Aceh dan Kisah
Penderita Thalasemia
Provinsi Aceh, tercatat sebagai daerah tertinggi
penyumbang prevalence carrier
(pembawa sifat) thalasemia di Indonesia, yaitu 13,5 persen. Sementara itu, ada sekitar
tiga ratus anak Aceh yang tercatat penderita thalasemia yang saban waktu harus
melakukan transfusi darah agar dapat menyambung hidup.
Secara nasional, enam sampai sepuluh dari seratus orang
di Indonesia adalah pembawa thalasemia. Jika penduduk Indonesia saat ini
berjumlah dua ratus juta jiwa, maka ada dua puluh juta orang pembawa thalasemia.
Dan, Aceh adalah penyumbang tertinggi.
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang hanya
bertahan antara dua sampai empat kali lebih pendek dibanding darah normal 120
hari. Penyebabnya, karena hemoglobin, yaitu protein yang mengandung zat besi
dalam sel darah merah yang berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke
seluruh tubuh, tidak terbentuk dengan sempurna. Akibatnya, sel darah merah
mudah rusak dan penderita mengalami kekurangan darah saban hari.
Alhasil, untuk mencukupi darah, penderita thalessamia
harus memasok darah secara rutin ke dalam tubuhnya seumur hidup. Jika pendonor
aktif bisa mendonorkan darahnya empat kantong dalam setahun, maka dibutuhkan
sedikitnya 12 orang untuk mencukupi kebutuhan darah bagi seorang penderita
thalasemia.
Masalah yang mendera tak hanya pada tataran dari mana
pasokan darah akan diambil. Tapi juga setiap kantong darah yang berisi 250 mililiter
itu harus mengandung 250 miligram zat besi. Sedangkan untuk kebutuhan zat besi
dalam tubuh manusia normal hanya membutuhkan satu sampai dua miligram per hari.
Akibatnya, terjadi penumpukan zat besi dalam tubuh, yang mengakibatkan
penderita gagal jantung, pembengkakan hati, limpa, rusaknya organ tubuh, bahkan
sampai pada tahap kematian.
Di Indonesia, setiap tiga jam sekali lahir seorang bayi
penderita thalasemia. Dalam setahun, diperkirakan akan ada 2.500 anak yang
menderita thalasemia. Angka ini akan terus bertambah setiap tahun. Bahkan,
diperkirakan pada tahun 2020 mendatang, lebih dari 20 ribu anak Indonesia mengidap
thalasemia. Jika demikian, ini berarti terdapat dua kali lipat dari jumlah
kelahiran bayi di Indonesia setiap harinya, atau hampir empat kali lipat dari
jumlah penderita thalasemia saat ini.
Sayangnya, hingga saat ini, thalasemia belum
ditemukan obatnya. Sehingga, setiap balita yang terkena thalesamia, harus
melakukan transfusi darah sepanjang hidupnya dalam jumlah yang tak terbatas.
Dalam ilmu kedokteran, thalasemia dibedakan pada dua
jenis,yaitu thalasemia bawaan (thalasemia minor) dan penderita thalasemia
(thalasemia mayor). Maka, satu-satunya cara untuk memutuskan mata
rantai thalasemia adalah dengan tidak mempertemukan sesama thalasemia minor
menikah. Karena, akan melahirkan generasi penderita thalasemia.
Ironisnya, di balik berbagai kisah dan cerita miris
tadi, Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan dr. Zaini Abdullah hingga saat ini,
masih terkesan abai dengan persoalan tersebut. Ini terlihat dari tanda-tanda
atau tidak adanya upaya pencegahan yang maksimal. Jikapun ada, masih mentok pada
sebatas kata. Bahkan, para pejabat penanggungjawab mengaku tidak memiliki data
yang valid. Sementara, kian hari ratusan anak Aceh bertambah kehilangan hak
hidupnya untuk meraih cita, karena digerogoti penyakit yang belum ditemukan obatnya
ini.
Harusnya, sebagai seorang berlatar belakang dokter,
Gubernur Aceh Abu Doto (panggilan akrab Zaini Abdullah), lebih peka dan peduli
dengan nasib anak Aceh penderita thalasemia. Sebab, mereka juga punya hak untuk
menjalani kehidupan di Aceh. Nah, bagaimana potret thalasemia di Aceh, wartawan
MODUS Aceh, Irwan Saputra, menulisnya untuk Laporan
Utama pekan ini.***
Penderita Tak
Paham Pemerintah Aceh Kurang Peduli
Marniati (13), bergegas mengambil nasi kotak yang
disediakan petugas Sentral Thalasemia, Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA)
Banda Aceh, Rabu dua pekan lalu.
Perlahan-lahan, dia membuka bungkusan nasi kotak berisi
sayur, daging ayam dan sambal lado. Hari itu, jam sudah menunjukkan pukul 12.18
WIB. Gadis belia yang masih duduk di bangku kelas VI SD Kaway XVI, Kabupaten Aceh
Barat itu tak bicara sepatah kata pun. Matanya sayu, mengamati setiap orang
yang berada dalam ruangan itu.
