Saturday, June 11, 2016

Aceh dan Kisah Penderita Thalasemia

Aceh dan Kisah Penderita Thalasemia
           

Provinsi Aceh, tercatat sebagai daerah tertinggi penyumbang prevalence carrier (pembawa sifat) thalasemia di Indonesia, yaitu 13,5 persen. Sementara itu, ada sekitar tiga ratus anak Aceh yang tercatat penderita thalasemia yang saban waktu harus melakukan transfusi darah agar dapat menyambung hidup. 
Secara nasional, enam sampai sepuluh dari seratus orang di Indonesia adalah pembawa thalasemia. Jika penduduk Indonesia saat ini berjumlah dua ratus juta jiwa, maka ada dua puluh juta orang pembawa thalasemia. Dan, Aceh adalah penyumbang tertinggi.
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang hanya bertahan antara dua sampai empat kali lebih pendek dibanding darah normal 120 hari. Penyebabnya, karena hemoglobin, yaitu protein yang mengandung zat besi dalam sel darah merah yang berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh, tidak terbentuk dengan sempurna. Akibatnya, sel darah merah mudah rusak dan penderita mengalami kekurangan darah saban hari.
Alhasil, untuk mencukupi darah, penderita thalessamia harus memasok darah secara rutin ke dalam tubuhnya seumur hidup. Jika pendonor aktif bisa mendonorkan darahnya empat kantong dalam setahun, maka dibutuhkan sedikitnya 12 orang untuk mencukupi kebutuhan darah bagi seorang penderita thalasemia.
Masalah yang mendera tak hanya pada tataran dari mana pasokan darah akan diambil. Tapi juga setiap kantong darah yang berisi 250 mililiter itu harus mengandung 250 miligram zat besi. Sedangkan untuk kebutuhan zat besi dalam tubuh manusia normal hanya membutuhkan satu sampai dua miligram per hari. Akibatnya, terjadi penumpukan zat besi dalam tubuh, yang mengakibatkan penderita gagal jantung, pembengkakan hati, limpa, rusaknya organ tubuh, bahkan sampai pada tahap kematian.
Di Indonesia, setiap tiga jam sekali lahir seorang bayi penderita thalasemia. Dalam setahun, diperkirakan akan ada 2.500 anak yang menderita thalasemia. Angka ini akan terus bertambah setiap tahun. Bahkan, diperkirakan pada tahun 2020 mendatang, lebih dari 20 ribu anak Indonesia mengidap thalasemia. Jika demikian, ini berarti terdapat dua kali lipat dari jumlah kelahiran bayi di Indonesia setiap harinya, atau hampir empat kali lipat dari jumlah penderita thalasemia saat ini.
Sayangnya, hingga saat ini, thalasemia belum ditemukan obatnya. Sehingga, setiap balita yang terkena thalesamia, harus melakukan transfusi darah sepanjang hidupnya dalam jumlah yang tak terbatas.
Dalam ilmu kedokteran, thalasemia dibedakan pada dua jenis,yaitu thalasemia bawaan (thalasemia minor) dan penderita thalasemia (thalasemia mayor). Maka, satu-satunya cara untuk memutuskan mata rantai thalasemia adalah dengan tidak mempertemukan sesama thalasemia minor menikah. Karena, akan melahirkan generasi penderita thalasemia.
Ironisnya, di balik berbagai kisah dan cerita miris tadi, Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan dr. Zaini Abdullah hingga saat ini, masih terkesan abai dengan persoalan tersebut. Ini terlihat dari tanda-tanda atau tidak adanya upaya pencegahan yang maksimal. Jikapun ada, masih mentok pada sebatas kata. Bahkan, para pejabat penanggungjawab mengaku tidak memiliki data yang valid. Sementara, kian hari ratusan anak Aceh bertambah kehilangan hak hidupnya untuk meraih cita, karena digerogoti penyakit yang belum ditemukan obatnya ini.
Harusnya, sebagai seorang berlatar belakang dokter, Gubernur Aceh Abu Doto (panggilan akrab Zaini Abdullah), lebih peka dan peduli dengan nasib anak Aceh penderita thalasemia. Sebab, mereka juga punya hak untuk menjalani kehidupan di Aceh. Nah, bagaimana potret thalasemia di Aceh, wartawan MODUS Aceh, Irwan Saputra, menulisnya untuk Laporan Utama pekan ini.***


Penderita Tak Paham Pemerintah Aceh Kurang Peduli

 Maraknya pengidap thalasemia di Aceh adalah buntut dari ketidakpedulian pemerintah dalam mengantisipasi penyakit yang belum ditemukan obatnya ini. Perlu komitmen ekstra serius untuk menghentikan laju penyakit tersebut.
           
