Monday, August 31, 2015

Ada Nama Darjo dalam BAP Malek Hamdani


Ada Nama Darjo dalam BAP Malek Hamdani

Malik Hamdani SE, MM Bin SATUBAN, Kuasa BUD Kabupaten Aceh Tenggara (2009-2010), duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa. Dia dijerat, melakukan dugaan korupsi. Nama Hasanuddin Darjo ikut disebut.

Muhammad Saleh | Irwan Saputra

TAK ada asap kalau tidak ada api. Dugaan sejumlah PNS Dinas Pendidikan Aceh, melalui surat kaleng, tanggal 5 Juli 2015, mengenai Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Hasanuddin Darjo, sedang terlilit masalah, ternyata benar juga.
Ini sejalan dengan posisi Malik Hamdani SE, MM sebagai terdakwa dalam kasus dugaan korupsi yang singgah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh, sejak dua pekan lalu.
Nah, Senin, 27 Juli 2015 lalu, Malik Hamdani SE, MM yang juga Kuasa Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara Tahun Anggaran 2009-2010, kembali berhadapan dengan Jaksa Penuntut Umum JPU Kejati Aceh dan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh.
Penunjukkan Malik sebagai BUD, sesuai Keputusan Bupati Aceh Tenggara Nomor KU.984/140/2009, tanggal 5 Januari 2009. Sementara, Hasanuddin Darjo atau akrab disapa Darjo ini, saat itu sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Tenggara. Ini berarti, posisi Malik adalah anak buah langsung dari Darjo. Dan patut diduga, berbagai aksi ‘pencolengan’ uang negara yang dilakukan Malik, diketahui Darjo.
Malik dijerat JPU Kejaksaan Tinggi Aceh, M. Ali Akbar SH, MH (ketua) dan Iqbal SH serta Ramadiyagus SH (anggota) dengan dugaan melakukan tindak pidana korupsi (kas bon), memperkaya diri sendiri atau orang lain dan korporasi.
Dugaan praktik culas ini dilakukan dengan cara penarikan/pengambilan sejumlah dana Pemkab Aceh Tenggara yang dilakukan secara berulang-ulang (baca:  Perkiraan Penarikan Dana yang Diketahui Hasanuddin Darjo). Itu mulai dilakukan sejak tanggal 12 Februari 2010.
Menurut JPU, modus operandi yang dilakukan terdakwa Malik Hamdani salah satunya, mengajukan cek PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Kantor Cabang Kutacane dengan Nomor CEC 194890, tanggal 12 Februari 2010, untuk ditandatangani Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Tenggara saat itu, Drs. Hasanuddin Darjo, yang kini masih berstatus sebagai saksi. Itu sebabnya, nama Hasanuddin Darjo disebutkan berkali-kali dalam dakwaan JPU, meski masih sebagai saksi.
 “Namun setelah cek tersebut ditandatangani Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Tenggara, Drs. Hasanuddin Darjo, terdakwa memerintahkan saksi Kasturi (staf terdakwa) untuk mencairkan, namun tidak memindahkan dananya ke rekening Kas Daerah yang terdapat pada PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh Kantor Cabang Kutacane. Tapi, terdakwa mengambilnya dengan mengatasnamakan sebagai pinjaman sementara pada saksi Kasturi,” begitu salah satu dakwaan yang disampaikan JPU Kejaksaan Tinggi Aceh.
Entah merasa enak dan ketagihan, tanggal 1 Maret 2010, Malik kembali mengajukan dana Rp 300 juta melalui  Bilyet Giro (BG) PT. BPD Aceh, Kantor Cabang Kutacane, untuk ditandatangani Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Tenggara, Drs Hasanuddin Darjo. Menariknya, semua penarikan dana daerah/negara tadi, ditandatangani Hasanuddin Darjo.
Akibat perbuatan terdakwa, telah mengakibatkan kerugian keuangan Negara cq. Keuangan Pemerintahan Kabupaten Aceh Tenggara, Rp 2.5 miliar lebih. Ini sesuai Laporan Hasil Pemeriksaan Perhitungan Kerugian Negara/Daerah yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) Perwakilan Provinsi Aceh.
Perbuatan terdakwa diancam pidana Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seperti telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Yang jadi soal adalah, benarkah praktik tak elok itu dilakukan dan dinikmati sendiri oleh Malik Hamdani, tanpa diketahui Hasanuddin Darjo sebagai Sekdakab Aceh Tenggara ketika itu? Atau sebaliknya, Darjo juga ikut kecipratan dan menikmati dana tersebut? Agaknya JPU dan Majelis Hakim PN Tipikor Banda Aceh, patut mengejar dan mengusutnya hingga tuntas. Semoga.***

Photo: disesuaikan

Boks:
Penarikan Dana yang Diketahui Hasanuddin Darjo

*        Penarikan/pengambilan dana tanggal 28 Januari 2010,                   Rp   50 juta
·                Penarikan/pengambilan dana tanggal 1 Februari 2010,                   Rp 290 juta lebih
·                Penarikan/pengambilan dana
tanggal 12 Februari 2010,                                                                Rp 60 juta Penarikan/pengambilan dana tanggal 1 Maret 2010,                            Rp 300 juta
·                Penarikan/pengambilan dana tanggal 2 Maret 2010,                                   Rp 298 juta lebih
·                Penarikan/pengambilan dana tanggal 9 Maret 2010,                                   Rp 250 juta lebih
·                Penarikan/pengambilan dana tanggal 25 Maret 2010,                     Rp 400 juta
·                Penarikan/pengambilan dana tanggal 19 April 2010,                                   Rp   60 juta
·                Penarikan/pengambilan dana tanggal 3 Mei 2010,                          Rp 200 juta
·                Penarikan/pengambilan dana tanggal 12 Mei 2010,                                    Rp   73 juta lebih


Sumber; Dakwaan JPU Kejati Aceh

Surat Kaleng untuk Darjo

Surat Kaleng untuk Darjo

Dua lembar surat kaleng singgah ke redaksi media ini. Isinya mengungkap pola kepemimpinan Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Drs. Hasanuddin Darjo. Si pengirim mengaku PNS Dinas Pendidikan Aceh. Buntut dari mutasi sapu bersih?

