Monday, June 1, 2015

‘Peradilan Massa’ di PN Banda Aceh


‘Peradilan Massa’ di PN Banda Aceh

Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh mengelar sidang lanjutan kasus Gafatar. Sejumlah saksi ahli dihadirkan ke persidangan. Ratusan massa yang tersulut emosi menghujat keterangan saksi ahli.

Irwan Saputra           
           
JARUM jam sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB, Selasa pagi pekan lalu. Diantara lalu-lalang kendaraan yang melintasi Jalan Cut Mutia Gampong, Keudah Banda Aceh. Sontak ratusan massa memenuhi badan jalan, persis depan Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh. Seketika jalan macet total.
            Hari itu, massa yang diperkirakan berjumlah lima ratus orang ini, bergerak dari Taman Kota Ratu Safiatuddin Lampriet, menuju PN Banda Aceh. Tujuannya, mengikuti sidang anggota Gafatar. Massa menuntut pengikut Gafatar dihukum seberat-beratnya. Sidang dipimpin Syamsul Qomar (ketua), Muhiffuddin dan Ahmad Nahrowi Mukhlis (anggota) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli dari pihak terdakwa.
Ratusan massa hari itu dikomadoi langsung Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Banda Aceh, Ramli Rasyid. Ada juga anggota Front Pembela Islam (FPI). Pelajar Islam Indonesia (PII), Pramuka, Majelis Ta`lim, Guru Diniah, tokoh masyarakat peduli agama, Asosiasi Geuchik Kota Banda Aceh dan Tuha Peut Gampong se Kota Banda Aceh.
“Kami minta pengikut Gafatar di hukum seberat-beratnya,” teriak Burhanuddin, anggota FPI Banda Aceh. Lalu, disambut suara takbir oleh massa lainnya. “Allahu Akbar... Allahu Akbar...Allahu Akbar”.
            Tidak seperti sidang belumnya, massa yang dihadirkan hari itu tampak lebih banyak. Bahkan diakui koordinator lapangan (korlap) aksi Marzuki, mereka akan menurunkan massa yang lebih banyak untuk sidang-sidang berikutnya.
            “Target kami 1.500 massa yang dihadirkan hari ini, tapi walau hanya ada lima ratus untuk sidang selanjutnya akan kami hadirkan lebih banyak lagi,” ungkap Marzuki.       
Sidang yang mendengar keterangan saksi ahli tersebut, akhirnya menuai amarah massa. Itu terlihat dari pernyataan koordinator aksi yang disampaikan secara bergiliran atas naman lembaga yang diwakilinya. “Kami akan menunggu putusan hakim, apakah keputusan hakim dari Pengadilan Islam atau Pengadilan Kafir,” cerca Isramuddin, Ketua FPI Kota Banda Aceh, di depan massa yang hadir hari itu.
Tak hanya itu, Ketua FPI Aceh Ali Hijrah meminta agar Aceh tidak dijadikan tempat berkembangannya aliran sesat dan tempat orang yang menyesatkan. “Mari sama-sama kita kawal, agar Aceh tidak menjadi sarang kelompok-kelompok sesat lagi menyesatkan,” teriak Ali Hijrah.
Rita Rosila Dewi, anggota PGRI kota Banda Aceh tak mau ketinggalan. Dia meminta agar Gafatar ditumpas habis di Bumi serambi Mekkah. Tak tanggung-tanggung, wanita paruh baya menghujat para saksi yang hadir atas nama pengikut Gafatar.
“Kami tidak akan membiarkan putra dan putri Aceh disesatkan Gafatar,” ungkapnya. Dia menambahkan, sebagai seorang guru sangat menyayangkan kenapa para saksi ahli mau memberi kesaksian untuk Gafatar. Padahal mereka telah jelas-jelas sesat. “Saya kira mereka yang hadir juga sama seperti orang Gafatar, sesat,” sambungnya.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Banda Aceh, Ramli Rasyid pada media ini mengaku, ia bersama rombongan melakukan aksi untuk mengawal jalannya persidangan. Karena itu, dia meminta hakim menghukum pengikut Gafatar seberat-beratnya. Makanya, dia mengambil alih aksi hari itu, karena sebagai guru, mereka mengaku orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini.
“Karena sasaran Gafatar adalah anak-anak Aceh yang merupakan tanggung jawab kami para guru,” ujar mantan pejabat di Pemerintah Kota Banda Aceh saat pemerintahan dipegang almarhum Walikota Banda Aceh Mawardi Nurdin.
            Nah, entah itu sebabnya, sekira pukul 12.00 WIB, sidang baru dimulai dengan terdakwa Fuadi Mardhatillah, M. Althaf Mauliyul Islam, Ayu Aristiana, Musliadi, Rida Hidayat dan T. Abdul Fatah. Bersamaan dengan itu, ratusan massa tadi kemudian melakukan aksi di depan pintu masuk PN Banda Aceh bahkan, sempat membuat ruang sidang penuh sesak.