Marniati (13), bergegas mengambil nasi kotak yang disediakan petugas Sentral Thalasemia, Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh, Rabu dua pekan lalu.
Perlahan-lahan, dia membuka bungkusan nasi kotak berisi sayur, daging ayam dan sambal lado. Hari itu, jam sudah menunjukkan pukul 12.18 WIB. Gadis belia yang masih duduk di bangku kelas VI SD Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat itu tak bicara sepatah kata pun. Matanya sayu, mengamati setiap orang yang berada dalam ruangan itu.
“Kakak cepat makan ya, Nak. Biar kita bisa pulang,” ujar Laina, Ibu kandung Marniati. Namun, gadis ini tetap diam. Ada kesan pasrah atas apa yang sedang dideritanya.
“Kakak, semangat kali makan kalau ada sambal lado ya,” kata Laina membujuk Marniati. Bujukan sang ibu hanya dibalas dengan senyum oleh Marniati, salah seorang penderita thalasemia. “Dia suka kali kalau makan pakai sambal lado,” jelas Laina pada media ini, sambil melirik senyum pada putrinya itu.
Begitupun, Marniati tetap diam. Ia menatap ayah dan adiknya yang duduk di atas kasur pasien, sementara Laina terlihat sibuk berkemas dan memasukkan baju dalam tas ransel. “Dia (Marniati) sejak berusia dua tahun terkena thalasemia, cuma kami dulu tidak tahu,” ujar Zainal, ayah Marniati dengan nada sedih.
Zainal mengaku, telah berupaya maksimal untuk menyembuhkan puterinya itu. Tapi, karena ketidaktahuannya, penyakit Marniati terus berkembang. Awalnya, dia mengira penyakit Marniati kemasukan jin atau setan, sehingga ia memilih untuk mengobati ke dukun yang ada di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.
Hasilnya, karena tak sembuh dan ada perubahan, dia memutuskan untuk membawa anaknya itu ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tjut Nyak Dhien di Kota Meulaboh. Nah, setelah diperiksa, barulah diketahui bahwa anaknya ini telah bertahun-tahun menderita penyakit thalasemia. “Kami baru tahu awal Maret 2016 dan langsung melakukan transfusi darah untuk pertama kalinya di Rumah Sakit Tjut Nyak Dhien,” sambung Laina.
Menurut Laina, di RSUD Tjut Nyak Dhien, anaknya hanya sekali melakukan transfusi darah, kemudian dirujuk ke RSUZA, Banda Aceh. Maka, sejak bulan April, Mei dan Juni 2016, Marniati rutin menerima transfusi darah tiga hingga empat kantong dalam tubuhnya. “Kalau dulu, sebulan sekali. Sekarang sudah 15 hari sekali,” jelas Laina.
Ternyata, sampai di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin, adiknya yang masih enam tahun juga didiagnosa menderita penyakit yang sama seperti Marniati. Itu diketahui karena rentan sekali demam dan mudah lelah. Namun, saat diperiksa kondisinya belum separah sang kakak, yang harus memasukkan darah sekali transfusi sampai empat kantong. Itu pun hanya bertahan 15 hari. “Kalau adiknya baru dua kali transfusi. Kedua di sini, sekali transfusi dua kantong,” jelas Zainal.
Pasangan suami isteri itu mengaku, tidak menyangka kedua anaknya mengidap penyakit thalasemia, karena yang sulung tidak demikian. Apalagi, ia dan isterinya sejak kecil tidak pernah mengalami penyakit aneh seperti yang diderita dua buah hatinya itu.
“Saya tidak tahu turun dari siapa, karena saya dan isteri tidak pernah seperti ini. Kalau ada, bisa kami cegah,” kata Zainal, setengah pasrah.
Zainal mengaku sedih dengan kondisi kedua anaknya itu, terutama Marniati. Fisiknya berubah total dari anak-anak yang tumbuh normal. Kini kulitnya menghitam, kepala membesar, kedua tangan dan kakinya mengecil, sementara hidung mulai menipis.