Muhammad Saleh

            SURAT bernomor istimewa ini, sejatinya disampaikan pada Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah. Tembusannya dikirim pada Ketua DPR Aceh dan Ketua Komisi V DPR Aceh. Namun, entah serius atau sekadar iseng, surat tanggal  5 Juli 2015 dan tanpa identitas pengirim alias surat kaleng tersebut, sampai juga ke redaksi media ini, Senin, 20 Juli 2105, sekira pukul 13.30 WIB.
            Si pengantar mengaku diminta seseorang untuk mengantarkannya ke redaksi MODUS ACEH. Namun, dia mengaku tak tahu apa isi surat tersebut. “Tadi, ada seseorang di Peunayong yang meminta saya untuk mengantar surat ini kemari. Saya dibayar Rp 50 ribu,” kata pria paruh baya tadi.
Lalu, pria yang bekerja sebagai abang becak di kota ini, seketika pergi dan meninggalkan ruang tamu. “Sudah ya, amanah telah saya berikan, saya narik dulu,” katanya sambil balik badan dan berlalu di tengah hiruk pikuk aktivitas warga Kota Banda Aceh.
Sekilas, tentu tak ada yang istimewa dan luar biasa dari surat tersebut. Maklum, redaksi media ini sudah terbiasa menerima surat sejenis. Hanya saja, ada yang ditindaklanjuti jika isi surat tersebut menarik untuk ditelusuri. Sebaliknya, akan masuk keranjang sampah, ketika isinya sulit untuk dipertanggungjawabkan.
“Bapak Gubernur yang terhormat. Kami PNS di jajaran Dinas Pendidikan Aceh, menyampaikan bahwa kondisi Dinas Pendidikan Aceh di bawah pimpinan Bapak Drs Hasanuddin Darjo saat ini sudah sangat darurat dan memprihatinkan dan menuju kehancuran. Harapan kami kepada Bapak Gubernur untuk segera melakukan suatu perbaikan untuk menyelamatkan Dinas Pendidikan dan dunia pendidikan Aceh ke depan sehingga Bapak Gubernur tidak menjadi bahan pembicaraan publik karena salah menempatkan pejabat publik untuk mengurus pendidikan.”
            Itulah kalimat pembuka dari surat kaleng tadi. “Selanjutnya. Bapak Gubernur yang terhormat. Kami yakin dan percaya bahwa tujuan Bapak Gubernur menggantikan kepala dinas yang lama dengan kadis baru, agar supaya adanya perubahan kinerja kepada yang lebih baik terutama dalam memajukan pendidikan di Aceh dan yang menyangkut urusan penyerapan anggaran. Namun, yang terjadi saat ini sebaliknya, kemunduran baik dalam peningkatan mutu juga penyerapan anggaran. Apabila Bapak Gubernur tidak segera melakukan revisi maka dapat dipastikan kinerja Dinas Pendidikan Aceh ke depan akan semakin mundur,”  tulis si pengirim.
            Menurut si pengirim, itu terjadi karena orientasi kinerja Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Drs Hasanuddin Darjo, sangat tidak memungkinkan untuk mendongkrak kinerja dan mutu pendidikan di Aceh. Tetapi, lebih pada urusan bisnis.
Menurut isu berkembang tulis surat ini, Kadis Pendidikan Aceh, Hasanuddin Darjo, terlalu mengintervensi pembagian paket proyek, baik melalui tender maupun penunjukkan langsung (PL) kepada orang terdekat. Akibatnya, para kepala bidang (kabid), PPTK dan kelompok kerja (pokja) tidak bisa bekerja leluasa karena terlalu diarahkan untuk memenangkan rekanan tertentu.
Tak hanya itu, pembagian proyek PL semua diarahkan kepada rekanan yang dia tunjuk sendiri. Bahkan, dia  berani meminta PPTK untuk merubah spek yang telah disurvei dengan spek yang dibawa rekanan dan belum disurvei. Selanjutnya, dia minta untuk dimenangkan.
“Perlu kami sampaikan kepada Bapak bahwa suasana di Kantor Disdik Aceh sudah semakin tidak jelas dan beberapa orang PPTK sudah membuat pernyataan mundur. ketua pokja untuk ULP yang baru beberapa hari ditunjuk dari orang Kantor Disdik Aceh dan sudah mulai bekerja keras untuk mempercepat pelaksanaan tender proyek, guna mempercepat terjadinya realisasi anggaran. Namun, tiba-tiba dibatalkan dan diganti secara mendadak dengan orang lain dari Dinas Tanaman Pangan Aceh, tempat dia pernah menjadi kadis sebelumnya.
Ada informasi yang beredar, digantinya pokja karena yang bersangkutan tidak berani mengikuti semua arahan Darjo, untuk memenangkan tender pada rekanan tertentu sehingga yang bersangkutan dipecat sebagai ketua pokja.