Untuk mendengarkan pendapat saksi ahli, kuasa hukum terdakwa menghadirkan saksi ahli yaitu, pakar teologi Islam yang juga Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prof, Yusni Sabi. Pakar Antropologi Universitas Malikul Saleh, Dr. Kemal Pasya dan pakar Hukum Pidana Islam dari Mahkamah Syar`iyah, Sofyan MA.  Begitupun, keterangan para saksi ahli tadi nyaris tak terdengar, karena sesekali sempat disoraki pengunjung sidang.
Kondisi ini disayangkan berbagai kalangan, termasuk kuasa hukum terdakwa dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Banda Aceh, Wahyu Pratama. Kepada media ini Wahyu mengaku kesal dengan sikap massa yang memenuhi ruang persidangan. Menurut dia, keadaan seperti ini sulit mendapatkan peradilan yang berimbang, selain membuat para saksi tertekan, pengacara juga tidak lepas dari sorakan massa yang mengikuti setiap persidangan.
“Padahal baik para saksi dan pengacara hanya menjalankan tugas,” ujarnya. Dia menambahkan. “Jika begini jalannya persidangan, tentu semua orang akan tertekan, bagaimana tidak, kami selaku pengacara saja sering disorak, apalagi para saksi yang dihadirkan,” katanya dengan nada kesal.
            Kondisi ini dimaklumi Wirzani Usman, salah seorang staf Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh, yang hadir ke pengadilan. “Pada posisi seperti ini, siapapun yang dihadirkan pihak Gafatar pasti dianggap membela Gafatar. Ini karena amarah masyarakat tidak lagi terkontrol,” ujarnya  pada media ini.
            Antropolog Unimal, Kemal Pasya usai memberi keterangan sebagai saksi ahli menyayangkan sikap masyarakat yang membesar-besarkan masalah yang menurutnya kecil ini. Menurutnya, kasus Gafatar bisa diselesaiakan secara kekeluargaan dan dengan cara baik-baik. Tanpa harus langsung melakukan tindakan hukum seperti ini. “Itulah anehnya kita, hal-hal kecil selalu dibesarkan, contahnya begini kan kasian,” kata Kemal.
            Salah seorang terdakwa Althaf, tak sanggup menahan amarahnya. Alumni Fakultas Teknik Sipil Universitas Syiah Kuala Banda Aceh ini mengaku kesal dengan sikap massa yang menghakimi mereka, diluar proses hukum yang sedang berjalan. “Kalau memang saya dengan teman-teman dinilai bersalah kenapa tidak dibina terlebih dahulu,” sebutnya kesal.
            Menurut Althaf, saksi ahli dari Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Banda Aceh juga berpendapat agar kami harus dibina dan tidak buru-buru diserahkan pada aparat penegak hukum.
         Secara mental, Althaf mengaku sangat tertekan dengan apa yang ia alami selama dalam tahanan sebagai terdakwa kasus Gafatar. Menurutnya, mereka tidak hanya dihujat massa tapi juga sering mendapat perlakuan berbeda di Rumah Tahanan (Rutan). “Mungkin inilah ujian untuk kami,” katanya dengan nada pasrah.
Pada Jum`at Pekan lalu dalam sidang lanjutan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Banda Aceh menuntut enam pengurus Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) empat tahun penjara. Mereka dinyatakan terbukti bersalah melakukan penistaan agama dengan mengakui bahwa Mesias atau Ahmad Musadeq sebagai juru selamat atas kondisi peradaban yang sedang hancur ini. Tuntutan itu dibacakan Ketua Tim JPU Kejari Banda Aceh, Yovandi Yazid SH.
Menurut JPU, dari hasil keterangan sejumlah saksi, saksi ahli, dan bukti-bukti yang diperlihatkan di persidangan menyebutkan para terdakwa terbukti bersalah. Para terdakwa mengakui bahwa Mesias atau Ahmad Musadeq sebagai juru selamat atas kondisi peradaban yang sedang hancur ini. Selain itu, meyakini Mesias sebagai pembawa risalah dari Tuhan Yang Maha Esa (YME). Intinya, perbuatan terdakwa terlah melanggar Pasal 156a huruf A Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). “Kata-kata Mesias sebagai juru selamat dan pembawa risalah dari Tuhan YME tersebut telah menodai kaidah-kaidah dalam Islam. Dalam kaidah Islam, Rasulullah SAW adalah nabi terakhir yang membawa risalah dari Allah SWT,” baca Yovandi.
Lima terdakwa pria dalam perkara ini ditahan di Rutan Banda Aceh di Gampong Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar dan seorang terdakwa wanita, Ayu Ariestyana ditahan di Cabang Rutan Wanita Lhoknga, Aceh Besar. Penahanan keenamnya dilakukan sejak 8 Januari 2015.***

Photo: disesuaikan