Korupsi SPPD Fiktif Aceh Timur
Vonis Untuk Kelas Pesuruh
Hakim Pengadilan
Tipikor
Banda Aceh memvonis dua terdakwa pembuat SPPD fiktif 1,8 tahun
dan 1,6 tahun penjara. Namun, fakta persidangan mengungkapkan jelas penikmat aliran
dana rasuah tersebut. Ada yang masih melenggang bebas.
Irwan Saputra
Lelaki
berbaju putih itu bersandar pada tiang yang berdiri di teras
depan ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor)
Banda Aceh. Sesekali, dia berusaha akrab
pada setiap orang yang melintas. Tak jarang dia menyapa, bahkan bercengkrama dengan
para jaksa, yang lalu lalang keluar masuk ruang sidang.
“Pria itu Zulkifli, informan polisi yang balik dijadikan
terdakwa,” kata Malik Dewa saat bincang-bincang dengan MODUS ACEH, Senin, pekan lalu. Malik Dewa adalah pengacara
Zulkifli.
Hari itu, waktu sudah menunjuk pukul 14.20 WIB. Beberapa
pengunjung mulai memasuki ruang persidangan.
Sontak, suasana di luar ruangan, mulai hening. Tapi Zulkifli terlihat masih
betah berlama-lama di luar sana. Tatapannya nanar.
Sesekali
menggepulkan asap rokok dari mulutnya. Dari guratan wajahnya, dia terlihat
begitu tegang.
Malik bercerita, Zulkifli duduk di kursi
pesakitan karena kasus korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif,
di Sektariat Daerah Kabupaten Aceh Timur. Kasus itu sudah bergulir ke Pengadilan Tipikor sejak 4 November
2014 silam.
Nah,
Senin pekan lalu adalah sidang pamungkasnya. Hakim Muhifuddin (ketua) dan
Hamidi Jamil serta Zulfan Efendi (anggota), memvonis Zulkifli 1,6 tahun
penjara. Tapi Zulkifli tak sendiri. Gunawan, rekan sekantornya
yang juga terdakwa dalam kasus ini, divonis hakim lebih berat yakni 1,8 tahun
penjara. Tapi vonis Zulkifli itu dinilai tak adil. “Dia informan yang membongkar kasus ini, tapi mengapa ikut divonis,”
gugat
Dewa.
***
Berdasarkan putusan hakim, terbongkarnya kasus korupsi
ini bermula pada Senin, 3 Desember 2012
lalu.
Malam
itu, jam dinding telah menunjukkan pukul 21:00 WIB. Zulkifli menyambangi kediaman
Gunawan, di Jalan Fakinah, Desa Paya Bujok Tunong, Langsa Baro, Kota Langsa.
Zulkifli
tak datang dengan tangan kosong. Dia membawa dua
lembar SPPD Nomor: 2626/090/2012, tanggal 10 Juli 2012 atas nama Zulkifli dan
SPPD Nomor: 2627/090/2012, tanggal 10 Juli 2012 atas nama T. Riski Syahputra
dengan tujuan kota Medan. Tujuan Zulkifli menyambangi rumah Gunawan adalah untuk
membubuhkan tanda tangan dan stempel di SPPD tersebut.
SPPD inilah, diantaranya, yang diduga fiktif. Dan
praktik ini telah lama dilakoni keduanya. Polisi bahkan sudah mencium upaya
pencolengan duit negara tersebut. Itu sebabnya, polisi inten membuntuti
gerak-gerik Zulkifli. Termasuk saat dia bertandang ke rumah Gunawan.
Usai mendapat stempel SPPD fiktif tadi, Zulkifli langsung bergegas meninggalkan rumah
Gunawan. Petugas yang memang telah membuntutinya, langsung menciduk Zulkifli. Benar
saja, polisi berhasil mendapatkan dua lembar SPPD yang sudah
distempel. Celakanya, stempel yang dibubuhkan pada SPPD tersebut adalah stempel
dan cap Perwakilan Pemerintah Aceh di Medan. Inilah yang mengindikasikan bahwa
SPPD itu
fiktif.
Tanpa
menunggu lama, anggota Polres Aceh Timur menciduk
Gunawan di rumahnya. Malam itu juga keduanya diboyong ke Mapolres setempat.
Dari fakta persidangan, stempel Perwakilan Pemerintah Aceh di Medan sengaja
dipalsukan untuk memuluskan proses penerbitan SPPD fiktif. Hakim mengatakan, Gunawan
terbukti membuat stempel palsu tersebut atas perintah Kepala Sub Bagian Rumah Tangga saksi
Mujiburrahman Bin Hasan. Sedangkan
Zulkifli, sebagai Bendahara Pengeluaran Pembantu Bagian Umum Setda Aceh Timur dinilai
bersalah, lantaran mengetahui adanya stempel dan cap palsu
tersebut sejak 2011. Dia membantu Kepolisian Resort Aceh Timur mengungkap kasus
tersebut setelah tidak lagi menjabat Bendahara Pengeluaran Pembantu pada Bagian
Umum Setda Kabupaten Aceh Timur. “Seharus dilakukan pada tahun 2011 sejak
awal mengetahui adanya perbuatan tersebut,” kata Hakim.
