Thursday, August 4, 2016

Rumah Yatim Pencetak Generasi Qur’ani


Penyerahan bantuan
Pesantren Imam Syafi`i Aceh Besar memang tak tenar di telinga masyarakat Aceh. Tapi, siapa sangka, pesantren yang dibangun tujuh tahun silam itu kerap dikunjungi tamu dari manca negera. Meninjau pembangunan dan memberi bantuan.

Irwan Saputra
Jam menunjukkan pukul 9.30 WIB. Jumat pekan lalu, media ini berkesempatan menyambangi Pesantren Imam Syafi`i di Desa Sibreh Kemudee, Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar.
Sampai di sana, kesan yang muncul pertama adalah: teduh, tenang, asri dan jauh dari hiruk-pikuk kehidupan masyarakat kota. Searah mata memandang, banyak pohon rimbun, menebar hawa sejuk, meski matahari pagi itu tak begitu bersahabat.
Di halaman pesantren, puluhan warga setempat terlihat sedang bercengkrama, sementara para santri sibuk merapikan kursi di teras Kantor Yayasan Lajnah Khairiyah Musytarakah. Tak jauh dari itu, puluhan karung beras tersusun rapi untuk dibagikan.
Hari itu, warga setempat dan Pesantren Imam Syafi`i kedatangan tamu istimewa dari Kuwait, yaitu Syeikh Dr. Ahmad Hamid Al Jasat dan Syeikh Saad Adnan Al Hudhari yang didampingi Ahmad Jawawi, Pimpinan Pesantren Imam Syafi`i di Indonesia.
Tujuan keduanya menyambangi pesantren Imam Syafi`i itu untuk meninjau pengembangan pembangunan serta menyalurkan bantuan beras kepada warga miskin yang dianggap berhak menerimanya. Itu sebabnya, warga rela menunggu beberapa jam di halaman pasentren, menyambut kedatangan tamu dari negara kaya minyak ini. Syeikh Dr. Ahmad Hamid Al Jasat dan Syeikh Saad Adnan Al Hudhari adalah donatur dari pembangunan pesantren Imam Syafi`i.
“Kita tunggu Syeikh dulu, mereka masih dalam perjalanan dari Banda Aceh,” jelas Darwis SH, Ketua Yayasan Lajnah Khairiyah Musytarakah. Darwis memperkenalkan wartawan media ini ke warga setempat yang tampak begitu ramah menyapa. Tak lama berbincang, Darwis mengajak media ini untuk melihat-lihat ruang belajar para santri.
Kepada media ini, Darwis bercerita, sejak dibangun tujuh tahun lalu, terget mereka untuk mencetak generasi qur`ani yang tidak hanya mumpuni dalam urusan agama, tapi juga menguasai keterampilan sesuai perkembangan zaman.
Karena itu, para santri dibekali skil untuk bisa menjahit dan membuat dendeng daging sapi yang didistribusikan ke pusat kota, baik di Aceh Besar maupun Banda Aceh, sementara dagingnya diperoleh dari peternakan sapi milik pesantren yang tak jauh dari lokasi itu.
Santri di sana juga dibekali ilmu bela diri taekwondo dan telah banyak menoreh prestasi di tingkat provinsi. “Ini adalah bukti prestasi para santri,” ujar Darwis sambil menunjukkan piala yang tersusun rapi dalam lemari kaca.
Pesantren ini menerapkan sistem yang berbeda dari pesantren lainnya yang ada di Aceh. Perbedaan itu terlihat begitu kentara karena hanya menetapkan syarat khusus: santri yang berstatus yatim dan dari keluarga miskin. Selama masa pendidikan, para santri tidak dipungut biaya satu sen pun. Malah disediakan uang jajan dua ribu rupiah per orang secara rata.
Santri direkrut dari daerah-daerah terpencil di Aceh yang kondisi ekonomi mengancam masa depan pendidikannya. Kemudian, mereka masuk ke pesantren untuk dididik hingga tamat. Dan, semuanya gratis,” ujar Darwis.
Sejauh ini, Pesantren Imam Syafi`i sudah menamatkan satu generasi, setelah mereka diwajibkan untuk belajar selama enam tahun, yakni tingkat tsanawiyah (SMP) tiga tahun dan aliyah (SMA) tiga tahun. Setelah menjadi alumni, mereka diharuskan untuk mengabdi selama setahun sebagai proses pengalihan ilmu kepada santri di bawah mereka.
