Monday, May 25, 2015

Akhir Kisah Ratu Kredit Fiktif Bank Aceh



Akhir Kisah Ratu Kredit Fiktif Bank Aceh

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh, memvonis Yuli Fitriani tujuh tahun penjara. Karena ulahnya, Bank Aceh merugi hingga empat miliar rupiah. Gaya hedonis yang berujung tragis.

Irwan Saputra

Duduk di kursi pesakitan, Yuli Fitriani tetap terlihat tenang ketika hakim membaca amar putusan atas dirinya. “Terdakwa divonis tujuh tahun penjara, dengan denda Rp 500 juta, subsider tiga bulan kurungan,” tegas Syamsul Qamar (hakim ketua), didampingi Fauzi dan Supriadi (anggota), di Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh, Rabu pekan lalu.
Menurut majelis hakim, Yuli Fitriani terbukti melakukan tindak pidana perbankan dan tindak pidana pencucian uang. “Akibat perbuatan terdakwa PT. Bank Aceh merugi hingga empat miliar rupiah,” sebut Syamsul.
Putusan itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh Suhendra. Saat sidang sebelumnya, Yuli Fitriani dituntut sepuluh tahun penjara dan denda Rp 500 juta, subsider enam bulan kurungan.
            Usai sidang, Yuli yang didampingi penasehat hukumya Basrun Yusuf mengatakan pikir-pikir dengan putusan tadi. “Kami pikir-pikir dulu Pak Hakim,” kata Basrun. Begitu juga dengan JPU.
Yuli Fitriani adalah karyawan PT Bank Aceh, Capem Balai Kota Banda Aceh sejak Oktober 2007. Dia merupakan petugas kredit yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melakukan proses permohonan kredit nasabah sesuai dengan permohonan.
Namun alih-alih membantu perusahaan, ia malah memperkaya diri sendiri dengan membuat rekening tabungan fiktif, kredit fiktif dan modus operandi menggelapkan uang hasil pembayaran nasabah.
Perilaku Yuli terungkap pada 2013 silam, ketika salah seorang nasabah yang juga mantan pejabat Pemko Banda Aceh Edi Saputra mengajukan kredit Rp 200 juta. Naas bagi Yuli, sesuai aturan yang berlaku, setiap nasabah yang memohon kredit harus mengajukan data ke Kantor Pusat Bank Aceh. Namun saat dilacak, nasabah tersebut masih belum melunasi kredit yang dipinjam sebelumnya, padahal dia telah melunasi semua kredit tersebut. Disinilah bermula nasib tragis ratu kredit fiktif tersebut terungkap.
Praktik culas yang dilakukan Yuli memang terbilang rapi. Sebelum ia menilep uang nasabah, dia lebih dulu menguasai user dan id milik karyawan dan atasannya. Ini terungkap dalam fakta persidangan, bahwa dirinya tidak hanya menguasai user dan id milik karyawan. Tapi juga user id milik atasannya yaitu Cut Widalia dan Wirza. Itu dapat dikuasai dengan mudah oleh Yuli, karena dia orang kepercayaan dan sering diajak menyelesaikan pekerjaan kantor bersama.
Alhasil, dengan niat memperkaya diri sendiri, Yuli dengan aman membuka 11 kredit fiktif tanpa ada yang mengetahui boroknya. Hasilnya, dia mampu mengumpulkan uang satu miliar rupiah, yang kemudian ditampung ke  rekening tabungan fiktif atas nama Nurhayati dan Ernawati yang telah dia persiapkan.
Tak hanya itu, untuk menambah pundi kekayaannya, Yuli yang saat itu hanya sebagai petugas kredit PT. Bank Aceh, sengaja tidak mencatat setiap nasabah yang melunasi kreditnya. Tujuan Yuli,  uang pembayaran dari 47 nasabah yang terkumpul Rp 3 miliar ini, bisa dimasukkan ke rekening tabungan fiktif yang dipersiapkannya tadi. Selain itu, juga dimasukkan ke rekening miliknya pribadi, rekening anaknya Khalila Nazwa dan rekening atas nama Fred Wiliamsom selaku rekan kerja pada Kantor Pusat Operasional PT. Bank Aceh.
Setelah menguasai uang haram tadi, Yuli mengunakannya untuk membeli barang mewah secara tunai. Misal, tahun 2012, Yuli membeli satu unit mobil Gallan (1999),  Rp 110 juta, satu unit mobil jenis Toyota tipe Corolla Altis (2005), Rp 155 juta. Satu cincin blue shaphire Rp 20 juta. Satu cincin yellow shaphire Rp 18 juta dan satu cincin jenis berlian 15 juta.
