Aceh
dan Politik Simbolisasi Agama
Pergolakan Aceh
hingga sekarang belum berakhir. Upaya simbolisasi Islam dalam birokrasi ke Acehan
sepertinya tidak berjalan mulus. Penolakan demi penolakan terus saja terjadi di
berbagai tempat di wilayah Aceh saat ini, terutama wilayah ALA (Aceh Loser
Antara) dan ABAS (Aceh Barat Selatan) yang menolak kebijakan pemerintah
Provinsi terkait pengesahan Bendera dan lembaga Wali Nanggroe dengan menuntut
pemisahan diri dari provinsi Aceh karna menganggap tidak merepresentasikan
kemajemukan masayarakat Aceh secara keseluruhan. Bendera Aceh yang dianggap
mirip partai PA (partai Aceh) dan bendera pemberontak ternyata tidak mendapat
tempat di hati sebagian kalangan masyarakat Aceh. Disamping itu lembaga Wali
Nanggroe yang diharapkan sebagai pemersatu masyarakat Aceh juga dianggap sebagai
produk politik untuk kepentingan kolegtif kelompok tertentu yang menyalahi
tradisi raja-raja yang pernah ada dalam cacatan sejarah di Aceh. Penolakan tidak hanya oleh pegiat
ALA dan ABAS, akan tetapi pemerintah pusat juga masih mempertanyakan subtansi bendera
Aceh yang mirip bendera GAM yang notabenenya adalah separatis dan
bertententangan dengan amanat konstitusi Negara Republik Indonesia dan butiran
UUPA itu sendiri.
Setelah
melalui dinamika yang cukup panjang bahkan sempat beberapa kali terjadi cooling down dan memakan waktu yang cukup lama terakhir,
formalisasi bendera Aceh lewat Qanun No.3 Tahun 2013 dan Lembaga Wali Nanggro (LWN) lewat
Qanun No 2 Tahun 2012 pun dinyatakan sah oleh pemerintah Aceh secara sepihak
setelah menunggu 60 hari masa pengesahan qanun tanpa respon oleh pemerintah
pusat(serambi 14/9/13).
Bulan
Bintang dalam bendera Aceh difilosofikan sebagai lambang keislaman masyarakat Aceh, yang
artinya bendera aceh adalah simbol keislaman masyarakat, dan dikuti dengan
perubahan lambang Pancacita ke Burak Singa yang dianggap sebagai kendaraan nabi
Muhammad saat Isra` Mi`raj ke Siratul Muntaha dari masjidil Haram ke masjidil
Aqsa. Perubahan demi perubahan dilakukan sebagai upaya menuju perbedaan dari daerah
lain dan NKRI yang dianggap terlalu terbuka terhadap budaya Barat yang tidak
sesuai dengan kehidupan masyarakat Aceh yang kental dengan budaya ketimuran.
Hal ini positif jika di tafsirkan dalam konteks UU 44 Tahun 1999 tentang ke
istimewaan Aceh, namun disisi lain menimbulkan pergesekan-pergesekan yang tidak
dapat di hindari dari masyarakat Aceh itu sendiri yang merasa terdikatomi oleh
kebijakan pengesahan bendera bulan bintang dan Lembaga Wali Nanggroe.
Keberadaan
ALA dan ABAS yang belakanagan semakin gencar menyuarakan pemisahan dari
provinsi Aceh tidak penulis sorot dari optik aktor utama dan kepentingan siapa
di balik pergerakan tersebut. Akan tetapi menarik dibicarakan upaya
Simbolisasai Islam yang ternyata tidak menjadi sihir yang ampuh untuk merangkul
seluruh masyarakat aceh yang notabenenya bergama islam.
Penting
dipertanyakan, apakah masyarakat Aceh yang semakin hari semakin cerdas hingga tidak
mau tertipu oleh simbolisasi agama? Ataukah anggapan masyarakat Aceh yang religius
tidak relevan lagi untuk saat ini?