Pengkhususan penerimaan santri berstatus anak yatim ini memang merupakan syarat yang diajukan donatur sejak pertama sekali pesantren itu dibangun. Maka, jangan heran jika lembaga pendidikan Islam itu fokus terhadap nasib pendidikan anak-anak yatim di Aceh, khususnya pasca gempa dan tsunami 2014.
Saat ini, ada 140 santri yang menimba ilmu di Pesantren Imam Syafi’i tanpa perbedaan. “Seandainya kami menerima santri yang bukan anak yatim, maka bisa-bisa kehilangan pendonor,” jelas Darwis.
Amatan media ini, menimba ilmu di sana relatif menyenangkan. Karena aneka fasilitas juga sudah tersedia. Seperti asrama yang nyaman, sumber air artesis dan area peternakan dan perkebunan. Untuk sarana pendidikan, ada ruang kelas, perpustakaan dan laboratorium komputer.
Pesantren Imam Syafi’i juga dilengkapi sarana penunjang seperti, masjid, kantor, lapangan olah raga, koperasi/kantin, ruang makan, air RO, klinik kesehatan, ambulans dan genset. “Selain belajar, mereka juga dibekali life skill, seperti cara bertani, beternak dan berkebun. Kalau ada anak yatim yang luput dari pantauan kami dan memang layak untuk dibantu beri tahu kami,” kata Darwis.
Tak lama kemudian, satu unit mobil CRV hitam memasuki pekarangan pesantren. Lalu, dua tamu yang ditunggu-tinggu turun dari mobil bersama pimpinan Pesantren Imam Syafi`i se-Indonesia. Kemudian, beberapa petinggi pesantren itu menyalami mereka, termasuk Darwis SH, ketua yayasan. Ketiga orang itu pun diajak ke kursi yang telah lama disediakan.
Pembukaan acara seremonial, penyambutan serta pembagian beras diawali dengan lantunan merdu pembacaan ayat suci Alqur`an yang dibacakan oleh salah seorang santri. Puluhan warga yang sebelumnya berhamburan di halaman, lalu duduk rapi di kursi yang disediakan.
            Dalam sambutannya yang diterjemahkan Ahmad Jawawi, Syeikh Dr. Ahmad Hamid Al Jasat mengatakan, tujuan mereka ke Pesantren Imam Syafi`i hari itu untuk meninjau pembangunan asrama yang akan dibantu pihaknya serta donatur lain, demi kelanjutan pembangunan gedung asrama yang belum siap. Selain itu, dibagikan bantuan beras kepada warga setempat yang dianggap layak menerimanya.
            “Para donatur baik dari Kuwait, Qatar maupun Dubai tidak mengenal kita dan kita pun tidak mengenal mereka, tapi mengapa mereka menjadi pendonor, satu alasannya adalah karena mereka mengharap ridha Allah,” ujar Dr. Ahmad Hamid.
            Seusai acara seremoni, warga setempat antusias mengantri, untuk mendapatkan jatah sekarung beras per orang.
Zainab (60), salah seorang warga setempat, mengaku senang adanya bantuan tersebut. Apalagi, usianya sudah senja untuk bekerja, sehingga mencari sekarung beras tentu tidaklah mudah. Adanya bantuan seperti ini, ia mengaku sangat senang.
Saya sudah tua. Dengan ada bantuan ini, kami sangat bersyukur,” ujarnya haru. Warga lain Zulkifli (65) juga tidak mampu menutup rasa haru. Sebagai kepala rumah tangga, dia menanggung beban enam orang anak serta mertuanya. Dia juga sakit-sakitan di usai senja.Saya berharap para syeikh dari Kuwait dapat memberikan kami bantuan. Kami sangat berterimakasih atas bantuan ini,” ujarnya.
            Setelah membagikan bantuan kepada warga, kedua donatur itu diajak keliling pesantren, melihat situasi bangunan yang dibangun atas tanah seluas empat hektar. Kunjungan dua donatur itu berakhir dengan makan siang bersama hingga menjelang masuk waktu shalat Jumat.***   