Pada 2013, Yuli kembali menambahkan barang mewahnya dengan membeli satu cincin jenis berlian Rp 15 juta, satu buah liontin Rp 30 juta, dan satu cincin ruby Rp 35 juta. “Semua barang bukti tersebut disita negara dalam hal ini PT. Bank Aceh, karena terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melawan hukum,” kata Hakim Ketua Syamsul Qamar.
Praktik culas ini dilakoni Yuli sejak 17 Juni 2009. Caranya,  dia membuka rekening tabungan fiktif atas nama Nurhayati. Nah, 19 Mei 2010, dia kembali membuka rekening tabungan fiktif atas nama Ernawati.  Kedua rekening ini digunakan untuk menampung uang dari hasil kredit fiktif dan uang hasil pembayaran kredit nasabah yang tidak disetorkannya ke Bank Aceh.
Karena, selain dari dua rekening tersebut. Terdapat sebelas rekening fiktif lainnya yang juga dibuat Yuli sejak September 2009 hingga Oktober 2013. Tujuannya, untuk melakukan kredit fiktif pada Bank Aceh, sementara uang tersebut dimasukkan pada dua rekening tabungan fiktif miliknya.
            Selain melakukan pembukaan rekening tabungan fiktif dan kredit fiktif, Yuli juga terbukti sejak tahun 2011 sampai tahun 2013, menggelapkan uang pembayaran kredit 47 nasabah dengan cara tidak menyetor uang tersebut ke Bank Aceh. Tapi, digunakannya untuk memperkaya diri sendiri dengan cara, dimasukkan uang tersebut dalam rekening tabungan fiktif yang telah disiapkannya.
Selain itu, juga ditransfer ke rekening atas namanya sendiri yaitu Yuli Fitriani, pada anaknya Khalila dan rekan kerjanya pada Kantor Pusat Operasional PT Bank Aceh. Borok ini baru diketahui setelah tim investigasi internal PT. Bank Aceh melakukan pemeriksaan bahwa ada 47 nasabah yang telah melunasi kredit pada Bank Aceh, namun sengaja tidak dicatat oleh Yuli Fitriani sebagai petugas. Begitu juga dengan pembuatan buku rekening untuk mengajukan kredit yang belakangan diketahui fiktif.
            “Padahal sesuai aturan yang berlaku, terkait dengan penutupan kredit nasabah, seharusnya dicatat dalam pembukuan rekening nasabah yang bersangkutan atas pembayaran atau pelunasan kredit. Sehingga dengan demikian secara otomatis telah ditutup,” kata Fauzi, hakim anggota.
            Atas pertimbangan tersebut, majelis hakim berkeyakinan Yuli Fitriani terbukti bersalah melanggar Pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 10 tahun 1998, tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, dan pasal 3 Junto Pasal 2 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindank Pidana Pencucian Uang.
            Menurut majelis hakim, putusan itu dibacakan setelah mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Yang memberatkan menurut majelis, perbuatan terdakwa telah menimbulkan kerugian materil pada Bank Aceh sebesar empat miliar. Selain itu perbuatan terdakwa dapat menghilangkan kepercayaan nasabah terhadap dunia perbankan. Terutama pada PT. Bank Aceh. “Terdakwa juga terbukti telah menikmati hasil kejahatannya itu,” ungkap Syamsul Qamar.
            Sementara yang meringankan, terdakwa telah mengakui dan berterus terang atas perbuatannya dan telah mengaku bersalah. Lalu terdakwa mempunyai tanggung jawab terhadap seorang anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang. 
Terdakwa Yuli yang selalu berpenampilan high class ini ditahan penyidik sejak 27 Oktober 2014 silam. Usai persidangan ia langsung meninggalkan ruangan dan menuju ruang tahanan yang diapit keluarganya. Selama proses persidangan, Yuli Fitriani menjalani masa tahanan di Rumah Tahanan Perempuan Cabang Lhoknya, Aceh besar.***

