Kasasi yang diajukan
kejaksaan atas putusan bebas Akmal Ibrahim di Pengadilan Tipikor Banda Aceh belum
inkracht (hukum tetap). Prosesnya
masih tersangkut di Mahkamah Agung (MA). Akankah bernasib seperti Dasni Yuzar?
Irwan Saputra
Akmal Ibrahimdi Pengadilan Tipikor saat masih berstatus terdakwa |
Akmal Ibrahim boleh jadi masih harap-harap
cemas menuju bakal calon Bupati Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) pada 2017
mendatang. Soalnya, ia belum mengantongi status hukum tetap pasca diajukan
kasasi oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh terhadap putusan bebas Pengadilan
Tipikor Banda Aceh, beberapa waktu lalu.
Maklum, Akmal sempat beberapa waktu
menginap di Rutan Kajhu,
Aceh Besar. Sebab, mantan Bupati Abdya ini diduga melakukan tindak pidana
korupsi pada pengadaan lahan pabrik kelapa sawit (PKS) di Kecamatan Babahrot,
Kabupaten Abdya senilai Rp 764 juta lebih, tahun 2011 lalu.
Itu sebab, bukan tidak mungkin Akmal
akan menyusul Dasni Yuzar, mantan Sekretaris Daerah Kota Lhokseumawe yang
dihukum lima tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA), karena dinilai terbukti dan
meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi terhadap dana hibah milik Pemerintah
Aceh untuk Yayasan Cakradonya, satu miliar rupiah. Padahal, Dasni sebelumnya
juga divonis bebas di pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh karena
dinilai tidak bersalah.
“Semuanya tergantung pada hakim MA. Bisa
saja putusan di tingkat pertama dikuatkan, bisa juga akan bernasib seperti
Dasni Yuzar.
Kita
tunggu saja putusannya,” ujar Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum)
Kejati Aceh, Amir Hamzah, Jumat pekan lalu.
Namun, pihaknya yakin, Akmal bersalah
atas dugaan korupsi pengadaan lahan pabrik kelapa sawit di Desa Lhok Gayo,
Kecamatan Babahrot, Kabupaten Abdya. Buktinya, kata
Amir Hamzah, hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Aceh,
yang menemukan adanya kerugian negara Rp 764 juta lebih. “Tapi, semua itu
tergantung pada hakim. Kami tidak bisa menduga-duga sepihak karena itu ranahnya
hakim,” tambah Amir.
Maka, sejak didaftarkan pada 22
Februari 2015 lalu, dengan nomor register 419 K/PID.SUS/2016, berkas kasasi
tersebut hingga saat ini masih dalam proses pemeriksaan oleh tim CB (Tim
Yudisial).
Sementara, hakim
yang ditunjuk untuk memeriksa perkara tersebut adalah Prof. Abdul Latief
(ketua) bersama Syamsul Rakan Caniago dan Syarifuddin (anggota) yang dibantu
panitera pengganti,
A Bondan. Informasi itu terlampir di laman situs Mahkamah Agung bidang
kepaniteraan.
Menggantungnya status hukum Akmal
Ibrahim tentu saja menjadi tanda tanya banyak pihak. Apalagi, Akmal
salah seorang calon kandidat Bupati Abdya untuk periode 2017-2022. “Jika nanti
Akmal Ibrahim terbukti bersalah di tingkat kasasi, maka kami akan menahan yang
bersangkutan,” jelas Amir.
Ihwal kasus tersebut bermula saat
Akmal Ibrahim diduga melakukan tindak pidana korupsi pada pengadaan tanah untuk
pembangunan pabrik kelapa sawit di Desa Lhok Gayo, Kecamatan Babahrot,
Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) yang dinilai telah merugikan keuangan negara
senilai Rp 764 juta lebih, sesuai hasil audit yang dilakukan oleh BPKP Provinsi
Aceh, karena dianggap membeli tanah negara.
Kebijakan itu bermula pada 2010 lalu. Pemerintah Aceh mengalokasikan
anggaran Rp 30
miliar untuk program pembangunan kantor dan PKS di Abdya. Pabrik berkapasitas
pengolahan 45 ton tandan buah segar (TBS) per jam itu bersumber dari dana otsus
melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh. Sedangkan untuk pengadaan
lahannya menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Abdya.
Menanggapi Pemerintah Aceh, tanpa
membuat kajian dan rekomendasi dari Badan Pertanahan Abdya, Akmal Ibrahim
mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Abdya, Tanggal 1 November 2010 tentang
Penetapan Izin Lokasi Pembangunan PKS di Gunung Samarinda, Desa Samarinda,
Kecamatan Babahrot, Kabupaten Abdya dengan luas lahan sekitar 30 hektar.