Sumber : Tabloid Modus Aceh




Rindu Car Free Day Kota Madani


Sejak dua tahun terakhir, masyarakat Kota Banda Aceh tak lagi bisa menikmati car free day di setiap akhir pekan sepanjang Jalan Teungku Daud Beureueh. Penyebabnya, karena keterbatasan anggaran.
 
Irwan Saputra
Dua tahun lalu, setiap Minggu pagi masyarakat Kota Banda Aceh berduyun-duyun mengikuti perhelatan car free day (hari bebas mobil) yang dipusatkan mulai Jalan Teungku Daud Beureueh, Simpang Jambo Tape hingga Simpang Lima. Jaraknya sekitar dua kilometer dan dua ruas jalan tadi ditutup dari hiruk pikuk arus kendaraan.
            Di lokasi itu, ada ratusan warga (laki-laki dan perempuan) serta anak-anak hingga usia lanjut “hanyut” melaksanakan aktivitas senam pagi, jogging, bermain, bercengkrama atau bahkan hanya sekedar kongkow-kongkow di atas badan jalan, tanpa khawatir ditabrak mobil atau sepeda motor.  
            Tapi, kegiatan hidup sehat bebas dari polusi kendaraan bermotor itu adalah cerita lama dan kini tinggal kenangan. Karena itu, jangan heran bila banyak warga yang mempertanyakan kenapa car free day dihentikan.
            Rayful, salah seorang penyiar di salah satu stadion radio milik pemerintah di Banda Aceh. “Ada yang berbeda di setiap akhir pekan di Banda Aceh sekarang, warga kota tidak lagi terlihat ramai dan semarak selepas shalat Subuh. Dulu punya agenda rutin yang diikuti pada setiap akhir pekan yaitu car free day,” ujarnya Selasa dua pekan lalu.
Rayful mengaku senang dengan car free day, selain dapat berolahraga di tempat udara yang bersih dan bebas polusi, ia juga bisa bercengkrama dengan keluarga. “Saya pribadi merindukan car free day,” ungkap Rayful.
Sepinya Banda Aceh dari kegiatan car free day sempat menimbulkan dugaan bahwa Walikota Banda Aceh Hj. Illiza Sa’aduddin Djamal tidak menyukai program ini. Maklum sajalah, pada hari-hari tersebut, sebagian kaum perempuan memakai celana senam yang dianggap bertentangan dengan penerapan syariat Islam di kota Madani. Namun, dugaan itu ternyata tak benar dan langsung dibantah Mahdi Andela, Kepala Sub Bagian (Kasubbag) Hubungan Kelembagaan dan Media Center Bagian Humas, di Sekretariat Kota Banda Aceh.
Kepada media ini, Mahdi menjelaskan, program car free day bukan diprakarsai Pemerintah Kota Banda Aceh, melainkan Polda Aceh. Begitu juga dengan anggarannya juga berasal dari Pemerintah Aceh. Sementara, Pemerintah Kota Banda Aceh hanya sebagai pelaksana kegiatan. Bahkan, pihaknya juga tidak mengetahui kenapa program itu dihentikan.
Menurut Mahdi, Walikota Banda Aceh pernah menyampaikan bahwa dia selalu mendukung program itu untuk dilanjutkan kembali. “Kegiatan car free day itu diprakarsai oleh teman-teman di kepolisian. Jadi, merekalah yang paling tahu mengapa program ini tidak dilanjutkan,” ujar Mahdi, Selasa pekan lalu.