Photo: disesuaikan


Monday, May 18, 2015

Vonis Untuk Kelas Pesuruh


Korupsi SPPD Fiktif Aceh Timur

Vonis Untuk Kelas Pesuruh

Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh memvonis dua terdakwa pembuat SPPD fiktif 1,8 tahun dan 1,6 tahun penjara. Namun, fakta persidangan mengungkapkan jelas penikmat aliran dana rasuah tersebut. Ada yang masih melenggang bebas.

Irwan Saputra
Lelaki berbaju putih itu bersandar pada tiang yang berdiri di teras depan ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh. Sesekali, dia berusaha akrab pada setiap orang yang melintas. Tak jarang dia menyapa, bahkan bercengkrama dengan para jaksa, yang lalu lalang keluar masuk ruang sidang.
Pria itu Zulkifli, informan polisi yang balik dijadikan terdakwa,kata Malik Dewa saat bincang-bincang dengan MODUS ACEH, Senin, pekan lalu. Malik Dewa adalah pengacara Zulkifli. 
Hari itu, waktu sudah menunjuk pukul 14.20 WIB. Beberapa pengunjung mulai memasuki ruang persidangan. Sontak, suasana di luar ruangan, mulai hening. Tapi Zulkifli terlihat masih betah berlama-lama di luar sana. Tatapannya nanar. Sesekali menggepulkan asap rokok dari mulutnya. Dari guratan wajahnya, dia terlihat begitu tegang.
            Malik bercerita, Zulkifli duduk di kursi pesakitan karena kasus korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif, di Sektariat Daerah Kabupaten Aceh Timur. Kasus itu sudah bergulir ke Pengadilan Tipikor sejak 4 November 2014 silam.
Nah, Senin pekan lalu adalah sidang pamungkasnya. Hakim Muhifuddin (ketua) dan Hamidi Jamil serta Zulfan Efendi (anggota), memvonis Zulkifli 1,6 tahun penjara. Tapi Zulkifli tak sendiri. Gunawan, rekan sekantornya yang juga terdakwa dalam kasus ini, divonis hakim lebih berat yakni 1,8 tahun penjara. Tapi vonis Zulkifli itu dinilai tak adil. “Dia informan yang membongkar kasus ini, tapi mengapa ikut divonis,” gugat Dewa.
***
Berdasarkan putusan hakim, terbongkarnya kasus korupsi ini bermula pada Senin, 3 Desember 2012 lalu. Malam itu, jam dinding telah menunjukkan pukul 21:00 WIB. Zulkifli menyambangi kediaman Gunawan, di Jalan Fakinah, Desa Paya Bujok Tunong, Langsa Baro, Kota Langsa.
Zulkifli tak datang dengan tangan kosong. Dia membawa dua lembar SPPD Nomor: 2626/090/2012, tanggal 10 Juli 2012 atas nama Zulkifli dan SPPD Nomor: 2627/090/2012, tanggal 10 Juli 2012 atas nama T. Riski Syahputra dengan tujuan kota Medan. Tujuan Zulkifli menyambangi rumah Gunawan adalah untuk membubuhkan tanda tangan dan stempel di SPPD tersebut.