“Kakak cepat makan ya, Nak. Biar kita bisa pulang,” ujar
Laina, Ibu kandung Marniati. Namun, gadis ini tetap diam. Ada kesan pasrah atas
apa yang sedang dideritanya.
“Kakak, semangat kali makan kalau ada sambal lado ya,”
kata Laina membujuk Marniati. Bujukan sang ibu hanya dibalas dengan senyum oleh
Marniati, salah seorang penderita thalasemia. “Dia suka kali
kalau makan pakai sambal lado,” jelas Laina pada media ini, sambil melirik
senyum pada putrinya itu.
Begitupun, Marniati
tetap diam. Ia menatap ayah dan adiknya yang duduk di atas kasur pasien,
sementara Laina terlihat sibuk berkemas dan memasukkan baju dalam tas ransel.
“Dia (Marniati) sejak berusia dua tahun terkena thalasemia, cuma kami dulu
tidak tahu,” ujar Zainal, ayah Marniati dengan nada sedih.
Zainal mengaku, telah
berupaya maksimal untuk menyembuhkan puterinya itu. Tapi, karena ketidaktahuannya,
penyakit Marniati terus berkembang. Awalnya, dia mengira penyakit Marniati
kemasukan jin atau setan, sehingga ia memilih untuk mengobati ke dukun yang ada
di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.
Hasilnya, karena tak
sembuh dan ada perubahan, dia memutuskan untuk membawa anaknya itu ke Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Tjut Nyak Dhien di Kota Meulaboh. Nah, setelah
diperiksa, barulah diketahui bahwa anaknya ini telah bertahun-tahun menderita
penyakit thalasemia. “Kami baru tahu awal Maret 2016 dan langsung melakukan
transfusi darah untuk pertama kalinya di Rumah Sakit Tjut Nyak Dhien,” sambung Laina.
Menurut Laina, di
RSUD Tjut Nyak Dhien, anaknya hanya sekali melakukan transfusi darah, kemudian
dirujuk ke RSUZA, Banda Aceh. Maka, sejak bulan April, Mei dan Juni 2016, Marniati
rutin menerima transfusi darah tiga hingga empat kantong dalam tubuhnya. “Kalau
dulu, sebulan sekali. Sekarang sudah 15 hari sekali,” jelas Laina.
Ternyata, sampai di Rumah
Sakit Umum Zainoel Abidin, adiknya yang masih enam tahun juga didiagnosa
menderita penyakit yang sama seperti Marniati. Itu diketahui karena rentan
sekali demam dan mudah lelah. Namun, saat diperiksa kondisinya belum separah
sang kakak, yang harus memasukkan darah sekali transfusi sampai empat kantong. Itu
pun hanya bertahan 15 hari. “Kalau adiknya baru dua kali transfusi. Kedua di
sini, sekali transfusi dua kantong,” jelas Zainal.
Pasangan suami isteri
itu mengaku, tidak menyangka kedua anaknya mengidap penyakit thalasemia, karena
yang sulung tidak demikian. Apalagi, ia dan isterinya sejak kecil tidak pernah
mengalami penyakit aneh seperti yang diderita dua buah hatinya itu.
“Saya tidak tahu
turun dari siapa, karena saya dan isteri tidak pernah seperti ini. Kalau ada,
bisa kami cegah,” kata Zainal, setengah pasrah.
Zainal mengaku sedih
dengan kondisi kedua anaknya itu, terutama Marniati. Fisiknya berubah total dari
anak-anak yang tumbuh normal. Kini kulitnya menghitam, kepala membesar, kedua
tangan dan kakinya mengecil, sementara hidung mulai menipis.
Tak hanya itu, perilakunya
pun berubah dari periang jadi pendiam. “Dia mulai terkena penyakit ini pada
usia dua tahun, kemudian terus berkembang. Kami cuma tahu bawa ke dukun. Karena
awalnya kami pikir ini adalah penyakit dalam perut,” ungkap Zainal sedih.
Karena berasal dari keluarga
kurang mampu, Zainal mengaku berat menghadapi semua ini. Meski biaya transfusi
dan menginap telah ditanggung Badan Penjamin Kesehatan (BPJS), namun ia harus
mengeluarkan uang tiap 15 hari sekali untuk ke Banda Aceh. “Siapa yang tak
sedih. Tapi, kami mau buat apa. Walau pengobatan gratis, namun perlu ongkos
untuk pulang pergi dari Meulaboh ke Banda Aceh,” ujarnya.
Derita Marniati dan adiknya
merupakan potret dari ratusan penderita thalasemia di Aceh yang terdata saat
ini. Salah satunya, Aulia Wati (12) asal Kabupaten Aceh Utara. Meski Aulia Wati
cepat terdeteksi sejak masih balita, namun ia telah menjalani hampir seratus
kali transfusi darah.