Namun, pihak Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh mengungkapkan, dihentikannya car free day lantaran animo masyarakat di kota ini untuk ikut dalam kegiatan hidup sehat mulai menurun. Buktinya, semarak car free day hanya dirasakan pada tahun-tahun pertama. Sementara, tahun kedua, minat masyarakat semakin berkurang. Padahal, biayanya sudah disediakan Pemerintah Aceh. 
Nizarli, Kepala Seksi (Kasi) Pengawasan Keselamatan dan Pembina Sarana Pemko Banda Aceh mengatakan, “Awalnya ramai, tapi pada tahun berjalan, animo masyarakat semakin berkurang. Kami sudah siap menutup jalan untuk acara car free day. Tapi, kalau masyarakat tidak memanfaatkan, lantas buat apa?” urai Nizarli, Selasa dua pekan lalu.
Selain menurunnya animo masyarakat, car free day tidaklah efektif. Alasannya, karena harus didukung instansi lain atau komunitas. Pendukung program ini juga dinilai tidak maksimal. Tapi, walau bagaimanapun, surat keputusannya (SK) masih aktif hingga saat ini.
SK-nya masih aktif dan belum dicabut. Bisa saja dilanjutkan sewaktu-waktu. Namun, kalau agenda ini (car free day) kurang efektif, tentu kami akan mengevaluasinya,” jelasnya.
Menurut Nizarli, car free day adalah keinginan dari Polda Aceh dan Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh.Jika tidak ada yang mengikuti kan percuma,” tambahnya.
M. Zubir, Kabid Darat Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh mengatakan, untuk melegalkan car free day pihaknya telah membantu membuatkan SK, namun terkendala ada pada biaya operasional. Sebut saja membiayai instruktur senam, listrik dan sound sistem. “Ada dua hal yang paling penting. Pertama, peminatnya ada atau tidak, kedua, ada tidak biaya operasionalnya,” jelas Zubir, Rabu dua pekan lalu.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol. Goenawan, mengakui bahwa car free day diprakarsai Polda Aceh. Dananya dari Pemerintah Aceh. Sementara, Kota Banda Aceh hanya sebagai tempat pelaksanaan kegiatan. Izinnya diberikan melalui Keputusan Walikota Banda Aceh Nomor 388 Tahun 2012, saat masih dijabat Walikota Banda Aceh, almarhum Mawardi Nurdin.
Goenawan menjelaskan tujuan car free day adalah untuk mengurangi kemacetan dalam penggal jalan tertentu serta untuk mengurangi polusi karbon dioksida, termasuk meningkatkan ekonomi masyarakat karena ada sebagian yang memanfaatkannya untuk berjualan.
Namun, Goenawan membantah jika animo masyarakat menjadi faktor dihentikannya program car free day. Menurutnya, antusias masyarakat terhadap kegiatan itu sangat baik karena memiliki daya tarik tersendiri, yaitu senam dan olahraga serta sebagai ruang publik terbuka untuk berekspresi. “Mungkin kita upayakan tahun 2017 akan kembali digelar untuk Kota Banda Aceh,” ujar Goenawan. Kita tunggu.***


