Allah yang Tahu dan Rakyat yang Menilai
Mualem |
“Karena niat suci membangun Aceh pasca konflik dan tsunami itulah, saya
kemudian bersedia mendampingi Zaini Abdullah pada Pilkada 2012. Padahal, kalau
saya mau dan berambisi untuk memegang kekuasaan, sudah terjadi sejak Pilkada
2006 silam, bukan Irwandi Yusuf. Semua rakyat Aceh tahu bahwa kemenangan ZIKIR saat
itu ada pada kekuatan komando Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh (PA)
di bawah perintah saya bukan dr. Zaini,” lanjut Mualem.
Tapi, harapan rakyat Aceh, mantan kombatan GAM maupun korban tsunami
terkait adanya perbaikan pembangunan dan kesejahteraan saat ini, ternyata tidak
ada tanda-tanda ke arah lebih baik. Itu sebabnya, setelah beristikharah,
bertanya dan meminta restu para ulama maupun berkonsultasi dengan berbagai
elemen rakyat Aceh di Medan, Jakarta bahkan luar negeri, akhirnya saya bismillah untuk maju sebagai calon
Gubernur Aceh bersama TA Khalid.
Nah, apa saja pendapatnya tentang empat tahun kepemimpinan Abu Doto
menakhodai Aceh dan posisinya sebagai orang nomor dua? Berikut penuturan Muzakir
Manaf, didampingi staf khususnya Wen Rimba Raya pada wartawan MODUS ACEH, Muhammad Saleh, Jumat
pekan lalu di Banda Aceh.***
Sebagai manusia baharu, sudah sepantasnya saya minta maaf jika empat
tahun kepemimpinan bersama Gubernur dr. Zain Abdullah belum mampu memberikan
yang terbaik, sesuai harapan rakyat Aceh. Kenapa saya minta maaf? Hanya Allah
SWT yang tahu dan rakyat Aceh berhak untuk menilainya.
Tapi, secara pribadi, bukan berarti tak ada niat saya untuk melakukan
yang terbaik bagi rakyat Aceh, mantan kombatan GAM maupun korban tsunami. Saya
benar-benar bisa merasakan dan memahami suasana batin yang terjadi di Aceh saat
ini. Sebab, sebelum damai (MoU Helsinki, 15 Agustus 2005), saya dan kawan-kawan
selama belasan tahun berjuang di Aceh, bukan luar negeri. Dan, Alhamdulillah,
saya masih diberi umur panjang oleh Allah SWT. Ini berarti, ada tanggung jawab
yang harus saya pikul, terutama masa depan anak yatim serta janda-janda syuhada
korban konflik, pejuang Aceh Merdeka yang telah syahid dalam perjuangan.
Saya bersama ribuan pejuang GAM, setiap hari bertemu dengan rakyat,
terutama di gampong-gampong. Dari sorot mata mereka, dapat saya tangkap, ada
keinginan dan kerinduan untuk melangkah, menuju kehidupan yang lebih baik. Ini
sesuai dengan potensi dan kekayaan alam Aceh yang kita punya. Tapi nyatanya,
harapan itu belum seindah dengan kenyataan yang terjadi saat ini. Bahkan, di
luar dugaan saya, beberapa orang yang dianggap petinggi malah melupakan
perjuangan serta rela meninggalkan tanggung jawab perjuangan demi nafsu
kekuasaan.
Sebenarnya, tahun pertama saya mendampingi Abu Doto, suasana
pemerintahan begitu nyaman dan berjalan sesuai dengan visi dan misi yang kami
gagas bersama. Saya berusaha keras untuk itu, termasuk meraih kemenangan. Begitupun,
memasuki tahun kedua, di antara kami mulai ada perbedaan, terutama soal program
pembangunan dan pemberdayaan terhadap mantan kombatan GAM. Di satu sisi, saya
diminta untuk mengawasi semua itu dengan baik. Di sisi lain, “kaki dan tangan”
saya terikat, sehingga tak bisa berbuat banyak. Saya kira, rakyat Aceh paham
dan mengerti mengenai posisi ini.
Bahkan, di beberapa tempat dan acara, saya sudah menjelaskan secara
jelas dan terang tentang posisi dan peran saya dalam Pemerintah Aceh saat ini.
Begitupun, beban dan tanggung jawab itu wajib saya pikul, sesuai amanah
almarhum Tgk Hasan Muhammad Di Tiro pada saya.
"Lidah lön ka lön koh tasamböng bak gata, dan gaki lön ka lön koh dan ka lön samböng bak gaki gata, aneuk loen Muzakir. Peu ek
kagulam tanggung jaweub nyoe (lidah sudah saya potong dan sambungkan pada
kamu dan kaki saya sudah saya potong dan sambungkan pada anakku Muzakir. Apakah
kamu sanggup menerima tanggung jawab ini)?” begitu pesan Paduka Yang Mulia Wali
Nanggroe Tgk Hasan Di Tiro. Saya jawab, “Insya Allah, Wali. Akan lön ba semampu lön (insya Allah, Wali. Akan saya
jalankan semampu saya)." Ini yang saya lakukan terus agar tetap menjaga
dan mempersatukan bangsa Aceh.
Sebagai Wakil Gubernur Aceh, sesungguhnya saya tak berharap banyak.
Selain ada porsi tugas dan tanggung jawab yang jelas dari Gubernur Aceh, juga
koordinasi yang rutin terkait masalah pembangunan dan kebijakan tentang Aceh.
Namun, memasuki tahun kedua hingga empat saat ini, hal itu tak saya dapatkan
lagi, terutama dalam gonta-ganti pejabat SKPA.