Namun, salah satu pemilik lahan,
Jasman, tidak sepakat dengan harga tanah yang diajukan pemerintah. Sehingga,
Akmal menerbitkan SK baru perihal penetapan pemindahan lokasi pembangunan PKS
di Dusun Lhok Gayo, Desa Pante Rakyat di kecamatan yang sama. Di sana, pemerintah dan pemilik lahan
menyepakati harga lahan Rp 3000 per meter
atau Rp 30
juta per hektar.
Ternyata lahan yang dikuasai
masyarakat Dusun Lhok Gayo,
Desa Pante Rakyat tersebut merupakan kawasan hutan negara yang belum dilekati
oleh hak siapa pun
dan berstatus areal penggunaan lain (APL) seluas 264.517 meter persegi.
Tapi, Akmal sebagai Bupati, tidak
mempertimbangkan hal tersebut. Bahkan, ia
mengalokasikan anggaran pada Sekdakab Abdya senilai Rp 853 juta untuk
pembayaran ganti rugi lahan milik sebelas warga.
Alhasil, mantan Bupati Abdya itu
dituntut dengan hukuman 18 bulan penjara, membayar denda Rp 50 juta atau boleh diganti hukuman
tiga bulan penjara, serta membayar uang pengganti senilai Rp 566 juta
lebih, dengan catatan apabila tidak membayar uang pengganti, maka akan diganti dengan hukuman
lima bulan penjara.
“Alasan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU)
saat itu, karena Akmal dinilai terbukti melanggar Pasal 3 ayat (1) juncto Pasal
18 ayat (1) huruf a dan b, ayat (2), ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 yang
diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” ujar Suhendra, jaksa penuntut
umum.
Tapi, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor
Banda Aceh,
Muhifuddin
(ketua),
bersama
Saiful Has`ari dan Hamidi Djamil (anggota) tidak sependapat dengan Jaksa Suhendra. Akmal dinyatakan
tidak bersalah dan harus dibebaskan serta dibersihkan namanya. "Dari
fakta yang terungkap di persidangan, Akmal Ibrahim tidak terbukti bersalah dan
harus dibebaskan, serta nama baiknya harus dipulihkan," ujar Muhifuddin
membaca putusan.
Dalam
pertimbangannya, hakim menyimpulkan, jika mantan Bupati Abdya itu dinilai tidak
terbukti bersalah. Alasannya, dari fakta-fakta persidangan yang terungkap
melalui keterangan 31 saksi yang dihadirkan oleh JPU, tiga saksi ahli, tujuh
saksi meringankan dan tiga ahli yang dihadirkan oleh penasehat hukum,
disimpulkanlah Akmal Ibrahim tidak terbukti bersalah.
"Dari saksi yang dihadirkan dipersidangan
dan alat bukti, maka diperoleh, dakwaan JPU tidak terbukti," terangnya.
Status perkara perkara Kasasi Akmal |
Muhifuddin juga
mengungkapkan, pemindahan lokasi pembangunan PKS dari Desa Gunung Samarinda,
Kecamatan Babahrot yang merupakan lokasi awal yang disepakati pemerintah dengan
pemilik tanah, Jasman Umar, dengan harga Rp 4000 per meter atau Rp 40 juta per
hektar ke lokasi Desa Lhok Gayo, dilakukan oleh panitia, karena tiba-tiba
pemilik tanah menaikkan harga menjadi Rp 10 ribu per meter atau Rp 100 juta per
hektar.
Selain itu, majelis
hakim menilai, dakwaan yang disampaikan JPU tentang tidak dibentuknya
panitia untuk pembebasan lahan tidak terbukti dalam fakta-fakta persidangan.
"Jadi, unsur memperkaya diri tidak
terbukti," tegasnya.
Tak terima vonis
bebas tersebut, Kejati akhirnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya, hingga
saat ini, belum menuai hukum tetap terhadap status Akmal Ibrahim.
Sementara itu, Akmal yang coba dikonfirmasi media ini tidak ada jawaban. Nomor seluler yang
dihubungi tidak aktif. Begitupun pertanyaan yang diajukan melalui akun Messenger
resmi miliknya juga tidak berbalas, meskipun ia telah membacanya.***
- Sumber : Tabloid MODUS ACEH Edisi 13
No comments:
Post a Comment