Surat Kementrian Dalam Negeri |
Surat
“cinta” kedua Mendagri ini ditanggapi serius Pengurus KONI Pusat, Jakarta.
Induk organisasi cabang olahraga itu berjanji dan meminta waktu pada Mendagri
untuk menata kembali organisasi tersebut usai PON XIX/2016, September 2016
mendatang. Bagaimana posisi Ketua Umum KONI Aceh yang juga Wakil Gubernur Aceh
Muzakir Manaf? Wartawan MODUS
ACEH, Irwan
Saputra, menulisnya untuk Laporan Khusus pekan ini.***
SURAT
tiga lembar itu diperoleh media ini dari seorang sumber terpercaya. Isinya,
Menteri Dalam Negeri Jahjo Kumolo dengan tegas meminta Ketua Umum Komite
Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat, Tono Suratman, untuk mencabut
sejumlah Surat Keputusan (SK) Pengurus KONI Provinsi yang dipimpin pejabat
publik, struktural maupun fungsional.
Alasan
Mendagri jelas, menabrak sejumlah aturan, khususnya UU No: 3 Tahun 2005,
tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) serta Surat Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor B-903 01-15/04/2011,
tanggal 4 April 2011 tentang Hasil Kajian KPK yang menemukan adanya rangkap
jabatan pejabat publik pada penyelenggaraan keolahragaan di daerah, sehingga
dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Termasuk
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait judicial
review yang diajukan Gubernur Jawa Timur. Pada putusannya, MK menolak
gugatan tersebut. “Sehubungan dengan hal di atas, diminta kepada Saudara agar
mencabut keputusan dan/atau tidak mengangkat KDH/Wakil KDH, pejabat struktural
dan fungsional, serta anggota DPRD dalam fungsionaris/kepengurusan KONI karena
tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” tegas Menteri Dalam Negeri,
Tjahjo Kumolo.
Tjahjo Kumolo |
Penegasan
itu disampaikan melalui surat nomor: X.800/33/57, tanggal 14 Maret 2016 lalu.
Mendagri memaparkan sejumlah pejabat publik seperti gubernur/wakil gubernur,
kepala dinas pemuda dan olahraga, pimpinan maupun anggota DPRD di Indonesia
yang menjadi ketua umum maupun pengurus KONI.
Pada
nomor urut satu misalnya, tersebut nama H. Muzakir Manaf, Wakil Gubernur Aceh
sebagai Ketua Umum KONI Aceh Periode 2014-2018. Selanjutnya Gubernur Lampung,
M. Ridho Ficardo; Sekdaprov Sulawesi Tenggara, DR. H. Lukman Abunawas; Frans
Lebu Raya (Gubernur NTT). Tak hanya itu, ada juga Gubernur Papua, Lukas Enembe;
Gubernur Papua Barat, Abraham O; Aturun serta Drs H. Engkos Kosasih, Kadispora
Provinsi Banten sebagai Sekretaris Umum KONI setempat. “Rangkap jabatan ini
tidak sesuai Pasal 40 Undang-Undang No: 3 Tahun 2005, tentang Sistem
Keolahragaan Nasional,” kata Mendagri dalam suratnya itu.
Larangan ini sebenarnya bukan cerita dan kebijakan baru
dari negara. Menindaklanjuti undang-undang tadi, Mendagri sebelumnya, Gamawan
Fauzi, juga telah membuat surat edaran serupa, nomor 800/148/SJ 2012. Isinya
dengan tegas melarang kepala daerah tingkat I dan II, pejabat publik, wakil
rakyat, hingga pegawai negeri sipil (PNS) rangkap jabatan dalam organisasi
olahraga, seperti KONI dan persatuan sepak bola seluruh indomePSSI, serta
kepengurusan klub sepakbola profesional atau amatir.
Larangan
itu juga berpijak pada Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2005 serta Peraturan
Pemerintah (PP) Republik Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaran
Keolahragaan. Pasal 56 ayat (1) menyebutkan, pengurus komite olahraga nasional,
komite olahraga provinsi, dan komite olahraga kabupaten/kota bersifat mandiri
dan tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publik. Ayat
(2): dalam menjalankan tugas, kewajiban, dan kewenangannya, pengurus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus bebas dari pengaruh dan intervensi
pihak manapun untuk menjaga netralitas dan menjamin keprofesionalan pengelolaan
keolahragaan.
Pada
ayat (3): pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang memegang suatu
jabatan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang
pegawai negeri sipil dan militer dalam rangka memimpin satuan organisasi negara
atau pemerintahan, antara lain jabatan eselon di departemen atau lembaga
pemerintahan non departemen.
Dan,
ayat (4): Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang memegang suatu
jabatan publik yang diperoleh melalui suatu proses pemilihan langsung oleh
rakyat atau melalui pemilihan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
antara lain presiden/wakil presiden dan para anggota kabinet, gubernur/wakil
gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, anggota DPR-RI, anggota
DPRD, hakim agung, anggota Komisi Yudisial, Kapolri, dan Panglima TNI.
Selain
itu, masih ada penegasan sesuai Surat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor B-903 01-15/04/2011, tanggal 4 April 2011
tentang hasil kajian KPK yang menemukan adanya rangkap jabatan pejabat publik
pada penyelenggaraan keolahragaan di daerah, sehingga dapat menimbulkan konflik
kepentingan.
Sayangnya,
berbagai aturan tadi ditabrak dengan sadar oleh sejumlah pejabat dan pimpinan
daerah di Indonesia, termasuk Aceh. Ini artinya, mereka dengan sadar pula
“melawan” undang-undang serta aturan negara.
Untuk
Pengurus KONI Aceh misalnya, selain posisi Mualem sebagai ketua umum, jabatan
sekretaris umum yang dipegang M. Nasir juga bermasalah. Sebab, dia pegawai
negeri sipil (PNS) yang memiliki eseloniring (jabatan) di Pemerintah Aceh.
Lantas,
apa kata Pengurus Umum KONI Pusat? Melalui suratnya nomor: 813/ORG/IV/16,
tanggal 26 April 2016 menyebutkan, seluruh kepengurusan KONI Provinsi yang
telah dikukuhkan berdasarkan Surat Keputusan KONI Pusat adalah sah berdasarkan
usulan KONI Provinsi, sesuai hasil Musyawarah Olahraga Provinsi (Musorprov),
yang mekanisme pembentukannya sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
KONI.