SPPD inilah, diantaranya, yang diduga fiktif. Dan praktik ini telah lama dilakoni keduanya. Polisi bahkan sudah mencium upaya pencolengan duit negara tersebut. Itu sebabnya, polisi inten membuntuti gerak-gerik Zulkifli. Termasuk saat dia bertandang ke rumah Gunawan.
Usai mendapat stempel SPPD fiktif tadi, Zulkifli langsung bergegas meninggalkan rumah Gunawan. Petugas yang memang telah membuntutinya, langsung menciduk Zulkifli. Benar saja, polisi berhasil mendapatkan dua lembar SPPD yang sudah distempel. Celakanya, stempel yang dibubuhkan pada SPPD tersebut adalah stempel dan cap Perwakilan Pemerintah Aceh di Medan. Inilah yang mengindikasikan bahwa SPPD itu fiktif.
Tanpa menunggu lama, anggota Polres Aceh Timur menciduk Gunawan di rumahnya. Malam itu juga keduanya diboyong ke Mapolres setempat. Dari fakta persidangan, stempel Perwakilan Pemerintah Aceh di Medan sengaja dipalsukan untuk memuluskan proses penerbitan SPPD fiktif. Hakim mengatakan, Gunawan terbukti membuat stempel palsu tersebut atas perintah Kepala Sub Bagian Rumah Tangga saksi Mujiburrahman Bin Hasan.  Sedangkan Zulkifli, sebagai Bendahara Pengeluaran Pembantu Bagian Umum Setda Aceh Timur dinilai bersalah, lantaran mengetahui adanya stempel dan cap palsu tersebut sejak 2011. Dia membantu Kepolisian Resort Aceh Timur mengungkap kasus tersebut setelah tidak lagi menjabat Bendahara Pengeluaran Pembantu pada Bagian Umum Setda Kabupaten Aceh Timur. “Seharus dilakukan pada tahun 2011 sejak awal mengetahui adanya perbuatan tersebut,” kata Hakim.
Pengungkapan SPPD fiktif itu akhirnya membongkar praktik culas yang sudah lama berlangsung. Khususnya mengenai aliran dana yang dinikmati banyak orang. Berdasarkan fakta persidangan, tindakan Gunawan dan Zulkifli tak hanya melawan hukum dan merugikan keuangan negara. Tapi juga memperkaya orang lain.
Siapa mereka?  “Bahwa kerugian keuangan negara akibat SPPD fiktif tersebut dinikmati dan diperoleh Syaifannur (mantan Sekdakab Aceh Timur), Bendahara Pengeluaran Pembantu Danil Ardian Bin Daswir, Kasubag Umum Mujiburrahman, Kabag Umum Nadhif Bin Sulaiman serta anggota DPRK yang menerima dana sharing dari Pemerintah Kabupaten Aceh Timur,” kata Hakim Muhifuddin.
Dan itu sudah berlangsung sejak 2011. Pada Mei 2011, misalnya, Danil Ardian mendapat perintah dari Syaifannur untuk menyerahkan beberapa lembaran blangko kosong SPPD kepada Gunawan. Gunawan diminta mengetik SPPD tersebut untuk kepentingan pribadi atas izin dari Syaifannur. Selain itu, Syaifannur juga memerintahkan Danil Ardian untuk mengumpulkan SPPD atas nama semua asisten, kabag dan kasubag. Dengan SPPD fiktif tersebut, Danil Ardian berhasil mengumpulkan dana Rp 195 juta. Uang tersebut lalu ditransfer ke Rekening Nomor 106.000.9713.390, Bank Mandiri Cabang Langsa atas nama Syaifannur.