Tak hanya itu, perilakunya pun berubah dari periang jadi pendiam. “Dia mulai terkena penyakit ini pada usia dua tahun, kemudian terus berkembang. Kami cuma tahu bawa ke dukun. Karena awalnya kami pikir ini adalah penyakit dalam perut,” ungkap Zainal sedih.
Karena berasal dari keluarga kurang mampu, Zainal mengaku berat menghadapi semua ini. Meski biaya transfusi dan menginap telah ditanggung Badan Penjamin Kesehatan (BPJS), namun ia harus mengeluarkan uang tiap 15 hari sekali untuk ke Banda Aceh. “Siapa yang tak sedih. Tapi, kami mau buat apa. Walau pengobatan gratis, namun perlu ongkos untuk pulang pergi dari Meulaboh ke Banda Aceh,” ujarnya.
Derita Marniati dan adiknya merupakan potret dari ratusan penderita thalasemia di Aceh yang terdata saat ini. Salah satunya, Aulia Wati (12) asal Kabupaten Aceh Utara. Meski Aulia Wati cepat terdeteksi sejak masih balita, namun ia telah menjalani hampir seratus kali transfusi darah.
Proses transfusi itu pun tak berjalan mulus. Maklum, Aulia sering mengeluarkan darah dalam jumlah banyak dari hidung dan mulut, usai menjalani penambahan darah ke tubuhnya. “Kasihan anak saya, perutnya kian hari terus membuncit,” ucap Nurul Hayati (38), ibu kandung Aulia Wati, dengan wajah pasrah.
Rupanya, thalasemia tidak hanya mengidap sejak anak masih usia balita, tapi juga bisa muncul tiba-tiba, selama ada faktor keturunan. Kenyataan inilah yang dialami Nurul Hayati, ibu kandung Aulia Wati dan Ainal Mardhiah (25).
Nurul yang ditemui media ini hari itu dalam keadaan terpasang selang infus di tangan kirinya. Dia juga penderita penyakit yang sama seperti anaknya itu. Namun, Nurul mengaku baru diserang penyakit mematikan ini sejak beberapa bulan lalu, sehingga ia masih terlihat seperti manusia normal. “Saya mulai kena bulan haji 2015 lalu,” cerita Nurul.
Begitu juga Ainal Mardhiah, alumni mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh ini, terbaring lemas di atas kasur karena proses transfusi darah. Media ini memperhatikan wajah Ainal yang pucat pasi, berbeda dari wajah manusia normal lainnya. “Dia baru kena sejak kuliah,” kata Cut Mardiana (45), Ibu kandung Ainal Mardhiah.
Amatan media ini, hampir tidak ada ruang kosong dari pasien penderita thalasemia di Sentral Thalasemia, RSUZA. Hari itu, bersama Ketua Harian Persatuan Orang Tua Penderita Thalasemia (POPTI), Nizwar, media ini mengamati sejumlah pasien dari berbagai usia dengan kondisi berbeda. Ada yang parah seperti Marniati dan Aulia Wati, ada juga yang baru diketahui menderita penyakit thalasemia.
Banyak masyarakat Aceh saat ini tidak sadar dengan ancaman thalasemia yang kian menggurita. Apalagi, penyakit bawaan ini tergolong fenomena baru di Aceh, namun telah menempati peringkat pertama sebagai penyumbang thalasemia di Indonesia. Diduga, berkembangnya penyakit ini akibat ketidaktahuan masyarakat Aceh terhadap bahayanya.
 “Anak saya penderita thalasemia, karena saya pembawa thalasemia,” jelas Nizwar. Sebab itu, dia menyarankan, satu-satunya cara untuk menyetop laju penyebaran penyakit masyarakat pesisir ini adalah dengan tidak mempertemukan sesama pembawa thalasemia menikah. Karena akan melahirkan anak penderita thalasemia. “Dan, sampai saat ini belum dapat disembuhkan,” ucap Nizwar, tegar.***
 Utama-06

