Saturday, July 23, 2016

Menanti Kepastian Hukum Akmal Ibrahim

Kasasi yang diajukan kejaksaan atas putusan bebas Akmal Ibrahim di Pengadilan Tipikor Banda Aceh belum inkracht (hukum tetap). Prosesnya masih tersangkut di Mahkamah Agung (MA). Akankah bernasib seperti Dasni Yuzar?

Irwan Saputra

Akmal Ibrahimdi Pengadilan Tipikor saat masih berstatus terdakwa
Akmal Ibrahim boleh jadi masih harap-harap cemas menuju bakal calon Bupati Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) pada 2017 mendatang. Soalnya, ia belum mengantongi status hukum tetap pasca diajukan kasasi oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh terhadap putusan bebas Pengadilan Tipikor Banda Aceh, beberapa waktu lalu.
Maklum, Akmal sempat beberapa waktu menginap di Rutan Kajhu, Aceh Besar. Sebab, mantan Bupati Abdya ini diduga melakukan tindak pidana korupsi pada pengadaan lahan pabrik kelapa sawit (PKS) di Kecamatan Babahrot, Kabupaten Abdya senilai Rp 764 juta lebih, tahun 2011 lalu.
Itu sebab, bukan tidak mungkin Akmal akan menyusul Dasni Yuzar, mantan Sekretaris Daerah Kota Lhokseumawe yang dihukum lima tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA), karena dinilai terbukti dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi terhadap dana hibah milik Pemerintah Aceh untuk Yayasan Cakradonya, satu miliar rupiah. Padahal, Dasni sebelumnya juga divonis bebas di pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh karena dinilai tidak bersalah.
“Semuanya tergantung pada hakim MA. Bisa saja putusan di tingkat pertama dikuatkan, bisa juga akan bernasib seperti Dasni Yuzar. Kita tunggu saja putusannya,” ujar Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Aceh, Amir Hamzah, Jumat pekan lalu.
Namun, pihaknya yakin, Akmal bersalah atas dugaan korupsi pengadaan lahan pabrik kelapa sawit di Desa Lhok Gayo, Kecamatan Babahrot, Kabupaten Abdya. Buktinya, kata Amir Hamzah, hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Aceh, yang menemukan adanya kerugian negara Rp 764 juta lebih. “Tapi, semua itu tergantung pada hakim. Kami tidak bisa menduga-duga sepihak karena itu ranahnya hakim,” tambah Amir.
Maka, sejak didaftarkan pada 22 Februari 2015 lalu, dengan nomor register 419 K/PID.SUS/2016, berkas kasasi tersebut hingga saat ini masih dalam proses pemeriksaan oleh tim CB (Tim Yudisial). Sementara, hakim yang ditunjuk untuk memeriksa perkara tersebut adalah Prof. Abdul Latief (ketua) bersama Syamsul Rakan Caniago dan Syarifuddin (anggota) yang dibantu panitera pengganti, A Bondan. Informasi itu terlampir di laman situs Mahkamah Agung bidang kepaniteraan.
Menggantungnya status hukum Akmal Ibrahim tentu saja menjadi tanda tanya banyak pihak. Apalagi, Akmal salah seorang calon kandidat Bupati Abdya untuk periode 2017-2022. “Jika nanti Akmal Ibrahim terbukti bersalah di tingkat kasasi, maka kami akan menahan yang bersangkutan,” jelas Amir.
Ihwal kasus tersebut bermula saat Akmal Ibrahim diduga melakukan tindak pidana korupsi pada pengadaan tanah untuk pembangunan pabrik kelapa sawit di Desa Lhok Gayo, Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) yang dinilai telah merugikan keuangan negara senilai Rp 764 juta lebih, sesuai hasil audit yang dilakukan oleh BPKP Provinsi Aceh, karena dianggap membeli tanah negara.
Kebijakan itu bermula pada 2010 lalu. Pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran Rp 30 miliar untuk program pembangunan kantor dan PKS di Abdya. Pabrik berkapasitas pengolahan 45 ton tandan buah segar (TBS) per jam itu bersumber dari dana otsus melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh. Sedangkan untuk pengadaan lahannya menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Abdya.