Pengungkapan SPPD fiktif itu akhirnya membongkar
praktik culas yang sudah lama berlangsung. Khususnya mengenai aliran dana yang
dinikmati banyak orang. Berdasarkan fakta persidangan, tindakan Gunawan dan
Zulkifli tak hanya melawan hukum dan merugikan keuangan negara. Tapi juga
memperkaya orang lain.
Siapa mereka? “Bahwa
kerugian keuangan negara akibat SPPD fiktif tersebut dinikmati dan diperoleh Syaifannur
(mantan Sekdakab Aceh Timur), Bendahara Pengeluaran Pembantu Danil
Ardian Bin Daswir, Kasubag Umum Mujiburrahman, Kabag Umum Nadhif Bin Sulaiman
serta anggota DPRK yang menerima dana sharing
dari Pemerintah Kabupaten Aceh Timur,” kata Hakim Muhifuddin.
Dan itu sudah berlangsung sejak 2011. Pada Mei 2011, misalnya,
Danil
Ardian mendapat perintah dari Syaifannur untuk menyerahkan beberapa lembaran
blangko kosong SPPD kepada Gunawan. Gunawan
diminta mengetik SPPD
tersebut untuk kepentingan pribadi atas izin
dari Syaifannur. Selain itu, Syaifannur
juga memerintahkan Danil Ardian untuk mengumpulkan SPPD atas nama semua
asisten, kabag dan kasubag. Dengan SPPD fiktif tersebut, Danil Ardian berhasil
mengumpulkan dana Rp 195 juta. Uang tersebut lalu ditransfer ke Rekening Nomor
106.000.9713.390, Bank Mandiri Cabang Langsa atas nama Syaifannur.
Hakim mengatakan, akibat perbuatan Gunawan dan Zulkifli
yang telah memperkaya orang lain itu, negara merugi hingga Rp 875 juta lebih. “Hal
tersebut sesuai dengan Laporan Perhitungan
Kerugian Keuangan Negara oleh BPKP Perwakilan Aceh Nomor : SR-1044/PW.01/05/2014
tanggal 13 Mei 2014,” kata Hakim Muhifuddin.
Keduanya dihukum. Gunawan 1,8 tahun penjara dan Zulkifli 1,6 tahun penjara. Selain itu, keduanya
didenda masing-masing Rp 50 juta atau subsider dua bulan kurungan. Kepada
hakim, kedua tervonis mengaku masih pikir-pikir untuk mengajukan banding. Begitu
juga dengan Jaksa Penuntut Umum.
***
Usai sidang pamungkas tadi, pada MODUS ACEH
Zulkifli menjelaskan,
keputusan hakim tersebut tak adil. Ini lantaran
Zulkifli merasa dirinya adalah informan yang berjasa membongkar kasus SPPD
fiktif. “Kok saya yang dihukum,”
katanya dengan mata berkaca-kaca.
Zulkifli merasa dirinya ditinggal begitu saja setelah
berhasil membantu polisi mengungkap kasus korupsi. Padahal, menurutnya,
Kasat Intelkam Polres Aceh Timur AKP Fakhruddin sempat mengucapkan berterima kasih padanya yang telah membantu tugas-tugas polisi. “Saya menjamin
kamu aman, dan itu sudah menjadi tanggung jawab saya,” kata Zulkifli meniru
ucapan AKP Fakhruddin kala itu. “Saya berani bersumpah itu diucapkan.”
Dia
curiga, dirinya sengaja dikorbankan untuk kasus korupsi yang dananya dinikmati
banyak pihak, terutama Syaifannur. Apalagi,
kata Zulkifli, Syaifannur diketahui relatif intens membangun komunikasi dengan
Jaksa Penuntut
Umum (JPU). “Contohnya, pada Senin,
4 Mai 2015 lalu, saya
melihat Syaifanur, didampingi Dedi Saputra
dan sopirnya Burhan, menggunakan Mobil Innova Nomor Polisi BK 1832 YX bertemu Jaksa Penuntut Robby Syahputra di warung
kopi kawasan Batoh, Banda Aceh,” kata Zulkifli.
Beda dengan Zulkifli, Gunawan yang ditemui wartawan
usai sidang, memilih tak banyak berkomentar. Dia hanya menundukkan
wajahnya di atas meja. “Saya no coment dulu lah,” katanya. Begitupun,
kuasa hukum Gunawan,
Ramlah Sari mengaku tak habis pikir kliennya divonis bersalah. Padahal menurutnya
Gunawan hanyalah orang suruhan. “Dia hanya diperintah untuk mengetik
SPPD fiktif, uangnya masuk Sekdakab tuh,” katanya.
Terkait
vonis yang dinilai hanya menjerat kelas pesuruh, Hakim Tipikor Muhifuddin mengaku penilaian tersebut adalah hak setiap orang. “Tapi kitakan
memutuskannya telah berdasarkan aturan dan fakta persidangan yang ada,” ujarnya
singkat.***
Photo: disesuaikan