Mengenal Si Pemangsa Darah Merah


Penyakit thalasemia sampai saat ini belum ditemukan obatnya. Karena itu, perlu diketahui tanda-tandanya. Penderita terlihat layu, kulit menghitam, kepala membesar, perut buncit dan hidung menipis. Ini karena organ tubuh tak lagi berfungsi normal.

Thalasemia adalah penyakit kelainan darah di mana umur darah hanya bertahan dua sampai empat kali lebih pendek dibanding darah normal. Penyebabnya, karena hemoglobin tidak terbentuk dengan sempurna, sehingga sel darah merah menjadi mudah rusak dan penderita mengalami kekurangan darah. Akibatnya penderita harus mendapat transfusi darah secara rutin seumur hidup.
Jika seorang bisa mendonorkan darah empat kantung dalam setahun, setidaknya dibutuhkan 12 orang untuk mencukupi kebutuhan darah penderita thalasemia selama setahun. Faktanya, setiap 250 mililiter darah yang ditransfusi akan membawa sekitar 250 miligram zat besi. Sedangkan untuk kebutuhan tubuh normal,  hanya membutuhkan satu sampai dua miligram per hari. Akibatnya, terjadi penumpukan zat besi dalam tubuh dan bisa menyebabkan gagal jantung, pembengkakan hati dan limpa. 
Di Indonesia, setiap tiga jam, ada seorang anak lahir yang menderita thalasemia. Dalam satu tahun, diperkirakan akan ada 2.500 anak yang menderita thalasemia. Angka ini akan terus bertambah setiap tahun. Diperkirakan, tahun 2020, lebih dari 20 ribu anak Indonesia menderita thalasemia, ini dua kali lipat dari jumlah kelahiran bayi di Indonesia setiap harinya, atau hampir empat  kali lipat dari jumlah penderita thalasemia saat ini.
Secara ilmu kedokteran, thalasemia terbagi dua. Thalasemia mayor dan thalasemia minor. Thalasemia mayor adalah orang yang menderita penyakit thalasemia. Sedangkan, thalasemia minor hanya sebagai pembawa gen/sifat thalasemia dengan gejala anemia ringan, sehingga tak perlu pengobatan thalasemia atau transfusi darah.
Secara fisik, pembawa thalasemia tidak dapat dibedakan dengan manusia yang memiliki sel darah normal. Karena, mereka bisa bekerja, menikah dan aktifitas lainnya, bahkan mampu mendonorkan darah.
Hingga saat ini, dunia kesehatan belum menemukan obat untuk menyembuhkan penderita thalasemia, sehingga seumur hidupnya harus melakukan transfusi darah. Namun, thalasemia bisa dicegah dengan cara menghindari pernikahan sesama pembawa thalasemia.
 Bagaimana cara mendeteksinya? Satu-satunya jalan adalah dengan melakukan screening darah.Tujuannya, untuk mengetahui apakah normal atau pembawa thalasemia. Lantas, bagaimana mekanisme penurunan thalasemia?
Thalasemia diturunkan dari orang tua kepada anaknya.Jika sesama thalasemia mayor menikah, maka akan melahirkan seratus persen anak thalasemia mayor.Jika thalasemia mayor menikah dengan pembawa thalasemia, maka akan melahirkan lima puluh persen anak thalasemia mayor. Jika sesama pembawa thalasemia menikah, maka akan melahirkan 25 persen anak thalasemia mayor. Tetapi, jika pembawa thalasemia menikah dengan pasangan normal, maka tidak akan melahirkan anak thalasemia mayor. Begitu juga jika thalasemia mayor menikah dengan pasangan normal.
Di Indonesia, enam sampai sepuluh dari seratus orang adalah pembawa thalasemia. Jika penduduk Indonesia berjumlah dua ratus juta jiwa, maka ada 20 juta orang pembawa thalasemia. Fenomena pembawa thalasemia di Indonesia seperti gunung es. Masih sedikit yang sudah terdeteksi. Sisanya, masih banyak yang belum diketahui.
Seorang bayi berusia kurang dari satu tahun sudah bisa diketahui menderita thalassemia atau tidak. Karena darah bayi yang dibawanya sejak lahir tersebut hanya bertahan tiga bulan. Setelah itu, darah bayi tersebut akan digantikan oleh tubuhnya sendiri dengan darah dewasa. Pada penderita, tubuh tidak bisa membuat darah dewasa, sehingga darah bayi itu kian hari kian berkurang. Sehingga, bayi itu akan terlihat pucat, karena darahnya mati sementara limpanya bekerja aktif, sehingga limpanya membengkak dan perutnya ikut membesar.
Tidak hanya itu, derita yang akan dialami oleh pengidap thalasemia ini adalah tidak normalnya organ tubuh lain seperti hidung pesek dan kulit menghitam. Itu disebabkan oleh rendahnya zat hemoglobin dalam darah penderita thalasemia. Karena jika tubuhnya aktif membuat darah, maka sumsum tulang juga akan aktif. Namun, pada penderita, penyakit ini paling banyak membuat gangguan pada sumsum tulang di daerah wajah. Sehingga, tulang-tulang wajah menjadi tipis, dan berubah dari mancung menjadi pesek dan sebagainya. Begitu juga dengan kulit menghitam karena tumpukan zat besi yang berlebihan.
 “Sehingga, thalasemia ini memang sama setiap orang penderita. Namun, gejala yang dialami setiap anak berbeda. Jadi, tergantung pada perawatan penyakit thalasemia itu sendiri. Jadi, jangan sampai hemoglobinnya sangat  rendah,” ujar dr. Heru Noviat Hendra, Sp.A, satu-satunya dokter thalasemia di Aceh.
Menurut dokter Heru, hingga saat ini, Indonesia belum mampu menyembuhkan thalasemia secara total. Di luar negeri mungkin bisa dicoba-coba dengan beberapa modulasi seperti transplantasi sumsum tulang. Tapi, ada yang berhasil dan ada yang tidak. Namun, di Indonesia, belum ada hingga saat ini.***

dr. Heru Noviat Hendra, Sp.A, Spesialis Thalasemia

Screening Darah Sebelum Punya Anak


            Karena belum ditemukan obat dalam dunia ilmu pengetahuan dan kedokteran, maka cara untuk memutus mata rantai penyebaran thalasemia adalah dengan tidak menikah sesama pembawa thalasemia atau tidak memiliki anak jika berpotensi mengidap thalasemia. Kenapa demikian? Berikut wawancara Irwan Saputra dari MODUS ACEH dengan dokter spesialis thalasemia, dr. Heru Noviat Hendra, di ruang ruang kerjanya, Sentral Thalasemia Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin, Banda Aceh, Kamis dua pekan lalu.