Proses transfusi itu pun
tak berjalan mulus. Maklum, Aulia sering mengeluarkan darah dalam jumlah banyak
dari hidung dan mulut, usai menjalani penambahan darah ke tubuhnya. “Kasihan
anak saya, perutnya kian hari terus membuncit,” ucap Nurul Hayati (38), ibu kandung
Aulia Wati, dengan wajah pasrah.
Rupanya, thalasemia
tidak hanya mengidap sejak anak masih usia balita, tapi juga bisa muncul
tiba-tiba, selama ada faktor keturunan. Kenyataan inilah yang dialami Nurul
Hayati, ibu kandung Aulia Wati dan Ainal Mardhiah (25).
Nurul yang ditemui
media ini hari itu dalam keadaan terpasang selang infus di tangan kirinya. Dia juga
penderita penyakit yang sama seperti anaknya itu. Namun, Nurul mengaku baru
diserang penyakit mematikan ini sejak beberapa bulan lalu, sehingga ia masih
terlihat seperti manusia normal. “Saya mulai kena bulan haji 2015 lalu,”
cerita Nurul.
Begitu juga Ainal
Mardhiah, alumni mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh
ini, terbaring lemas di atas kasur karena proses transfusi darah. Media ini
memperhatikan wajah Ainal yang pucat pasi, berbeda dari wajah manusia normal
lainnya. “Dia baru kena sejak kuliah,” kata Cut Mardiana (45), Ibu kandung
Ainal Mardhiah.
Amatan media ini,
hampir tidak ada ruang kosong dari pasien penderita thalasemia di Sentral
Thalasemia, RSUZA. Hari itu, bersama Ketua Harian Persatuan Orang Tua Penderita
Thalasemia (POPTI), Nizwar, media ini mengamati sejumlah pasien dari berbagai
usia dengan kondisi berbeda. Ada yang parah seperti Marniati dan Aulia Wati,
ada juga yang baru diketahui menderita penyakit thalasemia.
Banyak masyarakat
Aceh saat ini tidak sadar dengan ancaman thalasemia yang kian menggurita. Apalagi,
penyakit bawaan ini tergolong fenomena baru di Aceh, namun telah menempati
peringkat pertama sebagai penyumbang thalasemia di Indonesia. Diduga,
berkembangnya penyakit ini akibat ketidaktahuan masyarakat Aceh terhadap bahayanya.
“Anak saya penderita thalasemia, karena saya
pembawa thalasemia,” jelas Nizwar. Sebab itu, dia menyarankan, satu-satunya
cara untuk menyetop laju penyebaran penyakit masyarakat pesisir ini adalah
dengan tidak mempertemukan sesama pembawa thalasemia menikah. Karena akan
melahirkan anak penderita thalasemia. “Dan, sampai saat ini belum dapat
disembuhkan,” ucap Nizwar, tegar.***
Utama-06
Mengenal
Si Pemangsa Darah Merah
Penyakit thalasemia sampai saat ini
belum ditemukan obatnya. Karena itu, perlu diketahui tanda-tandanya. Penderita
terlihat layu, kulit menghitam, kepala membesar, perut buncit dan hidung
menipis. Ini karena organ tubuh tak lagi berfungsi normal.
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah di mana umur
darah hanya bertahan dua sampai empat kali lebih pendek dibanding darah normal.
Penyebabnya, karena hemoglobin tidak terbentuk dengan sempurna, sehingga sel
darah merah menjadi mudah rusak dan penderita mengalami kekurangan darah.
Akibatnya penderita harus mendapat transfusi darah secara rutin seumur hidup.
Jika seorang bisa mendonorkan darah empat kantung dalam
setahun, setidaknya dibutuhkan 12 orang untuk mencukupi kebutuhan darah
penderita thalasemia selama setahun. Faktanya, setiap 250 mililiter darah yang
ditransfusi akan membawa sekitar 250 miligram zat besi. Sedangkan untuk
kebutuhan tubuh normal, hanya membutuhkan
satu sampai dua miligram per hari. Akibatnya, terjadi penumpukan zat besi dalam
tubuh dan bisa menyebabkan gagal jantung, pembengkakan hati dan limpa.
Di Indonesia, setiap tiga jam, ada seorang anak lahir yang
menderita thalasemia. Dalam satu tahun, diperkirakan akan ada 2.500 anak yang
menderita thalasemia. Angka ini akan terus bertambah setiap tahun.
Diperkirakan, tahun 2020, lebih dari 20 ribu anak Indonesia menderita
thalasemia, ini dua kali lipat dari jumlah kelahiran bayi di Indonesia setiap
harinya, atau hampir empat kali lipat
dari jumlah penderita thalasemia saat ini.