Hakim mengatakan, akibat perbuatan Gunawan dan Zulkifli yang telah memperkaya orang lain itu, negara merugi hingga Rp 875 juta lebih. “Hal tersebut sesuai dengan Laporan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara oleh BPKP Perwakilan Aceh Nomor : SR-1044/PW.01/05/2014 tanggal 13 Mei 2014,” kata Hakim Muhifuddin.
Keduanya dihukum. Gunawan 1,8 tahun penjara dan Zulkifli 1,6 tahun penjara. Selain itu, keduanya didenda masing-masing Rp 50 juta atau subsider dua bulan kurungan. Kepada hakim, kedua tervonis mengaku masih pikir-pikir untuk mengajukan banding. Begitu juga dengan Jaksa Penuntut Umum.
***
Usai sidang pamungkas tadi, pada MODUS ACEH Zulkifli menjelaskan, keputusan hakim tersebut tak adil. Ini lantaran Zulkifli merasa dirinya adalah informan yang berjasa membongkar kasus SPPD fiktif. “Kok saya yang dihukum,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Zulkifli merasa dirinya ditinggal begitu saja setelah berhasil membantu polisi mengungkap kasus korupsi. Padahal, menurutnya, Kasat Intelkam Polres Aceh Timur AKP Fakhruddin sempat mengucapkan berterima kasih padanya yang telah membantu tugas-tugas polisi. “Saya menjamin kamu aman, dan itu sudah menjadi tanggung jawab saya,” kata Zulkifli meniru ucapan AKP Fakhruddin kala itu. “Saya berani bersumpah itu diucapkan.”
Dia curiga, dirinya sengaja dikorbankan untuk kasus korupsi yang dananya dinikmati banyak pihak, terutama Syaifannur. Apalagi, kata Zulkifli, Syaifannur diketahui relatif intens membangun komunikasi dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU). “Contohnya, pada Senin, 4 Mai 2015 lalu, saya melihat Syaifanur, didampingi Dedi Saputra dan sopirnya Burhan, menggunakan Mobil Innova Nomor Polisi BK 1832 YX bertemu Jaksa Penuntut Robby Syahputra di warung kopi kawasan Batoh, Banda Aceh,” kata Zulkifli.
Beda dengan Zulkifli, Gunawan yang ditemui wartawan usai sidang, memilih tak banyak berkomentar. Dia hanya menundukkan wajahnya di atas meja. “Saya no coment dulu lah,katanya. Begitupun, kuasa hukum Gunawan, Ramlah Sari mengaku tak habis pikir kliennya divonis bersalah. Padahal menurutnya Gunawan hanyalah orang suruhan. “Dia hanya diperintah untuk mengetik SPPD fiktif, uangnya masuk Sekdakab tuh,” katanya.
Terkait vonis yang dinilai hanya menjerat kelas pesuruh, Hakim  Tipikor Muhifuddin mengaku penilaian tersebut adalah hak setiap orang. “Tapi kitakan memutuskannya telah berdasarkan aturan dan fakta persidangan yang ada,” ujarnya singkat.***