Kenapa thalasemia semakin bertambah?
Di Aceh, banyak ditemukan kasus-kasus baru. Kasus baru ini bukan berarti semakin banyak orang Aceh yang menderita thalasemia, tapi karena pengetahuan yang kurang tentang thalasemia, terutama di daerah-daerah terpencil. Sehingga, banyak pasien yang dikirimkan ke Banda Aceh untuk didiagnostik. Karena, kendala di daerah belum mampu mendianostik thalasemia. Sehingga, sering kami temukan pasien-pasien thalasemia yang satu tahun ke atas, mereka sudah menderita thalasemia yang cukup lama. Karena, kalau di kampung-kampung, kebanyakan mereka mengobatinya ke dukun-dukun. Karena nggak sembuh-sembuh dan sudah parah baru dibawa ke dokter. Sehingga, sekarang ini capaian pasien sudah tiga ratus orang.
Apa penyebab thalasemia itu semakin meningkat?
Penyebabnya karena usaha pencegahan itu belum dilakukan, sehingga muncul thalasemia-thalasemia baru.
Bagaimana cara mencegahnya?
Upaya pencegahan bisa dilakukan dua macam. Pencegahan sebelum nikah dan pencegahan setelah nikah. Kalau yang belum menikah, semua pasangan di-screening darahnya, apakah mereka pembawa sifat (carrier) thalasemia atau tidak. Nah, bagaimana kalau ternyata para calon pengantin ini ada carrier? Maka, mencegah agar tidak menikah sesama pasangan pembawa sifat thalasemia. Jika itu sulit, karena sudah kadung cinta, maka ada pencegahan kedua. Semua pasangan yang sudah menikah atau baru menikah diperiksa potensi darah mereka. Begitu juga dengan pasangan yang mempunyai anak penderita thalasemia, jika mereka ingin memiliki anak lagi, maka kehamilannya harus dalam pengawasan. Artinya, begitu hamil, diperiksa apakah anaknya ini thalasemia atau bukan.
Jika untuk pra nikah bagaimana pemeriksaannya?
Pemeriksaan itu bisa dilakukan pada usia kehamilan sepuluh minggu. Konsekuensinya, jika ternyata calon anaknya penderita thalasemia. Maka, tindakannya adalah aborsi, karena umur sepuluh bulan berdasarkan agama masih dibolehkan untuk digugurkan, karena belum bernyawa.
Apakah tidak bertentangan dengan aturan hukum?
Nah, ini yang jadi masalah. Aturan tentang itu di Indonesia belum keluar, berbeda dengan di Arab Saudi dan Iran, itu sudah ada. Sehingga, dengan belum adanya undang-undang tersebut membuat kita dilema. Saat hendak melakukan aborsi kita tidak ada dasar. Jadi, kita tidak bisa melakukannya sembarangan karena tidak ada aturan hukum yang membolehkan. Jadi, susah kan?
Jika melihat grafiknya, thalasemia telah lama merambah Aceh. Tapi,  kenapa baru beberapa tahun ini mencuat?
Karena dalam perkembangan perawatan, rumah sakit berinovasi dengan mengkhususkan thalasemia. Selama saya pindah ke Aceh, kami rawat pasien thalasemia sama seperti di provinsi lain. Kalau dulu belum ada saya di sini. Ketika ada pasien thalasemia, ya datang-datang saja. Maksud saya, tidak ada organisasi atau pengkhususan tentang perawatan thalasemia. Kalau sekarang, sudah dikhususkan dokternya, perawatnya, kemudian banyak komunitas-komunitas yang membantu untuk peduli. Karena terus terang, tidak bisa rumah sakit berjalan sendirian. Karena banyak faktor lain yang dibutuhkan thalasemia, yaitu dengan bantuan sana-sini. Sedikit lama-lama menjadi bukit.
Apa saja dampak yang akan diderita anak thalasemia?