Terkait
adanya larangan, sesuai Pasal 40 UU Nomor: 3/2005, diakui Ketua Umum KONI
Pusat, Tono Suratman, posisi pihaknya sangat dilematis. Sebab, hasil musyawarah
KONI di daerah, secara aklamasi dan demokratis, memilih
gubernur/bupati/walikota atau anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD)
untuk duduk dalam kepengurusan KONI di daerah.
“Karena itu, berkenan
Mendagri menerima Pengurus KONI Pusat untuk beraudiensi, sekaligus memberi
arahan secara langsung,” harap Tono Suratman dalam suratnya itu.
Di akhir
isi suratnya, Pengurus KONI Pusat berjanji akan melakukan penataan organisasi
sesuai surat Mendagri setelah selesainya Pekan Olahraga Nasional (PON) di Jawa
Barat. “Mengingat saat ini seluruh KONI Provinsi sedang melakukan persiapan
menghadapi PON XIX/2016 pada bulan September 2016, agar fokus dalam menyiapkan
atlet menuju PON yang akan datang,” tulis surat KONI Pusat.
Begitupun,
hingga pekan lalu, media ini belum menerima salinan surat persetujuan Mendagri
terhadap permohonan Ketua Umum KONI Pusat tersebut. Ini berarti, Mendagri tetap
pada pokok surat yang dikirim tadi.
Lantas,
apa keputusan Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem? Media ini belum berhasil
melakukan konfirmasi khusus dan langsung pada Mualem. Namun, menurut orang
dekatnya, Mualem sepertinya akan memilih untuk mundur.
“Sedang kami pikir
secara matang. Tapi, dapat saya pastikan Mualem akan taat azas dan aturan. Dia
tak mau melanggar undang-undang. Andaipun mundur, bukan berarti komitmennya
terhadap kemajuan olahraga prestasi di Aceh kendur. Itu akan lebih kami
tingkatkan lagi jika insya Allah Mualem dan TA. Khalid terpilih sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada Pilkada, 15 Februari 2017 mendatang,”
kata sumber ini.
Memang, biar mulus
menuju kursi Aceh-1, sebaiknya Ketua Komite Peralihan Aceh dan Partai Aceh ini
tidak melawan aturan dan undang-undang. Jalan yang paling santun adalah mundur
dengan kesadaran sendiri, sehingga tidak membuka ruang dan celah bagi lawan
politiknya untuk melakukan kampanye hitam pada pesta demokrasi mendatang.
Sekedar mengulang.
Saat dicalonkan dan terpilih sebagai Ketua Umum KONI
Aceh periode 2014-2018 pada Musorprov KONI Aceh tahun 2014 lalu di Banda
Aceh. Mualem menegaskan, sepanjang tidak melanggar
aturan dia
bersedia untuk dipilih dan memimpin KONI Aceh.
“Tapi,
saya juga taat dan patuh terhadap aturan yang melarang pejabat publik untuk
tidak terikat dalam kepentingan kepengurusan KONI. Dapat saya tegaskan, saya
akan ikut aturan yang berlaku,” sebut Mualem berulangkali
saat itu.***
Ini Aturan
yang Melarang
· Pasal 40 UU No: 3/2005, tentang Sistem Keolahragaan Nasional
· Pasal 56 ayat (1) ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah
No:16/2007, tentang Penyelenggaraan Olahraga
·
Surat Edaran Mendagri No:800/2398/SJ, tanggal 26 Juni 2011, tentang
Rangkap Jabatan Kepala Daerah, Pejabat Publik, termasuk Wakil Rakyat pada
Organisasi KONI dan Pengurus Induk Olahraga
·
Surat Edaran KPK, No: B-903/0115/201, tanggal 4 April 2011, tentang
Hasil Kajian KPK yang mengungkapkan adanya rangkap jabatan pejabat publik pada
penyelenggaraan keolahragaan di daerah dapat menimbulkan konfik kepentingan
·
Hasil yudisial review dari Mahkamah Konstitusi (MK), No: 27/PUU-V/2007
terhadap Uji Materi Pasal 40 UU No:3/2005 dan Pasal 56 Peraturan Pemerintah No:
16/2007. Hasilnya permohonan pemohon dinyatakan ditolak.***
Sekretaris
Umum KONI Aceh, M. Nasir
Mualem
Siap Mundur!
M. Nasir |
Pasca
diterimanya surat
Mendagri
yang melarang
pejabat publik sebagai
Ketua
Umum KONI, Sekum
KONI Aceh, M. Nasir, memastikan bahwa Ketua Umum KONI Aceh, Muzakir Manaf atau
akrab disapa Mualem, siap mundur. Itu disampaikan Nasir, didampingi Wakil Ketua
Bidang Prestasi, Bachtiar Hasan, saat wawancara khusus dengan wartawan MODUS ACEH, Irwan Saputra, Jumat pekan lalu di Kantor KONI Aceh,
Banda Aceh. Berikut penjelasannya.
Sejauh mana
persiapan KONI Aceh menuju PON XIX/2016 di Jawa Barat?
Kami menggunakan
pendekatan klasifikasi. Klasifikasi
pertama untuk peraih medali Pra-PON. Kami memberikan hak untuk
melaksanakan pemusatan latihan (platda) selama tujuh bulan. Basis
utama kami atlet. Misalnya, cabang
tarung drajat yang mendapat
emas dua orang ditambah beregu empat orang dan menjadi ada
enam orang. Maka, keenam mereka melakukan pemusatan pelatihan
selama tujuh bulan, dari bulan Februari sampai 15 September 2016.
Peraih
medali emas Porwil, kami
berikan pemusatan
latihan lima bulan dari April sampai September 2016. Klasifikasi
ketiga peraih medali perak, pada Pra-PON dan Porwil kami beri
kesempatan empat bulan, yaitu Mei sampai September 2016.
Klasifilkasi selanjutnya peraih medali perunggu Pra-PON dan Porwila selam tiga
bulan.
Selain
itu?