Photo: disesuaikan







Akhir ‘Perjuangan’ Pejabat Kota Juang



Akhir ‘Perjuangan’ Pejabat Kota Juang

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh, menjatuhkan vonis 3,5 tahun penjara pada mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Bireun, Nasrullah Muhammad dan Kepala Bagian Umum T. Nagorsyah. Sementara, Bendahara Pengeluaran Rizki divonis 4,6 tahun penjara.

Irwan Saputra

            JAM menunjukkan pukul 10:30 WIB, Selasa, 12 Mei lalu. Tapi, sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah Banda Aceh, belum juga dimulai. Padahal, sejak satu jam berlalu, satu unit mobil kijang berwarna gelap, BL 249 AM  milik Kejaksaan Tinggi Negeri (Kejari) Banda Aceh, sudah parkir di depan pengadilan. Mobil tadi digunakan untuk mengangkut tahanan, salah satunya mantan Sekretaris Daerah Kabupaten (Sekdakab) Bireuen Ir. Nasrullah Muhammad, M.Si. MT serta mantan Bandahara Pengeluaran Sekdakab Bireun Rizki, SE. dan mantan Kepala Bagian (Kabag) Umum Sekda Bireun, T. Nagorsyah, SH.,M.Si. Ketiganya  ditahan di hotel prodeo, Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II A Banda Aceh.
            “Semua sudah hadir, kita tunggu majelis hakim dulu,” ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU)  Kejari Banda Aceh, Veriansyah pada media ini.
            Agenda sidang hari itu pembacaan putusan majelis hakim. Itu sebabnya, ruang sidang ramai didatangi keluarga dan  kerabat terdakwa. Termasuk awak media. Dan, pukul 11.40 WIB, sidang baru dimulai.
Dari pintu belakang sebelah kanan, panitera pengganti, Murdani memasuki ruang persidangan.  Tak sampai satu menit, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Juliadi Lingga, SH. dan Miftahuddin, SH, juga tiba. Disusul pengacara terdakwa, Bahrun Yusuf, SH. MH dan Samsul Bahri SH.
Tak lama kemudian, Majelis Hakim Tipikor Banda Aceh, Abdul Aziz, SH. M.Hum (ketua) serta Syaiful Has`ari, SH. dan Hamidi Jamil, SH (anggota), sudah berada di meja persidangan. “Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum,kata Abdul Aziz mengawali persidangan, sambil mengetuk palu. “Tok, tok, tok”, memecah keheningan ruangan siang hari itu.
Selanjutnya, majelis hakim membacakan putusan terhadap terdakwa Teuku Nagorsyah. Hari itu, putra kelahiran Aceh Selatan ini duduk dengan posisi tegak. Menurut majelis hakim, Nagorsyah, begitu dia disapa, tidak terbukti melanggar dakwaan primer, karena itu hakim membebaskannya dari dari dakwaan tersebut.
Namun, dia terbukti melanggar dakwaan subside yaitu Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 199 Jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana diubah dan ditambah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Alasan hukum majelis hakim, Nagorsyah tidak mengembalikan uang yang dipinjamnya kepada Bendahara Pengeluaran Sekdakab Bireun, Rizki  , Rp. 478.9 juta lebih. Itu dilakukan hingga berakhir tahun anggaran 2011. Imbasnya, negara tekor Rp. 478.9 juta lebih.
Kerugian ini diketahui menurut majelis hakim, setelah dilakukan pemeriksaan sisa uang persedian (UP), yang belum dikembalikan ke kas Daerah Sektariat Bireun hingga habis tahun anggaran 2011.
Tak hanya itu, peminjaman yang dilakukan juga tanpa sepengetahuan Sekdakab Bireuen, Nasrullah Muhammad. Padahal secara aturan, harus mendapat nota persetujuan dengan cara mengajukan rincian penggunaan dana kepada Sekdakab. Tapi, Nagorsayah tidak demikian, dia langsung menemui Rizki  dan minta dicairkan anggaran yang diperlukan. Celakanya, uang yang dipinjamkan pada Rizki tadi, tidak digunakan untuk biaya operasional kantor. Malah digunakannya untuk kepentingan pribadi.