Sebenarmya penyandang thalasemia begitu lahir sama dengan anak normal lainnya. Yang membedakan adalah umur darah merahnya. Kalau yang normal 120 hari, kalau pada thalasemia umurnya kurang dari 21 hari. Dalam perjalanan hidupnya itu, selalu darahnya kurang. Kalau darahnya kurang, seperti tumbuhan yang tidak disiram, jadi tumbuhnya itu layu atau tidak subur. Anak dalam masa fase-fase pertumbuhan, kalau kita tidak support dengan pemberian darah yang selalu cukup, maka akan terganggu tumbuh kembangnya. Sekarang bagaimana agar darah itu selalu cukup, maka ia harus selalu tambah darah atau transfusi darah. Hb-nya (hemoglobin) minimal sampai delapan. Karena kalau kurang dari delapan, maka ia akan mengalami gangguan pertumbuhan. Jadi, kalau mau dia tidak mengalami gangguan pertumbuhan, Hb-nya delapan langsung ditambah lagi darahnya. Kalau selalu begitu, insya Allah tumbuh kembangnya sama. Tapi, kan untuk melaksanakan seperti itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena, penyandang thalasemia harus menjalani proses transfusi seumur hidup. Dan, banyak penyandang thalasemia yang datang ke sini, Hb-nya sangat rendah.
Kedua bagaimana terjadinya perjalanan pasien thalasemia selama dia hidup akan selalu mendapatkan transfusi darah. Efek dari transfusi tersebut membuat si anak mendapatkan gangguan organ tubuh.
Kenapa berakibat pada gangguan oragan tubuh?
Karena setiap transfusi darah, zat besi dari darah itu menumpuk di dalam tubuhnya. Tumpukan besi itulah yang membuat anak mengalami gangguan, karena besi itu bisa meracuni organ-organ tubuh. Misalnya, jantung, hati, limpa, endokrin dan otak. Jadi, harus ada pengawasan rutin pada penderita thalasemia. Hingga saat ini, baru di RSUZA Banda Aceh yang bisa melaksanakan seperti itu. Rumah sakit di kabupaten belum mampu menanganinya, sehingga menjadi kendala bagi penderita thalasemia. Karena harus bolak-balik ke Banda Aceh.
Bagaimana proses penumpukan zat besi itu?
Sebagai ilustrasi, kebutuhan zat besi untuk manusia satu miligram per hari. Sementara  untuk seorang anak penderita thalasemia, membutuhkan 250 cc darah. Dalam satu cc darah, itu mengandung satu miligram zat besi. Berarti dalam satu hari, anak itu sudah mendapatkan 250 miligram zat besi, itu kebutuhan anak untuk 250 hari. Padahal, bulan depan berikutnya, dia dapat lagi darah. Zat besi yang belum habis dalam tubunya, terpaksa harus ditambah lagi.
Bagaimana cara membuang zat besi tersebut?
Penderita thalasemia perlu disediakan obat untuk mengeluarkan zat besi. Kita memberikan obat tersebut kepada pasien secara gratis. Kalau dia minum obat, maka zat besi yang bersarang dalam badannya akan dibuang dan terus dibuang. Sehingga, tidak menumpuk dalam tubuh. Namun, jadi permasalahan juga ketika obat yang diberikan tidak diminum. Otomatis zat besinya dalam tubuhnya tidak berkurang.
Untuk satu anak pengidap thalasemia, berapa kantong darah dibutuhkan per bulan?
Itu tergantung, pertama pada saat dia datang berapa Hb-nya. Kedua, berapa berat badan dia. Jadi, yang menjadi ukuran adalah kalau Hb-nya rendah, kebutuhan kantong darahnya akan meningkat. Kalau berat badan meningkat, kantong darahnya juga meningkat. Jadi, kita tidak bisa menentukan karena itu person by person (perorangan). Karena thalasemia satu dengan yang lain beda. Bisa saja si fulan butuh dua sampai tiga kantong per bulan, ada juga yang masih cukup satu kantong per bulan, karena mereka tidak memiliki kondisi yang sama.***