Ada
juga cabang-cabang yang lolos delapan besar, tapi tidak meraih medali. Kami beri
kesempatan selama dua bulan untuk menuju PON. Jadi, dengan
pendekatan klasifikasi ini,
kita berharap bisa mempertahankan 72 persen dari perolehan dari Pra-PON lalu. Sebagai
catatan, Pra-PON 2011
lalu kita
hanya meraih empat emas, sementara Pra-PON 2015 kita
meraih 13 emas. Harapan kami bisa membukukan 75
persen. Itu
harapan dan target kami.
Kemudian, dalam
konteks persiapan,
insya Allah kami mampu mempertahankan prestasi tadi. Kami mempersiapkan
untuk PON ada 31 cabang olahraga dan ada satu cabang olah raga yaitu balap
sepeda yang tidak
lolos delapan besar, tapi mereka meminta
berangkat dengan
dana sendiri. Kami kita memfasilitasi
mereka untuk mendaftar dengan biayai sendiri. Sementara, ada 31 cabang
peraih medali dan masuk dalam delapan
besar.
Berapa target medali emas dan dari
cabang olah raga apa saja?
Insya Allah kami berani
menargetkan delapan medali emas, tapi bisa dijelaskan oleh Pak Bakhtiar,
selaku Ketua
Platda Kontingen
terkait dengan PON. Kami
target
delapan medali emas dari 13 yang telah diperoleh pada Pra-PON. Kami berharap
75 persen itu berada di angka delapan. Kalaupun meleset, target kami di
atas PON lalu. Kalau cabang olahraga andalan masih pada tarung drajat, angkat
besi, menembak, kempo, terjun payung, pencak silat dan panjat tebing. Jadi, tujuh
cabang ini kita harapkan bisa membukukan medali emas.
Apa
dasar dari target tersebut?
Dasarnya
adalah Pra-PON dan
persiapan kami yang
panjang, dan alhamdulillah
kami yang
cukup lama melakukan platda. Sebagai
asumsi,
Sumatera Utara hanya
dua
bulan atau 44 hari melakukan TC. Kalau kita tujuh bulan, makanya kami berharap
mereka bisa mempertahankan medali. Inilah harapan, namun ada
beberapa cabang
yang kita beri kesempatan untuk berlatih dua
sampai tiga bulan.
Selebihnya atas biaya pengprov cabor sendiri.
Berapa jumlah atlet dan pelatih?
Atlet putra 127
orang dan putri 63 orang, sementara pelatih daerah 62 orang dan pelatih
nasional empat orang, termasuk mekanik sembilan orang, offisial
sepuluh orang. Total
semua
275 orang.
Ini
yang masuk kampus
atau delegasi resmi nantinya.
Baik, Mendagri
telah mengirim surat pada K0NI Pusat tentang larangan
pejabat publik. Anda sudah menerimanya?
Sudah kami
terima. Tapi, saya tidak mau menjelaskan
secara ekplisit.
Saya
ingin jelaskan secara umum. Surat
Mendagri itu ditujukan
pada KONI Pusat dan meminta KONI
Pusat
untuk meninjau kembali SK 15 Ketua Umum KONI Provinsi, yang ketua
umumnya itu berasal dari pejabat negara, atau pejabat publik serta pejabat
struktural. KONI Pusat
menjawab dan meminta kepada Mendagri. Mereka
berharap pemerintah menjamin dana olahraga di setiap provinsi sampai dengan
lima persen. Artinya KONI Pusat meminta jaminan.
Kenapa
meminta jaminan?
Karena
kehadiran pejabat publik dalam organisasi KONI adalah permintaaan cabang
olahraga
termasuk di Aceh yaitu Haji Muzakir
Manaf.
Bukan
beliau yang mendaftarkan diri, tapi kami yang meminta. Ada 32 cabang
saat itu agar
beliau mau memimpin KONI Aceh. Akhirnya, kami
melakukan musyawarah secara aklamasi dan tidak ada
yang menolak.
Karena
dasarnya adalah terjadi kejumudan (jenuh) dalam proses olahraga. Kami berharap
hadirnya pejabat publik dapat mendorong menjadi lebih baik. Alhamdulillah, apa yang
kita lakukan hari ini, dengan merujuk pada Pra-PON 2015 bisa
membukukan 13 medali emas, Porwil sembilan emas karena pendanaan kita
cukup kemudian kita di-back-up. Ini penting
bagi kami.
Dalam
surat tersebut,
meminta Ketua Umum KONI Aceh Muzakir Manaf untuk mundur. Pendapat Anda?
Jika
KONI Pusat meminta Ketua Umum KONI Aceh mundur,
Mualem siap!
Beberapa hari lalu sudah saya sampaikan kepada Mualem dan Mualem siap untuk
mundur.
Beliau
tidak ada persoalan dengan itu. Saya pun telah menyampaikannya kepada Mualem,
termasuk kepada Ketua
Harian
Abu Razak dan beliau welcome saja. Karena pada
dasarnya, mereka di
KONI karena
kami
minta.
Apa
langkah selanjutnya dari Pengurus KONI Aceh?
Keputusannya
ada di KONI Pusat. Tinggal apa keputusan KONI Pusat dan saya
telah berkomunikasi
dengan KONI Pusat, hasilnya
kita tunggu saja
dulu. Surat itu yang eksekusi bukan kami, tapi KONI Pusat. Kami nggak
punya hak untuk mengeksekusi karena ini adalah wewenang KONI Pusat.
Dalam
surat tersebut meminta Ketua Umum KONI
Aceh Muzakir Manaf untuk mundur dan Anda
sendiri PNS yang memiliki jabatan di Sekretariat
Daerah Aceh?
Kalau
saya termasuk juga, tidak ada persoalan. Saya eselon
IV dan terserah
saja.
Artinya,
tergantung ketua umum. Kalau diminta mundur, saya siap. Kalaupun mundur
di sini,
saya oke mundur.
Bagaimanan ketentuan.
Jika
Mualem mundur, apa langkah selanjutnya?
Ketentuannya
ada di KONI Pusat. Kita nggak tahu apakah mereka menyuruh kita
untuk melakukan musyawarah atau mem-Plt-kan.
Kami belum
tahu reaksi KONI Pusat. Yang sudah kami tahu
berdasarkan surat yang ditembuskan KONI Pusat
terhadap surat itu
adalah diminta waktu pada Mendagri setelah selesai PON XIX/2016 di Jawa Barat.
Sejauh
ini,
apakah persoalan tersebut ada dibicarakan dengan KONI kabupaten/kota serta pengprov
cabang olahraga?