Secara ilmu kedokteran, thalasemia terbagi
dua. Thalasemia mayor dan thalasemia minor. Thalasemia mayor adalah orang yang
menderita penyakit thalasemia. Sedangkan, thalasemia minor hanya sebagai
pembawa gen/sifat thalasemia dengan gejala anemia ringan, sehingga tak perlu
pengobatan thalasemia atau transfusi
darah.
Secara fisik, pembawa thalasemia tidak dapat dibedakan
dengan manusia yang memiliki sel darah normal. Karena, mereka bisa bekerja, menikah
dan aktifitas lainnya, bahkan mampu mendonorkan darah.
Hingga saat ini, dunia kesehatan belum menemukan obat untuk menyembuhkan
penderita thalasemia, sehingga seumur hidupnya harus melakukan transfusi darah.
Namun, thalasemia bisa dicegah dengan cara
menghindari pernikahan sesama pembawa thalasemia.
Bagaimana cara mendeteksinya? Satu-satunya
jalan adalah dengan melakukan screening
darah.Tujuannya, untuk mengetahui apakah normal atau pembawa thalasemia.
Lantas, bagaimana mekanisme penurunan thalasemia?
Thalasemia diturunkan dari orang tua kepada
anaknya.Jika sesama thalasemia mayor menikah, maka akan melahirkan seratus
persen anak thalasemia mayor.Jika thalasemia mayor menikah dengan pembawa thalasemia,
maka akan melahirkan lima puluh persen anak thalasemia mayor. Jika sesama
pembawa thalasemia menikah, maka akan melahirkan 25 persen anak thalasemia mayor.
Tetapi, jika pembawa thalasemia menikah dengan pasangan normal, maka tidak akan
melahirkan anak thalasemia mayor. Begitu juga jika thalasemia mayor menikah dengan
pasangan normal.
Di Indonesia, enam sampai sepuluh dari seratus orang
adalah pembawa thalasemia. Jika penduduk Indonesia berjumlah dua ratus juta jiwa,
maka ada 20 juta orang pembawa thalasemia. Fenomena pembawa thalasemia di
Indonesia seperti gunung es. Masih sedikit yang sudah terdeteksi. Sisanya, masih
banyak yang belum diketahui.
Seorang bayi berusia kurang dari satu tahun sudah bisa
diketahui menderita thalassemia atau tidak. Karena darah bayi yang dibawanya
sejak lahir tersebut hanya bertahan tiga bulan. Setelah itu, darah
bayi tersebut akan digantikan oleh tubuhnya sendiri dengan darah dewasa. Pada
penderita, tubuh tidak bisa membuat darah dewasa, sehingga darah bayi itu kian
hari kian berkurang. Sehingga, bayi itu akan terlihat pucat, karena darahnya
mati sementara limpanya bekerja aktif, sehingga limpanya membengkak dan
perutnya ikut membesar.
Tidak hanya itu,
derita yang akan dialami oleh pengidap thalasemia ini adalah tidak normalnya
organ tubuh lain seperti hidung pesek dan kulit menghitam. Itu disebabkan oleh
rendahnya zat hemoglobin dalam darah penderita thalasemia. Karena jika tubuhnya
aktif membuat darah, maka sumsum tulang juga akan aktif. Namun, pada penderita,
penyakit ini paling banyak membuat gangguan pada sumsum tulang di daerah wajah.
Sehingga, tulang-tulang wajah menjadi tipis, dan berubah dari mancung menjadi
pesek dan sebagainya. Begitu juga dengan kulit menghitam karena tumpukan zat
besi yang berlebihan.
“Sehingga, thalasemia ini memang sama setiap
orang penderita. Namun, gejala yang dialami setiap anak berbeda. Jadi,
tergantung pada perawatan penyakit thalasemia itu sendiri. Jadi, jangan sampai
hemoglobinnya sangat rendah,” ujar dr.
Heru Noviat Hendra, Sp.A, satu-satunya dokter thalasemia di Aceh.
Menurut
dokter Heru, hingga saat ini, Indonesia belum mampu menyembuhkan thalasemia
secara total. Di luar negeri mungkin bisa dicoba-coba dengan beberapa modulasi
seperti transplantasi sumsum tulang. Tapi, ada yang berhasil dan ada yang
tidak. Namun, di Indonesia, belum ada hingga saat ini.***
dr.
Heru Noviat Hendra, Sp.A, Spesialis Thalasemia
Screening Darah Sebelum Punya
Anak
Karena belum ditemukan obat dalam dunia
ilmu pengetahuan dan kedokteran, maka cara untuk memutus mata rantai penyebaran
thalasemia adalah dengan tidak menikah sesama pembawa thalasemia atau tidak
memiliki anak jika berpotensi mengidap thalasemia. Kenapa demikian? Berikut wawancara
Irwan Saputra dari MODUS
ACEH dengan dokter
spesialis thalasemia, dr. Heru Noviat Hendra, di ruang ruang kerjanya, Sentral
Thalasemia Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin, Banda Aceh, Kamis dua pekan lalu.