Menanti Komitmen Abu Doto Putuskan Rantai Thalasemia

Prevalensi thalasemia penduduk Aceh tertinggi di Indonesia.Pencanangan dinilai masih sebatas kata. Bayangkan, Pemerintah Aceh hingga saat ini, tak memiliki data akurat terhadap penderita thalasemia yang menjadi tanggungjawabnya. Bukti pemerintah tak serius urus kesehatan di Aceh.

            Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Kalimat bersayap tersebut pantas disematkan pada Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah atau akrab disapa Abu Doto. Betapa tidak, sebagai penguasa di provinsi paling ujung Sumatera ini, di pundak Abu Doto bersama pembantu kerjanyalah, rakyat Aceh menggantung asa dan harapan agar penderita thalasemia yang kian menggerogoti masa depan anak Aceh dapat diputuskan mata rantainya.
            Namun, Abu Doto seakan baru sadar dari lamunan terhadap ancaman penyakit genetik di daerah kekuasaannya ini, setelah sekian lama menjadi momok yang menakutkan dan mematikan ini. Bahkan, Aceh tercatat sebagai penyumbang prevalensi thalasemia tertinggi di Indonesia.
            Bayangkan, keprihatinan Abu Doto baru terungkap saat memperingati Hari Thalasemia se- Dunia, 8 Mei 2016 lalu di Anjong Mon Mata, Banda Aceh. Abu Doto mengaku prihatin terhadap mewabahnya penyakit pemangsa darah merah ini. Yang jadi soal adalah di mana dan apa kerja Dinas Kesehatan Aceh dalam memantau penyakit ini?
            Begitupun, seolah tanpa beban, saat itu, Abu Doto dengan santai mengajak seluruh masyarakat Aceh untuk melakukan pencegahan terhadap penyakit thalasemia yang kini telah menyebar di hampir 23 kabupaten/kota di Aceh. Menurutnya, saat ini, penderita thalasemia di Aceh kian bertambah. Dari catatannya sejak 2013 lalu, ada 180 orang penderita thalasemia. Sementara, pada 2014, bertambah menjadi 255 orang. “Maka, jika tidak ditangani sejak dini, dari tahun ke tahun jumlah, penderita penyakit ini dapat terus bertambah,” ujar Abu Doto dengan santai.
            Ironisnya, Abu Doto berharap, agar para ahli kesehatan di tanah air dapat  menemukan cara mujarab untuk menangani penyakit genetik ini. Namun, jika belum berhasil, maka langkah satu-satunya adalah dengan upaya pencegahan agar tidak ada lagi anak-anak Aceh yang dilahirkan sebagai penderita thalasemia. “Kebanyakan dari mereka yang terkena penyakit ini berusia antara dua sampai lima tahun dengan latar belakang keluarga berbeda-beda,” ungkap Abu Doto.
            Menurut Abu Doto, penyebaran thalasemia terjadi hampir seluruh Aceh. Sementara, penanganannya sejauh ini, masih dilakukan secara medis, meski ada beberapa orang tua penderita yang melakukan dengan cara tradisional. “Hingga saat ini, belum ada formula terbaru tentang pola penanganan yang efektif terhadap thalasemia. Karena itu, saya berharap para ahli kesehatan di tanah air dapat menemukan cara yang lebih efektif untuk menangani thalasemia,” harap Abu Doto.
            Sebagai sosok berlatar belakang dokter, Abu Doto tentu tak asing dengan penyakit ini. Begitupun, dia masih sebatas berharap agar orang tua penderita dapat mengantisipati dengan lebih cermat. Hari itu, tak ada kata yang keluar dari mulut Abu Doto untuk menekan dinas terkait, khususnya Dinas Kesehatan Aceh agar benar-benar peduli dan peka dengan penyakit mematikan ini. Padahal, ini menjadi penting, sebab Dinas Kesehatan Aceh memiliki tanggung jawab penuh terhadap kondisi kesehatan rakyat Aceh.
Di Aceh, penyakit thalasemia termasuk fenomena baru yang belum banyak diketahui pejabat daerah apalagi masyarakat, khususnya di daerah pedesaan. Ini buntut dari kurangnya perhatian Pemerintah Aceh melalui Dinas Kesehatan Aceh dalam mensosialisasikan bahaya laten penyakit tersebut, terutama ke daerah-daerah terpencil.
Simak saja pengakuan mantan Bupati Kabupaten Aceh Barat Daya, Akmal Ibrahim. Pada media ini, dia mengaku tidak mengetahui penyakit yang memakan sel darah merah (hemoglobin) ini, termasuk seberapa bahayanya. “Saya tidak tahu penyakit apa itu. Baru saya dengar,” kata Akmal, Selasa pekan lalu.
Bisa jadi, Akmal Ibrahim berpura-pura tidak tahu. Sebaliknya, jika memang benar-benar tidak tahu, ini bisa dijadikan parameter betapa rendah dan minusnya sosialisasi yang dilakukan Pemerintah Aceh melalui Dinas Kesehatan Aceh ke daerah, khususnya kawasan terpencil. Sebab, berdasarkan data yang dihimpun media ini, penderita paling banyak berasal dari daerah yang tidak mengetahui apa itu penyakit thalasemia. Karena itu, wajar bila banyak orang tua di desa atau kawasan terpencil yang menganggap penyakit ini merupakan pengaruh jin atau setan, sehingga mereka mengobatinya pada dukun.