Sumber : Tabloid Modus Aceh

Digdaya Panglima Do di Ambang Pilkada


Konferensi Pers MUNA
Berbagai upaya telah dilakukan anggota KPA/PA Abdya untuk mengkudeta Panglima Do. Tapi, sang ketua tetap digdaya di atas tahta. Misi menjungkal Erwanto dari calon Partai Aceh?

Irwan Saputra
            Konferensi pers itu berlangsung di aula kantor Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) Partai Aceh (PA), Rabu 20 Juli lalu. Hari itu, hadir Ketua dan Sekretaris Musyawarah Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Tgk Zahari dan Ridwan serta para Pengurus MUNA lainnya, termasuk mantan Ketua DPW PA Abdya, Tgk M. Nazir, maupun sejumlah anggota sagoe (wilayah) KPA Wilayah Blangpidie.
            Temu pers itu bertujuan untuk menyuarakan penolakan atas penetapan Erwanto sebagai bakal calon Bupati Abdya dari PA. Saat itu, MUNA meminta agar Mualem (sapaan akrab untuk Muzakir Manaf), Ketua Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh (DPA-PA) merivisi kembali penetapan Erwanto.
Abdurrahman Ubit (Panglima Do)
 Alasannya, hingga saat ini, penetapan pencalonan Bupati dan Wakil Bupati Abdya dari PA belum ada. Jikapun ada, tersiar nama Erwanto dan itu dinilai Tgk Zahari tidak melalui proses musyawarah. Sebab, ada persoalan internal di partai itu yang hingga saat ini belum selesai.    
Selaku Ketua MUNA Abdya, saya tegaskan, penetapan pencalonan bupati dan wakil bupati dari PA belum ada,” kata Tgk Zahari, lantang. Selain itu, menghadapi persoalan internal partai dan penentuan bakal calon kepala daerah, MUNA berpegang pada arahan Ketua Tuha Peut DPA-PA, Malik Mahmud Al-Haytar. Dalam suratnya, 17 Juli 2016 lalu, Wali Nanggroe ini meminta agar pengurus KPA dan PA Abdya duduk dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan internal.
Tidak hanya itu, Malik Mahmud juga mengeluarkan surat Nomor 049/DPA-PA/VII2016. Dia minta Panglima Do, sapaan akrab untuk Abdurrahman Ubit selaku Ketua KPA/PA Abdya, meletakkan jabatan dan mengembalikan kepada M. Nazir sebagai Ketua KPA/PA. Ini dimaksud agar melaksanakan musyawarah dengan seluruh pendukung, ulama dan cerdik pandai dalam upaya menentukan calon Bupati dan Wakil Bupati Abdya.
Ketua MUNA Abdya itu juga meminta agar Mualem tidak melanggar keputusan Ketua Tuha Peut Partai Aceh tentang pengaktifan kembali Tgk M Nazir sebagai Ketua PA Abdya. “Kami meminta Mualem jangan membelakangi peunutöh (arahan) yang sudah diambil Tuha Peut. Kami tetap merujuk keputusan Tuha Peut untuk melakukan musyawarah, karena masih ada peluang untuk musyawarah,” kata Zahari.
Sebenarnya, upaya penolakan terhadap kebijakan Panglima Do telah jauh hari dilakukan KPA/PA setempat. Bahkan, mayoritas sagoe di Abdya tidak sepakat dengan penunjukan Erwanto sebagai bakal calon bupati dari PA.
Ihwal kisruh ini bermula saat Panglima Do mendeklarasikan Erwanto secara sepihak beberapa bulan lalu. Alhasil, muncul bantahan dan penolakan yang belum mampu diredam hingga saat ini. Apalagi, Panglima Do dinilai pasang badan atas pencalonan Erwanto.
Sementara itu, KPA/PA Abdya terus mendesak untuk menggantikan Panglima Do selaku Ketua KPA/PA Abdya. “Itu cara satu-satunya. Kalau Panglima Do diganti, berarti Mualem berpihak pada yang ramai,” kata sumber media ini yang tidak mau dituliskan namanya, Rabu dua pekan lalu.
            Upaya untuk mendesak agar dilakukan musyawarah juga terjadi pada penghujung Juni 2016 lalu. Malam itu, seratusan anggota KPA/PA setempat mendatangi rumah Panglima Do di Desa Pante Pirak, Kecamatan Manggeng, Abdya. Tujuannya, mendesak sang ketua untuk segera menggelar musyawarah partai karena pemilihan kepala daerah sudah dekat.