Kenapa thalasemia semakin
bertambah?
Di
Aceh, banyak ditemukan kasus-kasus baru. Kasus baru ini bukan berarti semakin
banyak orang Aceh yang menderita thalasemia, tapi karena pengetahuan yang
kurang tentang thalasemia, terutama di daerah-daerah terpencil. Sehingga,
banyak pasien yang dikirimkan ke Banda Aceh untuk didiagnostik. Karena, kendala
di daerah belum mampu mendianostik thalasemia. Sehingga, sering kami temukan pasien-pasien
thalasemia yang satu tahun ke atas, mereka sudah menderita thalasemia yang cukup
lama. Karena, kalau di kampung-kampung, kebanyakan mereka mengobatinya ke
dukun-dukun. Karena nggak
sembuh-sembuh dan sudah parah baru dibawa ke dokter. Sehingga, sekarang ini capaian
pasien sudah tiga ratus orang.
Apa penyebab thalasemia itu
semakin meningkat?
Penyebabnya
karena usaha pencegahan itu belum dilakukan, sehingga muncul
thalasemia-thalasemia baru.
Bagaimana cara mencegahnya?
Upaya
pencegahan bisa dilakukan dua macam. Pencegahan sebelum nikah dan pencegahan
setelah nikah. Kalau yang belum menikah, semua pasangan di-screening darahnya, apakah mereka pembawa sifat (carrier) thalasemia atau tidak. Nah,
bagaimana kalau ternyata para calon pengantin ini ada carrier? Maka, mencegah agar tidak menikah sesama pasangan pembawa
sifat thalasemia. Jika itu sulit, karena sudah kadung cinta, maka ada
pencegahan kedua. Semua pasangan yang sudah menikah atau baru menikah diperiksa
potensi darah mereka. Begitu juga dengan pasangan yang mempunyai anak penderita
thalasemia, jika mereka ingin memiliki anak lagi, maka kehamilannya harus dalam
pengawasan. Artinya, begitu hamil, diperiksa apakah anaknya ini thalasemia atau
bukan.
Jika untuk pra nikah bagaimana
pemeriksaannya?
Pemeriksaan
itu bisa dilakukan pada usia kehamilan sepuluh minggu. Konsekuensinya, jika
ternyata calon anaknya penderita thalasemia. Maka, tindakannya adalah aborsi,
karena umur sepuluh bulan berdasarkan agama masih dibolehkan untuk digugurkan,
karena belum bernyawa.
Apakah tidak bertentangan dengan
aturan hukum?
Nah,
ini yang jadi masalah. Aturan tentang itu di Indonesia belum keluar, berbeda
dengan di Arab Saudi dan Iran, itu sudah ada. Sehingga, dengan belum adanya
undang-undang tersebut membuat kita dilema. Saat hendak melakukan aborsi kita
tidak ada dasar. Jadi, kita tidak bisa melakukannya sembarangan karena tidak
ada aturan hukum yang membolehkan. Jadi, susah kan?
Jika melihat grafiknya,
thalasemia telah lama merambah Aceh. Tapi,
kenapa baru beberapa tahun ini mencuat?
Karena
dalam perkembangan perawatan, rumah sakit berinovasi dengan mengkhususkan
thalasemia. Selama saya pindah ke Aceh, kami rawat pasien thalasemia sama
seperti di provinsi lain. Kalau dulu belum ada saya di sini. Ketika ada pasien thalasemia,
ya datang-datang saja. Maksud saya, tidak ada organisasi atau pengkhususan
tentang perawatan thalasemia. Kalau sekarang, sudah dikhususkan dokternya, perawatnya,
kemudian banyak komunitas-komunitas yang membantu untuk peduli. Karena terus
terang, tidak bisa rumah sakit berjalan sendirian. Karena banyak faktor lain
yang dibutuhkan thalasemia, yaitu dengan bantuan sana-sini. Sedikit lama-lama
menjadi bukit.
Apa saja dampak yang akan
diderita anak thalasemia?
Sebenarmya
penyandang thalasemia begitu lahir sama dengan anak normal lainnya. Yang
membedakan adalah umur darah merahnya. Kalau yang normal 120 hari, kalau pada
thalasemia umurnya kurang dari 21 hari. Dalam perjalanan hidupnya itu, selalu
darahnya kurang. Kalau darahnya kurang, seperti tumbuhan yang tidak disiram,
jadi tumbuhnya itu layu atau tidak subur. Anak dalam masa fase-fase
pertumbuhan, kalau kita tidak support
dengan pemberian darah yang selalu cukup, maka akan terganggu tumbuh kembangnya.