Sudah
ditembuskan kepada KONI
kabupaten/kota.
Kami
tidak perlu menyampaikan karena itu untuk KONI Pusat. Nanti
KONI Pusat
merespon terhadap 15 KONI provinsi ini. KONI
provinsi juga akan merespon pada kabupaten/kota. Itu kan hanya
efek domino saja. Artinya,
kalau KONI Pusat
menunjuk musyawarah
atau PLT, itu kami lakukan.
Kami menunggu
kebijakan KONI Pusat, kalau nanti ada perintah kami laksanakan. Ini
kewenangannya ada di KONI Pusat.
Bukankah
persoalan itu menjadi penting mengingat Mualem maju
sebagai calon Gubernur Aceh?
Seperti
saya katakan tadi, Mualem welcome
saja.
Kalau
harus mundur,
siap. Cuma kami menunggu
respon KONI Pusat. Karena surat itu diterima oleh KONI Pusat.
Sejumlah
Pengurus
KONI Aceh menyebutkan, Anda terlalu dominan dalam
pengambilan keputusan. Benarkah?
Itu
tendensius
sekali saya kira, tapi
bukan
pertanyaannya yang tendensius
namun pernyataannya yang tendensius. Sejauh ini, tidak ada
rapat yang saya kangkangi dan semuanya ada notulensi serta kita
jalankan secara baik. Persoalan dominannya seorang sekretaris umum saya kira
memang ketentuan AD/ART. Mungkin bisa
dilihat AD/ART KONI,
begitu banyak tugas-tugas yang harus diemban oleh sekretaris umum. Hampir semua
komponen di KONI hari ini terlibat dalam mengawal KONI. Jadi, tidak ada yang dominan.
Dominan tergantung job
masing-masing.
Misal, persoalan administrasi
saya harus dominan karena saya sekretaris umum. Masak sih
orang yang bukan terkait dengan kesekretariatan dominan? Itu tidak
mungkin. Jadi,
semua sudah ada porsinya
masing-masing berdasarkan AD/ART. Jadi, nggak
ada yang kita lakukan di luar batas-batas kewajaran. Artinya, kalau itu
yang saya lakukan,
maka ketua harian akan menegur saya, ndak mungkin beliau saya kangkangi.
Apa
tanggapan Anda
terkait pelunasan pajak dan peralatan atlet Platda KONI Aceh yang sempat
tertunda?
Saya
kira tidak ada itu.
Karena
setelah kita cek pajak itu ada yang kita bayarkan dan ada juga
yang dibayarkan oleh pihak ketiga. Jadi, ada mekanisme
pembayaran pajak.
Artinya, ada yang
dibayarkan oleh KONI
dan ada juga yang dibayar oleh pihak ketiga
yaitu perusahaan.
Jadi, ketika kita
rekap, ada yang belum melaporkan pembayaran pajak. Nanti bisa
ditanyakan langsung kepada Bendahara Umum Kennedi Husein.
Ada
juga pengakuan dari sejumlah pengurus bahwa Anda sedang
menyusun grup atau kekuatan untuk merebut kembali posisi di KONI Aceh. Benarkah?
Saya sedang fokus mengawal platda bersama
kawan-kawan.
Persoalan
saya menyusun grup itu tidak ada. Artinya, dalam
sebuah keorganisasian, ada yang
lebih dominan kita percaya karena fungsinya saja. Karena orang
yang kita percayai lebih mengarah dari itu. Jadi, kalau lebih
dari itu saya kira tendensius itu tuduhan
saja. Kalau ada orang-orang yang dominan bekerja sesuai tupoksinya dan membuat dia
dominan, itu
sah-sah saja. Misalnya, terkait
dengan prestasi dan
litbang
memang harus
dominan,
sehingga pada posisi itu agak sulit kita memisahkan seakan-akan kita anak
emaskan. Ini hanya tuduhan saja, saya tahu yang menuduh ini.
Tapi, kalau untuk
menjadi pimpinan tetap ada kan?
Itu
manusiawi, semua orang saya rasa demikian.***
Ketika
Kepercayaan Mualem Tergadaikan
Muzakir Manaf alias Mualem (Photo: Dok) |
Usai terpilih dan
dilantik Ketua Umum KONI Pusat, Tono Suratman, Ketua Umum KONI Aceh Muzakir
Manaf menunjukkan keseriusan dan niat baiknya untuk meningkatkan prestasi
olahraga di Aceh. Itu dibuktikan dengan bersedia menjadi Ketua Umum KONI Aceh,
walau undang-undang melarangnya. Sayang, kepercayaan Mualem, begitu dia akrab
disapa, “dikhianati” oknum pimpinan KONI Aceh.***
Komitmen itu
ditunjukkan Mualem di tengah kesibukan tugasnya sebagai Wakil Gubernur Aceh dan
Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) serta Ketua Partai Aceh (PA). Apalagi, Mualem
sejak awal telah menyatakan diri maju sebagai calon Gubernur Aceh pada Pilkada
15 Februari 2017 mendatang.
Itu sebabnya,
berbagai kebijakan diserahkan sepenuhnya pada Pengurus KONI Aceh di bawah
pengawalan Ketua Harian Kamaruddin Abu Bakar (Abu Razak) dan Sekretaris Umum M.
Nasir. Hasilnya, satu tahun berjalan, organisasi induk cabang olahraga ini
berlabuh dengan penuh target dan ambisi prestisius.
Peluang ini kemudian
dimanfaatkan betul Pengurus KONI Aceh. Misal, mengajukan anggaran berlebih dari
periode sebelumnya. Ini sangat dimungkinkan karena ada 29 kursi Partai Aceh
(PA) di DPR Aceh. Selain itu, ada sejumlah anggota DPR Aceh dari PA yang
memimpin beberapa cabang olahraga.
Karena itu,
mereka berani mematok prestasi dengan meraih medali emas secara maksimal serta
perbaikan posisi (ranking) pada papan tengah di Pekan Olahraga Wilayah (Porwil)
Sumatera, Prakualifikasi PON dan PON XIX/2016 di Jawa Barat.
Untuk memenuhi
target dan keinginan tadi, Pengurus KONI Aceh periode 2014-2018 menjadi lebih
gemuk dibandingkan periode 2010-2014. Dari 50-an menjadi 75 orang. Begitu juga
dengan pegawai sekretariat. Dari 11 pada periode lalu, bertambah menjadi 20-an
lebih.