Menanggapi Pemerintah Aceh, tanpa membuat kajian dan rekomendasi dari Badan Pertanahan Abdya, Akmal Ibrahim mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Abdya, Tanggal 1 November 2010 tentang Penetapan Izin Lokasi Pembangunan PKS di Gunung Samarinda, Desa Samarinda, Kecamatan Babahrot, Kabupaten Abdya dengan luas lahan sekitar 30 hektar.
Namun, salah satu pemilik lahan, Jasman, tidak sepakat dengan harga tanah yang diajukan pemerintah. Sehingga, Akmal menerbitkan SK baru perihal penetapan pemindahan lokasi pembangunan PKS di Dusun Lhok Gayo, Desa Pante Rakyat di kecamatan yang sama. Di sana, pemerintah dan pemilik lahan menyepakati harga lahan Rp 3000 per meter  atau Rp 30 juta per hektar.
Ternyata lahan yang dikuasai masyarakat Dusun Lhok Gayo, Desa Pante Rakyat tersebut merupakan kawasan hutan negara yang belum dilekati oleh hak siapa pun dan berstatus areal penggunaan lain (APL) seluas 264.517 meter persegi.
Tapi, Akmal sebagai Bupati, tidak mempertimbangkan hal tersebut. Bahkan, ia  mengalokasikan anggaran pada Sekdakab Abdya senilai Rp 853 juta untuk pembayaran ganti rugi lahan milik sebelas warga.
Alhasil, mantan Bupati Abdya itu dituntut dengan hukuman 18 bulan penjara, membayar denda Rp 50 juta atau boleh diganti hukuman tiga bulan penjara, serta  membayar uang pengganti senilai Rp 566 juta lebih, dengan catatan apabila tidak membayar uang pengganti, maka akan diganti dengan hukuman lima bulan penjara.
“Alasan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) saat itu, karena Akmal dinilai terbukti melanggar Pasal 3 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (1) huruf a dan b, ayat (2), ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” ujar Suhendra, jaksa penuntut umum.
Tapi, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh, Muhifuddin (ketua), bersama Saiful Has`ari dan Hamidi Djamil (anggota) tidak sependapat dengan Jaksa Suhendra. Akmal dinyatakan tidak bersalah dan harus dibebaskan serta dibersihkan namanya.  "Dari fakta yang terungkap di persidangan, Akmal Ibrahim tidak terbukti bersalah dan harus dibebaskan, serta nama baiknya harus dipulihkan," ujar Muhifuddin membaca putusan.
Dalam pertimbangannya, hakim menyimpulkan, jika mantan Bupati Abdya itu dinilai tidak terbukti bersalah. Alasannya, dari fakta-fakta persidangan yang terungkap melalui keterangan 31 saksi yang dihadirkan oleh JPU, tiga saksi ahli, tujuh saksi meringankan dan tiga ahli yang dihadirkan oleh penasehat hukum, disimpulkanlah Akmal Ibrahim tidak terbukti bersalah. "Dari saksi yang dihadirkan dipersidangan dan alat bukti, maka diperoleh, dakwaan JPU tidak terbukti," terangnya.
Status perkara perkara Kasasi Akmal
Muhifuddin juga mengungkapkan, pemindahan lokasi pembangunan PKS dari Desa Gunung Samarinda, Kecamatan Babahrot yang merupakan lokasi awal yang disepakati pemerintah dengan pemilik tanah, Jasman Umar, dengan harga Rp 4000 per meter atau Rp 40 juta per hektar ke lokasi Desa Lhok Gayo, dilakukan oleh panitia, karena tiba-tiba pemilik tanah menaikkan harga menjadi Rp 10 ribu per meter atau Rp 100 juta per hektar.
Selain itu, majelis hakim menilai, dakwaan yang disampaikan JPU tentang tidak dibentuknya panitia untuk pembebasan lahan tidak terbukti dalam fakta-fakta persidangan. "Jadi, unsur memperkaya diri tidak terbukti," tegasnya.
Tak terima vonis bebas tersebut, Kejati akhirnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya, hingga saat ini, belum menuai hukum tetap terhadap status Akmal Ibrahim. Sementara itu, Akmal yang coba dikonfirmasi media ini tidak ada jawaban. Nomor seluler yang dihubungi tidak aktif. Begitupun pertanyaan yang diajukan melalui akun Messenger resmi miliknya juga tidak berbalas, meskipun ia telah membacanya.***


  • Sumber : Tabloid MODUS ACEH Edisi 13



No comments:

Post a Comment