Sekarang bagaimana agar darah itu selalu cukup, maka ia harus selalu tambah
darah atau transfusi darah. Hb-nya (hemoglobin) minimal sampai delapan. Karena
kalau kurang dari delapan, maka ia akan mengalami gangguan pertumbuhan. Jadi,
kalau mau dia tidak mengalami gangguan pertumbuhan, Hb-nya delapan langsung
ditambah lagi darahnya. Kalau selalu begitu, insya Allah tumbuh kembangnya
sama. Tapi, kan untuk melaksanakan seperti itu tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Karena, penyandang thalasemia harus menjalani proses transfusi
seumur hidup. Dan, banyak penyandang thalasemia yang datang ke sini, Hb-nya
sangat rendah.
Kedua
bagaimana terjadinya perjalanan pasien thalasemia selama dia hidup akan selalu
mendapatkan transfusi darah. Efek dari transfusi tersebut membuat si anak
mendapatkan gangguan organ tubuh.
Kenapa berakibat pada gangguan
oragan tubuh?
Karena
setiap transfusi darah, zat besi dari darah itu menumpuk di dalam tubuhnya. Tumpukan
besi itulah yang membuat anak mengalami gangguan, karena besi itu bisa meracuni
organ-organ tubuh. Misalnya, jantung, hati, limpa, endokrin dan otak. Jadi, harus
ada pengawasan rutin pada penderita thalasemia. Hingga saat ini, baru di RSUZA
Banda Aceh yang bisa melaksanakan seperti itu. Rumah sakit di kabupaten belum mampu
menanganinya, sehingga menjadi kendala bagi penderita thalasemia. Karena harus
bolak-balik ke Banda Aceh.
Bagaimana proses penumpukan zat
besi itu?
Sebagai
ilustrasi, kebutuhan zat besi untuk manusia satu miligram per hari.
Sementara untuk seorang anak penderita
thalasemia, membutuhkan 250 cc darah. Dalam satu cc darah, itu mengandung satu
miligram zat besi. Berarti dalam satu hari, anak itu sudah mendapatkan 250 miligram
zat besi, itu kebutuhan anak untuk 250 hari. Padahal, bulan depan berikutnya,
dia dapat lagi darah. Zat besi yang belum habis dalam tubunya, terpaksa harus
ditambah lagi.
Bagaimana cara membuang zat besi
tersebut?
Penderita
thalasemia perlu disediakan obat untuk mengeluarkan zat besi. Kita memberikan
obat tersebut kepada pasien secara gratis. Kalau dia minum obat, maka zat besi
yang bersarang dalam badannya akan dibuang dan terus dibuang. Sehingga, tidak
menumpuk dalam tubuh. Namun, jadi permasalahan juga ketika obat yang diberikan tidak
diminum. Otomatis zat besinya dalam tubuhnya tidak berkurang.
Untuk satu anak pengidap thalasemia,
berapa kantong darah dibutuhkan per bulan?
Itu
tergantung, pertama pada saat dia datang berapa Hb-nya. Kedua, berapa berat
badan dia. Jadi, yang menjadi ukuran adalah kalau Hb-nya rendah, kebutuhan
kantong darahnya akan meningkat. Kalau berat badan meningkat, kantong darahnya
juga meningkat. Jadi, kita tidak bisa menentukan karena itu person by person (perorangan). Karena
thalasemia satu dengan yang lain beda. Bisa saja si fulan butuh dua sampai tiga
kantong per bulan, ada juga yang masih cukup satu kantong per bulan, karena
mereka tidak memiliki kondisi yang sama.***
Menanti Komitmen Abu Doto Putuskan Rantai
Thalasemia
Prevalensi
thalasemia penduduk Aceh tertinggi di Indonesia.Pencanangan dinilai masih
sebatas kata. Bayangkan, Pemerintah Aceh hingga saat ini, tak memiliki data
akurat terhadap penderita thalasemia yang menjadi tanggungjawabnya. Bukti
pemerintah tak serius urus kesehatan di Aceh.
Lebih
baik terlambat daripada tidak sama sekali. Kalimat bersayap tersebut pantas
disematkan pada Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah atau akrab disapa Abu Doto. Betapa
tidak, sebagai penguasa di provinsi paling ujung Sumatera ini, di pundak Abu
Doto bersama pembantu kerjanyalah, rakyat Aceh menggantung asa dan harapan agar
penderita thalasemia yang kian menggerogoti masa depan anak Aceh dapat
diputuskan mata rantainya.
Namun,
Abu Doto seakan baru sadar dari lamunan terhadap ancaman penyakit genetik di
daerah kekuasaannya ini, setelah sekian lama menjadi momok yang menakutkan dan
mematikan ini. Bahkan, Aceh tercatat sebagai penyumbang prevalensi thalasemia tertinggi
di Indonesia.
Bayangkan,
keprihatinan Abu Doto baru terungkap saat memperingati Hari Thalasemia se- Dunia,
8 Mei 2016 lalu di Anjong Mon Mata, Banda Aceh. Abu Doto mengaku prihatin terhadap
mewabahnya penyakit pemangsa darah merah ini. Yang jadi soal adalah di mana dan
apa kerja Dinas Kesehatan Aceh dalam memantau penyakit ini?