Sementara mantan Sekdakab Bireuen Nasrullah Muhammad hadir dengan balutan kemeja cream dipadu celana dan sepatu hitam. Mantan Kepala BKPP Pemerintah Aceh ini, juga dibebaskan dari dakwaan primer. Karena tidak terbukti memperkaya diri sendiri. Namun pria berkacamata ini terbukti melanggar dakwaan subsider. Yaitu Pasal 3 Jo ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Dasar hukum majelis hakim adalah, sebagai pengguna anggaran, dia tidak melakukan pengawasan pada Bendahara Pengeluarannya yaitu Rizki dan tidak mempedomani peraturan yang berlaku, terkait pengajuan dan penggunaan Uang Muka Kerja (UMK) dan Uang Persedian (UP), pencairan cheque dan pengendalian atas Bendahara Pengeluaran.
Akibatnya kurang pengawasan Nasrullah terhadap Rizki, negara mengalami kerugian Rp. 1,8 miliar lebih. Ini diketahui berdasarkan laporan hasil pemeriksaan atas perhitungan keuangan daerah terhadap uang persediaan (UP) pada Sekretariat Daerah Kabupaten Bireun tahun anggaran 2011.
Setali tiga uang dengan Teuku Nagorsyah dan Nasrullah, sebagai Bendahara Pengeluaran di Sekdakab Bireun, Rizki juga dibebaskan dari dakwaan primer dan dipersalahkan melanggar dakwaan subsider, yaitu melanggar Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Alasanya, selaku bendahara pengeluaran,  Rizki yang hadir mengenakan batik hijau dipadu jeas coklat pudar, pernah mengajukan UMK pada Sekdakab Bireun, Rp 2,9 miliar. Itu dilakukan hanya bermodal Surat Perintah Pembayaran (SPP) dan Surat Perintah Membayar (SPM) yang ditandatangani Sekdakab Nasrullah Muhammad.
Katanya, uang tadi dikeluarkan untuk kegiatan bersifat wajib dan belanja yang bersifat mengikat pada Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) selaku Bendahara Umum (BUD). Itu dilakukan, sebelum pengesahan  APBK Bireun Tahun 2011, berdasarkan Peraturan Bupati (Perbub) Bireun No. 1 Tahun 2011, tanggal 4 Februari 2011 tentang penegeluaran kas mendahului penetapan APBK Tahun Anggaran 2011.
Namun setelah UMK cair, digunakannya untuk menyetor sisa Uang Persedian (UP) Sekdakab Bireun Tahun 2010 ke rekening kas umum daerah, Rp 1.014.084.500,- miliar, sehingga sisa UMK 2011, Rp. 1.885.915.500 miliar, tetap digunakan untuk belanja kegiatan bersifat wajib dan mengikat pada Sektariat Kabupaten Bireun.
Begitupun, setelah pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) 2011, Rizki mengajukan SPP UP No : 900/019/SPP/2011, untuk belanja barang dan jasa Rp. 3,2 miliar. Pencairan ini tanpa ada rincian dana dan rencana pengeluaran pada Sekda Nasrullah Muhammad. Celakanya, selaku pengguna anggaran Ir. Nasrullah menerbitkan SPM untuk pengajuan Uang Persedian (UP) di Sekdakab Bireun tahun anggaran 2011, Rp 3,2 miliar ke DPKKD, selaku Bendahara Umum Daerah (BUD) yaitu Iskandar M. Nur, S.Sos.
Setelah uang tersebut dicairkan melalui Bank Aceh Cabang Bireun, Rizki kembali mengunakan uang tadi untuk menyetor UP yang telah dicairkannya sebelum pengesahan anggaran APBK Bireun 2011, Rp 2,9 miliar. Pencairan ini sepengetahuan Nasrullah Muhammad, sedangkan sisanya Rp 300 juta, digunakan untuk biaya perjalanan dinas di jajaran Sekdakab Bireun.
Imbasnya, sisa UP Sekdakab Bireuen hingga akhir tahun anggaran 2011, yang mampu dipertanggung jawabkan hanya Rp 86.866.223 juta. Sedangkan Rp 1.343.731.910, miliar, tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh Rizki. Akibatnya, negara rugi Rp 1.822.686.568,- miliar. Ini sesuai dengan diaudit Badan Perhitungan Kerugian Negara (BPK) Perwakilan Aceh?