“Menurut pembicaraan yang berkembang di kantor, penggantian 23 pejabat di jajaran Disdik Aceh baru-baru ini, terkesan adanya unsur balas dendam terhadap pejabat yang diangkat oleh Kadisdik Aceh lama, Anas M. Adam. Semua dinilai tidak bisa pakai, sehingga dihabisi. Sementara, ada beberapa pejabat baru yang kemampuannya patut dipertanyakan, justru diberi jabatan,” ungkap isi surat tersebut.
Pejabat yang dimaksud adalah Kepala Bidang Pendidikan Dasar (Kabid Dikdas). Dan, Kepala Seksi (Kasi) Kurikulum Pendidikan Dasar berasal dari disiplin ilmu sarjana ekonomi dan belum pernah terlibat dengan urusan kurikulum. Selain itu, Kepala Seksi (Kasi) Tenaga Teknis (Tentis) serta Kasi Data dan Informasi.
“Dalam memimpin rapat dengan para Kabid dan Kasi, Kadis Hasanuddin Darjo selalu marah-marah dan emosi. Seolah-olah dia direktur perusahaan milik pribadi. Darjo suka memarahi bawahan dengan kata-kata yang tidak senonoh dan tidak mendidik serta beretika. Misal, dia berkata silahkan mengundurkan diri atau keluar lewat pintu, jendela atau atap bagi pejabat yang tidak bisa ikuti kebijakannya. Ucapan itu sering disampaikan pada rapat sehingga pengawai mengeluh dan merasa tidak dihargai.
Hanya itu? Tunggu dulu. Menurut isi surat ini, sejak dipimpin Hasanuddin Darjo, suasana kerja di Dinas Pendidikan Aceh, semakin menurun dan tidak seperti sebelumnya. Disiplin pegawai semakin berkurang, karena Darjo jarang masuk kantor alias suka jalan-jalan. Akibatnya, tak ada lagi apel pagi.
Kadis Pendidikan Aceh Hasanuddin Darjo juga melarang pelaksanaan kegiatan penyusunan kurikulum Aceh untuk sekolah PAUD, SD, SMP, dan SMA. Padahal, anggaran untuk kegiatan tersebut telah tersedia Rp 5 miliar yang berasal dari APBA 2015. “Ada informasi berkembang, Pak Darjo sedang terjerat kasus di Kejaksaan Negeri Aceh Tenggara, sehingga dia sering marah-marah dan harus mencari banyak uang untuk menutupi kasus yang sedang dihadapinya. Jika itu benar, maka sosok Hasanuddin Darjo bukan figur profesional, emosional dan tidak menghargai kerja bawahan, sehingga mematikan motivasi pegawai untuk bekerja lebih baik.
            Benarkah semua tudingan itu? Inilah yang jadi soal. Sebab, usaha dan upaya konfirmasi media ini pada Hasanuddin Darjo tak berhasil. Pesan singkat (sms) permohonan untuk bertemu dan wawancara, juga tak dijawab hingga Sabtu malam pekan lalu. Upaya serupa juga disampaikan melalui Sekretaris Disdik Aceh, Asnawi. Hasilnya, tetap saja setali tiga uang.
            Begitupun, informasi tambahan berhasil diperoleh dari Abi Surya, salah seorang kontraktor atau rekanan Disdik Aceh.
“Saya salah seorang yang jadi korban dari kebijakan Pak Darjo. Bayangkan, beberapa pekerjaan yang sedang saya kerjakan, mendadak dihentikan, karena alasan pekerjaan itu dilakukan pejabat lama. Padahal, saya sudah mulai kerja dan menyerahkan biaya perencanaan Rp 5 juta dan  untuk kontrak Rp 3 juta kepada pejabat di dinas itu. Tapi, dengan gampang dijawab Pak Darjo melalui pejabat barunya. Itu urusan PPTK lama dan minta saja uang yang sudah diserahkan pada pejabat tersebut, dikembalikan,” begitu ungkap Abi Surya pada media ini, Jumat pekan lalu.
            Abi Surya mengaku, sebelumnya dia mendapat tiga pekerjaan dengan penunjukkan langsung. Pertama, CV. Red Long Jaya yaitu pembangunan lapangan olahraga terpadu SMA I Permata di Kabupaten Bener Meriah dengan nilai kontrak Rp 200 juta. Kedua, pembangunan lapangan olahraga terpadu SMA I Makmur di Kabupaten Bireuen (CV. Mutiara Phona Kupula, Rp 200 juta dan ketiga rehabilitasi taman dan pemasangan pavling blok SMAN 3 Banda Aceh (CV. Multi Sarana), Rp 200 juta.
            “Namun, tiba-tiba kontrak ditahan Pak Kadis. Paket diberikan pada rekanan lain secara sepihak. Termasuk pergantian pejabat baru yang tidak mengerti persoalan. Ini jelas sangat merugikan kami sebagai kontraktor,” ungkap Abi Surya. Dia berharap, persoalan yang terjadi di Disdik Aceh dan pola kepemimpinan ‘sapu jagat’ Hasanuddin Darjo, dapat menjadi perhatian serius Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah.