Begitupun,
seolah tanpa beban, saat itu, Abu Doto dengan santai mengajak seluruh masyarakat
Aceh untuk melakukan pencegahan terhadap penyakit thalasemia yang kini telah menyebar
di hampir 23 kabupaten/kota di Aceh. Menurutnya, saat ini, penderita thalasemia
di Aceh kian bertambah. Dari catatannya sejak 2013 lalu, ada 180 orang
penderita thalasemia. Sementara, pada 2014, bertambah menjadi 255 orang. “Maka,
jika tidak ditangani sejak dini, dari tahun ke tahun jumlah, penderita penyakit
ini dapat terus bertambah,” ujar Abu Doto dengan santai.
Ironisnya,
Abu Doto berharap, agar para ahli kesehatan di tanah air dapat menemukan cara mujarab untuk menangani
penyakit genetik ini. Namun, jika belum berhasil, maka langkah satu-satunya
adalah dengan upaya pencegahan agar tidak ada lagi anak-anak Aceh yang
dilahirkan sebagai penderita thalasemia. “Kebanyakan dari mereka yang
terkena penyakit ini berusia antara dua sampai lima tahun dengan latar belakang
keluarga berbeda-beda,” ungkap Abu Doto.
Menurut Abu Doto,
penyebaran thalasemia terjadi hampir seluruh Aceh. Sementara, penanganannya
sejauh ini, masih dilakukan secara medis, meski ada beberapa orang tua
penderita yang melakukan dengan cara tradisional. “Hingga saat ini, belum ada
formula terbaru tentang pola penanganan yang efektif terhadap thalasemia. Karena
itu, saya berharap para ahli kesehatan di tanah air dapat menemukan cara yang
lebih efektif untuk menangani thalasemia,” harap Abu Doto.
Sebagai sosok
berlatar belakang dokter, Abu Doto tentu tak asing dengan penyakit ini.
Begitupun, dia masih sebatas berharap agar orang tua penderita dapat
mengantisipati dengan lebih cermat. Hari itu, tak ada kata yang keluar dari
mulut Abu Doto untuk menekan dinas terkait, khususnya Dinas Kesehatan Aceh agar
benar-benar peduli dan peka dengan penyakit mematikan ini. Padahal, ini menjadi
penting, sebab Dinas Kesehatan Aceh memiliki tanggung jawab penuh terhadap
kondisi kesehatan rakyat Aceh.
Di Aceh, penyakit thalasemia termasuk
fenomena baru yang belum banyak diketahui pejabat daerah apalagi masyarakat,
khususnya di daerah pedesaan. Ini buntut dari kurangnya perhatian Pemerintah Aceh
melalui Dinas Kesehatan Aceh dalam mensosialisasikan bahaya laten penyakit
tersebut, terutama ke daerah-daerah terpencil.
Simak saja pengakuan mantan Bupati
Kabupaten Aceh Barat Daya, Akmal Ibrahim. Pada media ini, dia mengaku tidak
mengetahui penyakit yang memakan sel darah merah (hemoglobin) ini, termasuk seberapa
bahayanya. “Saya tidak tahu penyakit apa itu. Baru saya dengar,” kata Akmal,
Selasa pekan lalu.
Bisa jadi, Akmal Ibrahim berpura-pura
tidak tahu. Sebaliknya, jika memang benar-benar tidak tahu, ini bisa dijadikan parameter
betapa rendah dan minusnya sosialisasi yang dilakukan Pemerintah Aceh melalui
Dinas Kesehatan Aceh ke daerah, khususnya kawasan terpencil. Sebab, berdasarkan
data yang dihimpun media ini, penderita paling banyak berasal dari daerah yang
tidak mengetahui apa itu penyakit thalasemia. Karena itu, wajar bila banyak
orang tua di desa atau kawasan terpencil yang menganggap penyakit ini merupakan
pengaruh jin atau setan, sehingga mereka mengobatinya pada dukun.
Ironisnya, jangankan melakukan
sosialisasi, Dinas Kesehatan Aceh bahkan tidak memiliki data akurat tentang
penderita thalasemia. Pengakuan tak elok dan tak wajar ini disampaikan Kepala Dinas
Kesehatan Aceh, dr. Yani. Dia mengaku tidak memiliki data akurat terhadap
penderita thalasemia di Aceh. “Coba hubungi Ibu Efi, Kepala Yankes. Di sana
datanya lengkap,” saran Yani melalui sambungan telepon seluler. Tak menunggu
lama, media ini kemudian menghubungi Kepala Yankes Efi melalui pesan. Jawaban
yang didapat sungguh memalukan. “Maaf, di RSUZA pusatnya. Kami tidak punya data,”
kata Elfi melalui pesan singkat (SMS) yang ditembuskan pada Kepala Dinas
Kesehatan. Gawat!