Peran saya sebagai Wakil Gubernur Aceh telah teramputasi. Ini harus saya
katakan dengan jelas agar rakyat Aceh, khususnya mantan kombatan GAM tahu dan
paham. Sebaliknya, semua itu bukan berarti saya lari dari tanggung jawab. Tapi,
memang tak bisa berbuat banyak. Semua yang berbau Mualem disikat! Sayang, jika
ada pejabat yang kerjanya baik dan bagus, tapi kena mutasi juga karena hanya ada
masukan atau bisikan bahwa dia (pejabat) itu dekat dengan saya.
Tapi, pada mereka, saya katakan sabar, sebab Allah SWT tidak tidur. Yang
benar itu tetap benar. Kalau emas tetap emas, yang perak tetap perak. Yang
berkualitas dan loyal di antara mereka, tetap saya perhatikan jika insya Allah
saya terpilih pada Pilkada 2017 mendatang. Karena itu, mari rapatkan barisan
bersama sama-sama untuk rakyat Aceh lebih baik.
Secara tata kelola pemerintahan, posisi wakil gubernur bukanlah ban
serap. Ini yang perlu saya pertegas. Sebab, antara ban serap dengan satu
kesatuan unit mobil sangat berbeda. Apa mungkin mobil bisa berjalan tanpa
bensin walaupun sopirnya pembalap formula 1? Tentu tidak. Begitu juga dengan
ban, apa bisa mobil melaju dengan baik dan mulus jika salah satu ban bocor? Pasti
mobil tadi oleng.
Ini artinya, harus ada kesatuan gerak dan tindak dari pengendara mobil
tadi. Berbeda dengan ban serap, dia baru kita butuhkan jika ban benar-benar
tidak bisa kita gunakan lagi dan posisi itu ada pada pejabat atau kepala SKPA.
Ini bermakna, posisinya hanya untuk emergensi saja. Jika tak baik bekerja, maka
bisa diganti dalam hitungan bulan. Sementara, saya naik satu paket bersama
Zaini Abdullah dan tak mungkin diganti di tengah jalan seperti kepala SKPA.
Nah, memahami situasi dan kondisi inilah, saya kemudian berpikir dan
merenung dengan seksama, apakah membiarkan suasana ini terus terjadi atau saya
harus mengambil-alih kepemimpinan pada Pilkada 2017 mendatang. Saya beristikharah,
bertanya pada ulama, kaum terpelajar, mantan kombatan GAM serta elemen rakyat
Aceh lainnya di Jakarta bahkan luar negeri. Hasilnya, Allah SWT memberikan
ketetapan hati untuk saya maju sebagai calon Gubernur Aceh pada Pilkada 2017
mendatang. Lalu, muncul dukungan dari berbagai elemen masyarakat, terutama di
gampong-gampong yang menginginkan perubahaan dan kemajuan.
Pertanyaannya kemudian adalah semudah itukah? Tentu saja tidak! Aceh tak
bisa kita bangun sendiri atau bersama keluarga maupun kelompok. Aceh baru bisa
kita bangun jika ada saling mendukung dan bahu-membahu. Karena itulah, sejak
awal saya berpikir dan mewujudkan adanya koalisi bersama antara Partai Aceh
(parlok) dengan partai nasional (parnas). Sebab, saya sadar, tanpa kerja sama
yang baik ini, sulit rasanya membangun Aceh yang sejahtera.
Tapi, lagi-lagi, keinginan itu tak hanya mendapat tantangan dan hambatan
dari luar PA, tapi juga dari beberapa orang di internal PA. Namun, saya tetap
sadar dan haqqul yaqin, suatu niat
dan perbuatan yang baik, pasti banyak tantangan. Dan, saya tidak akan mundur
atau surut satu langkah pun ketika keputusan sudah saya ambil.
Keinginan saya menggandeng partai nasional, bukan semata-mata ingin
meraih kemenangan dan berkuasa. Sebab, insya Allah dengan posisi PA saat ini di
parlemen Aceh dan kabupaten serta kota. Termasuk kepala daerah, bupati dan wali
kota, saya yakin bisa naik tanpa adanya koalisi dengan parnas. Tapi, saya
berpikir untuk masa depan pembangunan Aceh yang lebih baik. Alangkah indahnya
jika Aceh kita bangun atas fondasi bersama: parlok dan parnas. Sekali lagi saya
tegaskan bahwa jabatan gubernur bukan segalanya dalam kehidupan saya, tapi demi
kepentingan Aceh, saya siap mengorbankan darah maupun nyawa.
Jadi, berjuang untuk memenangkan pilkada di tahun politik 2017 adalah
pertarungan penting bagi seluruh jajaran KPA/PA, elemen pendukung serta seluruh
rakyat Aceh, namun yang penting menjaga perdamaian menuju Aceh sejahtera dan
bermartabat.
Partai itu kan hanya simbol dan instrumen politik saja. Yang nyata
adalah tubuh dan diri kita, tempat kita dilahirkan, dibesarkan atau juga dikuburkan
di Aceh, tanoh endatu yang kita
cintai ini. Karena itu, marilah sama-sama kita bangun negeri ini.
Itu tugas saya, sehingga ketika saatnya ada yang tidak lagi sepakat
dengan koalisi yang sama-sama kita gagas dan bangun dulu. Saya akan katakan
pada kawan-kawan di KPA/PA bahwa kami sudah mengajak saudara-saudara dari
parnas untuk bersama-sama dan berpikir bagi kemajuan Aceh dan jika ada yang
tidak bersedia. Itu berarti tak ikhlas berbuat untuk Aceh. Karena itu, saya
serahkan kepada rakyat Aceh untuk menilainya dan bersikap.***
- Sunber : Tabloid MODUS ACEH