            “Secara logika sederhana saja, bagaimana anggaran bisa terserap jika pola mutasi yang dilakukan dengan sporatis begitu. Tentu, anak buah banyak yang kecewa dan tidak senang, sehingga menjadi malas. Akibatnya, kinerja menjadi menurun. Kondisi ini, sadar atau tidak telah mencoreng wajah Pak Gubernur,” sebut Abi. Sepantasnya, jabatan Darjo dievaluasi kembali Pak Gubernur, sebelum berjalan begitu jauh!***

Vonis untuk Para Pelaksana

Vonis untuk Para Pelaksana

Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh memvonis mantan Sekretaris dan Bendahara KIP Aceh Singkil masing-masing 4,5 tahun penjara. Terpidana merasa tidak bersalah, karena hanya menjalankan perintah atasan. Keduanya banding.

Irwan Saputra

HARI itu, Kemala Sari tak kuasa menahan luapan kesedihan. Sepanjang persidangan, Senin, dua pekan lalu, ibu muda yang juga mantan Sekretaris Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Singkil ini, beberapa kali meyeka air mata. Dia duduk bersebelahan dengan Irma Suryani, mantan Bendahara KIP Singkil di kursi pesakitan. Keduanya tertunduk pasrah, mendengar hakim membaca amar putusan.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh, Yulman MH (ketua), dan Muhifuddin MH, serta Hamidi Jamil SH (anggota), menghukum keduanya 4,5 tahun penjara serta denda Rp 200 juta, subsider dua bulan kurungan. Keduanya, juga harus membayar uang pengganti. Kemala Sari Rp 278 juta  dan Rp 259 juta lebih untuk Irma Suryani.
Menurut majelis hakim, sesuai fakta-fakta di persidangan, dan pendapat ahli yang dihadirkan, keduanya terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi atau suatu korporasi. “Sehingga pledoi (pembelaan) yang diajukan keduanya melalui penasehat hukum masing-masing harus dikesampingkan,” ungkap Yulman.
Dalam pledoi sebelumnya disebutkan, keduanya tidak pantas dibebankan pertanggungjawaban hukum atas terjadinya kerugian negara. Sebab, keduanya hanya menjalankan perintah atasan, Ketua KIP Aceh Singkil, Abdul Muhri. Ini sesuai Pasal 51 KUHPidana ayat (1) buku Ke-1 menyebutkan, barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan kuasa yang berhak maka tidak boleh dihukum.
Tapi, hakim berpandangan lain, kedua terdakwa terbukti bersalah, karena Kemala Sari selaku sekretaris bersama bendaharanya Irma Suryani menjalankan perintah Ketua KIP Singkil yang tidak sesuai aturan hukum. Kondisi ini disadari keduanya melanggar hukum karena tidak tersedia dalam plot mata anggaran dari dana hibah yang dianggarkan tahun 2011, 2012 dan 2013 oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, Rp 14 miliar lebih.
Dalam pertimbangannya, hakim berpedoman pada Pasal 51 KUHpidana ayat (2) buku Ke-1 bahwa, perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak, tidak membebaskan dari hukuman. “Maka, pembelaan kedua penasehat hukum harus dikesampingkan,” ujar Yulman.
Dalam sidang pamungkas tersebut, majelis hakim berkeyakinan bahwa keduanya terbukti dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, baik memperkaya diri sendiri atau orang lain, seperti yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam dalam dakwaan primer.
Sebelum membaca amar putusannya, majelis hakim lebih dahulu menguraikan fakta-fakta yeng terungkap di persidangan. Misal, hakim menyebutkan, sebagai pengguna anggaran, Kemala Sari memiliki wewenang untuk menarik uang yang bersumber dari dana hibah Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Singkil, kapan pun ia mau, meski dia bersama bendahara Irma Suryani, namun keduanya hanya menjalankan tugas dari komisioner KIP. Sebaliknya, mereka mengetahui bahwa perbuatan membagi-bagi uang ke sejumlah pihak itu melanggar hukum, karena tidak ada dalam mata anggaran. Beberapa pihak tersebut adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Singkil (Rp 170 juta) dengan rincian untuk Ketua DPRK Rp 50 juta, Banggar Rp 50 juta, Komisi A Rp 50 juta, kemudian Banggar I Rp 20 juta.
Selanjutnya, untuk Bupati Aceh Singkil Rp 75 juta, kelebihan membayar pengacara Rp 90 juta, pembuatan pos satpam dan mushalla Rp 16 juta, verifikasi ijazah ke Pematang Siantar, Sumatera Utara, Rp 30 juta lebih, monitoring hari H komisioner dan sekretaris Rp 18 juta, pengurusan ke Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Rp 21 juta lebih, yang diberikan hingga dua kali.
Kemudian, biaya membayar wartawan dalam rangka kegiatan tahapan Pemilukada (Rp 40 juta). Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) yang tidak dipertanggungjawabkan (RP 25 juta lebih). Biaya makan dan minum pembuatan Surat Pertanggungjawaban Rp  32 juta lebih, biaya uang lelah kepada Iksan Darmawan selaku pembantu bendahara Rp 10 juta, dan Sapriani Rp 20 juta.
Begitupun, biaya untuk pengurusan proses pencarian dana pada Kantor DPPKAD Rp 10 juta rupiah, dan biaya makan dan minum lembur setelah pemeriksaan LPJ dari Inspektorat Rp 25 juta.
            “Semua fakta yang terungkap ini memang dilakukan atas perintah komisioner KIP, tapi para terdakwa tahu jika semua itu tidak ada dalam plot mata anggaran” ujar Yulman.
            Maka dalam pertimbangannya, Kemala Sari sebagai pengguna anggaran dan Irma Suryani sebagai pengelola anggaran, mempunyai wewenang untuk mencairkan dana Pemilu KIP Singkil. Namun, membiarkan uang tersebut dinikmati anggota DPRK Aceh Singkil, Kapolres Aceh Singkil, DPKAD Aceh Singkil, dan para wartawan yang dikeluarkan tanpa ada mata anggaran sehingga membuat Lembaran Pertanggungjawaban (LPJ) dari dana taktis tersebut atas perintah komisioner KIP Aceh Singkil. Caranya, membuat SPPD fiktif.
Perbuatan tersebut telah melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2009, tentang Pedoman Pengelolaan Belanja Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Pasal 10. Begitupun keduanya melanggar Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2007, tentang Penyelenggaraan Pemilu di Aceh. Pasal 8 poin  (4) e menyebutkan, KIP kabupaten/kota wajib mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Begitupun, kedua terdakwa terbukti memperkaya diri sendiri, atau orang lain, diantaranya anggota DPRK Aceh Singkil, Ketua KIP Aceh Singkil, Wakapolres Aceh Singkil, DPKAD, Sekda Aceh Singkil. Semua dana tersebut dipertanggungjawabkan dengan SPPD fiktif yang sebagian besarnya tidak melakukan perjalan dinas seperti nama yang dicantumkan.
Akibat perbuatan kedua terdakwa, negara mengalami kerugian Rp 1,3 miliar. Ini berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Aceh Bernomor: SR-2544/PW01/05/2014 yang dikeluarkan pada 28 November 2014 silam.
Karena itu, majelis hakim menyimpulkan, kedua terdakwa terbukti secara sah seperti dakwaan primer, melanggar Pasal 2 ayat (1) junto Pasal 18 ayat (1) huruf a,b, ayat (2) ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 ayat (1) ke-I KUHPidana.  “Karena kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 1,3 miliar,” ungkap Yulman.
Tak terima divonis bersalah, kedua terdakwa melalui pengacaranya, mengajukan banding.
Tapi, sikap berbeda ditunjukkan JPU dari Kejaksaan Negeri Singkil, Ruri Febrianto SH. Meski divonis dua tahun lebih ringan dari tuntutannya, ia mengaku sudah menerima dan tidak mengajukan banding atas putusan tersebut.
Sekedar mengulang, Kemala Sari dituntut 6,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta, subsider empat bulan kurungan dan diwajibkan membayar uang pengganti masing-masing Rp 328, sementara Irma Suryani Rp 308 juta atau subsider 3,3 tahun penjara.
“Kita akan ajukan banding. Bagaimana mungkin kami bisa terima, orang lain yang menikmati fee, keduanya menanggung akibat. Yang berhak bertanggungjawab atas kerugian ini adalah komisioner KIP,” ujar salah seorang kuasa hukum terdakwa.
Masih kata kuasa hukumnya, pengeluaran uang dana hibah tersebut adalah murni dan terbukti hasil dari rapat para komisioner KIP Aceh Singkil Tahun 2011-2012, sedangkan berdasarkan Pasal 49 ayat (4) peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2008, tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota menyebutkan, Sekretaris KPU/KIP Kabupaten wajib memberikan dukungan teknis dan administratif dalam rapat pleno. Karena itu, keduanya hanya menjalankan perintah dari hasil rapat tersebut.
Usai persidangan, Kemala Sari yang mengenakan gamis merah muda dan Irma Suryani memakai gamis oranye, langsung menghampiri suami masing-masing. Lalu, memasuki mobil tahanan kejaksaan untuk dibawa kembali ke Rumah Tahanan Jantho Aceh Besar.***

Photo: disesuaikan

Monday, June 1, 2015

‘Peradilan Massa’ di PN Banda Aceh


‘Peradilan Massa’ di PN Banda Aceh

Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh mengelar sidang lanjutan kasus Gafatar. Sejumlah saksi ahli dihadirkan ke persidangan. Ratusan massa yang tersulut emosi menghujat keterangan saksi ahli.