            Sayang, upaya seratusan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini tak membuahkan hasil. Kabarnya, Panglima Do tidak berada di rumah. Hasilnya, desakan untuk dilakukan musyawarah pemilihan Ketua KPA/PA Abdya kembali gagal.
Mantan Ketua KPA Abdya, Amnasir, kepada sejumlah wartawan malam itu mengatakan, sebelumnya, ia bersama rombongan telah mendatangi rumah sang ketua. Dirinya dan rombongan malah sudah memberitahukan tujuan kedatangan mereka. Namun, setiba di kediaman Abdurrahman Ubit, Amnasir dan kawan-kawan tidak dapat menemui Ketua KPA. Alasannya, yang bersangkutan sengaja menghindar dari mereka.
"Kedatangan kami ke rumah Abdurahman Ubit, selain untuk memanfaatkan momentum bulan suci Ramadhan, juga bersilaturahmi sekaligus mengajak beliau untuk menggelar musyarawarah partai karena pelaksanaan pilkada sudah sangat dekat. Tapi, beliau tidak mau menemui kami," kata Amnasir.
            Begitupun, beberapa upaya lain juga telah dilakukan. Tapi, Panglima Do tetap saja tak menggubris ajakan untuk bertemu dan mengiyakan untuk melakukan musyawarah partai.
Malam itu, Amnasir mengajak rombongan dari 12 sagoe yang mewakili daerah pimpinan sagoe, termasuk tiga mantan Panglima Wilayah Blangpidie seperti Tengku Hamdani, Tengku Burhan, Tengku Amnasir serta para tetua KPA lainnya.
"Kedatangan kami hanya untuk mendesak Ketua PA segera melakukan musyawarah partai, mengingat dan mempertimbangkan tahapan pilkada sudah dekat dan persoalan dinamika politik semakin memuncak," tambah Amnasir.
            Ketua KPA/PA Abdya, Abdurrahman, pada media ini, Rabu dua pekan lalu mengatakan, sebagai Ketua DPW PA Abdya, penetapan Erwanto sebagai calon bupati dari PA telah disetujui Dewan Pimpinan Aceh (DPA) PA Aceh, Muzakir Manaf. “Tentu saja, siapa pun yang telah ditetapkan Mualem, akan kami dukung dan menerimanya,” kata Abdurrahman.
Menurut Panglima Do, pengusungan Erwanto tersebut bukan saja dari PA Abdya, tapi juga disetujui Wakil Sekretaris Jendral (Wasekjen) DPP PA, Jufri Hasanuddin. “Siapa saja yang menghadap beliau (Jufri) selaku unsur pimpinan PA, tetap diisukan bahwa Erwanto adalah calon Bupati Abdya dari PA untuk periode mendatang,” jelasnya.
Itu sebabnya, selaku pimpinan PA Abdya, dalam mengambil keputusan, dia selalu berkomunikasi dengan banyak pihak, termasuk Bupati Jufri Hasanudin dan Pimpinan Pusat Partai Aceh. Ini dimaksud agar tidak terjadi bentrok dalam pengajuan nama Erwanto sebagai calon bupati dari PA.
Nah, keputusan yang telah diambil, sebutnya, merupakan kebijakan dari pimpinan DPA PA dan Bupati Jufri Hasanuddin selaku Wasekjen PA Pusat, bukan keputusan DPW PA Abdya. Karena itu, tak mungkin pihaknya mencabut keputusan yang telah dibuat DPA PA.
Mengenai status sebelumnya, dia menjelaskan memang benar sebagai pelaksana tugas (Plt). Tapi, saat ini, dirinya sudah definitif. “Jadi, saya sudah definitif bukan lagi Plt,” ujar Panglima Do.
Terkait penolakan MUNA maupun Tuha Peut PA terhadap pencalonan Erwanto, Panglima Do mengaku tak pernah mendapat pengakuan itu. “Apalagi MUNA tidak masuk dalam AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) PA. MUNA hanya tim pemenangan dari kalangan ulama,” jelasnya.
Dia mengatakan, apa yang ia sampaikan adalah keputusan yang sebenarnya dari DPA PA dan atas keinginan Jufri Hasanuddin selaku Wasekjen PA Pusat beberapa bulan yang lalu di Pendopo Bupati Abdya, Jalan Iskandar Muda, Geulumpang Payong, Kecamatan Blangpidie, Abdya. “Ketika itu, ada saya sebagai Majelis Tuha Peut, Tgk Kamaluddin (Tgk Yong) selaku Penerangan PA/KPA Abdya dan Bupati Jufri Hasanuddin selaku Wasekjen PA pusat. Pertemuan itu sehari setelah peresmian pendopo bupati,” ungkapnya.***

Sumber : Tabloid Modus Aceh Edisi 15