Nah, atas berbagai pertimbangan itulah, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh memvonis ketiga mantan pejabat di Pemkab Bireuen tersebut antara lain. Teuku Nagorsyah 3,5 tahun dan denda Rp 100 juta, subsider tiga bulan kurungan serta diwajibkan membayar Uang Pengganti (UP) Rp 478.954.676 juta. Apabila dalam tempo satu bulan setalah putusan hukum tetap tidak mampu membayar, maka harta bendanya akan disita dan dilelang, apabila tidak cukup akan diganti dengan kurungan satu tahun penjara.
Atas putusan ini, T. Nagorsyah melalui penasehat hukumnya Basrun Yusuf, SH. MH mengatakan akan banding. “Kami banding yang mulia,” ucap Basrun usai diskusi singkat dengan Nagorsyah. Sedangkan JPU mengatakan pikir-pikir.
Lalu, Ir. Nasrullah Muhammad. Mantan Sekdakab Bireuen ini divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan. Karena dia tidak terbukti memperkaya diri, maka hakim membebaskannya dari membayar Uang Pengganti (UP). Sementara, Riski, SE. selaku bendahara umum yang bertanggung jawab atas pembukuan keuangan, divonis 4,5 tahun, denda Rp 200 juta sebsider empat bulan kurungan. Dia diwajibkan membayar Uang Pengganti (UP) Rp 553.193.910,- miliar. Seperti Nagorsyah, dia diminta membayar UP dalam tempo satu bulan.
Apabila dalam tempo satu bulan setelah putusan hukum tetap tidak mampu membayar, maka harta bendanya disita dan dilelang, apabila tidak cukup akan diganti dengan kurungan satu tahun penjara,kata Abdul Aziz, SH. M.Hum (hakim ketua) dalam amar putusannya terhadap Rizki.
Berbeda dengan T. Nagorsyah dan  Ir. Nasrullah, kuasa hukumnya Basrun Yusuf mengatakan pikir-pikir, begitu juga dengan JPU. “Baik, waktu berfikir selama tujuh hari, dimulai hari ini,tegas  Abdul Aziz, SH. M.Hum.
Putusan ini lebih tinggi dari tuntutan JPU yang dibacakan, Senin, 13 April 2015 lalu. Saat itu, JPU menuntut mantan Sekdakab Bireuen Ir. Nasrullah Muhammad dan mantan Bendahara Pengeluaran Sekdakab Bireun, Rizki masing-masing 3,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta dengan subsider enam bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp 671.865.955,- miliar. Sementara, mantan Kepala Bagian (Kabag) Umum Sekdakab Bireuen, T Nagoursyah, JPU menuntutnya 18 bulan penjara, denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan, dan harus membayar uang pengganti Rp 478.954.676 atau subsider enam bulan penjara. Jika tidak membayar dalam waktu satu bulan, pengadilan akan menyita harta benda. Kalau tidak ada, diganti dengan kurungan selama satu tahun.
Usai sidang, pada media ini, Rizki SE mengaku pasrah atas putusan hakim yang menghukumnya lebih berat. “Ya, mungkin karena saya bendahara,” ujarnya lirih. Dengan tatapan kosong, dia mencoba menenangkan diri dan berbicara setengah terbata.
Sebagai bendahara, dia mengaku kesal telah meminjamkan uang dan dijadikan tersangka. “Padahal, karena mereka telat bayarlah, saya jadi begini,ucap Rizki. Hanya saja dia mengaku tidak pernah mengajukan informasi itu pada hakim. Dia takut dianggap mengajari hakim.Ndak enak aja,” sambungnya pasrah.
Mantan Sekdakab Bireuen Ir. Nasrullah Muhammad dalam nota pembelaannya, Kamis, 7 Mei 2015 lalu, dengan suara terbata-bata meminta pada majelis hakim untuk membebaskannya dari semua tuntutan. “Mohon bebaskan saya Pak Hakim. Saya tidak menerima uang sedikitpun uang,ucapnya dengan suara setengah terbata-bata. Permohonan Nasrullah dijawab Majelis Hakim Tipikor Banda Aceh, Abdul Aziz, SH., M.Hum (ketua) dan Syaiful Has`ari, SH serta Hamidi Jamil, SH (anggota) dengan ucapan. Nanti akan kami pertimbangkan permohonan terdakwa,” jawab Abdul Aziz ketika itu.
Begitupun, palu sudah diketuk, putusan telah dikeluarkan. Tinggal kini, pada terpidana menjalankan hari-hari mereka di hotel prodoe, menjalani hukuman, menghitung sisa hukuman. Nasib,,nasib.***

Photo: Sidang/Headsod Nasrullah/Rizki dan Nagoursyah