Irwan Saputra           
           
JARUM jam sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB, Selasa pagi pekan lalu. Diantara lalu-lalang kendaraan yang melintasi Jalan Cut Mutia Gampong, Keudah Banda Aceh. Sontak ratusan massa memenuhi badan jalan, persis depan Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh. Seketika jalan macet total.
            Hari itu, massa yang diperkirakan berjumlah lima ratus orang ini, bergerak dari Taman Kota Ratu Safiatuddin Lampriet, menuju PN Banda Aceh. Tujuannya, mengikuti sidang anggota Gafatar. Massa menuntut pengikut Gafatar dihukum seberat-beratnya. Sidang dipimpin Syamsul Qomar (ketua), Muhiffuddin dan Ahmad Nahrowi Mukhlis (anggota) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli dari pihak terdakwa.
Ratusan massa hari itu dikomadoi langsung Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Banda Aceh, Ramli Rasyid. Ada juga anggota Front Pembela Islam (FPI). Pelajar Islam Indonesia (PII), Pramuka, Majelis Ta`lim, Guru Diniah, tokoh masyarakat peduli agama, Asosiasi Geuchik Kota Banda Aceh dan Tuha Peut Gampong se Kota Banda Aceh.
“Kami minta pengikut Gafatar di hukum seberat-beratnya,” teriak Burhanuddin, anggota FPI Banda Aceh. Lalu, disambut suara takbir oleh massa lainnya. “Allahu Akbar... Allahu Akbar...Allahu Akbar”.
            Tidak seperti sidang belumnya, massa yang dihadirkan hari itu tampak lebih banyak. Bahkan diakui koordinator lapangan (korlap) aksi Marzuki, mereka akan menurunkan massa yang lebih banyak untuk sidang-sidang berikutnya.
            “Target kami 1.500 massa yang dihadirkan hari ini, tapi walau hanya ada lima ratus untuk sidang selanjutnya akan kami hadirkan lebih banyak lagi,” ungkap Marzuki.       
Sidang yang mendengar keterangan saksi ahli tersebut, akhirnya menuai amarah massa. Itu terlihat dari pernyataan koordinator aksi yang disampaikan secara bergiliran atas naman lembaga yang diwakilinya. “Kami akan menunggu putusan hakim, apakah keputusan hakim dari Pengadilan Islam atau Pengadilan Kafir,” cerca Isramuddin, Ketua FPI Kota Banda Aceh, di depan massa yang hadir hari itu.
Tak hanya itu, Ketua FPI Aceh Ali Hijrah meminta agar Aceh tidak dijadikan tempat berkembangannya aliran sesat dan tempat orang yang menyesatkan. “Mari sama-sama kita kawal, agar Aceh tidak menjadi sarang kelompok-kelompok sesat lagi menyesatkan,” teriak Ali Hijrah.
Rita Rosila Dewi, anggota PGRI kota Banda Aceh tak mau ketinggalan. Dia meminta agar Gafatar ditumpas habis di Bumi serambi Mekkah. Tak tanggung-tanggung, wanita paruh baya menghujat para saksi yang hadir atas nama pengikut Gafatar.
“Kami tidak akan membiarkan putra dan putri Aceh disesatkan Gafatar,” ungkapnya. Dia menambahkan, sebagai seorang guru sangat menyayangkan kenapa para saksi ahli mau memberi kesaksian untuk Gafatar. Padahal mereka telah jelas-jelas sesat. “Saya kira mereka yang hadir juga sama seperti orang Gafatar, sesat,” sambungnya.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Banda Aceh, Ramli Rasyid pada media ini mengaku, ia bersama rombongan melakukan aksi untuk mengawal jalannya persidangan. Karena itu, dia meminta hakim menghukum pengikut Gafatar seberat-beratnya. Makanya, dia mengambil alih aksi hari itu, karena sebagai guru, mereka mengaku orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini.
“Karena sasaran Gafatar adalah anak-anak Aceh yang merupakan tanggung jawab kami para guru,” ujar mantan pejabat di Pemerintah Kota Banda Aceh saat pemerintahan dipegang almarhum Walikota Banda Aceh Mawardi Nurdin.
            Nah, entah itu sebabnya, sekira pukul 12.00 WIB, sidang baru dimulai dengan terdakwa Fuadi Mardhatillah, M. Althaf Mauliyul Islam, Ayu Aristiana, Musliadi, Rida Hidayat dan T. Abdul Fatah. Bersamaan dengan itu, ratusan massa tadi kemudian melakukan aksi di depan pintu masuk PN Banda Aceh bahkan, sempat membuat ruang sidang penuh sesak.
Untuk mendengarkan pendapat saksi ahli, kuasa hukum terdakwa menghadirkan saksi ahli yaitu, pakar teologi Islam yang juga Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prof, Yusni Sabi. Pakar Antropologi Universitas Malikul Saleh, Dr. Kemal Pasya dan pakar Hukum Pidana Islam dari Mahkamah Syar`iyah, Sofyan MA.  Begitupun, keterangan para saksi ahli tadi nyaris tak terdengar, karena sesekali sempat disoraki pengunjung sidang.
Kondisi ini disayangkan berbagai kalangan, termasuk kuasa hukum terdakwa dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Banda Aceh, Wahyu Pratama. Kepada media ini Wahyu mengaku kesal dengan sikap massa yang memenuhi ruang persidangan. Menurut dia, keadaan seperti ini sulit mendapatkan peradilan yang berimbang, selain membuat para saksi tertekan, pengacara juga tidak lepas dari sorakan massa yang mengikuti setiap persidangan.
“Padahal baik para saksi dan pengacara hanya menjalankan tugas,” ujarnya. Dia menambahkan. “Jika begini jalannya persidangan, tentu semua orang akan tertekan, bagaimana tidak, kami selaku pengacara saja sering disorak, apalagi para saksi yang dihadirkan,” katanya dengan nada kesal.
            Kondisi ini dimaklumi Wirzani Usman, salah seorang staf Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh, yang hadir ke pengadilan. “Pada posisi seperti ini, siapapun yang dihadirkan pihak Gafatar pasti dianggap membela Gafatar. Ini karena amarah masyarakat tidak lagi terkontrol,” ujarnya  pada media ini.
            Antropolog Unimal, Kemal Pasya usai memberi keterangan sebagai saksi ahli menyayangkan sikap masyarakat yang membesar-besarkan masalah yang menurutnya kecil ini. Menurutnya, kasus Gafatar bisa diselesaiakan secara kekeluargaan dan dengan cara baik-baik. Tanpa harus langsung melakukan tindakan hukum seperti ini. “Itulah anehnya kita, hal-hal kecil selalu dibesarkan, contahnya begini kan kasian,” kata Kemal.
            Salah seorang terdakwa Althaf, tak sanggup menahan amarahnya. Alumni Fakultas Teknik Sipil Universitas Syiah Kuala Banda Aceh ini mengaku kesal dengan sikap massa yang menghakimi mereka, diluar proses hukum yang sedang berjalan. “Kalau memang saya dengan teman-teman dinilai bersalah kenapa tidak dibina terlebih dahulu,” sebutnya kesal.
            Menurut Althaf, saksi ahli dari Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Banda Aceh juga berpendapat agar kami harus dibina dan tidak buru-buru diserahkan pada aparat penegak hukum.
         Secara mental, Althaf mengaku sangat tertekan dengan apa yang ia alami selama dalam tahanan sebagai terdakwa kasus Gafatar. Menurutnya, mereka tidak hanya dihujat massa tapi juga sering mendapat perlakuan berbeda di Rumah Tahanan (Rutan). “Mungkin inilah ujian untuk kami,” katanya dengan nada pasrah.
Pada Jum`at Pekan lalu dalam sidang lanjutan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Banda Aceh menuntut enam pengurus Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) empat tahun penjara. Mereka dinyatakan terbukti bersalah melakukan penistaan agama dengan mengakui bahwa Mesias atau Ahmad Musadeq sebagai juru selamat atas kondisi peradaban yang sedang hancur ini. Tuntutan itu dibacakan Ketua Tim JPU Kejari Banda Aceh, Yovandi Yazid SH.
Menurut JPU, dari hasil keterangan sejumlah saksi, saksi ahli, dan bukti-bukti yang diperlihatkan di persidangan menyebutkan para terdakwa terbukti bersalah. Para terdakwa mengakui bahwa Mesias atau Ahmad Musadeq sebagai juru selamat atas kondisi peradaban yang sedang hancur ini. Selain itu, meyakini Mesias sebagai pembawa risalah dari Tuhan Yang Maha Esa (YME). Intinya, perbuatan terdakwa terlah melanggar Pasal 156a huruf A Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). “Kata-kata Mesias sebagai juru selamat dan pembawa risalah dari Tuhan YME tersebut telah menodai kaidah-kaidah dalam Islam. Dalam kaidah Islam, Rasulullah SAW adalah nabi terakhir yang membawa risalah dari Allah SWT,” baca Yovandi.
Lima terdakwa pria dalam perkara ini ditahan di Rutan Banda Aceh di Gampong Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar dan seorang terdakwa wanita, Ayu Ariestyana ditahan di Cabang Rutan Wanita Lhoknga, Aceh Besar. Penahanan keenamnya dilakukan sejak 8 Januari 2015.***