Ironisnya, jangankan melakukan sosialisasi, Dinas Kesehatan Aceh bahkan tidak memiliki data akurat tentang penderita thalasemia. Pengakuan tak elok dan tak wajar ini disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Aceh, dr. Yani. Dia mengaku tidak memiliki data akurat terhadap penderita thalasemia di Aceh. “Coba hubungi Ibu Efi, Kepala Yankes. Di sana datanya lengkap,” saran Yani melalui sambungan telepon seluler. Tak menunggu lama, media ini kemudian menghubungi Kepala Yankes Efi melalui pesan. Jawaban yang didapat sungguh memalukan. “Maaf, di RSUZA pusatnya. Kami tidak punya data,” kata Elfi melalui pesan singkat (SMS) yang ditembuskan pada Kepala Dinas Kesehatan. Gawat!
Ketua Harian Persatuan Orang Tua Penderita Thalasemia (POPTI), M. Niswar, mengaku, saat ini Aceh tercatat sebagai daerah tertinggi prevalence carrier (pembawa sifat) thalasemia yaitu 13,5 persen. Dan, ada 280 penderita thalasemia di Aceh dari sekitar enam ribu penderita thalasemia di Indonesia, yang setiap bulan harus transfusi darah di rumah sakit.
Menurutnya, jumlah ini akan terus bertambah secara signifikan jika Pemerintah Aceh tidak segera memutus mata rantai penyakit yang akan diderita seumur hidup itu. “Karena, jika pembawa thalasemia menikah sesama pembawa thalasemia, maka anaknya akan menjadi penderita thalasemia. Ini harus dicegah,” saran Nizwar.
Menurut cacatan POPTI, setiap tahun penderita thalasemia di Aceh menunjukkan grafik peningkatan yang mengkhawatirkan. Sejak 2012 misalnya, terdapat 142 penderita thalasemia di Aceh, kemudian tahun 2013 mengalami peningkatan menjadi 185 orang penderita. Tahun 2014, terjadi lagi peningkatan 223 orang dan pada 2015 terdapat 265 orang. Hingga Mei 2016, ada sekitar 280 penderita thalasemia di Aceh yang harus ditransfusi darahnya seumur hidup.
Itu sebabnya, menurut pendiri komunitas Darah Untuk Aceh, Nurjanah Husein, pemerintah harus menemukan solusi untuk mencegah laju peningkatan thalasemia di Aceh. Caranya? Putuskan mata rantai thalasemia dan tidak menikah dengan sesama pembawa thalasemia. “Coba lihat Marniati, anak itu akan putus sekolah dua hari lagi. Karena malu dengan fisiknya, dibuli oleh teman-temannya. Dulu dia tidak begitu dan lahir dengan normal dan cantik,” jelas Nurjanah Husein.
Karena itulah, Nurjanah berharap, Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Zaini Abdullah yang juga berlatar belakang seorang dokter, harus memperhatikan fenomena ini secara serius. Jika tidak, semua orang Aceh akan menderita thalasemia dan itu tidak akan sembuh seumur hidup. “Ini harus menjadi perhatian Pemerintah Aceh. Kita akan melihatkan komitmen Gubernur Aceh untuk menyetop laju penyakit thalasemia di Aceh,” tegas Nurjanah.
Selama ini, Pemerintah Aceh memang telah membantu penderita thalasemia dengan menyediakan dana 11 sampai 12 juta per anak setiap bulannya, terutama bagi yang tidak komplikasi atau tak perlu operasi dan tidak demam melalui Jamkesmas maupun JKRA (jaminan kesehatan rakyat Aceh). Nah, kalaupun transfusi darah serta obat-obatan terpenuhi, tapi tidak akan menghentikan penyebaran penyakit thalasemia. Sebaliknya, perlu dilakukan proses pencegahan. Apalagi, hingga kini, dokter thalasemia di Aceh hanya seorang, yaitu dr. Heru Noviat Hendra, Sp.A.
“Sementara, di daerah-daerah, thalasemia belum bisa dilayani karena tidak ada dokter. Ini perlu kita desak pemerintah,” Saran Nurjanah yang juga salah satu peraih Madani Award 2016 dari Pemerintah Kota Banda Aceh. Dan, bersama POPTI, dia terus mencanangkan bahaya thalasemia yang menggerogoti anak Aceh.
Menurutnya, cara yang paling penting adalah mengingatkan masyarakat bahwa gen thalasemia dapat menular melalui pernikahan antar sesama pembawa thalasemia. “Karena itu, perlu dihindari. Jika tidak, akan lahir generasi Aceh penderita thalasemi. Ini perlu disosialisasikan sampai ke daerah-daerah,” ucap perempuan asal Aceh Jaya ini.
Ada baiknya, sebut Nurjanah, setiap pasangan yang akan menikah memeriksa kesehatan masing-masing, apakah salah satu dari pasangan tadi, penderita thalasemia atau tidak. “Jika ada, saya sarankan sebaiknya tidak dilakukan. Ini bukan berarti saya menghambat pernikahan. Jangan salah tafsir, tapi untuk menyelematkan generasi Aceh di masa mendatang. Sebab, hingga saat ini, belum ditemukan adanya obat untuk menyembuhkan penyakit ini. ***











2 comments:

  1. Sungguh menyedihkan nasib mereka para anak thalasemia, hidup tergantung transfusi darah dari orang lain. Terima kasih infonya cukup jelas.

    ReplyDelete
  2. Grafik untuk presentase penderita thalasemia perkabupaten diaceh ada gak?

    ReplyDelete