : Tabloid Modus Aceh
No comments:
Post a Comment