Photo: disesuaikan


Monday, May 25, 2015

Akhir Kisah Ratu Kredit Fiktif Bank Aceh



Akhir Kisah Ratu Kredit Fiktif Bank Aceh

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh, memvonis Yuli Fitriani tujuh tahun penjara. Karena ulahnya, Bank Aceh merugi hingga empat miliar rupiah. Gaya hedonis yang berujung tragis.

Irwan Saputra

Duduk di kursi pesakitan, Yuli Fitriani tetap terlihat tenang ketika hakim membaca amar putusan atas dirinya. “Terdakwa divonis tujuh tahun penjara, dengan denda Rp 500 juta, subsider tiga bulan kurungan,” tegas Syamsul Qamar (hakim ketua), didampingi Fauzi dan Supriadi (anggota), di Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh, Rabu pekan lalu.
Menurut majelis hakim, Yuli Fitriani terbukti melakukan tindak pidana perbankan dan tindak pidana pencucian uang. “Akibat perbuatan terdakwa PT. Bank Aceh merugi hingga empat miliar rupiah,” sebut Syamsul.
Putusan itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh Suhendra. Saat sidang sebelumnya, Yuli Fitriani dituntut sepuluh tahun penjara dan denda Rp 500 juta, subsider enam bulan kurungan.
            Usai sidang, Yuli yang didampingi penasehat hukumya Basrun Yusuf mengatakan pikir-pikir dengan putusan tadi. “Kami pikir-pikir dulu Pak Hakim,” kata Basrun. Begitu juga dengan JPU.
Yuli Fitriani adalah karyawan PT Bank Aceh, Capem Balai Kota Banda Aceh sejak Oktober 2007. Dia merupakan petugas kredit yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melakukan proses permohonan kredit nasabah sesuai dengan permohonan.
Namun alih-alih membantu perusahaan, ia malah memperkaya diri sendiri dengan membuat rekening tabungan fiktif, kredit fiktif dan modus operandi menggelapkan uang hasil pembayaran nasabah.
Perilaku Yuli terungkap pada 2013 silam, ketika salah seorang nasabah yang juga mantan pejabat Pemko Banda Aceh Edi Saputra mengajukan kredit Rp 200 juta. Naas bagi Yuli, sesuai aturan yang berlaku, setiap nasabah yang memohon kredit harus mengajukan data ke Kantor Pusat Bank Aceh. Namun saat dilacak, nasabah tersebut masih belum melunasi kredit yang dipinjam sebelumnya, padahal dia telah melunasi semua kredit tersebut. Disinilah bermula nasib tragis ratu kredit fiktif tersebut terungkap.
Praktik culas yang dilakukan Yuli memang terbilang rapi. Sebelum ia menilep uang nasabah, dia lebih dulu menguasai user dan id milik karyawan dan atasannya. Ini terungkap dalam fakta persidangan, bahwa dirinya tidak hanya menguasai user dan id milik karyawan. Tapi juga user id milik atasannya yaitu Cut Widalia dan Wirza. Itu dapat dikuasai dengan mudah oleh Yuli, karena dia orang kepercayaan dan sering diajak menyelesaikan pekerjaan kantor bersama.
Alhasil, dengan niat memperkaya diri sendiri, Yuli dengan aman membuka 11 kredit fiktif tanpa ada yang mengetahui boroknya. Hasilnya, dia mampu mengumpulkan uang satu miliar rupiah, yang kemudian ditampung ke  rekening tabungan fiktif atas nama Nurhayati dan Ernawati yang telah dia persiapkan.
Tak hanya itu, untuk menambah pundi kekayaannya, Yuli yang saat itu hanya sebagai petugas kredit PT. Bank Aceh, sengaja tidak mencatat setiap nasabah yang melunasi kreditnya. Tujuan Yuli,  uang pembayaran dari 47 nasabah yang terkumpul Rp 3 miliar ini, bisa dimasukkan ke rekening tabungan fiktif yang dipersiapkannya tadi. Selain itu, juga dimasukkan ke rekening miliknya pribadi, rekening anaknya Khalila Nazwa dan rekening atas nama Fred Wiliamsom selaku rekan kerja pada Kantor Pusat Operasional PT. Bank Aceh.
Setelah menguasai uang haram tadi, Yuli mengunakannya untuk membeli barang mewah secara tunai. Misal, tahun 2012, Yuli membeli satu unit mobil Gallan (1999),  Rp 110 juta, satu unit mobil jenis Toyota tipe Corolla Altis (2005), Rp 155 juta. Satu cincin blue shaphire Rp 20 juta. Satu cincin yellow shaphire Rp 18 juta dan satu cincin jenis berlian 15 juta.
Pada 2013, Yuli kembali menambahkan barang mewahnya dengan membeli satu cincin jenis berlian Rp 15 juta, satu buah liontin Rp 30 juta, dan satu cincin ruby Rp 35 juta. “Semua barang bukti tersebut disita negara dalam hal ini PT. Bank Aceh, karena terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melawan hukum,” kata Hakim Ketua Syamsul Qamar.
Praktik culas ini dilakoni Yuli sejak 17 Juni 2009. Caranya,  dia membuka rekening tabungan fiktif atas nama Nurhayati. Nah, 19 Mei 2010, dia kembali membuka rekening tabungan fiktif atas nama Ernawati.  Kedua rekening ini digunakan untuk menampung uang dari hasil kredit fiktif dan uang hasil pembayaran kredit nasabah yang tidak disetorkannya ke Bank Aceh.
Karena, selain dari dua rekening tersebut. Terdapat sebelas rekening fiktif lainnya yang juga dibuat Yuli sejak September 2009 hingga Oktober 2013. Tujuannya, untuk melakukan kredit fiktif pada Bank Aceh, sementara uang tersebut dimasukkan pada dua rekening tabungan fiktif miliknya.
            Selain melakukan pembukaan rekening tabungan fiktif dan kredit fiktif, Yuli juga terbukti sejak tahun 2011 sampai tahun 2013, menggelapkan uang pembayaran kredit 47 nasabah dengan cara tidak menyetor uang tersebut ke Bank Aceh. Tapi, digunakannya untuk memperkaya diri sendiri dengan cara, dimasukkan uang tersebut dalam rekening tabungan fiktif yang telah disiapkannya.
Selain itu, juga ditransfer ke rekening atas namanya sendiri yaitu Yuli Fitriani, pada anaknya Khalila dan rekan kerjanya pada Kantor Pusat Operasional PT Bank Aceh. Borok ini baru diketahui setelah tim investigasi internal PT. Bank Aceh melakukan pemeriksaan bahwa ada 47 nasabah yang telah melunasi kredit pada Bank Aceh, namun sengaja tidak dicatat oleh Yuli Fitriani sebagai petugas. Begitu juga dengan pembuatan buku rekening untuk mengajukan kredit yang belakangan diketahui fiktif.
            “Padahal sesuai aturan yang berlaku, terkait dengan penutupan kredit nasabah, seharusnya dicatat dalam pembukuan rekening nasabah yang bersangkutan atas pembayaran atau pelunasan kredit. Sehingga dengan demikian secara otomatis telah ditutup,” kata Fauzi, hakim anggota.
            Atas pertimbangan tersebut, majelis hakim berkeyakinan Yuli Fitriani terbukti bersalah melanggar Pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 10 tahun 1998, tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, dan pasal 3 Junto Pasal 2 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindank Pidana Pencucian Uang.
            Menurut majelis hakim, putusan itu dibacakan setelah mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Yang memberatkan menurut majelis, perbuatan terdakwa telah menimbulkan kerugian materil pada Bank Aceh sebesar empat miliar. Selain itu perbuatan terdakwa dapat menghilangkan kepercayaan nasabah terhadap dunia perbankan. Terutama pada PT. Bank Aceh. “Terdakwa juga terbukti telah menikmati hasil kejahatannya itu,” ungkap Syamsul Qamar.
            Sementara yang meringankan, terdakwa telah mengakui dan berterus terang atas perbuatannya dan telah mengaku bersalah. Lalu terdakwa mempunyai tanggung jawab terhadap seorang anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang. 
Terdakwa Yuli yang selalu berpenampilan high class ini ditahan penyidik sejak 27 Oktober 2014 silam. Usai persidangan ia langsung meninggalkan ruangan dan menuju ruang tahanan yang diapit keluarganya. Selama proses persidangan, Yuli Fitriani menjalani masa tahanan di Rumah Tahanan Perempuan Cabang Lhoknya, Aceh besar.***