Bercermin
kebelakang, secara sosiologis historis Aceh adalah provinsi dengan masyarakat penganut
islam taat di Indonesia. Hingga tidak heran bila Aceh lebih dikenal sebagai
bumi serambi mekah. Keberadaan Islam di Aceh tercatat telah berjaya sejak kesultanan
Ali Mughayatsyah (1513-1528 M) yang kemudian di teruskan oleh raja-raja lain hingga
kerajaan Aceh Darussalam di bawah kesultanan Iskandar Muda(1607-1636 M) yang tercatat
sebagai puncak kejayaan Aceh di bawah payung keIslaman saat itu. Belakangan
setelah Aceh bergabung dibawah payung NKRI, dengan pengesahan Undang-undang Nomor
11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh yang merupakan hasil dari perundingan MoU
antara pihak RI dan GAM di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 merupakan
formalisasi secara de jure terhadap
kekhususan pemerintahan Aceh secara otonom.
Jauh
sebelum itu Aceh juga telah di istimewakan melalui UU Nomor 44 Tahun 1999 yang
merupakan turunan dari UUD 1945 pasal (18b) ayat 2 tentang pengakuan pusat
terhadap kekususan suatu daerah. Maka lempanglah jalan menuju perwujudan cita-cita
untuk Aceh baru, akan tetapi kecerian ini hanya sebatas utopia, layar yang
diberikan untuk mengarungi samudra demi masa depan Aceh yang baru koyak di
terjang badai penolakan dari masyarakat Aceh itu sendiri, yang menganggap Bendera
dan lembaga Wali Nanggroe (LWN) diskriminatif dan sarat kepentingan.
Simbolisasi agama pada bendera, dan burak pada lambang
Aceh, sepertinya tidak selamanya dianggap sebagai suatu yang harus di patuhi
dan dituruti lagi. Meskipun ada upaya pengkultusan dan membuat sebagian
masyarakat fanatik terhadap simbolisasi agama, namun perlu digaris bawahi tidak
ada keharusan menuruti simbolisasi agama yang merupakan produk politik apalagi
ditenggai berbau kepentingan. Lambannya pemerintah Aceh dalam mewujudkan visi
dan misi politiknya saat kampanye meningkatkan intensitas perasaan kecewa dan
pesimis masyarakat Aceh terhadap keberpihakan pemerintah pada masyarakat. Disamping
itu pemerintah
juga terkesan terjebak dalam perangkap mengejar kepentingan kelompok dan abai terhadap
kesejahteraan rakyat.
Simbolisasi
adalah upaya pengkultusan secara tidak langsung oleh pemerintahan dengan cara merekontruksi
pemikiran masyarakat untuh patuh pada simbol agama dan berupaya menutup
masyarakat berfikir rasional terhadap perkembangan politik yang penuh dengan
lembah kecurangan. Untuk menghindari hal demikian masyarakat harus cerdas
menganalisa keadaan dan jangan lagi terjebak pada kesalahan yang sama. Munawarliza
selaku mantan juru runding GAM, secara keras mengkritisi terkait sejumlah pos anggaran dalam APBA
yang diusulkan DPRA Aceh ditolak disahkan Mendagri. Karna menurutnya sarat
dengan kepentingan sekelompok orang bukan untuk rakyat Aceh (Serambi 0/9/2013).
Oleh karena Islamisasi simbol adalah cara klasik yang bertujuan untuk
kepentingan kelompok. Hal ini pernah di praktekkan sebelum orde baru dimana Masyumi
dan NU menguasai perpolitikan saat itu. Maka
seiring bergulirnya waktu masyarakat semakin cerdas dan ini bias dibuktikan sekarang,
partai-partai yang berideologi Islam
tidak menjadi pilihan bagi masyarakat islam itu sendiri. Karna upaya islam
politik tidak lagi relevan di parktekkan untuk zaman sekarang, desakralisasi
agama dari simbol kepentingan adalah sebuah keharusan agar terwujudnya politik
yang sehat dan jauh dari pengkultusan dan kefanatikan yang memperburuk citra
perpolitikan umat Islam itu sendiri. Disamping itu fakta empiris juga merekam
bahwa politik tak terpengaruhi lagi oleh agama atau tokoh agama yang bergeming
dalam partai tersebut. Kemenangan Jokowi atas Gumawan Fauzi dan kekalahan Kofifah
atas Soekarwo cukup memberi kita
pelajaran terhadap keterbukaan dan penyucian agama dari partai yang belum tentu
suci sesuci agama.
Irwan
Saputra, Mahasiswa
Hukum Pidana Islam, di Fakultas Syari`ah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Email: Irwanasmanisa91@gmail.com