Namun, harapan
ternyata tak selamanya sesuai kenyataan. Pengurus dan staf yang membengkak justru
menghasilkan banyak persoalan. Bahkan, antar sesama pengurus nyaris terjadi
baku hantam. Ini disebabkan, karena perbedaan visi dan misi serta program dalam
peningkatan prestasi.
“Dulu, antara
Haris dengan Syarkawi cek cok dan nyaris baku hantam. Kemarin antara TB Herman
dengan Agus Sani (staf keuangan), hanya masalah penanggungjawab pembayaran
tiket. Ini tidak pernah terjadi pada beberapa periode sebelumnya. Kalaupun ada
perbedaan pendapat, semua diselesaikan melalui rapat internal,” ungkap seorang
pengurus.
Selain itu, ada
desas desus sejumlah wakil ketua tak bisa berbuat banyak karena apa pun
keputusan selalu dinominasi Sekretaris Umum (Sekum), M. Nasir. Menariknya, pengelolaan
anggaran juga “dieksekusi” oleh staf sekretariat, bukan bidang terkait.
“Bahkan, ada
kebijakan yang telah kami putuskan dalam rapat, tiba-tiba berubah di tangan
Sekum. Selain itu, bayangkan ada staf yang berani menolak arahan dan kebijakan
dari wakil ketua. Ini tidak pernah sebelumnya dan tak mungkin terjadi jika tak
ada restu dari Sekum,” ungkap seorang pimpinan KONI Aceh pada media ini.
Tapi, tudingan
itu dibantah Nasir. “Itu tendensius
sekali saya kira, tapi
bukan
pertanyaannya yang tendensius, namun pernyataannya yang tendensius. Sejauh ini, tidak ada rapat
yang saya kangkangi dan
semuanya
ada notulensi serta
kita
jalankan secara baik. Persoalan dominannya seorang sekretaris umum memang
ketentuan AD/ART.
Mungkin
bisa dilihat AD/ART KONI, begitu banyak tugas-tugas
yang harus diemban sekretaris umum. Hampir semua
komponen di KONI hari ini terlibat dalam mengawal KONI. Jadi, tidak ada yang dominan.
Dominan tergantung job
masing-masing,”
bantah Nasir.
Entah itu
sebabnya, memasuki tahun kedua kepengurusan, induk organisasi cabang olahraga
ini menuai berbagai persoalan. Misal, ada oknum pengurus yaitu Syarkawi, yang
diduga tidak menyetor pajak pengadaan dan jasa kepada negara.
“Setelah ditulis MODUS ACEH, baru mereka kebakaran jenggot dan mencari solusi
untuk menyelesaikannya. Ini berarti, ada niat tidak baik dan entah sadar atau
tidak, itu sama artinya dengan merusak nama baik dan citra Mualem sebagai ketua
umum,” papar sumber tadi.
Syarkawi sendiri
saat dikonfirmasi media ini tak mau berkomentar banyak. Awalnya, janji untuk
bertemu, tapi batal terlaksana. “Maaf, belum bisa, saya menuju Meulaboh,”
begitu jawab Syarkawi.
Nama Syarkawi
memang sedang menjadi buah bibir di kalangan Pengurus KONI Aceh dan Pengprov
Cabang Olahraga di Aceh. Namanya juga tercatat pada salah satu biro perjalanan
(travel), karena tidak membayar sejumlah biaya tiket. Diduga, tertutupnya
Syarkawi karena ada persoalan yang sengaja dia tutupi. “Saya kira, ini ada
tali-temali antara Syarkawi dengan oknum petinggi KONI Aceh lainnya, sehingga
masalah ini coba diredam dan tutupi,” duga seorang Pengurus KONI Aceh.
Sumber media ini
yang mengaku dekat dengan Syarkawi menjelaskan, “Dia pernah bilang, jika ingin
jelas persoalannya, biar saya jelaskan nanti di pengadilan,” ucap Syarkawi seperti
disampaikan sumber tadi. Tak jelas, mengapa Syarkawi ingin menjelaskan di
pengadilan.
Hanya itu?
Tunggu. Muncul pula persoalan leletnya pengadaan peralatan untuk atlet Platda
PON yang telah dimulai awal tahun ini. Bayangkan, baru tersedia bulan Agustus.
Itu pun belum semuanya. Padahal, waktu perhelatan akbar olahraga prestasi (PON)
XIX/2016 Jawa Barat tinggal hitungan hari.
“Jadi, bagaimana
kami dipaksakan untuk mendapatkan prestasi kalau alat latihan saja lelet
seperti itu. Kondisi ini baru pertama terjadi sejak KONI Aceh berdiri,” ungkap
seorang pengurus pengprov cabang olahraga yang sudah puluhan tahun malang
melintang di dunia olahraga Aceh.
Terkait soal
target prestasi dan perolehan medali, ada kesan Pengurus KONI Aceh melakukan
pembiaran dan memberi masukan yang tidak objektif dan realistis pada Mualem.
Misal, menyatakan target medali di PON XIX/2016 di Jawa Barat adalah 45 emas,
sementara Ketua Harian Abu Razak menargetkan 24 emas. Lalu, turun dengan target
17 emas. Terakhir delapan emas atau paling tidak satu tingkat lebih dari
perolehan emas pada PON XVIII di Pekan Baru, Provinsi Riau.
“Ini jelas sikap
galau. Harusnya, jajaran KONI Aceh menyampaikan potensi atlet secara riil
dengan target yang realistis pada Mualem, sehingga tidak terkesan “konyol atau
berlebihan”. Ini sama artinya menusuk Mualem dari belakang,” ujar seorang
Pengurus KONI Aceh yang mengaku sudah berulangkali menyampaikan kondisi
tersebut, tapi tak pernah ditanggapi secara serius oleh pimpinan KONI Aceh.
Memang, beberapa
waktu lalu, Pengurus KONI Aceh telah melakukan pergantian pengurus. Awalnya,
pergantian tersebut diharapkan dapat memberikan “darah” segar untuk peningkatan
prestasi olahraga Aceh. Nyatanya, ada beberapa nama yang justru diragukan
kemampuannya dalam strategi peningkatan prestasi tadi.