Photo: disesuaikan


Monday, May 18, 2015

Vonis Untuk Kelas Pesuruh


Korupsi SPPD Fiktif Aceh Timur

Vonis Untuk Kelas Pesuruh

Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh memvonis dua terdakwa pembuat SPPD fiktif 1,8 tahun dan 1,6 tahun penjara. Namun, fakta persidangan mengungkapkan jelas penikmat aliran dana rasuah tersebut. Ada yang masih melenggang bebas.

Irwan Saputra
Lelaki berbaju putih itu bersandar pada tiang yang berdiri di teras depan ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh. Sesekali, dia berusaha akrab pada setiap orang yang melintas. Tak jarang dia menyapa, bahkan bercengkrama dengan para jaksa, yang lalu lalang keluar masuk ruang sidang.
Pria itu Zulkifli, informan polisi yang balik dijadikan terdakwa,kata Malik Dewa saat bincang-bincang dengan MODUS ACEH, Senin, pekan lalu. Malik Dewa adalah pengacara Zulkifli. 
Hari itu, waktu sudah menunjuk pukul 14.20 WIB. Beberapa pengunjung mulai memasuki ruang persidangan. Sontak, suasana di luar ruangan, mulai hening. Tapi Zulkifli terlihat masih betah berlama-lama di luar sana. Tatapannya nanar. Sesekali menggepulkan asap rokok dari mulutnya. Dari guratan wajahnya, dia terlihat begitu tegang.
            Malik bercerita, Zulkifli duduk di kursi pesakitan karena kasus korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif, di Sektariat Daerah Kabupaten Aceh Timur. Kasus itu sudah bergulir ke Pengadilan Tipikor sejak 4 November 2014 silam.
Nah, Senin pekan lalu adalah sidang pamungkasnya. Hakim Muhifuddin (ketua) dan Hamidi Jamil serta Zulfan Efendi (anggota), memvonis Zulkifli 1,6 tahun penjara. Tapi Zulkifli tak sendiri. Gunawan, rekan sekantornya yang juga terdakwa dalam kasus ini, divonis hakim lebih berat yakni 1,8 tahun penjara. Tapi vonis Zulkifli itu dinilai tak adil. “Dia informan yang membongkar kasus ini, tapi mengapa ikut divonis,” gugat Dewa.
***
Berdasarkan putusan hakim, terbongkarnya kasus korupsi ini bermula pada Senin, 3 Desember 2012 lalu. Malam itu, jam dinding telah menunjukkan pukul 21:00 WIB. Zulkifli menyambangi kediaman Gunawan, di Jalan Fakinah, Desa Paya Bujok Tunong, Langsa Baro, Kota Langsa.
Zulkifli tak datang dengan tangan kosong. Dia membawa dua lembar SPPD Nomor: 2626/090/2012, tanggal 10 Juli 2012 atas nama Zulkifli dan SPPD Nomor: 2627/090/2012, tanggal 10 Juli 2012 atas nama T. Riski Syahputra dengan tujuan kota Medan. Tujuan Zulkifli menyambangi rumah Gunawan adalah untuk membubuhkan tanda tangan dan stempel di SPPD tersebut.
SPPD inilah, diantaranya, yang diduga fiktif. Dan praktik ini telah lama dilakoni keduanya. Polisi bahkan sudah mencium upaya pencolengan duit negara tersebut. Itu sebabnya, polisi inten membuntuti gerak-gerik Zulkifli. Termasuk saat dia bertandang ke rumah Gunawan.
Usai mendapat stempel SPPD fiktif tadi, Zulkifli langsung bergegas meninggalkan rumah Gunawan. Petugas yang memang telah membuntutinya, langsung menciduk Zulkifli. Benar saja, polisi berhasil mendapatkan dua lembar SPPD yang sudah distempel. Celakanya, stempel yang dibubuhkan pada SPPD tersebut adalah stempel dan cap Perwakilan Pemerintah Aceh di Medan. Inilah yang mengindikasikan bahwa SPPD itu fiktif.
Tanpa menunggu lama, anggota Polres Aceh Timur menciduk Gunawan di rumahnya. Malam itu juga keduanya diboyong ke Mapolres setempat. Dari fakta persidangan, stempel Perwakilan Pemerintah Aceh di Medan sengaja dipalsukan untuk memuluskan proses penerbitan SPPD fiktif. Hakim mengatakan, Gunawan terbukti membuat stempel palsu tersebut atas perintah Kepala Sub Bagian Rumah Tangga saksi Mujiburrahman Bin Hasan.  Sedangkan Zulkifli, sebagai Bendahara Pengeluaran Pembantu Bagian Umum Setda Aceh Timur dinilai bersalah, lantaran mengetahui adanya stempel dan cap palsu tersebut sejak 2011. Dia membantu Kepolisian Resort Aceh Timur mengungkap kasus tersebut setelah tidak lagi menjabat Bendahara Pengeluaran Pembantu pada Bagian Umum Setda Kabupaten Aceh Timur. “Seharus dilakukan pada tahun 2011 sejak awal mengetahui adanya perbuatan tersebut,” kata Hakim.