Ketua Harian Persatuan Orang Tua
Penderita Thalasemia (POPTI), M. Niswar, mengaku, saat ini Aceh tercatat sebagai
daerah tertinggi prevalence carrier (pembawa sifat) thalasemia yaitu
13,5 persen. Dan, ada 280 penderita thalasemia di Aceh dari sekitar enam ribu
penderita thalasemia di Indonesia, yang setiap bulan harus transfusi darah di
rumah sakit.
Menurutnya, jumlah ini akan terus
bertambah secara signifikan jika Pemerintah Aceh tidak segera memutus mata
rantai penyakit yang akan diderita seumur hidup itu. “Karena, jika pembawa
thalasemia menikah sesama pembawa thalasemia, maka anaknya akan menjadi
penderita thalasemia. Ini harus dicegah,” saran Nizwar.
Menurut cacatan POPTI, setiap tahun
penderita thalasemia di Aceh menunjukkan grafik peningkatan yang
mengkhawatirkan. Sejak 2012 misalnya, terdapat 142 penderita thalasemia di
Aceh, kemudian tahun 2013 mengalami peningkatan menjadi 185 orang penderita. Tahun
2014, terjadi lagi peningkatan 223 orang dan pada 2015 terdapat 265 orang. Hingga
Mei 2016, ada sekitar 280 penderita thalasemia di Aceh yang harus ditransfusi
darahnya seumur hidup.
Itu sebabnya, menurut pendiri
komunitas Darah Untuk Aceh, Nurjanah Husein, pemerintah harus menemukan solusi
untuk mencegah laju peningkatan thalasemia di Aceh. Caranya? Putuskan mata
rantai thalasemia dan tidak menikah dengan sesama pembawa thalasemia. “Coba
lihat Marniati, anak itu akan putus sekolah dua hari lagi. Karena malu dengan
fisiknya, dibuli oleh teman-temannya. Dulu dia tidak begitu dan lahir dengan normal
dan cantik,” jelas Nurjanah Husein.
Karena itulah, Nurjanah berharap, Pemerintah
Aceh di bawah kepemimpinan Zaini Abdullah yang juga berlatar belakang seorang
dokter, harus memperhatikan fenomena ini secara serius. Jika tidak, semua orang
Aceh akan menderita thalasemia dan itu tidak akan sembuh seumur hidup. “Ini
harus menjadi perhatian Pemerintah Aceh. Kita akan melihatkan komitmen Gubernur
Aceh untuk menyetop laju penyakit thalasemia di Aceh,” tegas Nurjanah.
Selama ini, Pemerintah Aceh memang
telah membantu penderita thalasemia dengan menyediakan dana 11 sampai 12 juta
per anak setiap bulannya, terutama bagi yang tidak komplikasi atau tak perlu
operasi dan tidak demam melalui Jamkesmas maupun JKRA (jaminan kesehatan rakyat
Aceh). Nah, kalaupun transfusi darah serta obat-obatan terpenuhi, tapi tidak akan
menghentikan penyebaran penyakit thalasemia. Sebaliknya, perlu dilakukan proses
pencegahan. Apalagi, hingga kini, dokter thalasemia di Aceh hanya seorang,
yaitu dr. Heru Noviat Hendra, Sp.A.
“Sementara, di daerah-daerah,
thalasemia belum bisa dilayani karena tidak ada dokter. Ini perlu kita desak
pemerintah,” Saran Nurjanah yang juga salah satu peraih Madani Award 2016 dari
Pemerintah Kota Banda Aceh. Dan, bersama POPTI, dia terus mencanangkan bahaya
thalasemia yang menggerogoti anak Aceh.
Menurutnya, cara yang paling penting adalah
mengingatkan masyarakat bahwa gen thalasemia dapat menular melalui pernikahan
antar sesama pembawa thalasemia. “Karena itu, perlu dihindari. Jika tidak, akan
lahir generasi Aceh penderita thalasemi. Ini perlu disosialisasikan sampai ke
daerah-daerah,” ucap perempuan asal Aceh Jaya ini.
Ada baiknya, sebut Nurjanah, setiap
pasangan yang akan menikah memeriksa kesehatan masing-masing, apakah salah satu
dari pasangan tadi, penderita thalasemia atau tidak. “Jika ada, saya sarankan
sebaiknya tidak dilakukan. Ini bukan berarti saya menghambat pernikahan. Jangan
salah tafsir, tapi untuk menyelematkan generasi Aceh di masa mendatang. Sebab,
hingga saat ini, belum ditemukan adanya obat untuk menyembuhkan penyakit ini. ***
Sungguh menyedihkan nasib mereka para anak thalasemia, hidup tergantung transfusi darah dari orang lain. Terima kasih infonya cukup jelas.
ReplyDeleteGrafik untuk presentase penderita thalasemia perkabupaten diaceh ada gak?
ReplyDelete