“Lebih pada
mengakomodasi kawan-kawan Nasir. Misal, ada pengurus yang tinggal di
Lhokseumawe dan kemampuannya dalam konsep serta manajemen organisasi diragukan,
tapi ditarik menjadi pengurus. Ini tidak logis dan membebani dana organisasi,”
sebut sumber yang tidak mau ditulis namanya itu.
Yang paling
mengkhawatirkan, ungkap sumber itu, Pengurus KONI Aceh saat ini belum kelihatan
mampu melakukan sinkronisasi program latihan dalam pelatda. “Bayangkan, sampai
saat ini, masa pelatda yang hanya tinggal satu bulan lagi, tapi peralatan
latihan belum seluruhnya terpenuhi. Prestasi apa yang bisa diharapkan dari
pelatihan tanpa alat latihan,” katanya.
Sisi lain
mengenai pelaksanaan Pekan Olahraga Aceh (PORA) 2018 di Kabupaten Aceh Besar.
Hingga saat ini, belum ada gaungnya, termasuk manual serta cabang olahraga apa
yang akan dipertandingkan.
“Padahal,
keputusan ini jelas penting, sehingga KONI kabupaten/kota serta pengprov cabor
dapat mempersiapkan lebih awal, termasuk persiapan tuan rumah dalam memenuhi
sarana dan prasarana,” sebut dia.
Akibat dari semua
kondisi tadi, pelaksanaan PORA Aceh 2018 menjadi kehilangan gaung. Padahal,
Pra-PORA harus dilakukan pada tahun 2017 mendatang.
Informasi yang
diperoleh media ini dari Pengurus KONI Aceh Besar mengungkapkan, akibat “kelengahan”
jajaran Pengurus KONI Aceh yang tidak mengagendakan pembahasan pelaksanaan PORA
pada Rapat Anggota tahun 2016 lalu di Banda Aceh, terutama cabang-cabang
olahraga apa akan dipertandingkan maupun mekanisme Pra-Pora dan PORA. KONI Aceh
Besar menjadi kehilangan arah untuk pelaksanaan pesta olahraga daerah ini.
Nah, dari
serangkaian tindakan dan perbuatan “blunder”
(kesalahan besar) yang dilakukan Pengurus Harian KONI Aceh tadi jelas tergambar
bahwa mereka secara diam-diam telah “mengkhianati” kepercayaan Mualem. Kondisi
tersebut semakin dipertajam, sejalan dengan “pecah kongsi” antara Mualem dengan
Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah atau akrab disapa Abu Doto.
“Sejujurnya, ada
pimpinan KONI Aceh yang pro Mualem dan Abu Doto. Harusnya, ini tak perlu
terjadi dalam dunia olahraga. Dari awal kami sudah usulkan agar Pengurus KONI
Aceh melakukan komunikasi dan audiensi dengan Abu Doto. Misi utama adalah
mempersatukan antara Mualem dengan Abu Doto. Tapi, hingga saat ini, misi itu
gagal dilakukan, apalagi jelang Pilkada 2017 mendatang,” papar sumber tadi,
mengakhiri pendapatnya. Begitu runyamkah? Biarlah waktu menjawabnya.***
Kriteria Ketua Umum dan
Pengurus KONI
Sesuai
Anggaran Rumah Tangga Pasal
27
1. Kriteria
Ketua Umum
(a) Mempunyai kemampuan manajerial, pengabdian, dan waktu
yang cukup untuk mengelola organisasi olahraga;
(b) Mampu menjadi pengayom dan pemersatu semua unsur masyarakat
olahraga;
(c) Mempunyai
visi yang luas dalam membina olahraga prestasi;
(d) Mampu menjalin kerja sama dengan badan-badan usaha dan
instansi terkait untuk menunjang pembinaan olahraga prestasi;
(e) Mampu
menggalang kerja sama dengan badan-badan keolahragaan tingkat regional dan
dunia.
2. Kriteria Pengurus KONI
(a)
Mampu
bekerjasama dengan Ketua Umum dan anggota pengurus lainnya;
(b)
Mempunyai kemampuan manajerial, pengabdian, dan waktu
yang cukup untuk mengelola organisasi olahraga;
(c)
Mampu menjabarkan
garis kebijakan Ketua Umum;
(d)
Memiliki
kemampuan dan kompetensi di bidang tugasnya;
(e)
Mempunyai
pengetahuan dan kemampuan berkoordinasi dalam membina sistem organisasi dan
administrasi keolahragaan.
Ketua Umum Pengprov FPTI Aceh, Muhammad Saleh
Mualem
‘Ditusuk’ dari Belakang
Setelah lama tak
memberi pendapat, Ketua Umum Pengprov Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI)
Aceh, Muhammad Saleh, akhirnya tak kuasa untuk berlama-lama “berpuasa”. Ini
terkait dengan kondisi terkini persiapan atlet Aceh untuk berlaga di arena PON
XIX/2016 di Bandung, Jawa Barat.
Muhammad Saleh (Photo: Dok) |
Perhatian Saleh,
begitu dia akrab disapa, tak hanya soal target medali atau prestasi, tapi juga
masalah tata kelola administrasi dan manajemen organisasi induk cabang olahraga
tersebut. Menurut Saleh, ada indikasi Ketua Umum KONI Aceh, Muzakir Manaf atau
akrab disapa Mualem, telah ditusuk atau dikhianati oleh sejumlah oknum Pengurus
KONI Aceh. Nah, seperti apa pendapat Saleh? Berikut petikan wawancara Irwan
Saputra.
Mendagri kembali mengeluarkan surat yang melarang pejabat publik sebagai
pimpinan KONI. Pendapat Anda?
Ini bukan cerita
baru. Sudah lama disuarakan dan ditegaskan. Larangan itu sudah ada sejak
Mendagri Gamawan Fauzi dan Ketua KPK Abraham Samad. Alasan hukumnya sudah
sangat jelas.
Maksud Anda?
Sejak
awal sudah saya sampaikan masalah itu, terutama jelang Musorprov KONI Aceh 2014
lalu di Banda Aceh. Saat itu, posisi saya masih Sekum KONI Aceh. Tapi, ada
pihak tertentu yang bernafsu untuk menjadi Pengurus KONI Aceh, sehingga
mendorong Mualem untuk maju sebagai Ketua Umum KONI Aceh. Saat itu, ada
keinginan saya untuk menyampaikan langsung pada Mualem, tapi mereka mengawalnya
dengan sangat ketat, sehingga tak ada ruang bagi saya untuk bertemu dan menjelaskannya.