Pengungkapan SPPD fiktif itu akhirnya membongkar praktik culas yang sudah lama berlangsung. Khususnya mengenai aliran dana yang dinikmati banyak orang. Berdasarkan fakta persidangan, tindakan Gunawan dan Zulkifli tak hanya melawan hukum dan merugikan keuangan negara. Tapi juga memperkaya orang lain.
Siapa mereka?  “Bahwa kerugian keuangan negara akibat SPPD fiktif tersebut dinikmati dan diperoleh Syaifannur (mantan Sekdakab Aceh Timur), Bendahara Pengeluaran Pembantu Danil Ardian Bin Daswir, Kasubag Umum Mujiburrahman, Kabag Umum Nadhif Bin Sulaiman serta anggota DPRK yang menerima dana sharing dari Pemerintah Kabupaten Aceh Timur,” kata Hakim Muhifuddin.
Dan itu sudah berlangsung sejak 2011. Pada Mei 2011, misalnya, Danil Ardian mendapat perintah dari Syaifannur untuk menyerahkan beberapa lembaran blangko kosong SPPD kepada Gunawan. Gunawan diminta mengetik SPPD tersebut untuk kepentingan pribadi atas izin dari Syaifannur. Selain itu, Syaifannur juga memerintahkan Danil Ardian untuk mengumpulkan SPPD atas nama semua asisten, kabag dan kasubag. Dengan SPPD fiktif tersebut, Danil Ardian berhasil mengumpulkan dana Rp 195 juta. Uang tersebut lalu ditransfer ke Rekening Nomor 106.000.9713.390, Bank Mandiri Cabang Langsa atas nama Syaifannur.
Hakim mengatakan, akibat perbuatan Gunawan dan Zulkifli yang telah memperkaya orang lain itu, negara merugi hingga Rp 875 juta lebih. “Hal tersebut sesuai dengan Laporan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara oleh BPKP Perwakilan Aceh Nomor : SR-1044/PW.01/05/2014 tanggal 13 Mei 2014,” kata Hakim Muhifuddin.
Keduanya dihukum. Gunawan 1,8 tahun penjara dan Zulkifli 1,6 tahun penjara. Selain itu, keduanya didenda masing-masing Rp 50 juta atau subsider dua bulan kurungan. Kepada hakim, kedua tervonis mengaku masih pikir-pikir untuk mengajukan banding. Begitu juga dengan Jaksa Penuntut Umum.
***
Usai sidang pamungkas tadi, pada MODUS ACEH Zulkifli menjelaskan, keputusan hakim tersebut tak adil. Ini lantaran Zulkifli merasa dirinya adalah informan yang berjasa membongkar kasus SPPD fiktif. “Kok saya yang dihukum,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Zulkifli merasa dirinya ditinggal begitu saja setelah berhasil membantu polisi mengungkap kasus korupsi. Padahal, menurutnya, Kasat Intelkam Polres Aceh Timur AKP Fakhruddin sempat mengucapkan berterima kasih padanya yang telah membantu tugas-tugas polisi. “Saya menjamin kamu aman, dan itu sudah menjadi tanggung jawab saya,” kata Zulkifli meniru ucapan AKP Fakhruddin kala itu. “Saya berani bersumpah itu diucapkan.”
Dia curiga, dirinya sengaja dikorbankan untuk kasus korupsi yang dananya dinikmati banyak pihak, terutama Syaifannur. Apalagi, kata Zulkifli, Syaifannur diketahui relatif intens membangun komunikasi dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU). “Contohnya, pada Senin, 4 Mai 2015 lalu, saya melihat Syaifanur, didampingi Dedi Saputra dan sopirnya Burhan, menggunakan Mobil Innova Nomor Polisi BK 1832 YX bertemu Jaksa Penuntut Robby Syahputra di warung kopi kawasan Batoh, Banda Aceh,” kata Zulkifli.
Beda dengan Zulkifli, Gunawan yang ditemui wartawan usai sidang, memilih tak banyak berkomentar. Dia hanya menundukkan wajahnya di atas meja. “Saya no coment dulu lah,katanya. Begitupun, kuasa hukum Gunawan, Ramlah Sari mengaku tak habis pikir kliennya divonis bersalah. Padahal menurutnya Gunawan hanyalah orang suruhan. “Dia hanya diperintah untuk mengetik SPPD fiktif, uangnya masuk Sekdakab tuh,” katanya.
Terkait vonis yang dinilai hanya menjerat kelas pesuruh, Hakim  Tipikor Muhifuddin mengaku penilaian tersebut adalah hak setiap orang. “Tapi kitakan memutuskannya telah berdasarkan aturan dan fakta persidangan yang ada,” ujarnya singkat.***

Photo: disesuaikan