Hasilnya?
Saya
ditertawakan, bahkan difitnah. Mereka menyampaikan pada Mualem bahwa saya orang
yang tidak setuju Mualem jadi ketua umum. Sehingga, saat itu, jangankan diajak
bicara, nama saya pun tak boleh didengar Mualem (ha..ha..ha). Sayangnya,
sejumlah KONI kabupaten/kota dan pengprov cabor sudah teracuni dan satu kata
untuk melawan aturan tadi. Tapi, setelah Musorprov KONI Aceh, saya ketemu
Mualem dan saya jelaskan semua tentang aturan. Bahkan, warning dari KPK. Mualem mengerti. Ada kesan saat itu, Mualem telah
dijebak untuk posisi dan jabatan itu.
Apa yang Anda jelaskan?
Saya
klarifikasi tentang informasi bahwa saya bukan tidak mendukung Mualem, tapi
aturan yang memang tidak membenarkan. Tapi, saat itu, saya tawarkan satu
solusi. Jika memang benar-benar komit dan sepakat mengusung Mualem, maka semua KONI
kabupaten/kota dan pengprov cabor membuat surat pernyataan di atas materai.
Isinya, bila terjadi persoalan hukum atau melanggar aturan di kemudian hari,
maka semua yang mengusung Mualem bertanggungjawab. Jadi, jangan lepaskan Mualem
sendiri. Apalagi, hari ini, KPK telah menjadi Aceh dari area pengamatan
langsung dan serius. Ini tidak bisa dianggap sepele.
Hasilnya?
Saya
gagal. Saya sendiri melawan orang-orang yang memang dengan sengaja dan sadar
melawan aturan. Berbeda dengan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar (mantan Gubernur
dan Wakil Gubernur Aceh). Ketika Musorprov KONI Aceh 2012, saya dipanggil dan
keduanya bertanya tentang aturan yang ada. Sebab, ada juga pihak-pihak yang
mendorong salah satu dari mereka untuk memimpin KONI. Saya jelaskan, akhirnya
kedua mereka tak bersedia menjadi Ketua Umum KONI Aceh dan melepas penentuannya
pada pegiat olahraga di Aceh. Maka, muncullah dua nama yaitu H. Zainuddi Hamid
(Let Bugeh) dan Irwansyah (Tgk Maksalmina). Pak Let akhirnya terpilih.
Kenapa Anda begitu konsen dalam masalah ini?
Kebetulan,
menjelang akhir jabatan sebagai Sekum KONI Aceh, saya mengikuti pelatihan
tentang tata kelola manajemen dan administrasi olahraga yang dilaksanakan salah
satu LSM di Bogor, Jawa Barat. Saat itu, narasumbernya dari Mendagri, KPK dan
BPK RI. Saat itulah, kami membedah semua persoalan penyelenggaraan olahraga.
Jadi, bukan saya tidak setuju dengan Mualem, tapi karena saya simpati pada
Mualem agar tidak masuk dalam persoalan. Faktanya, apa yang dulu saya
khawatirkan dan wanti-wanti menjadi kenyataan. Ini keputusan negara melalui
Mendagri, jadi tak perlu ngototlah.
Anda sebutkan ada pihak yang mengkhianati Mualem?
Ya, mereka yang “berkuasa”
atau pengurus KONI Aceh saat ini. Mereka takut jika bukan Mualem yang menjadi
ketua, mereka tak bisa jadi pengurus. Jadi, mereka telah dengan sadar menyeret
induk organisasi olahraga ini dalam ranah politik.
Targetnya?
Bisa
menjadi pengurus. Menarik teman-teman mereka yang tak punya kapasitas dan kegiatan.
Ya, lama-lama terkesan sebagai tempat aktivitas atau lahan pekerjaan
alternatif. Padahal, honornya juga tak seberapa. Karena itulah, pengurus
menjadi 75 orang dengan staf 26 orang.
Soal surat Mendagri?
Ya,
seperti kita ketahui bersama. Mereka tidak melakukan apa pun, termasuk
konsolidasi organisasi terkait surat Mendagri tadi. Alasannya, sibuk
mempersiapkan PON XIX/2016, Jawa Barat. Harusnya, Pengurus KONI Aceh memanggil
kami, pengurus pengprov cabor dan KONI kabupaten/kota dan membicarakan
persoalan ini secara serius.
Kenapa?
Karena
akan ada muatan politik. Ini kan tahun politik menjelang pilkada. Apa jadinya
jika ada pihak tertentu atau lawan politik Mualem yang memanfaatkan kesempatan
dan peluang ini? Misalnya, ada kampanye hitam bahwa Mualem tak taat hukum. Jadi
dilematis kan? Satu sisi kita butuh Mualem untuk memimpin KONI Aceh, di sisi
lain bertabrakan dengan aturan.
Tahun politik seperti apa?
Begini,
sebagai Ketua Umum KONI Aceh, Mualem maju sebagai calon Gubernur Aceh pada
periode mendatang. Memang, tak semua pengurus KONI berasal dari Partai Aceh,
juga ada partai lain. Tapi, tak salah jika mereka membicarakan soal ini pada
kami. Ini normal dan lazim terjadi. Ndak
mungkin rasanya insan olahraga tak mendukung Mualem. Masalah ada yang tidak
sepakat itu soal lain. Yang penting sampaikan dulu, bagaimana hasilnya, kita
lihat nanti. Tapi, itu pun tidak dilakukan. Memang, pengurus KONI Aceh punya
kandidat atau calon lain yang diusung, makanya hal itu tak dilakukan.
Tapi, menurut Sekum KONI Aceh, M. Nasir, itu ranahnya KONI Pusat?
Wah, itu gawat.
Gagal paham namanya. Kok ranah KONI Pusat, ini jelas amanah undang-undang.
Jangan kibulin Mualem lagi. Dalam AD/ART KONI, juga sudah jelas disebutkan soal
ini.
Jalan terbaik?
Menurut
saya, Mualem jangan menabrak dan melanggar aturan. Jikapun dia terpilih sebagai
Gubernur Aceh pada pilkada mendatang, tetap saja harus mundur dari Ketua Umum
KONI Aceh. Jadi, lebih baik sekarang dari pada berlama-lama. Ini demi Mualem
juga.
Apa itu mungkin?
Ini
bukan soal mungkin atau tidak. Ini soal hukum dan aturan perundang-undangan.
Saya sangat yakin Mualem paham soal ini. Dan, saya ingat betul, saat terpilih,
Mualem sempat mengeluarkan pernyataan, jika memang melanggar hukum, dia akan mundur.
Lantas, kenapa ini bisa terjadi?
Ya,
itu tadi. Ada pihak yang memang sengaja mendorong Mualem untuk maju sebagai
ketua umum. Target mereka sederhana sekali, jika Mualem terpilih, maka mereka
bisa dengan leluasa menyusun dan mengatur pengurus, sesuka hati. Mualem dipeuanggngok mantong (Mualem hanya
diminta mengiyakan saja). Mereka sudah memprediksikan sejak awal bahwa Mualem
tak cukup punya waktu untuk mengontrol KONI Aceh.
Lantas, apa persoalan yang muncul?
Anda
lihat saja sendiri. Sempat muncul masalah pajak pengadaan dan jasa yang tidak
dibayar. Pengadaan alat platda tertunda atau jelang dua bulan PON belum ada.
Lalu, muncul pula persoalan tiket yang tidak dibayar pada travel. Belum lagi
persoalan platda yang tidak tersusun dan terprogram dengan baik. Kalaupun ada
alasan bahwa itu persoalan pihak ketiga, berarti pengawasan dan tata kelola
administrasi dan manajemen yang tidak baik.
Apa alasan Anda katakan demikian?
Alhamdulillah,
saya sedikit punya pengalaman soal itu karena saya mantan Sekretaris Umum KONI
Aceh pada periode lalu. Tapi, selama ini saya diam, sebab mereka bisa menuding
saya dengan isu macam-macam. Tapi, lama-lama saya pelajari, kok semakin jauh
dari harapan. Karena itu, saya bersuara. Saya berhak bicara karena saya Ketua
Umum Pengprov FPTI. Ada tiga atlet saya yang lolos PON XIX/2016, Jawa Barat.
Kenapa Anda tidak memberi saran dan pendapat?
Sudah
saya coba. Ketika Musorprov KONI Aceh 2014 lalu, saya ada membuat konsep
pembinaan. Ini berdasarkan pengalaman saya sebagai Sekretaris KONI Aceh. Saya
paparkan di mana kelemahan pembinaan prestasi olahraga di Aceh dan apa peluang
yang bisa kita raih, termasuk bagaimana menata manajemen organisasi dan
kepelatihan. Tapi belum selesai saya presentasi, peserta Musorprov yang sudah
“mabuk” dan euforia menghentikannya. Saya diam saja. Nah, sekarang terbuktikan,
apa yang saya prediksikan mulai menjadi kenyataan. Saya tinggal menunggu saja,
hasil prestasi di PON mendatang. Mudah-mudahan hasilnya lebih baik dari periode
saya dan Pak Let Bugeh dulu.
Di mana konsep itu sekarang?
Ada
pada saya. Sedang saya siapkan menjadi buku. Hampir selesai, tinggal menunggu
bab akhir soal hasil PON mendatang.
Tapi, target Pengurus KONI Aceh saat ini bisa meraih hasil lebih baik?
Insya
Allah, mudah-mudahan begitu. Sebagai insan olahraga, seharusnya mereka mengerti
dan menyampaikan target-target tadi ke media pers dengan variabel dan indikator
yang jelas. Bukan coba-coba, rasa-rasa atau berdasarkan naluri. Sebab, mereka
menggunakan uang negara dan daerah. Sehingga, jika berhasil, jelas ukurannya. Kalau
gagal, jelas pula penyebabnya, sehingga tidak muncul persepsi dan penilaian
negatif dari masyarakat.
Apa materi pokok dari buku yang akan Anda susun?
Tentang
rekam jejak prestasi Aceh. Saya lebih banyak menelisik soal manajemennya.
Selama ini, dari periode ke periode selalu bicara output. Misal, kalau PON sebelumnya, sekian medali emas, lalu periode
berikut sekian atau bertambah satu emas. Itu dinilai sudah mencapai prestasi.
Padahal, tidak sesederhana itu. Kita harus bicara input, proses, output, outcome, impact
dan benefit. Ini yang terlupakan
selama ini. Makanya, dalam konsep saya mengusulkan pengurus KONI cukup 35 orang
saja dengan komposisi orang-orang yang paham dan kompeten. Nyatanya, saat ini
ada 75 dengan 26 staf sekretariat. Ini jelas tidak efisien. Dulu hanya 55
orang, itu pun dikritik habis-habisan dengan alasan menghambur-hamburkan uang
negara (ha..ha..ha).
Bisa Anda jelaskan secara rinci?
Begini,
setiap pengurus selalu mengeluh soal
anggaran yang minim dan di luar target pembinaan. Itu tidak seluruhnya benar
dan salah. Sebab, dana besar pun jika tak ada manajemen yang mengaturnya, kita
juga gagal. Contoh lain, tidak ada sinergi antara KONI dengan Dispora dan Dinas
Pendidikan Aceh serta Kementerian Agama. Padahal, lembaga ini juga bisa
mencetak atlet potensial. Dispora ada Popnas, O2SN, ada juga Personi. Saat ini,
dana otsus migas sudah Rp 47 triliun habis, tapi satu GOR berstandar nasional
pun kita tak punya. Jadi, jangan berpikir politislah, realitis saja. Kecuali,
kita menjadi tuan rumah PON kembar bersama Sumatera Utara. Dulu, gagasan ini
telah saya sampaikan, tapi malah saya dituding tidak memihak Aceh. Hasilnya,
kita gagal di-bidding (tawar/lelang) dengan
Papua. Tapi, peluang tetap ada, namun harus pikir ulang soal anggaran. Salah
satu usulan saya dulu adalah harus ada qanun olahraga yang mengaturnya dan ini
ada klausulnya di Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Tapi, saya dengar,
itu sedang digodok saat ini. Mudah-mudahan berhasil.***
Sumber: Tabloid Modus Aceh Edisi 16 /2016